Anda di halaman 1dari 22

Catatan Diskusi:

Standar Kelompok Bank Dunia dan sektor kelapa sawit – menuju perubahan

Pendahuluan:

Bulan Agustus 2009, International Finance Corporation (IFC),1 dan tak lama kemudian
kelompok induknya, yaitu Kelompok Bank Dunia (KBD),2 menangguhkan pendanaan di
sektor kelapa sawit. Langkah ini dilakukan sebagai respon terhadap pengaduan kritis
dari NGO Indonesia, organisasi masyarakat adat dan NGO internasional3 yang telah
memicu munculnya laporan audit yang penuh cela oleh lembaga pertimbangan IFC
sendiri, yaitu Compliance Advisory Ombudsman.4 Membenarkan keprihatinan NGO,
audit tersebut mendapati bahwa dalam pemberian bantuan keuangan kepada perusahaan
kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu Wilmar Group, staf IFC telah melanggar prosedur
uji tuntas dan Standar Kinerja IFC dan telah mengijinkan pertimbangan keuangan
mengalahkan pertimbangan sosial dan lingkungan.

Dalam tanggapanya atas temuan-temuan ini, KBD telah membuat komitmen untuk
mengadakan peninjauan kembali yang luas atas sektor ini untuk menyusun sebuah revisi
strategi investasi dan sebuah “pendekatan umum” terhadap sektor kelapa sawit bagi
seluruh KBD. Sementara itu, KBD tidak akan menyetujui investasi baru apa pun dalam
pembangunan kelapa sawit sebelum strategi ini selesai disusun.5 Peninjauan kembali ini
juga akan mempertimbangkan komoditas agrobisnis lainnya seperti coklat dan kacang
kedelai. Saat ini peninjauan kembali tersebut sedang dalam proses.6

Makalah ini berupaya merangkum pandangan dan pendapat NGO, masyarakat lokal
terkait dan organisasi masyarakat adat yang berkontribusi dalam penyusunan makalah
ini, termasuk sebagian besar/seluruh penanda tangan surat pengaduan yang asli yang
telah memicu munculnya peninjauan ulang ini.

1. Penyusunan Strategi Kelompok Bank Dunia lewat pelibatan terus menerus

Sebagaimana telah dipastikan kembali oleh CAO IFC baru-baru ini,7 Presiden Bank
Dunia menanggapi keprihatinan NGO

1
Surat dari Robert Zoellick kepada Marcus Colchester, 28 Agustus 2009:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wb_letter_pressrelease_sep09.pdf
2
Surat dari Robert Zoellick kepada Jennifer Kalafut, 25 Nopember 2009:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wb_palm_oil_let_nov09_eng.pdf
3
Penyerahan pengaduan:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf
4
Laporan audit:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_cao_audit_report_jun09_eng.pdf
5
Surat dari Robert Zoellick tertanggal 28 Agustus 2009 (lihat catatan kaki nomor 1) danCheng Hai Teoh,
2010, Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector: a discussion paper for multi-stakeholder
consultations, World Bank and IFC, Washington DC.
6
http://www.ifc.org/palmoilstrategy
7
CAO, 2010, Monitoring and update of IFC’s response to the CAO Audit of IFC dated June 2009, Audit
Monitoring Report (C-I-R6-Y08-F096, 22 April 2010), Office of CAO, IFC, Washington DC.

1
Dengan meyakinkan masyarakat sipil bahwa tidak ada investasi publik baru di
sektor kelapa sawit yang akan disetujui KBD sebelum pendekatan umum yang
menyeluruh atas investasi kelapa sawit tuntas berlaku di seluruh World Bank
Group (penekanan ditambahkan).

Sampai saat ini, IFC sendiri telah menanggapi komitmen ini dengan menyusun sebuah
makalah isu dan proses konsultasi. Namun, proses IFC ini tidak menjelaskan bagaimana
KBD akan terlibat untuk memastikan adanya “pendekatan umum”, dan, sepengetahuan
kami, IBRD. IDA masih belum membuat pernyataan publik tentang bagaimana mereka
akan terlibat dalam penyusunan revisi pendekatan terhadap sektor ini. Hal ini khususnya
penting karena proyek kelapa sawit Bank Dunia (IDA) di Papua sedang menjadi sorotan
pengaduan dewan inspeksi Bank Dunia (World Bank Inspection Panel).8

Dalam pandangan kami, seperti disepakati presiden Bank Dunia, strategi KBD yang
baru untuk sektor kelapa sawit harus disusun baik untuk IFC maupun untuk KBD.
Meskipun IFC lewat keikutsertaannya dalam RSPO dan keterlibatannya yang lebih besar
di sektor swasta dapat membantu memastikan keterlibatan perusahaan kelasa sawit
berpengaruh besar dan petani kecil (smallhoder) dalam reformasi sector ini, IFC gagal
dalam membantu anggota KBD lainnya (IDA dan IBRD) dalam reformasi tata kelola,
hukum dan prosedural yang efektif yang dibutuhkan agar kerangka nasional dapat
mempromosikan hasil pembangunan yang baik dan memungkinkan terpenuhinya
Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional IBRD.

Kami prihatin, bahwa, berlawanan dengan yang dilakukan presiden Bank Dunia, IFC
kini bertindak terlalu tergesa-gesa untuk menyusun kebijakan untuk dirinya sendiri,
terpisah dari kelompok induknya (KBD). Kami juga mencatat bahwa makalah isu yang
awalnya dijanjikan bulan Desember 2009 baru diedarkan sekarang. Makalah ini
memang memberikan landasan untuk menerima masukan awal yang bermanfaat (yang
memang menjadi tujuan makalah ini) namun hal ini tidak serta merta menjadikannya
sebagai pengganti dialog tentang makalah strategi itu sendiri. Waktu yang dipadatkan
yang disepakati untuk penyusunan Stategi ini - kami memahami bahwa draftnya sudah
harus selesai di bulan Juni, penerimaan masukan lewat email dan website lalu
diserahkan kepada Presiden Bank Dunia untuk disetujui bulan Juli – tidak
memungkinkan untuk keterlibatan berulang dalam kebijakan tersebut seperti yang kami
harapkan.9

Kami mendesak adanya ketentuan-ketentuan untuk:

• Menjamin bahwa Strategi ini akan menjadi strategi yang komprehensif yang
mengatur pendekatan bersama untuk seluruh KBD
• Memberikan waktu untuk bertemu dengan kelompok masyarakat sipil, masyarakat
adat dan pihak yang berkepentingan lainnya untuk membicarakan draft Strategi itu
sendiri (bukan sekedar makalah isu).

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTINSPECTIONPANEL/0,,contentMDK:22512209~
pagePK:64129751~piPK:64128378~theSitePK:380794,00.html.
9
Pertemuan antara IFC dan NGOs di Kuala Lumpur 2 November 2009; email dari Adam Sack kepada M.
Colchester 30 Maret 2010 dan surat dari Oscar Chemerinski kepada M. Colchester 14 April 2010.

2
2. Menentukan sasaran yang jelas: Mengentaskan kemiskinan dan pembangunan
berkelanjutan lewat sector kelapa sawit:

Sebagaimana dijelaskan oleh laporan audit dan dinyatakan oleh makalah isu, KBD
memiliki keterlibatan yang panjang dalam sector kelapa sawit. Bagi IBRD dan IDA,
sejarah ini menjadi problematic, dan khususnya di Indonesia, peninjauan kembali
berturut-turut telah menunjukkan hasil yang tidak optimal atau negatif dalam hal
dampak social dan lingkungan. Sampai sati ini, keterlibatan IFC di sector kelapa sawit
adalah untuk mendukung perusahaan raksasan dan mempromosikan perdagangan
internasional dan pemrosesan kelapa sawit. Seperti yang disimpulkan CAO hal ini
dilakukan dengan cara “yang tidak sejalan dengan peran nyata IFC, mandat untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan serta komitmen untuk
pembangunan berkelanjutan.“10

Meskipun kelapa sawit merupakan tanaman pangan yang produktif dan menguntungkan
secara ekonomi dan awalnya ditanam sebagai bagian dari ekonomi pertanian campuran
di Afrika Barat, saat ini kelapa sawit sedang dikembangkan sebagai monokultur berskala
industri dengan cara yang menimbulkan dampak sosial dan lingkugan jangka panjang
yang serius bagi mereka yang paling tidak mampu mengusahakannya, namun
memberikan keuntungan besar bagi mereka yang sdecara ekonomi memang sudah
mapan. Perombakan besar perlu dilakukan pada sektor ini jika pola konsentrasi lahan
dan kekayaan ini tidak hendak ditingkatkan.

Strategi KBD mana pun untuk keterlibatan kembali di sektor kelapa sawit harus
ditujukan untuk mencapai manfaat yang jelas bagi masyarakat miskin dan lingkungan
yang terancam dan harus mampu menjamin bahwa investasi yang diadakan
diprioritaskan pada kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Dengan demikian, Strategi
tersebut haruslah:

• Menetapkan sasaran yang jelas dan terukur;


• Menjelaskan standar, landasan dan indikator yang digunakan untuk mengkaji
pemenuhan persyaratan;
• Mencakup strategi negara (paling tidak untuk negara-negara penghasil kelapa sawit)
yang dapat menyelsaikan hambatan-hambatan yang teridentifikasi dalam surat
pengaduan dan audit pemenuhan dan hasil konsultasi;
• Menetapkan proses yang dapat memonitor perkembangan secara inklusif dan
melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.11

Elemen-elemen ini merupakan persyaratan pokok jika peninjauan kembali sektor ini di
masa depan hendak menunjukkan efektifitas perkembangan. Sebagai NGO dari dan
yang bekerja di Indonesia, kami secara khusus memohon pembentukan badan
monitoring multi-stakeholder yang inklusif yang akan memastikan adanya kajian (real
time assessment) terhadap keterlibatan KBD di sektor kelapa sawit di Indonesia.

KBD harus bertanggung jawab untuk dampak-dampak negatif langsung dan tidak
langsung terhadap masyarakat pedesaan terkait dengan investasinya dalam sektor sawit

10
CAO 2010:2.
11
Terkait hal ini kami lihat bahwa Badan Penasehat Eksternal (External Advisory Group) yang dibentuk
untuk proses ini tidak mencakup lingkup pelaku dan TOR yang benar untuk tugas seperti ini.

3
30 tahun terakhir dan menyediakan restitusi sesuai dengan cakupan kerusakan yang
disebabkan terhadap masyarakat terkena dampak12.

3. Penggolongan Investasi Kelapa Sawit:

Salah satu alasan bahwa staf IFC tidak menerapkan Standar Kinerja dengan ketat dalam
investasi kelapa sawit sebelumnya adalah karena mereka cenderung menggolongkan
sektor kelapa sawit sebagai golongan C atau B, yang berarti bahwa prosedur dan
standar-standar diterapkan secara minimal.

Di masa depan perlu ada praduga umum bahwa seluruh investasi di sektor kelapa sawit
adalah investasi di golongan A yang berarti perlu melibatkan uji tuntas dan penerapan
Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia secara maksimal.

4. Mengaktifkan Standar Kinerja dan Kebijakan Operasional:

Hampir semua proyek pembangunan kelapa sawit menyiratkan perluasan daerah tanam
kelapa sawit dan, secara langsung maupun tak langsung, akan berdampak pada
pengguna lahan yang ada dan menimbulkan perubahan pada vegetasi alam atau
menggantikan tanaman lainnya.

Dengan demikian sebuah investasi kelapa sawit perlu mengaktifkan seluruh atau
sebagian besar Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia. Strategi
kelapa sawit perlu mengusulkan sebuah praduga bahwa investasi di sektor ini harus
memenuhi Standar Kinerja IFC. Secara khusus, menurut Standar Kinerja IFC/Kebijakan
Operasional Bank Dunia klien harus:

• Memenuhi undang-undang nasional yang berlaku, termasuk kewajiban negara tuan


rumah menurut undang-undang inernasional yang telah diratifikasi;
• Melakukan dan mengimplementasikan kajian dampak sosial dan lingkungan yang
komprehensif;
• Menghindari segala bentuk penggusuran secara paksa;
• Mengambil alih tanah lewat proses yang layak dan lewat kesepakatan;
• Menghindari konflik tanah dan menyelesaikan konflik tanah yang utama;
• Menghormati hak-hak masyarakat adat;
• Mendukung terciptanya negosiasi yang dilandasi niat baik dengan mereka dan
memastikan adanya konsultasi (persetujuan?) yang bebas, dini dan terinformasi; dan
mengembangkan sebuah rencana pembangunan masyarakat adat;
• Menaruh perhatian khusus terhadap habitat, spesies dan ekosistem yang terancam,
dan menghindari konversi habitat kritis.

12
The World Bank’s Integrity Vice Presidency (INT) memeriksa dugaan penyimpangan dan korupsi
dalam operasi-operasi yang didanai Kelompok Bank Dunia atau melibat staf Kelompok Bank Dunia
(http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/ORGANIZATION/ORGUNITS/EXT
DOII/0,,menuPK:588927~pagePK:64168427~piPK:64168435~theSitePK:588921,00.html; Jika terbukti
ada pelanggaran dan/atau kerusakan terjadi karena pelanggaran, korupsi dan pengabaian kebijakan, sanksi
harus tidak terbatas pada staf yang berbuat tetapi juga melibatkan tanggung gugat Kelompok Bank Dunia
dengan memulihkan kerusakan.

4
Staf KBD harus bertanggung jawab atas setiap kegagalan mematuhi Standar Kinerja IFC
dan Kebijakan Operasional Bank Dunia atau hukum dan peraturan dan hukum nasional
yang berlaku13.

5. Mencapai koherensi antara Standar Kinerja dan Prinsip dan Kriteria RSPO:

IFC juga menjadi anggota aktif Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang telah
mengembangkan sendiri serangkaian standar yang komprehensif yang dinyatakan dalam
Prinsip dan Kriteria RSPO, Kode Etik Anggota, dan Protokol Sertifikasi. Sebagai
anggota RSPO, IFC terikat kewajiban untuk mempromosikan kelapa sawit berkelanjutan
sebagaimana didefinisikan lewat pemenuhan Prinsip dan Kriteria RSPO. Ada
ketidakjelasan tentang bagaiamana standar investasi IFC saat ini yang dinyatakan dalam
Standar Kinerjanya akan sesuai dengan standar RSPO untuk produser dan pabrik.
Namun, kami mencatat pernyataan Presiden Bank Dunia dalam suratnya tertanggal 28
Agustus 2009 yang mengatakan bahwa ‘IFC hanya akan bekerja dengan klien yang
memiliki komitmen untuk mencapai sertifikasi yang diakui dunia internasional untuk
operasinya’.

Strategi KBD dengan demikian perlu menjelaskan bagaimana KBD akan menjunjung
tinggi standar RSPO. Kami sarankan agar diadakan pertemuan sebuah kelompok kerja
khusus untuk mengkaji poin-poin yang melengkapi dan yang bertentangan antara
Standar Kinerja IFC/Kebijakan Operasional Bank Dunia dengan standar RSPO. Dengan
demikian Strategi yang sedang disusun ini perlu menjelaskan bagaimana KBD akan
memastikan bahwa, di mana Standar Kinerja IFC atau Kebijakan Operasional Bank
Dunia lebih lemah dari standar RSPO, operasi yang didukung oleh proyek-proyeknya
tidak akan melemahkan, namun malah mendukung standar RSPO.

Di lain pihak, kami mencatat bahwa RSPO masih dalam proses membangun dirinya
sendiri. RSPO tidak memiliki prinsip dan kriteria yang sesuai untuk menjawab tantangan
perubahan iklim. Prosedur sertifikasi petani kecil (smallhoders) sedang disusun dan
perlu diteguhkan. Ada banyak pengaduan tentang kekurangan dengan audit awal oleh
badan sertifikasi.

Perlu adanya diskusi-diskusi untuk menyelesaikan bagaimana Strategi KBD dan RSPO
akan saling melengkapi. Strategi KBD tidak dapat bergantung pada RSPO untuk
menjamin implementasi, efektifitas pengembangan, monitoring atau pemenuhan
persyaratan.

6. Kebijakan rencana pemanfaatan lahan/tata ruang:

Umum: Penerapan yang ketat dari Standar Kinerja IFC/ Kebijakan Operasional IBRD
dan P&C RSPO selayaknya berdampak pada pergeseran lahan kelapa sawit dari habitat
kritis dan bernilai tinggi ke wilayah yang tidak terlalu penting bagi sumber penghidupan
dan keanekaragaman hayati. Namun, kebijakan nasional tentang penetapan zona

13
World Bank’s Integrity Vice Presidency (INT) memeriksa dugaan penyimpangan dan korupsi
dalam operasi-operasi yang didanai Kelompok Bank Dunia atau melibat staf Kelompok Bank Dunia
(http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/ORGANIZATION/ORGUNITS/EXT
DOII/0,,menuPK:588927~pagePK:64168427~piPK:64168435~theSitePK:588921,00.html;

5
pemanfaatan lahan, tata ruang dan/atau alokasi lahan sering kali memiliki sasaran yang
amat berbeda dengan sasaran dari kebijakan sebelumnya tentang pembukaan “lahan
tidak produktif” untuk pembangunan, dan sering kali mengincar hutan dan tanah
masyarakat adat.

Strategi yang sedang disusun haruslah mensyaratkan koherensi antara pendekatan


KBD/RSPO dan revisi kebijakan tata ruang nasional sesuai dengan tata kelola hak
masyarakat adat dan masyarakat lokal sebelum dilakukan investasi kembali di negara
bersangkutan.

Indonesia dan Sarawak:


Di Indonesia 26 juta hektar lahan telah dialokasikan dalam rencana tata ruang propinsi
untuk pembangunan kelapa sawit. Prosedur rencana tata ruang tidak berupaya untuk
mengidentifikasi dan melindungi daerah dengan nilai konservasi tinggi, tidak
mengidentifikasi atau melindungi daerah yang menjadi wilayah adat masyarakat adat
atau wilayah kelola adat dan tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah dengan
“nilai karbon tinggi”. Selain itu, proses perencanaan tata ruang di Indonesia
menggunakan definisi lahan “terdegradasi” dan “hutan konversi” yang tidak jelas dalam
pembukaan hutan dan lahan sehingga sering kali membuka hutan atau lahan yang
dikelola atau dimiliki masyarakat hukum adat. Lebih jauh lagi, rencana tata ruang
Indonesia dan penetapan zona pembangunan di Sarawak saat ini dalam kenyataannya
mendorong penanaman kelapa sawit di lahan gambut, dan menimbulkan emisi CO2
yang besar.

Selayaknya tidak ada investasi KBD lebih lanjut di sektor kelapa sawit di Indonesia dan
Sarawak sebelum adanya perombakan radikal dalam proses perencanaan tata ruang
untuk memastikan bahwa rencana tata ruang tersebut tidak melegitimasi pembukaan
hutan, konversi lahan gambut dan perampasan tanah masyarakat adat.

Sama halnya, selayaknya ada moratorium terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit
sampai pelanggaran HAM, konflik tanah dan hutang turun-temurun (debt bondage)
dalam perkebunan yang ada diselesaikan.

7. Akusisi Lahan

Umum: Salah satu isu yang paling ramai diperdebatkan tentang pengembangan sektor
kelapa sawit adalah masalah akusisi lahan, di mana kami telah melakukan studi rinci
tentang itu.14 Standar Kinerja IFC tidak menganjurkan penggusuran secara paksa dan
mendorong klien untuk mengambil alih tanah lewat kesepakatan. Namun, Standar
Kinerja IFC menyatakan bahwa saat tanah diambil alih secara sepihak, klien harus
memberikan kompensasi, mengadakan konsultasi, menetapkan mekanisme pengaduan
14
Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surambo and
Herbert Pane, 2006, Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia – Implications for Local
Communities and Indigenous Peoples, Forest Peoples Programme, Sawit Watch, HuMA and ICRAF,
Bogor; Marcus Colchester and Norman Jiwan, 2006, Ghosts on our own land: oil palm smallholders in
Indonesia and the Roundtable on Sustainable Palm Oil, Forest Peoples Programme and SawitWatch,
Bogor; Serge Marti, 2008, Losing Ground: the human rights impacts of oil palm plantation expansion in
Indonesia, SawitWatch, Life Mosaic and Friends of the Earth, Bogor; Marcus Colchester, Wee Aik Pang,
Wong Meng Chuo and Thomas Jalong, 2007, Land is Life: Land Rights and Palm Oil Development in
Sarawak, Forest Peoples Programme and SawitWatch, Bogor.

6
dan menyusun rencana aksi pemindahan. Mengingat adanya kontroversi atas lahan (dan
lihat juga 11 di bawah) kami lihat bahwa panduan ini membingungkan.

Kami merekomendasikan secara tegas bahwa, sejalan dengan standar RSPO, revisi
Strategi harus secara jelas mensyaratkan bahwa seluruh lahan harus dialihkan lewat
kesepakatan dan tidak boleh ada lahan yang diambil atau digunakan tanpa adanya
persetujuan dari pemegang hak dan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan
dari pemilik adatnya. Strategi KBD haruslah mencakup larangan yang menyeluruh
terhadap lahan apa pun untuk proyek kelapa sawit KBD yang diperoleh lewat paksaan.

Indonesia: Di Indonesia, proses akuisisi lahan diperrumit oleh kurangnya pengakuan


hak-hak adat atas tanah (lihat bagian 8.), kurangnya proses yang memungkinkan
pengambilan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (lihat bagian 9.),
penerapan wewenang negara yang berlebihan dalam proses pengambilalihan lahan (lihat
bagian 10.) dan kebijakan alokasi konsesi lahan yang mengabaikan atau melibas hak-hak
dan kepentingan pemegang hak lainnya. Secara teori, berdasarkan rencana tata ruang
(meskipun dalam praktek dilakukan secara serampangan), hutan dan lahan dialokasikan
kepada perusahaan sebagai ijin lokasi tanpa konsultasi dengan pengguna lahan lainnya.15
Pemegang konsesi, kadang kala bersama tim dari Badan Pertanahan Nasional dan
pemerintah lokal, lalu diharapkan untuk mengambil alih lahan dari masyarakat lokal
(atau dapat mengabaikan pemegang hak setempat sama sekali). Begitu 51% dari lahan
yang mendapatkan ijin lokasi telah dibebaskan, maka mereka mengubah konsesi mereka
menjadi Hak Guna Usaha (HGU) selama 35 tahun. Dalam proses-proses ini, umum
terjadi masyarakat kehilangan kuasa atas lahan yang luas tanpa mendapatkan apa-apa
atau tanpa ganti rugi. Studi lapangan tentang berbagai konsesi di empat propinsi
menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah diberitahu bahwa dengan melepaskan
tanah mereka untuk skema pembangunan kelapa sawit dukungan negara berarti mereka
secara permanen menyerahkan tanah mereka, karena menurut UU Pokok Agraria pada
akhir masa berlaku HGU tanah yang diberi ijin akan dikembalikan kepada negara dan
bukan kepada pemilik aslinya.

Selama prosedur yang tidak adil dari pengambilalihan lahan terus berlanjut, tidaklah
mungkin bagi perusahaan perkebunan untuk memenuhi standar RSPO. KBD tidak perlu
menginvestasikan dana lebih lanjut di sektor kelapa sawit Indonesia sampai proses
pengambilalihan lahan yang tidak adil ini direvisi dan hak masyarakat lokal dan
masyarakat adat mendapatkan jaminan.

8. Kurangnya jaminan bagi masyarakat adat

Umum: Masyarakat adat secara khusus menderita akibat sistem hukum yang diterapkan,
yang sering kali berasal dari perundangan-undangan jaman kolonial, yang memungkiri
atau membatasi hak-hak masyarakat adat atas lahan. Kebijakan negara juga umumnya
mendiskriminasikan masyarakat adat.

15
Untuk penjelasan lebih lengkap tentangg prosedur perijinan ini, lihat studi ‘Promised Land’ dan Study
HCV oleh Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and
the RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High
Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA,
SawitWatch and Wils Asia, Moreton-in-Marsh.

7
Sejalan dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan dengan
memperhatikan Pasal 41 dan 42 Deklarasi tersebut, Strategi KBD haruslah mengadopsi
ketentuan-ketentuan yang kuat yang melampaui ketentuan dalam Standar Kinerja No. 7 /
Kebijakan Operasional No. 4.10 untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ketentuan-
ketentuan ini haruslah sedikitnya mencakup:

• Hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah dan wilayah yang sudah secara turun
temurun mereka miliki, huni atau manfaatkan;
• Perwakilan lewat institusi mereka sendiri;
• Penerapan undang-undang adat mereka dan;
• Sejalan dengan hak mereka untuk memutuskan sendiri, menerima atau menolak
memberikan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap rencana
operasi di tanah mereka.

Indonesia: Di Indonesia istilah ‘indigenous peoples’ umumnya digunakan untuk


menyebut mereka yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dan diterapkan
secara umum kepada seluruh masyarakat yang hak-hak atas tanahnya didasarkan lebih
kepada adat dari pada hukum positif. Studi-studi yang dilakukan Bank Dunia
menunjukkan bahwa lahan yang memiliki hak formal di Indonesia hanya mencapai
kurang dari 40%, dengan sisanya dikuasai oleh penguasaan secara informal atau adat.
Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia secara progresif telah menanggalkan institusi
adat dan menyusun kebijakan yang ditujukan untuk mengintegrasikan “masyarakat
terisolasi dan asing” atau “masyarakat terasing” ke dalam aras utama nasional lewat
pemindahan penduduk, pendidikan kembali dan lewat pelarangan agama tradisional.
Meskipun dampak terburuk dari kebijakan-kebijakan ini semakin reda sejak tahun 1998,
undang-undang dan kebijakan lain yang mendasarinya masih amat membatasi hak-hak
dan adat istiadat masyarakat adat.

Meskipun hak-hak adat mendapatkan perlindungan dari UUD RI, hak-hak tersebut
sangat dibatasi dalam UU Kehutanan dan UU Pokok Agraria. UU Pokok Agraria
memperlakukan hak-hak adat (hak ulayat) sebagai hak penguasaan yang lemah di atas
tanah milik negara yang harus mengalah demi proyek pembangunan. Sama halnya, UU
Kehutanan mendefinisikan ‘hutan adat’ sebagai bagian dari hutan negara, yang
didefinisikan sebagai ‘hutan tanpa hak di atasnya’. Kedua UU ini menimbulkan
hambatan yang sulit diatasi oleh masyarakat adat saat berhadapan dengan penerapan
skema pembangunan kelapa sawit.

Sarawak: Malaysia memiliki rejim hukum yang plural, yang berarti bahwa negara ini
mengakui wewenang beberapa badan hukum pada saat yang bersamaan, dan adat
ditegakkan di bawah Konstitusi Negara Bagian. Penegak hukum dan pengadilan adat
diakui secara resmi di Sarawak dan masih terus digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah di masyarakat dan untuk menegakkan hukum di sana, yang berarti
bahwa adat merupakan sumber hak yang hidup dan aktif di Sarawak, baik di mata
hukum maupun dalam praktek.

Namun, sejak masa penjajahan dan secara progresif di masa-masa sesudahnya, lewat
serangkaian perundangan-undangan dan peraturan, pemerintah Sarawak telah berupaya
pembatasi penerapan ‘Hak Adat Asli’ atas tanah, membekukan perpanjangannya tanpa
ijin dan menginterpretasikan hak-hak ini sebagai hak milik yang lemah atas tanah
negara. Lebih jauh, meskipun pemerintah mengakui bahwa sekitar 1,5 sampai 2,8 juta

8
hektar tanah berada di bawah hak adat, pemerintah tidak menyatakan di mana
keberadaan tanah-tanah tersebut, yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat tidak
pernah yakin apakah atau bagian mana dari tanah mereka yang diakui menurut
interpretasi pemerintah atas hak-hak ini.

Dalam serangkaian kasus di pengadilan tingi di Sarawak dan Malaysia, hakim telah
menjunjung tinggi klaim-klaim tanah masyarakat adat karena sesuai dengan Konstitusi
Malaysia dan hukum adat. Kasus-kasus ini mengimplikasikan bahwa interpretasi
pemerintah Sarawak yang terbatas akan hak-hak adat tidaklah benar. Sejalan dengan
undang-undangn HAM internasional, pengadilan-pengadilan ini telah menerima bahwa
masyarakat adat memiliki hak atas tanah mereka berdasarkan adat istiadat mereka dan
bukan sebagai hibah dari negara.

Strategi KBD haruslah melarang investasi di sektor kelapa sawit Indonesia dan Sarawak
sampai undang-undang yang diskriminatif ini dicabut dan digantikan oleh undang-
undang yang sejalan dengan norma-norma hukum internasional.

9. Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC)

Umum: Merupakan prinsip hukum internasional dan prinsip praktek terbaik bisnis yang
semakin diterima bahwa masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki hak untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan tanpa paksaan mereka atas proyek yang
akan diberlakukan di tanah mereka. P&C RSPO dengan jelas mensyaratkan
penghormatan atas hak ini. Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional IBRD tidak
terlalu jelas tentang masalah ini sehingga mensyaratkan pihak peminjam atau klien
untuk memastikan proses yang memungkinkan adanya – menurut Standar Kinerja IFC
No. 7 – ‘konsultasi bebas, didahulukan dan diinformasikan dan ekspresi pandangan
mereka sendiri setelah proses pengambilan keputusan bersama tanpa adanya paksaan
atau manipulasi dan intimidasi. Dibutuhkan langkah-langkah khusus untuk melindungi
kelompok masyarakat ini ketika tanah mereka diambil alih.’

Untuk menghindari pelemahan P&C RSPO dan sejalan dengan undang-undang


internasional, revisi Strategi KBD harus dengan jelas mensyaratkan penghormatan
terhadap hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak ada skema pendanaan KBD yang
boleh dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak tanah dan persetujuan
tanpa paksaan pemilik adat.

Indonesia: Di Indonesia, tidak ada mekanisme untuk mengefektifkan hak atas


persetujuan tanpa paksaan. Tidak hanya tidak ada pengakuan atas hak-hak masyarakat
adat (lihat bagian 7 di atas) namun institusi adat mereka juga tidak memiliki personalitas
hukum yang memadai. Institusi tingkat desa yang diakui pemerintah umumnya
bertindak dengan cara yang berpihak pada penguasaan negara dan tidak diijinkan untuk
secara independen mewakili kepentingan masyarakat. Juga penting untuk dicatat bahwa
kegagalan pemerintah Indonesia untuk memberikan penghormatan terhadap hak
masyarakat adat adalah bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut undang-
undang internasional yang wajib dijunjung perusahaan menurut Standar Kinerja IFC No.
1. Di tahun 2008, dalam tanggapannya terhadap keprihatinan masyarakat sipil atas
rencana pemerintah Indonesia untuk membuka 1,8 juta hektar kebun kelapa sawit di
sepanjang perbatasan Indonesia–Malaysia, Komite PBB tentang Penghapusan

9
Diskriminasi Rasial secara jelas telah menyerukan pemerintah Indonesia untuk
mengamandemen undang-undangnya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Secara
khusus, Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang mengawasi
penerapan Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang telah
ditandatangani pemerintah Indonesia dengan jelas merekomendasikan agar:

Negara pihak melakukan peninjauan kembali atas undang-undangnya, khususnya UU


No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, serta bagaimana UU ini diinterpretasikan dan
diimplementasikan, untuk memastikan bahwa UU ini menghormati hak-hak
masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan
tanah komunal mereka. Sambil mencatat bahwa mega proyek Plantation Kelapa
Sawit di Perbatasan Kalimantan sedang dipelajari lebih lanjut, Komite ini
merekomendasikan agar Indonesia sebagai negara anggota Konvensi menjamin
milik dan hak kepemilikan masyarakat lokal sebelum meneruskan rencana ini.
Indonesia juga perlu memastikan dilakukannya konsultasi yang bermakna dengan
masyarakat terkait, yang ditujukan untuk mendapatkan persetujuan dan partisipasi
mereka.16

Sarawak: Sama halnya, kerangka kerja hukum untuk akusisi tanah saat ini di Sarawak
tidak memberikan landasan yang adil untuk penerapan persetujuan tanpa paksaan.
Sesungguhnya, sudah ada prosedur-prosedur yang secara jelas ditujukan untuk
membatasi penguasaan atas tanah mereka bahkan atas tanah yang pemerintah akui
memiliki hak adat.

Menurut apa yang disebut sebagai Konsep Baru, pemilik tanah adat dengan hak adat
yang diakui negara diharapkan untuk menyerahkan tanah mereka kepada negara selama
60 tahun untuk dikembangkan sebagai usaha patungan dengan perusahaan swasta, di
mana pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penjamin mewakili pemilik adat. Ada
ketidakjelasan tentang bagaimana persisnya pemilik tanah adat ini akan mendapatkan
manfaat lewat skema ini dan bagaimana mereka dapat mengklaim kembali tanah mereka
setelah hak guna itu berakhir.

KBD selayaknya tidak menanamkan investasi di sektor kelapa sawit Indonesia dan
Sarawak sampai undang-undang dan prosedur negara direvisi untuk menjamin
masyarakat dapat menerapkan persetujuan tanpa paksaan mereka dan mempertahankan
kontrol atas tanah mereka jika itu yang mereka inginkan.

10. Hak Menguasai Negara: membatasi pengambilalihan lahan secara paksa

Umum: Standar Kinerja IFC dengan jelas mencatat bahwa ‘klien didorong untuk sedapat
mungkin mengambil alih lahan lewat kesepakatan, bahkan meskipun mereka memiliki
sarana hukum untuk mengakses lahan tersebut tanpa persetujuan penjualnya; namun,
seperti yang disebutkan di atas, Standar Kinerja ini lalu mengubah preferensi ini dengan
memberikan opsi pengambilalihan lahan secara paksa untuk kepentingan nasional.

16
UN Doc. CERD/C/IDN/CO/3 15th August 2007.

10
Seperti disebutkan di atas, dalam hal pembangunan kelapa sawit kami mendesak agar
Strategi KBD melarang KBD untuk mendukung akuisisi lahan untuk kepentingan
pembangunan kelapa sawit berdasarkan kuasa untuk pengambilalihan secara paksa.

Indonesia: Di Indonesia, konstitusi memberikan kuasa atas sumber daya alam kepada
negara untuk mendayagunakan mereka untuk kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana
berkali-kali dibenarkan oleh studi Bank Dunia dan studi-studi lainnya, kuasa ini
diterapkan (atau disalahgunakan) untuk memberi negara wewenang yang nyaris tidak
terbatas untuk mengabaikan atau menegasikan hak-hak masyarakat dan masyarakat adat
atas tanah. Sering kali ditegaskan bahwa proyek Repelita apa pun atau proyek yang akan
diberlakukan di atas tanah yang dialokasikan untuk keperluan tersebut lewat
perencanaan tata ruang atau bahkan tanah yang sudah diberi HGU secara definisi telah
disahkan pemerintah dan karenanya ditujukan untuk kepentingan nasional, yang berarti
bahwa pemilik lokal dan pemegang hak harus mengalah saat dihadapkan pada rencana
pembangunan tersebut.

Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dengan jelas merekomendasikan


agar Indonesia:

Perlu mengamademen undang-undang nasional, peraturan dan praktek dalam


negerinya untuk memastikan bahwa konsep kepentingan nasional, modernisasi dan
pembangunan ekonomi dan sosial didefinisikan secara partisipatif, mencakup
pendangan internasional dan kepentingan seluruh pihak yang tinggal di daerah
tersebut, dan tidak digunakan sebagai pembenaran untuk menggilas hak-hak
masyarakat adat, sesuai dengan rekomendasi umum Komite No. 23 (1997) tentang
masyarakat adat. Komite, seraya mencatat bahwa tanah, air dan sumber daya alam
dikontrol negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa
Indonesia berdasarkan perundang-undangan Indonesia, mengingatkan kembali bahwa
prinsip tersebut harus diterapkan secara konsisten bersama hak-hak masyarakat
adat.17

Sebelum reformasi-reformasi ini dilakukan untuk memenuhi CERD, KBD harus


menunda pendanaan lebih lanjut di sektor kelapa sawit Indonesia.

11. Konflik tanah dan pelanggaran HAM:

Umum: Proses alokasi dan akuisisi lahan yang tidak adil serta kurangnya penghormatan
terhadap hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan
marginalisasi dan pemiskinan namun juga menimbulkan konflik tanah yang
berkepanjangan, yang sudah terlalu sering bereskalasi menjadi konflik yang disertai
pelanggaran HAM akibat tindakan represif perusahaan atau aparat militer.

Untuk menghindari masalah-masalah ini, Strategi KBD – selain ketentuan-ketentuan


untuk menjamin akuisisi lahan yang adil, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat
adat, penghormatan terhadap hak atas keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan
dan pembatasan yang ketat atas hak menguasai negara untuk mengambil alih tanah
secara paksa – harus mensyaratkan seluruh klien untuk menyelesaikan konflik-konflik

17
Ibid.

11
besar yang ada bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat sebelum mendapatkan
dukungan KBD.

Indonesia: Dalam catatan terbarunya, NGO pemerhati kelapa sawit Sawit Watch lewat
jaringan kontak independennya telah mengidentifikasi 630 konflik tanah antara
perusahan kelapa sawit dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Jumlah konflik yang
sebenarnya bisa lebih tinggi lagi. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam
presentasinya untuk RSPO di Kuala Lumpur tanggal 1 Nopember 2009, saat ini ada
sekitar 3.500 konflik tanah yang terkait dengan kelapa sawit di Indonesia.

Sarawak: Sebuah peninjauan kembali atas pengalaman setempat dengan pembangunan


kelapa sawit di Sarawak menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari 150 konflik tanah
yang saat ini sedang ditangani pengadilan berkaitan dengan kelapa sawit. Banyak dari
kasus-kasus ini sudah berada di pengadilan selama 15 sampai 20 tahun. Meskipun
kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan didapati berpihak pada penggugat adat dan
menjunjung hak-hak adat mereka atas lahan, pemerintah Sarawak menolak untuk
mengamandemen undang-undang untuk memberikan perlindungan yang lebih baik
terhadap hak-hak mereka. Sama halnya, pihak perusahaan terus membantah keputusan-
keputusan pengadilan ini.

Jangan ada investasi lebih jauh KBD di Sarawak dan Indonesia sebelum konflik-konflik
besar atas tanah ini diselesaikan dan sebelum ada mekanisme untuk menghormati hak-
hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, dan dengan demikian dapat menghindari
munculnya konflik tanah lebih lanjut.

12. Kelompok Rentan: Perempuan, buruh paksa dan anak-anak

Umum: Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dampak-dampak perkebunan


kelapa sawit terhadap perempuan dapat mencakup (1) meningkatnya curah waktu dan
upaya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga akibat hilangnya akses atas air bersih
dan memadai dan bahan bakar kayu serta meningkatnya biaya kesehatan akibat
hilangnya tanaman obat-obat dari lahan perkarangan dan hutan. (2) hilangnya pangan
dan pendapatan dari kebun perkarangan rumah dan lahan tanaman kebun lainnya; (3)
hilangnya pengetahuan asli dan sistem sosial budaya; dan (4) meningkatnya kekerasan
rumah tangga terhadap perempuan dan anak-anak akibat meningkatnya tekanan
ekonomi.18

Contoh-contoh kondisi dari kelompok rentan terkait dengan sektor kelapa sawit adalah:

• Diperkirakan antara 40,000 dan 50,000 anak-anak pekerja migran tanpa status warga
negara di perkebunan kelapa sawit di Sarawak dan Sabah19.

18
Pemaparan Powerpoint dalam seminar nasional tentang dampak makro bahan bakar nabati oleh Dr. Ir.
Hertomo Heroe, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 12 Agustus 2009, Jakarta.
19
http://www.necf.org.my/newsmaster.cfm?&menuid=45&parentid=144&action=view&retrieveid=978;
Populasi migrant Sabah diperkirakan berkisar dari 600,000 sampai 1.7 juta (November 2007). Hubungan
politis dan ikatan sejarah telah menciptakan masalah pendatang ilegal di Sabah. Tidak memiliki
dokumentasi yang sah dan tidak ada akses peluang pendidikan, anak-anak tanpa status warga negara
sedang menghadapi masa depan yang suram. Sebagian besar lahir di Sabah dan menjadi anak jalanan
ketika orang tua mereka dideportasi.

12
• Istri dan anak-anak pekerja perkebunan membantu para suami dan ayah mereka
untuk mencapai target kewajiban produksi akibat sanksi, tetapi kerja mereka tidak
pernah diperhitungkan dan tidak mendapatkan manfaat kerja atau jaminan
keselamatan.
• Kasus-kasus perdagangan manusia dimana perempuan dilacurkan dan eksploitasi
seksual terkait dalam perkebunan kelapa sawit.
• Kemiskinan dan kriminalisasi terkait dengan sektor kelapa sawit dalam kasus ketika
individu yang kehilangan tanah dan sumber penghidupan mereka dikiriminalkan
karena memungut berondolan sawit dari perkebunan.

Strategi KBD dan investasinya dalam sektor kelapa sawit harus memasukan tindakan
keberpihakan untuk mendukung kelompok-kelompok rentan tersebut.

13. Mengamankan Habitat Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan Habitat Kritis:

Umum: Standar Kinerja IFC No. 6 mengacu pada perlunya mengidentifikasi dan
melindungi ‘habitat kritis’ sementara Prinsip dan Kriteria RSPO melarang pembukaan
daerah yang penting untuk kelangsungan ‘Nilai Konservasi Tinggi’..

Strategi KBD perlu menjelaskan bagaimana merujukkan gagasan-gagasan ini secara


prosedural dan setiap kontradiksi perlu dikaji secara cermat, didiskusikan dan dicari
pemecahannya lewat cara yang dapat diterima. Kami mendesak agar perhatian khusus
diberikan atas identifikasi dan perlindungan daerah yang memiliki nilai sosial tinggi
seperti daerah yang memberikan jasa lingkungan penting (HCV3), daerah yang penting
bagi sumber penghidupan setempat (HCV5) dan penting bagi identitas budaya (HCV6).

Indonesia: Sebuah studi baru-baru ini telah menunjukkan bahwa perusahaan anggota
RSPO yang beroperasi di Indonesia telah gagal untuk mengamankan daerah dengan
NKT yang terletak dalam konsesi mereka karena daerah dengan NKT yang belum
ditanami yang terletak dalam konsesi mereka telah dialokasikan oleh pejabat setempat
kepada perusahaan lain untuk dibuka dan/atau perusahaan anggota RSPO secara rutin
mengembalikan daerah dengan NKT kepada pemerintah, yang tidak memiliki
perundang-undangan dan prosedur yang memadai untuk melindungi daerah-daerah
tersebut.20 Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi hukum dan
prosedural standar RSPO tidak akan efektif untuk melindungi daerah dengan NKT di
Indonesia. Di bulan Nopember 2010, Dewan RSPO akan melakukan pertemuan dengan
Kelompok Kerja Ad-Hoc RSPO untuk Daerah Bernilai Konservasi Tinggi dengan
mandat untuk menjajaki reformasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengamankan
daerah dengan nilai konservasi tinggi lewat pelibatan multi stakeholder.

Strategi KBD harus mengusulkan pelibatan sistematik di Indonesia untuk memastikan


bahwa daerah dengan nilai konservasi tinggi (atau ‘habitat kritis’ jika pengertiannya
sama) dilindungi secara efektif oleh undang-undang dan dalam praktek, sebagai pra
kondisi untuk perpanjangan investasi di sektor ini. Sebelum adanya reformasi itu, KDB
sebaiknya tidak mendanai pembangunan kelapa sawit di Indonesia karena sistem yang
ada saat ini tidak mampu melindungi daerah-daerah tersebut secara efektif.
20
Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the
RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High
Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA,
SawitWatch and Wils Asia, Moreton-in-Marsh.

13
14. Kurangnya kapasitas penegakan hukum dan lemahnya tata kelola:

Umum: Ada perbedaan yang jelas namun penting yang harus dibuat antara keberadaan
undang-undang dan peraturan dengan penegakannya secara efektif.

Strategi KBD perlu memastikan adanya pendekatan bertahap sehingga reformasi hokum
dan procedural dilengkapi oleh langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas
penegakan hukum, sebelum investasi lebih lanjut dilakukan di sektor ini.

Indonesia: Undang-undang dan peraturan sudah ada di Indonesia yang ditujukan untuk
melindungi lingkungan dan mencegah pembukaan lahan dan penggunaan api secara
illegal, melindungi daerah pinggiran sungai dan yang mewajibkan perusahaan untuk
melakukan analisa dampak lingkungan dan menerapkan langkah mitigasi. Namun,
peninjauan kembali di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran terus menerus atas
standar-standar ini oleh perusahaan kelapa sawit, termasuk perusahaan anggota RSPO
yang sedang mengajukan sertifikasi.21

Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain meliputi:

• Penggunaan api secara illegal dalam pembukaan hutan


• Pembukaan hutan sebelum ijin didapat
• Pembukaan hutan dan penanaman sebelum AMDAL diselesaikan dan/atau disetujui
• Membuka perkebunan tanpa ijin (HGU)
• Pembukaan daerah tepian sungai secara illegal
• Penanaman secara illegal di lahan gambut dalam
• Pembukaan hutan dan penanaman kelapa sawit di luar derah konsesi
• Tidak membayar pajak
• Tidak memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan atau pemegang hak adat
• Tidak mengalokasikan lahan untuk petani kecil22

Mengingat pola pelanggaran undang-undang yang meluas dan kurangnya kapasitas


penegakan hukum, Strategi KBD untuk Indonesia perlu memprioritaskan reformasi
hukum dan peningkatan kapasitas penegakan hukum. Hanya setelah kajian independen
menunjukkan bahwa reformasi-reformasi tersebut telah dijalankan dan kapasitas
penegakan hukum telah berhasil ditingkatkan barulah pembicaraan tentang investasi
lebih lanjut di sektor ini dapat dilakukan.

15. Tidak ada penaatan aturan hukum

21
Lihat contoh: Milieudefensie, Lembaga Gemawan and KONTAK Rakyat Borneo, 2007, Policy,
Practice, Pride and Prejudice: review of legal, environmental and social practices of oil palm plantation
companies of the Wilmar Group in Sambas District, West Kalimantan (Indonesia), Milieudefensie
(Friends of the Earth Netherlands), Amsterdam.
22
Lihat juga: John McCarthy and Zahari Zen, 2010, Regulating the Oil Palm Boom: Assessing the
Effectiveness of Environmental Governance Approaches to Agro-industrial Pollution in Indonesia, Law
and Policy 32(1):153-179.

14
Umum: Salah satu keprihatinan utama di banyak negara adalah bahwa meskipun ada
undang-undang yang melindungi hak masyarakat dan lingkungan, masyarakat dan NGO
tidak mampu melawan lembaga negara dan perusahaan swasta karena tidak adanya
akses kepada hukum.

Indonesia: Masalah ini khususnya merupakan masalah akut di Indonesia di mana


berbagai kajian independen, termasuk oleh Bank Dunia, dan juga oleh lembaga negara,
telah mendokumentasikan masalah serius dalam prosedur peradilan dan pengadilan
kriminal di Indonesia. Tidak hanya kurangnya independensi pengadilan namun juga
terdapat bukti-bukti yang banyak akan tindak korupsi. Studi-studi belakangan ini telah
menarik perhatian khusus pada masalah ‘Politcally Exposed Persons’ yang
menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Dalam konteks ini, masyarakat
dan masyarakat adat yang dilanggar hak-haknya dan dirampas tanahnya oleh perusahaan
kelapa sawit tidak mendapatkan bantuan hukum.

Strategi KBD untuk sektor minyak sawit harus menghadapi permasalahan-permasalahan


ini.

Apabila terjadi kontradiksi antara standar KBD dan hukum dan peraturan nasional, KBD
harus mengikuti standar yang paling berpihak terhadap masyarakat korban.

16. Masalah yang dihadapi petani kecil

Umum: Kebijakan pembangunan kelapa sawit nasional umumnya berpihak kepada


perusahaan besar dan, meskipun dalam teori kebijakan-kebijakan ini bersifat netral,
economies of scale umumnya menguntungkan dominasi sektor ini oleh perkebunan dan
pabrik-pabrik besar. Selain itu, fakta bahwa buah kelapa sawit harus diproses dalam 48
jam setelah masak untuk mendapatkan hasil yang baik amat membatasi opsi pemasaran
independen petani kecil.

Strategi KBD harus mengadopsi pendekatan yang jelas yang berpihak pada petani kecil
dan bukannya perusahaan besar dan pendekatan yang dapat menjamin:

• Pilihan tanaman
• Kontrol petani atas tanah dan modal
• ketentuan dukungan yang tidak menyimpang
• Dukungan pasar yang memadai
• Fasilitas kredit dan penetapan harga yang transparan dan adil
• Kebebasan untuk berorganisasi

Indonesia: Kondisi petani kecil di Indonesia telah diketahui amat problematik. Menurut
beberapa survey lapangan serta kesaksian petani di berbagai pertemuan RSPO, petani
kecil di Indonesia mengalami kerugian dari:

• Hubungan monopsonik (cuma ada satu pembeli) dengan pabrik setempat


• Alokasi lahan untuk petani kecil yang tidak adil
• Proses penetapan status tanah yang tidak transparan
• Hutang yang banyak dan dimanipulasi

15
• Penetapan harga yang tidak adil
• Kerja untuk melunasi hutang.

Studi-studi belakangan ini menunjukkan semakin besarnya kesenjangan antara kaya dan
miskin di daerah petani kecil terutama di Sumatra.23

Perombakan besar-besaran dalam sektor petani kecil perlu dilakukan sebelum kerangka
kerja yang dapat menjamin hasil pembangunan yang baik untuk petani kecil dapat
diciptakan.

17. Tanggung jawab iklim:

Umum: Pembukaan hutan yang meluas, pembakaran hutan dan pembukaan dan
pengeringandrainase lahan gambut merupakan kontributor utama perubahan iklim global
(terdapat perkiraan yang berbeda-beda namun umumnya menunjukkan angka 16%
sampai 30% emisi gas rumah kaca berasal dari perubahan tata guna lahan). Ekspansi
sektor kelapa sawit besar-besaran beberapa tahun belakangan ini telah menjadi salah
satu penyebab utama emisi ini.

Saat ini baik Standar Kinerja IFC dan Prinsip dan Kriteria RSPO tidak mencantumkan
upaya perlindungan yang memadai dan tidak pula mensyaratkan penggunaan
metodologi yang kredibel untuk membatasi emisi-emisi ini. Upaya untuk
menginterasikan metode dan perlindungan seperti itu ke dalam Prinsip dan Kriteria
RSPO ditolak mentah-mentah oleh industri Malaysia dan Indonesia di tahun 2009.24

Strategi KBD perlu melarang perluasan kebun kelapa sawit di daerah-daerah yang
digolongkan sebagai hutan dan perlu melarang penanaman di lahan gambut. Suatu
prosedur yang efektif dan kredibel perlu dikembangkan untuk menyaring kebijakan
pemanfaatan lahan nasional, menjamin adanya audit karbon dan menghindari
‘kebocoran’.

Indonesia: Di Indonesia, perluasan kelapa sawit umumnya terjadi di daerah yang


digolongkan sebagai hutan dan antara sepertiga dan setengah dari rencana perluasan
kelapa sawit akan dilakukan di lahan gambut dalam. Sampai 80% emisi CO2 Indonesia
berasal dari perubahan peruntukan lahan, dan konversi hutan dan drainase lahan gambut
merupakan penyebab utamanya. Tidak ada kontrol procedural dan hokum yang
memadai untuk memberantas perluasan ini dan kebijakan nasional sendiri pada
hakikatnya bertentangan, di satu sisi berpihak pada perluasan perkebunan kelapa sawit
secara cepat untuk keperluan bahan bakar nabati dan minyak goreng, di sisi lain teikat
pada komitmen untuk mengurangi emisi CO2e secara signifikan.

KBD sebaiknya tidak terlbat di sektor kelapa sawit di Indonesia sebelum ada kebijakan
nasional yang kredibel yang melarang penanaman kelapa sawit, dan pembukaan
perkebunan monokultur besar di atas lahan gambut, dan yang melarang pembukaan
hutan.

23
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8534031.stm
24
Meskipun demikian, sejak saat itu perusahaan anggota RSPO telah membuat komitmen publik bahwa
mereka akan menghindari pembukaan hutan dan penanaman di lahan gambut di luar persyaratan RSPO.

16
18. Kedaulatan pangan:

Umum: Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Pangan telah menyatakan
keprihatinannya bahwa ekspansi bahan bakar nabati telah membawa risiko besar
terhadap keamanan pangan.

Indonesia: Dalam pertemuan khusus Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Pangan
yang diselenggarakan di Kuala Lumpur di bulan Maret 2010, ekspansi kelapa sawit di
Indonesia untuk ekspor minyak goreng dan untuk produksi bahan bakar nabati menjadi
fokus beberapa pengajuan keberatan. Terdapat keprihatinan yang semakin besar di
Indonesia bahwa kelapa sawit terus diperluas dengan mengorbankan keamanan pangan,
akan menggantikan pangan subsisten, yang kemudian memperlemah kedaulatan dan
tanaman pangan setempat dan telah berkontribusi atas lonjakan harga pangan.

Strategi KBD tentang kelapa sawit perlu mengembangkan metode yang kredibel untuk
menjamin bahwa tidak ada investasi bahan bakar nabati/minyak sawit menggantikan
sumber pengidupan, tanaman pangan atau meningkatkan harga makanan pokok.

19. Menelusuri Rantai Penyalur:

Umum: Audit yang dilakukan tim audit menemukan bahwa Standar Kinerja IFC
diterapkan pada seluruh rantai penawaran. Jadi, dalam kasus konkrit yang diadukan, tim
audit menemukan bahwa dalam investasi IFC di pabrik pengolahan kelapa sawit di
Ukraina (Delta Wilmar), dan fasilitas perdagangan kelapa sawit di Singapura (Wilmar
International), staf IFC seharusnya menerapkan Standar Kinerja IFC pada sumber-
sumber penawaran/suplai kelapa sawit.

Strategi IFC untuk investasi kelapa sawit harus menjamin penerapan Standar Kinerja
IFC pada seluruh rantai penyalur secara penuh. Prosedur yang sama perlu dikembangkan
untuk IBRD/IDA.

Hal ini merupakan tantangan bagi KBD. Kelapa sawit merupakan komoditas yang
diperdagangkan secara internasional di ‘spot market’ (pasar di mana barang yang dibeli
atau dijual langsung atau segera dikirim) dan juga merupakan salah satu turunan dari
‘pasar masa depan’. Para pembeli dipasar-pasar ini nyaris tidak memiliki cara untuk
mengetahui dari mana sumber kelapa sawit yang mereka beli.

Konkritnya, Wilmar Group, anggota Dewan RSPO, merupakan konglomerasi yang


terintegrasi secara vertikal yang tidak hanya merupakan penjual kelapa sawit nomor satu
dunia namun juga pemilik pabrik pengolahan, penyulingan, pelabuhan dan gudang
penyimpanan, pabrik kelapa sawit dan ratusan ribu hektar kebun kelapa sawit di tiga
benua dan di banyak negara. Wilmar memperkirakan hanya 30% dari kelapa sawit yang
diperdagangkannya yang berasal dari kebun miliknya sendiri, sisanya berasal dari
berbagai pemasok lewat pasar-pasar ini. Sampai saat ini, perusahaan tersebut belum
mampu mengajukan mekanisme uji tuntas yang sesuai di mana Standar Kinerja IFC dan
Prinsip dan Kriteria RSPO dapat diterapkan pada 70% kelapa sawit yang
diperdagangkannya.

17
Sebelum dan kecuali ditemukan sarana yang kredibel yang memungkinkan kelapa sawit
ditelusuri sumbernya dan jaminan atas penerapan Standar Kinerja IFC dan Kebijakan
Operasional Bank Dunia dalam seluruh rantai penyedia, Strategi KBD sebaiknya tidak
mendanai perdagangan besar, penyulingan, pemrosesan dan ‘produk hilir’ dari pemasok
utama.

20. Kesimpulan keseluruhan: menuju pendanaan sektor kelapa sawit yang


bertanggung jawab dan bertanggung gugat

Kesimpulan kami dari apa yang dinyatakan di atas adalah bahwa saat ini, dikarenakan
kurangnya tanggung jawab dan mekanisme untuk penelusuran rantai penawaran, KBD
selayaknya hanya menanamkan investasi pada produsen lokal, terutama produksi petani
kecil.

Secara khas, IFC cenderung untuk bekerja dengan perusahaan besar lewat pengucuran
kredit besar, investasi besar-besaran atau jaminan kredit. Untuk benar-benar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan terlibat dalam realita lokal, Strategi KBD
perlu mempromosikan model identifikasi dan pendanaan alternatif yang dapat
memungkinkan pengucuran dana yang tidak terlalu besar untuk produsen lokal. Perlu
adanya diskusi berulang bersama kelompok masyarakat sipil untuk menjajaki bagaimana
hal ini dapat dicapai dalam praktek.

Di Indonesia dan di Sarawak, khususnya, hambatan hukum dan prosedural terhadap


praktek yang baik dari dan sesuai dengan Standar Kinerja IFC/IBRD OPs dan P&C
RSPO saat ini begitu besar sehingga pertama-tama perlu adanya reformasi hukum dan
prosedural sebelum investasi dapat dijalankan dengan layak. Revisi Strategi KBD harus
menyelesaikan persoalan tata kelola, kendala hukum dan kelembagaan agar jelas,
sampai reformasi hukum dan prosedural terjadi, KBD tidak akan menanamkan modal
dalam di sektor kelapa sawit di daerah-daerah ini.

Masih banyak peninjauan kembali atas sektor ini dan atas masalah hukum yang
dibutuhkan sebelum sebuah Strategi yang jelas dapat dikembangkan dengan baseline
yang kredibel dan dalam sebuah kerangka kerja hukum, kebijakan dan kelembagaan
yang berkerja dengan baik.

Sektor industri minyak sawit jelas membuktikan berbagai permasalahan sistemik


investasi KBD tetapi sektor ini bukan merupakan satu-satunya sektor dimana investasi
KBD telah berdampak buruk terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu,
kami merekomendasikan KBD tanpa menunda, segera melakukan peninjauan sektor
lainnya dimana KBD telah investasi dan sedang merencanakan investasi termasuk sektor
hutan tanaman industri, pertambangan, bendungan dan energi, dengan menggunakan
proses yang iteratif, partisipatif dan mendalam.

Disampaikan oleh:

Forest Peoples Programme


Sawit Watch

18
Lembaga Gemawan
Scale Up
Lestari Negri, Provinsi Riau
Serikat Tani Serumpun Damai (STSD), Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat
SAD Kelompok 113 Sungai Bahar, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi
DebtWatch Indonesia
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Jaringan kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
ELAW Indonesia
Setara, Jambi
Yayasan PADI Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur

Didukung oleh:

1. Nordin, Save Our Borneo, Provinsi Kalimantan Tengah


2. Rivanni Noor, CAPPA
3. Hendi Blasius Candra, WALHI Kalimantan Barat
4. Andi Kiki, Individu
5. Korinna Horta, Ph.D., Urgewald, Germany
6. Nasahar, Dewan AMAN NTB
7. Jelson Garcia, Asia Program Manager, Bank Information Center
8. Erwin Usman, WALHI Eksekutif Nasional/Ketua Badan Pengurus Nasional Koalisi
Anti Utang-KAU)
9. Victor Mambor, Koordinator PJIK Foker LSM Papua
10. Dadang Sudardja, Aliansi Rakyat Untuk Citarum – ARUM
11. Rebecca Tarbotton, Executive Director (Acting), Rainforest Action Network
12. M. Zulficar Mochtar, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia
13. Virginia Ifeadiro, Nigeria
14. Titi Soentoro, Manila
15. Hisma Kahman, Individu
16. Kamardi, Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, AMAN
17. Natalie Bridgeman, Accountability Counsel, USA
18. Dedi Ratih, WALHI Eksekutif Nasional
19. Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Barat
20. Among, KRuHA
21. Bustar Maitar, Forest Campaign, Team Leader, GREENPEACE South-east Asia
22. Tri Wibowo, individu
23. Anuradha Mittal, the Oakland Institute, Oakland, CA, USA
24. Molly Clinehens, International Accountability Project
25. Yon Thayrun, Executive Editor, Voice of Human Right Media
26. Kristen Genovese, Senior Attorney, Center for International Environmental Law
27. Edy Subahani, POKKER SHK, Kalimantan Tengah
28. Nasution Camang, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah
29. Ibrahim A. Hafid, Institut Transformasi Lokal (INSTAL)
30. Rizal Mahfud, Individu
31. Sirajuddin, Ketua BPH AMAN Sulawesi Selatan
32. Mahir Takaka, Wakil Sekretaris Jendral, AMAN
33. Haitami, Pengurus AMAN Bengkulu
34. Suryati Simanjuntak, KSPPM Parapat, Sumatra Utara

19
35. Arifin Saleh, Pengurus AMAN
36. Shaban Stiawan, Individu, Kalimantan Barat
37. Fien Jarangga, Individu, Papua
38. Frida Klasin, Individu, Papua
39. Anike Th Sabami, Individu, Papua
40. Bernadetha Mahuse, Individu, Papua
41. Bata Manurun, BPH Wilayah AMAN Tana Luwu
42. Irsyadul Halim, Kaliptra Sumatera, Riau
43. Don K. Marut, Direktur Eksekutif INFID
44. Arie Rompas, Walhi Kalimantan Tengah
45. Ahmad SJA, PADI Indonesia, Balikpapan, Kalimantan Timur
46. Thomas Wanly, Sampit, Kalimantan Tengah
47. Datuk Usman Gumanti, Ketua BPH AMAN Wilayah Jambi
48. Itan, Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah
49. Chabibullah, Serikat Tani Merdeka (SeTAM)
50. Asmuni, Sekretaris Jendral, SPKS Paser, Kalimantan Timur
51. Jazuri, Sekretaris Jendral, SPKS Tanjabar
52. Lamhot Sihotang, Sekretaris Jenrdal, SPKS Rokan Hulu Riau
53. Zuki, Sekretaris Jendral, SPKS Kabupaten Sekadau
54. Riko Kurniawan, Perkumpulan Elang Riau
55. Rano Rahman, Yayasan Betang Borneo, Kalimantan Tengah
56. Risma Umar, Solidaritas Perempuan (SP), Jakarta
57. Abdi Hayat, PERKUMPULAN SERABUT (SEKOLAH RAKYAT BUTUNI)
58. Mohammad Djauhari, Koordinator KpSHK, Bogor
59. Diana Gultom, Debtwatch Indonesia
60. Suzanne Jasper, First Peoples Human Rights Coalition, United States of America.
61. Jaya Nofyandry, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan, Jambi
62. Jason Pan, TARA-Ping Pu, Taiwan
63. Thaifa Herizal, ST, Direktur Eksekutif, Atjeh Int'l Development
64. Hegar Wahyu Hidayat, Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan
65. Fabby Tumiwa, Institute for Essential Services Reform (IeSR)
66. Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan
67. Giorgio Budi Indrarto, Koordinator, Indonesia Civil Society Forum on Climate
Justice
68. The Environment and Conservation Organisations of Aotearoa/NZ
69. Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan
70. Leonardus Bagus, lPPSLH purwokerto
71. Chandra, WALHI Riau
72. Heny Soelistyowati, Program Manager - Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
73. Agung Wardana, Nottingham
74. Haryanto, Belitung
75. M. Ali Akbar, Eknas WALHI
76. Mardiyah Chamim, Tempo Institute
77. Tandiono Bawor Purbaya, PHR Perkumpulan Huma
78. Arif Munandar, WALHI Jambi
79. Wirendro Sumargo, Forest Watch Indonesia
80. TM Zulfikar, individu
81. Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif WALHI Riau
82. Ida Zubaidah, Direktur, Wahana peduli Perempuan Jambi/WPPJ
83. Ismet Soelaiman, Direktur, WALHI MALUT

20
84. Koesnadi Wirasapoetra, Sekretaris Jendral, Sarekat Hijau Indonesia
85. Teddy Hardiyansyah, Kabut Riau
86. Edo Rakhman, Direktur WALHI Sulawesi Utara
87. Asman Saelan, LBH Buton Raya
88. Wilianita Selviana, Direktur WALHI Sulawesi Tengah
89. R. Yando Zakaria, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria./KARSA, Yogyakarta
90. Adrian Banie Lasimbang, President, Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS)/
Indigenous Peoples’ Network of Malaysia
91. Ramananda Wangkheirakpam, North East Peoples Alliance, North East India
92. Joan Carling, Asia Indigenous Peoples Pact, Thailand
93. Sandra Moniaga, Jakarta, Indonesia
94. Muliadi SE, Diretktur PETAK DANUM Kalimantan Tengah
95. Idham Arsyad, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
96. Mukri Friatna, Eksekutif Nasional WALHI
97. Sanday Gauntlett, PIPEC (Pacific Indigenous Peoples Environment Coalition)
98. Rizki Anggriana Arimbi, Deputi WALHI Sulawesi Selatan
99. Javier M. Claparols, Director, Ecological Society of the Philippines
100. Agustinus Agus, LBBT, Pontianak
101. Endah Karyani, individu
102. Happy Hendrawan, Komunitas Transformatif Kalimantan Barat
103. Maharani Caroline, Direktur, YLBHI - LBH Manado
104. Budi Karyawan, AMAN-NTB
105. Taufiqul Mujib, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
106. Giring, Perkumpulan Pancur Kasih, Pontianak, Kalimantan Barat
107. Hironimus Pala, Yayasan Tananua Flores Ende NTT
108. Philipus Kami, JAGAT, NTT
109. Nikolaus Rima, AMATT Ende, NTT
110. Agus Sarwono,TiLe, Individu
111. Dickson Aritonang, Yayasan Ulayat Bengkulu
112. Mina Susana Setra, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
113. Alma Adventa, PhD, University of Manchester, UK
114. Marianne Klute, Watch Indonesia!, Jerman
115. Aidil Fitri, Yayasan Wahana Bumi Hijau - Sumatera Selatan, Indonesia
116. Anja Lillegraven, Rainforest Foundation Norway (RFN)
117. Judith Mayer, Ph.D., Coordinator, The Borneo Project, Earth Island Institute
118. Septer Manufandu, Forum Kerjasama LSM di Tanah Papua
119. Andik Hardiyanto, The Indonesian Social and Economic Rights Action Network
120. Hartono, WALHI Sulawesi Utara
121. Stephanie Fried, `Ulu Foundation
122. Sarah Lery Mboik, Individu (Anggota DPD RI Daerah Pemilihan NTT)
123. Julia Kam, Pontianak-Indonesia
124. Jupran Abbasri, Ketua Lembage Jurai Tue-Semende
125. Agapitus, AMAN Kalimantan Barat
126. Sainal Abidin, Perkumpulan WALLACEA Palopo
127. Macx Binur, Belantara Papua-Sorong
128. Sri Hartini, Walhi Kalimantan Barat
129. Ecologistas en Acción (Spain)
130. Muhammad Juaini, GEMA ALAM NTB
131. Budi Arianto, Banda Aceh, Indonesia
132. Solihin, Individu

21
133. Aylian Shiau, Kahabu Culture and Education Association of Nantou County
134. Sultan Darampa, Sulawesi Channel
135. Thomas Irawan Sihombing, Perkumpulan KABAN, KalBar
136. Yohanes RJ, Sintang, Kalbar Indonesia

22

Anda mungkin juga menyukai