TINJAUAN PUSTAKA
berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah
alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan
WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan
sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi
adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sumberdaya manusia adalah semua potensi yang terdapat pada
manusia seperti akal pikiran, seni, dan keterampilan yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada
digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat
baik untuk saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang.
kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004). Selanjutnya
berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal yaitu: pemerataan dan keadilan sosial,
pada upaya:
1. Mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
masyarakat lokal;
lingkungan global.
serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang
minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi,
sumberdaya perikanan yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada Tabel
2.2.
Dimensi Indikator
• Volume dan nilai produksi.
• Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total
1. Ekonomi ekspor nasional).
• Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB.
• Pendapatan nelayan.
• Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan.
• Penyerapan tenaga kerja.
• Budaya kerja.
• Tingkat pendidikan.
2. Sosial
• Tingkat kesehatan.
• Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan (gender
distribution in decision making).
• Kependudukan (demography).
• Komposisi hasil tangkap.
• Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE).
• Kelimpahan relatif spesies target.
3. Ekologi • Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target.
• Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur tropik.
• Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat.
• Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan.
• Hak kepemilikan (property rights).
4. Governance • Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance regime).
• Transparansi dan partisipasi.
Sumber: Dahuri (2003).
Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip tadi yang dilaksanakan dalam kerangka
diatur mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 18 (Aritonang, 2006). Adapun bunyi
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan
alam lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam lainnya antar
sumberdaya lainnya.
alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Ayat 1: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
Ayat 2: Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah
b. Pengaturan administratif;
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dari 1/3 (sepertiga) dari
Ayat 5: Apabila wilayah laut antara 2 (dua) propinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama
jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) propinsi
1
tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh /3 (sepertiga) dari wilayah
Ayat 6: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku
Ayat 7: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pesisir selama ini masih dimasukkan dalam doktrin milik bersama (common
property), sehingga sering menjadi ajang perebutan bagi pihak-pihak yang ingin
of The Commons di mana kebebasan untuk menggunakan alam pada semua orang
akan membawa kita pada malapetaka (Hardin, 1968). Salah satu sifat yang menonjol
pemilikan sehingga menimbulkan gejala yang disebut dissipated resource rent, yaitu
yang optimal (Fauzi, 2005). Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik
bersama tersebut yakni: (1) Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi
secara ekonomi, (3) Kemiskinan nelayan, dan (4) Konflik antarpengguna sumberdaya
perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989).
wilayah pesisir adalah munculnya kondisi ekstrim yaitu pengkaplingan wilayah laut
potensi perikanan, dan membagi kekuasaan laut yang hanya bisa pulau-pulau besar,
padahal potensi pesisir bukan saja di bidang perikanan, tetapi masalah parawisata
Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (2006) bahwa pulau-pulau kecil
sehingga bersifat insuler, memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air
tanah atau air permukaan, rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun
akibat kegiatan manusia, memiliki spesifik endemik yang memiliki fungsi ekologi
pentingnya kelestarian. Sebagai contoh adalah pukat harimau (trawl) yang nyata juga
merusak masih saja ada yang menyatakan alat tangkap tersebut masih efektif dan
mampu menangkap ikan lebih banyak. Sehingga persoalan pukat harimau masih pro-
1980 telah diberlakukan namun hal tersebut tetap menjadi persoalan. Kepentingan
terus dilakukan, tetapi tetap saja bersifat merusak. Pada saat Pemerintah melarang
alat jenis pukat harimau (trawl) muncul alat tangkap lampara dasar, pukat ikan yang
sebenarnya cara kerja alat tangkap tersebut tidak ada bedanya seperti pukat harimau
(trawl). Padahal banyak alat tangkap nelayan tradisional yang dapat dimodifikasi.
Juga pada saat Pemerintah melarang operasi pukat harimau (trawl), Pemerintah
hutan secara besar-besaran untuk usaha tambak udang. Pembukaan tambak udang
tangkapan nelayan tradisional, sebab anak sungai (paluh) yang dulunya tempat
(JALA, 2007).
Menurut Bromley dan Cernea (1989), ada empat tipe pemilikan dan
tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana
cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Di Sulawesi Utara terdapat keempat tipe
pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut, namun yang dominan adalah tipe
sebagai open access property sehingga nelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap
ikan. Di Desa Tumbak dan Desa Biongko masyarakat menganggap sumberdaya ikan,
mangrove dan terumbu karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal
dari desa tersebut (Mancoro, 1997). Akan tetapi UU Pokok Perairan No. 6 Tahun
1996 dengan tegas menyatakan sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik
Pemerintah.
pesisir dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap milik Pemerintah.
regimes) ini mendorong timbulnya konflik pemanfaatan (user conflict) dan konflik
dengan penguasaan sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus
secara berkelanjutan, yaitu pertama, kesadaran yang ditunjukkan oleh pelaku akan
cenderung saling mengklaim hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan
tanggung jawab dari Pusat kepada Pemerintah yang ada di bawahnya. Dalam pustaka
bentuk, yaitu dekonsentrasi berarti penyerahan wewenang dan tanggung jawab dari
Pemerintah Pusat kepada lembaga atau instansi Pemerintah di daerah atau kepada unit
instansi Pusat yang berlokasi di daerah. Kedua delegasi, yaitu penyerahan sebagian
wewenang dan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari Pemerintah Pusat kepada
instansi atau staf pemerintah yang ada di daerah, namun setiap saat Pemerintah Pusat
tetap memiliki hak dan kuasa untuk menerima atau menolak keputusan yang diambil
hal spesial atau khusus dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Keempat
swastanisasi yaitu penyerahan tanggung jawab tugas tertentu dari Pemerintah Pusat
perusahaan swasta. Senada dengan hal di atas, Person, G A, Diny M.E. van Est dan
(co-management).
Kebijakan DKP tahun 2003 yang dikutip oleh Alikodra (2005) bahwa
hayati dan nonhayati, jasa lingkungan pesisir, sumberdaya binaan/buatan, dan tanah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, hak ulayat dan masyarakat adat,
hak pengelolaan perairan, dan berdasarkan kebiasaan serta hukum adat setempat.
proses koordinasi dan kerjasama antarberbagai sektor, secara terus menerus dan
dinamis;
2005).
MCRMP terfokus pada penguatan kapasitas daerah. Karena pada dasarnya lemahnya
Target akhirnya, jika kapasitas daerah sudah diperkuat, maka harus pula diikuti
sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan
erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan
maupun air tanah, dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan
lingkungan laut, dan aktivitas manusia (Alikodra, 2005). Alikodra (2005) juga
rangka memberikan bantuan teknis, pelatihan, data dan peralatan, serta fasilitasi, bagi
melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, dan berbagai konsultan
terpadu yang dikembangkan melalui MCRMP dapat dilihat pada Gambar 2.1.
prinsip ICM. Melalui cara ini, diharapkan dapat membantu instansi terkait dalam
wilayah pesisir, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, dan
• Alokasi ruang
• Pemilihan dan
penempatan ALOKASI RUANG
kegiatan DAN SUMBERADAYA
• Isu pengelolaan
RENSTRA PENGELOLAAN • Target kinerja
WILAYAH PESISIR • Organisasi/ lembaga
•Rencana kerja
untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu
pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et al., 1996;
Tujuan akhir dari ICM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka
secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan
dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur
essensial dari ICM adalah keterpaduan dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi
pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik
masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan
mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang
dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan
tahapan utama: (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan
(4) evaluasi (Cicin-Sain and Knect, 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan
potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian
ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta
ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan
pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil
merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa
penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan and one manegement serta
hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar
dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan
Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama
lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri (Alikodra, 2008). Perubahan atau
lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun
proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas maupun
laut lepas. Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan
mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama, yaitu perencanaan,
sistem informasi dalam pengolahan alam dan lingkungan berbasis ekosistem terpadu.
Agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang bertanggung jawab dapat dicapai
maka kualitas sumberdaya manusia baik sebagai pengelola langsung maupun sebagai
penentu kebijakan sudah sangat penting untuk ditingkatkan melalui (1) peningkatan
program pelatihan dan keterampilan secara rutin kepada masyarakat dan staf instansi
dalam hal pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang berkelanjutan misalnya sistem
dan teknologi penangkapan dan budidaya ikan; (2) peningkatan sarana dan prasarana
pendidikan termasuk tenaga guru; (3) peningkatan sarana dan prasarana kesehatan;
(4) peningkatan taraf hidup atau pendapatan masyarakat melalui penciptaan mata
pencaharian alternatif.
Strategis, diikuti dengan Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi.
Rencana Strategis disiapkan untuk wilayah yang luas seperti tingkat Provinsi; tetapi
pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dalam
rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi, terstruktur
(Bappedasu, 2007).
wawasan dan misi serta tujuan dan sasaran berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
pesisir, serta penetapan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan.
sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan
pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan tata cara yang ditetapkan.
seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1 bertujuan untuk mengenali tahap penting
sebelum dan tindak lanjut kegiatan perencanaan yang harus dilakukan. Piramid
Hirarki ICZM menciptakan tahapan pendekatan untuk perencanaan tetapi batas yang
logik untuk isi setiap dokumen perencanaan perlu untuk diidentifikasi secara jelas.
Penjelasan batas akan menghindari tumpang tindih yang tidak perlu dalam pekerjaan
Berdasarkan pada maksud Kepmen No. 10 Tahun 2002, tujuan dan isi setiap
Atlas: Atlas ditambahkan pada bagian atas hirarki ICZM karena telah disiapkan pada
sejumlah Propinsi MCRMP. Atlas adalah suatu kompilasi dan analisis data tahap
awal pada perencanaan strategis, dan harus meliputi seluruh kawasan pesisir propinsi.
Pada umumnya, kebanyakan Atlas menampilkan kompilasi data tabel dari sumber
sekunder seperti laporan penelitian, dinas sektoral dan biro statistik. Kontribusi yang
paling penting dari Atlas adalah analisis dan interpretasi kecendrungan dari data
wilayah pesisir dalam yurisdiksi satuan pemerintahan yang telah disiapkan oleh
sektor untuk pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas,
serta target pelaksanaan dan indikator yang tepat untuk memonitor rencana
Data runtun waktu (time-seri) dan analisa yang disediakan dalam Atlas dimaksudkan
untuk membantu identifikasi isu kunci yang akan dibahas sebagai bagian dari
Rencana Strategis. Namun, sumber dan metoda lain untuk mendapatkan informasi
digunakan, seperti panel ahli dan kelompok kontak. Rencana Strategis harus
mengarahkan aksi ke depan pada lokasi geografi yang sesuai. Rencana Zonasi ini
Rencana Strategis. Aspek penting Rencana Strategis dapat diringkas pada lampiran
pembenaran untuk skema zonasi. Bentuk nyata dari rencana zonasi dapat dilihat dari
keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana Tata Ruang Wilayah
perencanaan penggunaan lahan dan rancangan zonasi. Dalam lingkungan data yang
cukup, suatu pendekatan yang sama dapat digunakan untuk menyusun draft awal
zona ICZM. Namun, metoda alternatif yang kurang mengandalkan data (survei) dan
diinginkan lebih bermakna dan diterima oleh pengguna sumberdaya dan stakeholder
kunci lainnya. Metoda alternatif ini mempercayakan secara kuat pada teknik
fasilitasi kelompok stakeholder, dan lain-lain. Oleh karena rancangan zonasi tidak
proses tertentu. Proses untuk perbaikan rencana perlu digambarkan dalam Rencana
rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM), dan struktur dan
2007).
Rencana Aksi: Rencana Aksi (RA) adalah suatu mekanisme pendanaan bagi
pesisir terpadu (ICZM). Misalnya, jika suatu sub-zona telah ditargetkan terutama
Rencana Pembangunan Zona secara rinci harus disiapkan. Dalam Rencana Aksi,
Departemen Kelautan dan Perikanan, oleh karena budidaya pesisir adalah bagian dari
mandat Departemen Kelautan dan Perikanan. Kegiatan Rencana Aksi yang berkaitan
dengan ICZM berada di bawah semua instansi sektoral Pemerintah dalam suatu
jadwal dan anggaran untuk beberapa tahun (multi-year) yang terkoordinasi. Sebagian
perundangan, petunjuk pelaksanaan dan alat pengelolaan yang serupa lainnya, yang
Rencana Aksi tidak seharusnya meminta dinas sektoral untuk menganggarkan sumber
disiapkan untuk setiap zona atau sub-zona yang ditetapkan dalam Rencana Zonasi.
beberapa isu seperti daya dukung lingkungan, spesies dan teknologi budidaya yang
untuk penentuan jumlah dan persyaratan perizinan yang boleh dikeluarkan untuk
suatu areal. Persiapan Rencana Pembangunan Zona untuk seluruh zona atau sub-
zona yang dirancang sekarang ini tidak termasuk dalam ruang lingkup Program
untuk beberapa areal prioritas, utamanya sebagai bagian dari Rencana Aksi
(Bappedasu, 2007).
sebagai beberapa kegiatan normatif yang boleh atau tidak dilakukan dalam suatu
zona, mulai dari sistematik pengumpulan data dan informasi untuk pengembangan
strategi pada penciptaan kegiatan khusus untuk menghasilkan output yang diinginkan.
wilayah pesisir terpadu (ICZPM) mengindikasikan bahwa tujuan dan isi Rencana
dan pengawasan. Dalam sektor publik, hal ini adalah tanggung jawab instansi
berizin seperti tukang kayu, patri dan listrik memasangnya, implementasi fisik tidak
merancang visi pembangunan untuk suatu wilayah (dalam hal ini, wilayah
Dalam analogi ini, peranan dari konsultan teknik, yang bertanggung jawab
dalam pemilihan tukang secara individu dan pengawasan kegiatan mereka untuk
adalah sarana untuk mewujudkan visi yang telah dirancang untuk suatu wilayah
(Bappedasu, 2007).
alam. Tujuan utama dari Rencana Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM)
adalah untuk membentuk kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang
diperlukan untuk pembuatan keputusan secara terus menerus pada pengalokasian dan
Strategis, melalui suatu sistem terkordinasi dan transparan untuk peninjauan ulang
Tujuan dari pedoman ini adalah untuk menyediakan sumber informasi yang
Rencana 6 Dinas
Pembangunan Zona Kabupaten
masyarakat;
rencana ICZM;
pembangunan;
b. Catatan publik yang resmi cukup terawat dan dapat diakses misalnya
sebuah fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang sangat
penangkapan atau budidaya di laut dan ditempat yang masih dipengaruhi pasang surut
(Tarigan, 2000). Jadi bila ada yang menangkap ikan di tempat budidaya ikan seperti
tambak, kolam ikan dan di danau, sungai tidak termasuk nelayan. Selanjutnya
d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim tertentu saja aktif sebagai
nelayan.
dibagi atas:
a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari: nelayan jukung dan nelayan perahu
c. Nelayan berkapal motor menurut GT (gross ton) terdiri dari < 5 GT, 5 – 10 GT,
10 – 20 GT, 20 – 30 GT, 30 – 50 GT, 50 – 100 GT. 100 – 200 GT, 200 – 500
a. Nelayan Pemilik, yaitu pemilik perahu tak bermotor, pemilik kapal motor (toke).
b. Nelayan Juragan, yaitu pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten
kapal motor.
c. Nelayan Buruh, adalah pekerja menangkap ikan pada perahu motor atau pada
kapal motor.
masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik
secara ekonomi maupun politik, terutama nelayan yang digolongkan sebagai nelayan
musiman, nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor atau nelayan buruh.
Pada umumnya, 80% masyarakat pesisir masih dalam kondisi miskin dengan tingkat
pendidikannya yang rendah. Kemiskinan yang selalu menjadi trade mark bagi
masyarakat pesisir dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta
seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang
rendah, rentannya mereka terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang
Sutrisno (1988), Resusun (1985), Rizal (1985) dan Zulkifli (1989) menyatakan bahwa
faktor struktural ini juga sering kali menjadi alasan untuk timbulnya konflik pada
masyarakat pesisir yaitu konflik nelayan tradisional terhadap pemilik alat tangkap
modren seperti pukat harimau. Konflik itu terjadi karena pukat harimau melakukan
penyebab konflik adalah adanya penabrakan nelayan oleh pukat harimau. Menurut
catatan Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian nelayan ditabrak pukat harimau
dengan korban meninggal 5 orang, hilang 31 orang, sejak tahun 1993 sampai Juli
kemiskinan masyarakat pesisir pantai lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan
struktur, di mana masyarakat pesisir terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali
di satu pihak, miskin dan miskin sekali di lain pihak. Penelitian ini menunjukkan
Hampir sama atas dasar penelitian di atas Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat
Hampir sama dengan asumsi yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh
struktur, Resusun (1985) juga menemukan data bahwa masyarakat pesisir pantai
masyarakat yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu yang tidak punya modal
(nelayan kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal
(punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu sawi bagang atau pa’bagang atau
adanya struktur hubungan sosial yang khas pada masyarakat pesisir. Hubungan itu
adalah adanya ketidakseimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para
timbal balik (reciprocity). Walaupun sawi perlu sang punggawa sebagai sumber
lapangan kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi. Seorang punggawa akan
hubungan yang selalu merugikan sawi. Karena seringkali kerelaan punggawa untuk
meminjamkan uang kepada sawi berdasarkan motivasi agar sawi tetap berada
di lingkaran setan. Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalas dengan
jasa yang sangat berlebihan. Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh
Rizal (1985) di Desa Bari, Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa seorang istri
sawi mengerjakan apa saja di rumah isteri punggawa untuk membalas jasa punggawa
membantu suaminya. Sejalan dengan hal di atas di Propinsi Sumatera Utara hasil
pesisir juga telah dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa Bagan Deli, Kecamatan
Medan Labuhan, yang menyebutkan akibat struktur patron dan klien antara
pemborong dan nelayan, maka nelayan Desa Bagan Deli menjadi miskin. Sedangkan
pendekatan kultural telah dilakukan oleh Harahap (1992, 1993, 1994) yang
pesisir di tiga desa di Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut
rusaknya sumberdaya alam khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir) yaitu
(coastal zone) baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan
umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat
dan ekosistem laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah
pesisir memiliki dua macam batas (boundaries) yaitu: batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Untuk
garis pantai relatif mudah. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir
yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan, dengan
perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari suatu negara ke negara yang lain.
Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan,
pertemuan antara darat, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat laut seperti pasang surut,
angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosess alami yang terjadi
di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
1976).
sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut
Secara ekologis, batas ke arah laut dari suatu wilayah pesisir adalah mencakup
daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alamiah (seperti aliran air
tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti pencemaran dan
sedimentasi) yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah darat adalah
mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses laut, seperti jangkauan
pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Oleh karena itu, batas ke
pesisir, keadaan pasang surut dan gelombang, kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai),
mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antara habitat
tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan
ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
terhadap ekosistem pesisir. Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat
di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-
off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung
di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara
di perairan pesisir. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air
baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan
dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang) dan bahan
ramah lingkungan, yang berakibat timbulnya berbagai masalah lingkungan. Saat ini
kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan
perikanan yang dapat dilihat dari adanya fenomena over capacity. Fenomena over
perkembangan produksi (Fauzi, 2005). Selain masalah over capacity, masalah yang
menonjol adalah destruksi habitat. Dahuri (2003) menyatakan selain hal-hal di atas
permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir adalah penggunaan teknik dan peralatan
lingkungan disebabkan karena alat pengumpul ikan atau Fish Aggregating Devices
(FAD) digunakan untuk mengumpulkan ikan di daerah lepas pantai. Alat tersebut
di perairan dalam dan tidak berhubungan dengan karang atau daerah dasar yang
tetapi di perairan dangkal dan berhubungan dengan daerah dasar yang dangkal
(Dahuri, 2003).
dan pukat harimau dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang
sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan,
hal ini juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan
target. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun
(Dahuri, 2003). Pengeboman yang menggunakan bahan karbit (Ca2C) sebesar 0,5 kg
biasanya dilakukan pada daerah terumbu karang yang memiliki kedalaman lebih dari
15 meter. Pengaruh ledakan bom 0,5 kg pada radius tiga meter dapat menghancurkan
terumbu karang, sedangkan pada radius yang lebih besar dapat menyebabkan
laun ditutupi oleh algae (Cladophira spp.), sehingga rekolonisasinya akan berjalan
lambat, sebab kehadiran algae mengganggu proses penempelan larva karang batu
(planula) pada pecahan karang. Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat bahan
peledak biasanya didominasi oleh karang dari marga fungia dan bulu babi (Diadema
spp.).
jenis-jenis ikan karang yang diracun, seperti ikan hias (ornamental fish), kerapu
(Epinephelus spp.), napoleon (Chelinus), dan ikan sunu (Plectropoma sp.). Racun
tersebut dapat menyebabkan ikan mabuk dan kemudian mati lemas. Sedangkan
Menurut Dahuri (2003) pengoperasian pukat harimau adalah salah satu alat
penangkap ikan yang telah dilarang di wilayah perairan Indonesia. Namun, pada
kenyataannya masih banyak nelayan yang mengoperasikan alat tersebut. Data yang
disampaikan oleh Dahuri (2003) menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak
di Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Jambi, Pukat Tepi di Jawa Timur, Otok
di Jawa Barat, Trawl Mini di Kalimantan Timur, Payang Alit di Jawa Timur,
Lampung, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah, Jor Arad di Jawa Barat, dan
modifikasi pukat harimau ini disebut juga pukat ikan (PI) (Bappeda Sumatera Utara
kegiatan manusia di daratan, seperti kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga.
dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu industri, limbah cair pemukiman (sewage),
pertanian dan perikanan budi daya. Sedangkan jenis-jenis bahan pencemar utamanya
terdiri dari sedimen, unsur hara, logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme
dampak lanjutan yaitu persoalan sedimentasi, etrofikasi, anoxia, kesehatan umum dan
berat (Hg dan Cd) di Teluk Minamata, Jepang. Limbah logam tersebut telah dibuang
ke teluk Minamata sejak tahun 1940-an, tetapi dampaknya baru terdeteksi pada tahun
1960-an. Contoh kasus yang lain juga pernah terjadi di Indonesia yaitu berkaitan
dengan pembuangan air tambak udang yang dikelola secara intensif dan semi intensif
ke perairan pantai Utara Jawa yang berlangsung sejak tahun 1981. Namun, akibatnya
terhadap penurunan kualitas perairan baru dapat dirasakan pada tahun 1990-an, yang
spesies asing di dalam suatu ekosistem dapat menjadi pemangsa atau kompetitor bagi
spesies alami yang hidup pada habitat yang sama. Menurut Dahuri (2003), salah satu
sumber utama terjadinya introduksi spesies asing ke dalam kawasan pesisir adalah air
ballast kapal. Selain bahan abiotik, air limbah kapal juga mengandung bahan biotik.
bahwa di dalam air ballast pada setiap perjalanan kapal ditemukan lebih dari 50 jenis
spesies asing yang terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Bila air ballast tersebut
Selain itu, di dalam air ballast tersebut juga banyak dijumpai berbagai jenis bakteri,
virus, alga, cacing polychaeta, larva ikan dan moluska. Sebagai contoh adalah
masuknya spesies asing jenis krustasea Exopalemon styliferus yang berasal dari
udang, kerang, reptil dan mamalia. Detritus dari mangrove merupakan dasar
pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir. Penurunan luas hutan
mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Penyebab
utama hilangnya mangrove adalah antara lain: (a) konversi lahan mangrove untuk
tambak udang; (b) pengelolaan pertambakan tidak berwawasan lingkungan; (c) tidak
ada kebijakan yang jelas mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir
dampak terhadap (1) penurunan luas vegetasi mangrove; (2) penurunan kualitas air
terumbu karang; (3) penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting, kerang dan udang.
Pencemaran air merupakan salah satu masalah serius yang bisa mengganggu
pencemaran atau polutan di perairan pantai berasal dari kegiatan rumah tangga,
kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap sistem pengolahan limbah
cair yang masuk ke perairan umum; (2) kurang ketatnya pengawasan limbah oleh
instansi terkait; (3) belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang
melanggar isi dokumen Amdal dan peraturan perundangan yang berlaku (PP No. 27
pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang
lingkungan dan kualitas perairan pesisir; (b) menimbulkan bau yang tidak
(pariwisata) (Dahuri, 2003). Lebih lanjut Dahuri (2003) menyatakan penyebab utama
di daerah aliran sungai; (2) penambangan pasir di sepanjang aliran sungai; (3) curah
muara sungai dan alur pelayaran; kekeruhan air di muara sungai serta rusaknya
terumbu karang.
tidak hanya mencakup hal yang bersifat alami tetapi terkait juga dengan beberapa
kegiatan manusia. Intrusi air laut ke areal persawahan akibat konversi sawah jadi
dengan intrusi air laut dapat dipahami dan dicegah atau dikurangi dengan tindakan
relatif sederhana. Penyebab utama intrusi air laut adalah: (1) penebangan mangrove
untuk pemukiman; (2) masuknya air laut ke sawah; (3) eksploitasi air tanah yang
tanah dan korosi konstruksi bangunan pipa logam di bawah tanah (Dahuri, 2008).
global dan bencana alam. Menurut Dahuri (2003) dan Alikodra (2008), perubahan
iklim global terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi gas CO2 dan gas
lainnya yang dikenal dengan istilah gas rumah kaca. Dampak lanjutan dari
pemanasan global ini adalah mencairnya es yang ada di kutub, sehingga permukaan
laut naik, curah hujan berubah, salinitas menurun, dan sedimentasi meningkat
karang menurun drastis sebagai akibat peningkatan temperatur 1-20 C di atas normal
pada musim panas. Di Indonesia, pemutihan terumbu karang diakibatkan oleh arus
hangat dari Laut Cina Selatan yang mengalir melewati Kepulauan Riau, Laut Jawa,
Bencana alam, juga fenomena alam yang secara langsung maupun tidak
langsung berdampak negatif bagi lingkungan hayati pesisir. Bencana alam yang
sering terjadi di pesisir adalah kenaikan paras laut dan tsunami. Negara Jepang dan
Indonesia adalah negara yang paling sering terkena tsunami. Bencana alam ini
mengalami kerusakan lingkungan pesisir yang luar biasa besarnya karena tsunami
tahun 2004.
lembaga atau organisasi. Padahal pengertian institusi lebih dari itu. Definisi umum
mengenai institusi (kelembagaan) adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal
(hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain sebagainya) serta informal
(norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang
2005).
di mana konsep dan ide yang dibangun sukar dimplementasikan karena institusinya
ternyata tidak turut serta dikembangkan. Dalam kaitan di atas perlu membahas
sumberdaya manusia, fungsi dan peran pilot proyek dan berbagai contoh
permasalahan lingkungan hidup di wilayah pesisir, salah satu upaya yang dapat
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini menarik apa yang
Level, National Level, Regional (State of Provincial) Level, District Level, Sub
District Level (eg. Taluk in India or thana in Bangladesh), Locality Level, Household
2. Local government, yaitu badan perwakilan atau yang disetujui yang memiliki
sebagainya);
sebagainya.
perdagangan.
merupakan kontinum yang merentang dari sektor publik sampai sektor swasta.
karena merupakan bagian dari lembaga lainnya (Departemen Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah) yang mana mempunyai kekuatan hukum dan sumberdaya dibalik
organizations tetapi orang ini tidak sekaligus dianggap sebagai klien atau pelanggan
dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan aktivitas organisasi (Uphoof, 1986).
Hampir sama dengan hal di atas (Alikodra, 2006) menyatakan bahwa institusi
lingkungan terdiri dari berbagai organisasi yang ada. Lembaga formal yang
norma dan nilai sosial, termasuk kerangka kerja (framework) politik, program
lingkungan, pola komunikasi dan gerakan sosial. Selanjutnya Alikodra (2006) juga
kompleks di antara tiga variabel yaitu individu, organisasi, dan norma sosial.
Institutionalisasi merupakan proses di mana perilaku dan interaksi dari ketiga variabel
yang terkait dalam sistem institusi dipertegas, distandarisir, diperkuat, dan digerakkan
dalam suatu proses jangka panjang, sehingga terbentuk pola institusi sesuai dengan
institusi lingkungan yaitu suatu proses supra sektoral dan supramedia di mana
struktur institusi dibangun dalam suatu sistem interaksi dan hubungan diantara ketiga
struktur dalam suatu proses partisipasi yang terdiri dari empat komponen yaitu
kapasitas organisasi dan kelembagaan menjadi kuat dalam rangka mencapai tujuan
suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing capacity).
Sedangkan yang lain lebih merujuk pada contructing capacity, sebagai proses yang
organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan
Morison (dalam Karwono, 2008) melihat capacity building sebagai suatu proses
individu dan organisasi dan sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan
lingkungan yang ada. Artinya tahapan pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada
level individu, organisasi dan sistem. Pada level individu, pengembangan kapasitas
Pada level sistem, pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada aspek peraturan
di bawah ini.
perhatian pada dimensi: (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) penguatan
kelembagaan; dan (3) kemampuan kapital yang diwujudkan dalam bentuk dukungan
sumberdaya, sarana dan prasarana, atau pada kemampuan tiga dimensi yaitu
dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya dan gaya
organisasi, fungsi jaringan kerja dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan
tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas
pembangunan dan dukungan keuangan dan anggaran dan (5) lingkungan kegiatan
yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi dan kondisi yang berpengaruh
terhadap kinerja. Sementara itu, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi yaitu
(1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia) yaitu kualitas SDM dan cara SDM;
(2) modal (dimensi fisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan yang diperlukan dan
gedung dan (3) teknologi yaitu organisasi di mana gaya manajemen, fungsi
manajemen. Dan United Nations memusatkan perhatiannya kepada (1) mandate atau
organisasional dan teknis; dan (5) kemampuan fiskal lokal dan (6) kegiatan-kegiatan
harus mampu merubah mandat ataupun kebijakan yang dapat diterapkan dalam
institusi pembangunan saat ini yang diwarnai dengan eksploitasi dan mengutamakan
semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan
dalam hal ini artinya membahas komponen ekonomi maupun non ekonomi. Todaro
pemerataan; dan
sekarang ini menjadi populer seperti yang diungkapkan oleh Todaro (2000) yaitu:
produktivitas.
dihasilkan, tetapi juga lebih banyak jenis output daripada yang diproduksi
tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan dan
masa konsumsi besar-besaran. Kunci di antara tahapan ini adalah adalah tahap
tinggal landas yang didorong oleh satu sektor atau lebih (Budiman, 2000).
waktu yang panjang. Demikian pula dengan Budiman (2000) yang menyatakan
sendiri. Lebih dari itu, diantara pakar pun belum ada kesepakatan tentang
mencapai tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Berdasarkan definisi
dua hal: pertama adalah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang
hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat
yang bersangkutan. Kedua, adalah pilihan diantara cara alternatif yang efisien serta
yang mendalam dan melibatkan banyak pihak sehingga hasil yang diperoleh dan cara
memperoleh hasil itu dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini berarti perencanaan
sosial dan ekonomi (kedua hal tersebut termasuk dalam tujuan pembangunan) harus
pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara rasional
yang menghasilkan suatu atau beberapa kebijakan yang dapat dijadikan pedoman
pembangunan yang berkembang dalam komunitas politik pada saat itu. Hal ini pula
pendekatan secara top down dan bottom up. Pengertian top down dalam hal ini yaitu
dalam proses perencanaan. Sedangkan bottom up dalam hal ini yaitu, perencanaan
memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas baik dalam bentuk materi maupun non-
persamaan sebagai warga masyarakat dan bangsa. Semua hal tersebut menjadi beban
yang berat bagi elit Pemerintah untuk memimpin, mengarahkan dan membina
adalah suatu kegiatan yang kolosal, memakan waktu panjang, melibatkan seluruh
warga negara dan dunia internasional, dan menyerap hampir seluruh sumberdaya
negara bangsa. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan dikelola
sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang maha rumit. Seperti diketahui, istilah
pembangunan adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas,
negara berkembang.
efisien dan efektif dapat memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber
dan memperhitungkan beberapa unsur pokok, yaitu, tujuan akhir yang dikehendaki,
berbagai alternatif), jangka waktu mencapai sasaran tersebut, masalah yang dihadapi,
RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada
RPJP Nasional.
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya
kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala
Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan
Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif, serta RKPD
merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat
dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang
Menengah (RPJM) Daerah merupakan arah pembangunan yang ingin dicapai Daerah
dalam kurun waktu masa bakti Kepala Daerah terpilih yang disusun berdasarkan visi,
misi, dan program Kepala Daerah, di mana program dan kegiatan yang direncanakan
mendapatkan gambaran awal dari jabaran visi, misi, dan program Kepala
Daerah terpilih.
tugas dan fungsi SKPD, agar selaras dengan program prioritas Kepala Daerah
terpilih.
RPJM Daerah.
tugas dan fungsi hukum. Rancangan akhir RPJM Daerah beserta lampirannya