Anda di halaman 1dari 2

Malaria : Patofisiologi

Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis
telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan dengan
gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit
pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka yang dapat tetap hidup
(survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam
patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat
menyebabkan reaski leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan
perubahan patofisiologik.

Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai
berikut :

a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang
mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang
tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan
hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat
mengakibatkan gagal ginjal.

b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit


memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan
dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin
berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris
tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang
terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam,
hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory
distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga
menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit
yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak
dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,
hiperparasitemia dan beratnya penyakit.

c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum


stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan
tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan
dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler
darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di
sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan
membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.

Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan
menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat
menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan
tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang
terinfeksi plasmodium P. falciparum.

Anda mungkin juga menyukai