Filsafat Feminisme
By aurelgiggsy
Filsafat Feminisme
1. Pengantar
Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang menekankan
pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti
kaum pria. Singkatnya, bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan. Menurut
para filsuf feminis, gagasan mendasar mengenai Allah, dunia dan manusia dibangun atas
dasar konsep patriarkal (dari bahasa Latin, pater: bapa). Akibatnya, peranan perempuan
kurang diperlihatkan bahkan tidak jarang dirugikan. Peranan dan perjuangan perempuan
justru dikuasai dan diukur dari konsep patriarkal. Karena itulah, para filsuf feminis
bermaksud merombak kembali gagasan-gagasan mendasar yang menjadikan perempuan
berkedudukan seperti itu.
Kemunculan filsafat feminisme memang kerap dikaitkan dengan terbitnya buku Simone
de Beauvoir berjudul The Second Sex (terbit tahun 1949). Jauh sebelum karya ini terbit,
pembedaan peran pria dan wanita itu sendiri sudah tampak pada pemikiran Plato dan
Phytagoras. Tapi, pemikiran para filsuf Yunani tersebut tidak seradikal Simone de
Beauvoir. Plato, misalnya, hanya menggagas perbedaan fisik antara pria dan wanita.
Terlepas dari itu, Plato mengatakan baik pria dan wanita dapat dan mampu melaksanakan
fungsi yang sama sebagai manusia seutuhnya dalam suatu masyarakat. Sementara
Simone de Beauvoir mengangkat perbedaan fisik ini ke tataran ontologis dengan
mengatakan “One is not born, but rather becomes a woman. No biological,
psychological, or economic fate determines the figure that the human female presents in
society; it is civilisation as a whole that produces this creature, intermediate between
male and eunuch, which is described as feminine”[1]. Pendekatan inilah yang barangkali
memicu kelahiran gerakan feminisme untuk menafsirkan kembali peran dan fungsi
perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik sampai pada bidang agama.
Makalah ini sendiri tidak akan membahas seluruh sepak terjang para filsuf feminis,
melainkan hanya mengambil 3 tokoh saja yang kiranya mewakili apa yang menjadi
pergulatan pemikiran mereka dalam bidang agama. Pembahasan pemikiran mereka
tersebut akan disajikan di bawah ini.
Pusat pemikiran Daly terletak pada usaha reinterpretasi feminis atas konsep sentral
teologi termasuk tentang eksistensi manusia dan Allah. Fokus perhatian Daly pada
gagasan mengenai Allah hendak mengatakan kaitan erat antara pondasi struktur sosial
dan legitimasi patriarkal yang berdasar pada ciri maskulin Allah. Poin inilah yang hendak
dibongkar oleh Daly. Dengan kata lain, ia hendak membebaskan teologi dari fungsi
legitimasi patriarkis dan menampilkan proses menjadi manusia dalam arti sepenuhnya.
Pembebasan lantas menjadi kata kunci bagi pemikiran Daly. Baginya, untuk menjadi
manusia seutuhnya, kemampuan untuk menamai diri sendiri, dunia dan Allah haruslah
ada dalam diri manusia. Tapi, kemampuan atau kekuatan untuk menamai inilah yang
hilang atau dicabut secara paksa dari diri perempuan. Karena itu, pembebasan bahasa dan
konsep dari kontrol patriarkis pada saat yang sama merupakan pembebasan wanita.
Untuk tujuan tersebut, usaha pembebasan pertama ditujukan pada gagasan Allah sebagai
Bapa.
Gagasan Allah sebagai Bapa merupakan gagasan maskulin yang tidak mengikutsertakan
pengalaman wanita di dalamnya. Jika Allah sebagai laki-laki di surga mengatur umatNya,
maka itu sesuai dengan rencana ilahi bahwa masyarakat diatur atau dipimpin oleh kaum
pria. Atau sebagaimana yang diungkapkan Daly, “Jika Allah itu pria, maka pria itu
Allah”. Konsep seperti ini jelas menindas wanita. Karena alasan inilah, Daly
mengungkapkan cara yang ia sebut perubahan imajinasi kolektif yang dikaitkannya
dalam bidang bahasa untuk mengubah gambaran Allah seperti itu. Allah sebagai Bapa
pada dasarnya hanya merupakan penamaan. Tapi, penamaan demikian justru berakibat
pada penentuan kualitas manusia secara artificial khususnya kepada perempuan dalam
hidup bermasyarakat. Batasan-batasan epistemologis, ekonomis, politis, sosial dan lain-
lain lantas dibangun di antara pria dan wanita. Batasan demikian menjadikan perempuan
mendapat stereotipe yang pasif, tidak melawan, emosi, dan sebagainya. Untuk
membongkar gagasan Allah seperti itu, Daly mengambil alih pendekatan
eksistensialisme. Dengan paham ini, ia memaksudkan keberanian untuk menghadapi
pengalaman apa pun juga termasuk pengalaman akan ketiadaan. Pengalaman-pengalaman
manusiawi inilah yang menurut Daly dapat menghantar pada pengakuan dimensi
ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya. Pengakuan dimensi sosial
dimaksudkan untuk membongkar tatanan patriarkal tersebut. Namun, pertanyaan yang
muncul kemudian adalah pendekatan eksistensial ini apakah memberikan tempat bagi
Allah padahal gagasan mengenai Allah sebagai Bapa ini yang menjadi tujuan utama
Daly?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Daly meninggalkan sebagian besar tradisi Kristiani
dan menggantikan pembicaraan mengenai Allah dengan pembicaraan mengenai
perempuan itu sendiri. Pergantian ini tidak berarti penyingkiran total atas Allah.
Eksistensi mendasar manusia tetap membutuhkan transendensi terakhir, yakni Allah.
Hanya Allah yang dipahami oleh Daly adalah Allah sebagai kata kerja, bukan sebagai
‘Allah yang duduk dan menghakimi’. Konsep Allah sebagai demikian jelas dapat
memberi suatu kekuatan bagi manusia, khususnya bagi perempuan, untuk berproses
menjadi manusia seutuhnya. Kata lainnya, proses menjadi manusia yang utuh berarti
berpartisipasi dalam dinamika kekuatan adanya Allah.
Upaya Daly untuk membebaskan perempuan dalam agama Kristiani rupanya menemui
halangan. Ia menyadari bahwa Kristianitas itu sendiri sudah terikat oleh tradisi patriarkal
sehingga akomodasi perempuan di dalamnya justru mengakibatkan kekerasan terhadap
perempuan itu sendiri. Struktur patriarkal dianggap sebagai pondasi semua agama besar
di dunia. Itulah mengapa dalam karyanya yang ketiga, ia meninggalkan Kristianitas dan
gagasan mengenai Allah sebagaimana dijelaskannya dalam karya-karya sebelumnya.
Gagasan Allah digantinya dengan konsep ke-allah-an. Dengan kata lain, Daly menjadikan
gagasan ini lebih abstrak untuk memberi ruang bagi penegasan adanya wanita. Tapi,
upaya ini justru menghilangkan perbedaan antara pria dan wanita. Allah, dengan kata
lain, merupakan inkarnasi wanita itu sendiri
1. Sally McFague
Pendekatan filsafat feminis Sally McFague dalam bidang agama dapat ditemukan dalam
karyanya yang berjudul Metaphorical Theology: Models of God in Religius Language
(1982). Dari judul buku ini setidaknya dapat diketahui arah pembicaraan Sally mengenai
Allah. Ia berupaya menguraikan apa yang sesungguhnya disebut sebagai bahasa religius
dalam hubungannya dengan pengalaman menjadi wanita. Karena itu, Sally pertama-tama
hendak menerapkan pandangan feminis pada tradisi. Tradisi apa? Tradisi Kristiani yang
sudah dibalut oleh bentuk patriarkal. Menurutnya, ungkapan dasar agama Kristiani adalah
pembebasan, bukan patriarkal.
Dewasa ini apa yang disebutnya bahasa religius sudah kehilangan makna dan relevansi.
Bahasa yang seharusnya dipakai dalam konteks ibadah justru melupakan jarak antara
dunia ini dan realitas ilahi. Konsekuensi ini mengalir pada apa yang disebut dengan
konteks interpretatif. Konteks itu mau mengatakan bahwa seseorang yang berbicara
mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan kultural. Ini berarti bahwa
pluralitas konteks interpretatif tidak dihargai lantaran bahasa demikian menyingkirkan
manusia berdasar pada kelas, ras atau seks. Menurut Sally, para femimis pada umumnya
sepakat bahwa manusia dilahirkan ke dalam dunia yang telah bersifat linguistik ini dan
mereka yang menamai dunia inilah yang mengendalikannya. Persoalan yang dihadapi
para feminis bukan hanya bahwa Allah itu bersifat maskulin tapi bahwa bentuk-bentuk
patriarkal menjadi layar atau latar belakang di mana semua relasi antara diri dan Allah,
diri dan orang lain dapat dilihat. Bagaimana ini dapat terjadi?
Sally melihat bahwa persoalan ini merupakan akibat dari pemahaman Gereja di abad
pertengahan yang mengemukakan analogi ada. Namun, setelah reformasi Protestan relasi
antara simbol dan referensinya (analogi ada, red) menjadi lenyap. Relasi ini digantikan
oleh bahasa metaforis yang dilihat Sally terdapat dalam tradisi Protestan namun memiliki
akar dalam tradisi Katolik. Menurutnya, metafora inilah yang bisa digunakan untuk
berbiara mengenai relasi Allah dan manusia dalam konteks dewasa ini. Mengapa
metafora? Karena metafora menemukan kemiripan dalam ketidakmiripan. Metafora itu
menggoncang, membawa perbedaan dan meruntuhkan kebiasaan. Tapi, metafora dalam
dirinya sendiri tidak mencukupi. Bagi Sally, harus ada distingsi antara bahasa religius
metaforis dan konseptual. Distingsi ini diperlukan supaya menghindari pemberhalaan
terhadap bahasa religius metaforis tersebut. Hal ini misalnya dapat dilihat dari gambaran
Allah sebagai Bapa. Ungkapan (metafora) ini menyingkirkan cara berpikir dan berbicara
yang lain. Karena itulah bahasa religius metaforis perlu ditransisi ke bahasa konseptual
supaya pengalaman perempuan dapat diikutsertakan dalam relasi Allah dan manusia.
Poin inilah yang disebut Sally sebagai ungkapan dasar Kristianitas yang membebaskan.
Pembebasan ini bukan semata pembebasan dari kekuasaan laki-laki melainkan juga
pembebasan dari batasan kebiasaan (tradisi) serta harapan bagaimana seharusnya dunia
ini berhubungan dengan Allah. Pembebasan ini tercapai melalui cara berada yang baru
dalam hubungannya dengan yang ilahi dan yang dicirikan oleh cinta tanpa syarat.
Penekanan Sally di sini terletak pada relasi Allah dengan manusia bukan usaha
menggambarkan Allah. Tiap pengalaman manusia akan yang ilahi pada dasarnya mau
mengatakan relasi yang membebaskan. Manusia memang membutuhkan bahasa
metaforis dan menurut Sally Allah sebagai Sahabat pantas menjadi ungkapan yang sangat
penting dan bermakna. Gambaran ini mengungkapkan maturitas dan mutualitas serta
sekaligus mengungkapkan juga relasi di antara manusia baik usia, seks, warna, agama
dan menerima perbedaan baik sebagai individual, bangsa dan kebudayaan. Dengan kata
lain, ungkapan Allah sebagai Sahabat ini memiliki tendensi imanental yang kuat yang di
dalamnya kita tidak lagi berada di bawahNya melainkan berada dalam Allah.
Tokoh ini adalah seorang Perancis yang beraliran post-strukturalis. Pemikirannya lebih
tertuju kepada kritik subjek rasional. Menurutnya, konsep subjek manusia sejak Plato
sampai Freud selalu berkaitan dengan konsep maskulin yang membangun dan
menginterpretasikan dunia ini. Karena itu, kaum perempuan kerap digambarkan sebagai
warga kelas dua di bawah kaum pria. Namun, maksud Luce Irigaray bukanlah
menyamakan diri dengan pria dalam kekuatannya dengan mengabaikan perbedaan yang
ada. Justru ia hendak berkata bahwa kaum maskulin tidak lagi dapat membatasi segala
hal dan menetapkan segala nilai. Tekanan pada perbedaan menuntun Luce berbeda dari
para pemikir feminis lainnya yang menekankan kesamaan politis dan hak-hak wanita.
Bagi Luce, menuntut kesamaan sebagai wanita sesungguhnya merupakan suatu ungkapan
yang keliru atas persoalan yang sebenarnya. Mengapa? Karena hal tersebut
mengandaikan terminologi perbandingan, yakni kesamaan terhadap pria, gaji, kedudukan
publik, dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, tuntutan kesamaan justru
mengartikulasikan keinginan akan kekuasaan. Inilah yang hendak dihindari oleh Luce
Irigaray.
Wanita harus memiliki logikanya sendiri. Artinya, ketika logika berkaitan dengan
kebenaran, maka perbedaan dalam kesatuan, identitas diri, dan temporalitas haruslah
diperlihatkan. Logika demikian mengungkapkan esensi dan keseluruhan yang
menjadikan wanita mampu berada. Adanya wanita lantas berarti berada dalam apa yang
disebut Irigaray sebagai ‘wanita ilahi’. Subjektivitas manusia membutuhkan keilahian
agar menjadi bebas, otonomi dan berdaulat. Tapi, tradisi religiusitas barat tidak memiliki
keilahian yang mengakui perbedaan seksual ini. Itulah mengapa menurut Irigaray tujuan
wanita hanya berasal dari luar, yakni dari laki-laki yang merupakan cermin Allah.
Dengan kata lain, seluruh tujuan wanita pada dasarnya adalah menjadi pria (berproses
seperti adanya pria).
Tidak berada bersama Allah merupakan suatu kehilangan bagi wanita itu sendiri, bagi
komunitas serta barangkali juga bagi Allah. Wanita harus menggugat diskursus mengenai
Allah sebagaimana mereka menggugat diskursus mengenai subjek manusia. Mereka
harus mencari keilahian wanita yang tersembunyi yang akan membuat mereka bertumbuh
dan memenuhi dirinya sebagai seorang individual dan sebagai anggota komunitas.
Menurut Luce Irigaray, ini hanya dapat terjadi ketika terdapat seorang Allah yang
bergender feminim yang dapat memberikan horizon bagi proses wanita. Luce Irigaray
membuka sebuah kemungkinan dalam penjelasannya mengenai mistisisme wanita.
Pemikiran ini merupakan satu-satunya tempat dalam pemikiran barat di mana wanita
berbicara dan berbuat secara publik. Menurutnya, di sinilah cinta Allah menaklukkan
segalanya. Inkarnasi Allah karena itu dapat memberikan sumbangan kepada proses
wanita itu sendiri untuk menjadi apa yang disebutnya sebagai wanita ilahi.
Tema utama yang mendasari seluruh pergulatan filsafat feminisme adalah kekuasaan
kaum maskulin atas perempuan. Bagi para filsuf feminis, legitimasi kekuasaan itu
sesungguhnya tidak ada. Namun, struktur patriarkal telah menciptakannya sedemikian
rupa dalam konteks sosial, historis, dan kultural sehingga seolah-olah legitmasi itu tidak
dapat digugat lagi. Bahkan, legitimasi ini didasarkan pada landasan ontologis yang
mengakibatkan bukan saja kaum perempuan itu rendah tetapi juga mereka adalah warga
kelas dua. Penindasan, kekerasan, kerugian karena itu sangat dekat dengan golongan
perempuan. Untuk merubah ini semua, Mary Daly tidak ragu untuk langsung
mengarahkan kritknya pada konsep teologis Allah sebagai Bapa. Pendekatan utama yang
ia lakukan berdasarkan pada pendekatan paham eksistensialisme dengan maksud
menegaskan pengakuan dimensi ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi
sosialnya.
Rupanya pendekatan ini sudah mengandung benih penyamaan begitu saja karakter atau
sifat Allah dengan karakter atau sifat manusia dan dalam hal ini yang dimaksudkan
adalah perempuan. Akibatnya, dasar ontologis diletakkan Daly pada perempuan itu
sendiri. Inilah yang kemudian membawa Daly untuk mengubah konsep Allah menjadi ke-
Allah-an. Dengan kata lain, menjadikannya lebih abstrak supaya memberi ruang bagi
proses atau dinamika perempuan. Usaha ini berarti bahwa konsep Allah dijadikan
impersonal, bahkan sekedar sebagai konsep untuk proses transendensi kaum perempuan
itu sendiri. Hal ini mau mengatakan Allah tidak lain adalah inkarnasi wanita itu sendiri.
Mary Daly mengabaikan jarak antara realitas ilahi dan manusia. Poin inilah yang dilihat
oleh Sally McFague.
Dalam usaha mengatasi kesulitan yang ditinggalkan oleh Mary Daly, Sally menggarap
apa yang disebut sebagai teologi metaforis. Teologi metaforis berarti teologi yang
berdasar pada metafora bahasa religius sebagai pusat pemikirannya. Bahasa religius
sebagai sebuah bahasa harus memperhatikan pengalaman manusiawi terutama kaum
perempuan. Sally mengistilahkannya sebagai konteks interpretatif yang berarti bahwa
seseorang yang berbicara mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan
kultural. Konteks ini sekaligus memperlihatkan pula pluralitas atau keberagaman yang
ada. Di pihak lain, metafora sebagai metafora tidaklah mencukupi. Mengapa? Menurut
Sally, metafora dalam dirinya sendiri dapat menjadi berhala maka bahasa demikian perlu
ditransisi ke bahasa konseptual. Sayangnya, Sally tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan bahasa konseptual. Ia hanya mengandaikan bahasa konseptual
menampung juga pengalaman wanita. Apakah Sally memaksudkan konseptualisasi
bahasa lebih lanjut? Artinya, apakah konsep Allah sebagai Bapa adalah konsep yang
sungguh-sungguh dapat diaplikasikan dalam pengalaman wanita?
Sally sendiri memang mengajukan konsep Allah sebagai Sahabat. Tapi, apakah konsep
ini sendiri tidak jatuh dalam pemberhalaan? Artinya, konsep ini sebenarnya adalah suatu
ungkapan yang berdasar pada pengalaman konkret tapi diangkat sebagai model
penghayatan pengalaman religius. Lebih lanjut, konsep ini sendiri justru melupakan poin
transendensi Allah. Apa yang hendak ditolak oleh Sally, yakni pengabaian jarak antara
realitas ilahi dan manusia, malahan tanpa disadari masuk dalam pemikirannya mengenai
bahasa konseptual. Ia memang menolak dominasi linguistik kaum maskulin, tapi
penolakan ini menghantar pada satu pemberhalaan lainnya yang justru melupakan
transendensi Allah.
Pemikiran Irigaray mengenai logika demikian mempunyai konsekuensi lebih lanjut yakni
pengandaian adanya Allah yang bergender feminim. Inilah yang memungkinkan
pembicaraan mengenai mistisisme wanita. Tapi, pemikiran Irigaray tidaklah tanpa
kelemahan. Penekanannya pada mistisisme wanita justru melupakan dimensi praktis
kehidupan sosial kaum perempuan. Dengan kata lain, bagaimana bisa menjadi wanita
ilahi terlepas dari pengalaman konkret aktual. Secara tidak langsung, ini merupakan
akibat dari pemikiran post-strukturalis yang mengatakan kebenaran itu ada di balik
realitas ini. Memang Irigaray memaksudkan mistisisme praktis yang berarti menghayati
peran wanita dalam kehidupan sehari-hari, tapi hal ini dilakukan dalam kesendirian, lepas
dari dimensi sosialnya. Itulah mengapa pada akhirnya Irigaray mengatakan “woman exist
beyond what anyone may think of her”.
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun,
feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan
feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat
sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini
yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Umumnya,
gerakan ini membedakan apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender adalah
sesuatu yang bisa diubah, sementara seks merupakan sesuatu yang dari kodratnya tidak
pernah bisa dirubah. Meskipun demikian, gerakan feminisme tidak memisahkannya
hanya membedakan saja. Mengapa? Karena manusia selalu sudah terikat dengan jenis
kelamin dan konsep gendernya. Kesatuan seksualitas dan tubuh manusia tidak dapat
dipisahkan dari definisi diri sebagai individu. Dengan kata lain, status ontologis demikian
perlu diperlihatkan dengan jelas bukan justru mengidentifikasi individu berdasarkan pada
seksualitas.
Inilah poin yang menjadi kolaborasi filsafat dan feminisme. Hanya saja ketika kaum
perempuan memerlukan dasar ontologis yang terungkap dalam cara berpikir
epistemologi, metafisika, etika maupun estetika, dasar ontologis ini mensyaratkan
perbedaan namun tetap berada dalam kesetaraan. Implikasinya, apa yang disebut dengan
kebenaran tunggal itu tidak ada. Ketika kebenaran tunggal ini tidak ada, yang diajukan
kemudian adalah apa yang disebut sebagai saling keterhubungan. Poin inilah yang sering
disebut sebagai pengakuan akan adanya pluralitas. Artinya, bagaimana memahami cara
berada yang berbeda. Keberadaan kaum perempuan lantas dapat dipahami dengan cara
demikian.
Inilah beberapa kritik atau kelemahan yang bisa penulis lihat dari pemikiran filsafat
feminisme. Sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme tetaplah membutuhkan
logika, metodologi, objek, dan sebagainya. Dan sejauh filsafat feminisme memiliki
unsur-unsur demikian, filsafat ini tidaklah tanpa kelemahan.Bottom of Form
http://aurelgiggsy.wordpress.com/2009/08/19/filsafat-feminisme/