Anda di halaman 1dari 9

PENGANTAR ANTROPOLOGI DALAM

ARSITEKTUR

SIFAT DASAR MANUSIA INDONESIA


PADA WUJUD ARSITEKTURNYA

MASITA KUSUMA WARDANI


2008420159

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN


BANDUNG – 2010
PENDAHULUAN

Manusia Indonesia. Seperti apakah manusia indonesia? Mungkin sedikit


sulit untuk digambarkan, mengingat keragaman budaya Indonesia. Kita bisa
menyebutkan tipikal sifat manusia berdasaran sukunya (orang Jawa, orang
Sunda, orang Betawi, orang Batak, orang Manado, dll.), namun seperti apakah
sifat tipikal manusia Indonesia?
Mochtar Lubis pernah mencoba menyebutkan sifat-sifat manusia
Indonesia, yang sayangnya sepertinya lebih banyak menulis kekurangan
daripada kelebihan dari sifat manusia indonesia. Apakah berarti manusia
Indonesia memiliki sifat-sifat yang buruk? Padahal kita dulu dikenal sebagai
bangsa yang ramah, segala sesuatunya dikerjakan dengan gotong royong. Kini
sepertinya sifat-sifat tersebut semakin tidak terlihat.
Bagaimana dengan arsitektur? Dapatkah kita melihat sifat manusia dari
bentukan arsitekturnya? Karakter manusia tercermin dari ciptaannya.
Contohnya saja tulisan tangan. Seorang grafolog dapat menyebutkan sifat
seseorang dari gaya tulisan tangannya. Sedangkan arsitektur tentu hasil karya
manusia. Jadi bisa dibilang kita dapat menilai sifat manusia Indonesia dari
wujud arsitekturnya. Jika wujud arsitekturnya baik, berarti sifat manusia
Indonesia juga baik. Jika wujud arsitekturnya kurang baik? Bisa dibilang sifat
manusia Indonesia pun kurang baik. Tetapi dengan mengetahui kekurangan,
bukankah berarti dapat memperbaikinya dan menjadi lebih baik?
SIFAT-SIFAT DASAR MANUSIA INDONESIA

Manusia Indonesia mempercayai hal yang bersifat kosmologis.


Sejak dulu, manusia percaya akan keberadaan dewa atau tuhan. Terlihat dari
bentukan arsitekturnya, terutama rumah tradisional yang dibangun dengan
aturan-aturan yang harus ditaati. Di sejumlah daerah, rumah tradisional memiliki
tata letak berdasarkan arah mata angin ataupun berdasarkan geografis lahan
(misalnya gunung dan laut). Di Bali, dikenal konsep asta kosala kosali. Arah
gunung dianggap suci sedangkan arah ke laut dianggap tidak murni. Bagian
timur dianggap suci dan bagian barat dianggap kotor. Lumbung dan rumah adat
Batak Toba berorientasi utara-selatan. Pada rumah adat Batak Karo, pintu
muka dibuat menghadap hulu sungai. Sedangkan rumah Toraja berdasarkan
poros utara-selatan. Tempat paling keramat adalah bagian atas dinding muka

Konsep kaja-kelod pada penataan


Penataan rumah dan lumbung
bangunan di Bali
Batak Toba

Penataan perkampungan
Konsep kosmologis Toraja
Batak Karo
Sedangkan berdasarkan konsep vertikal, bagian atap adalah bagian
yang paling keramat yang biasa diasosiasikan dengan tempat dewa. Bagian
tengah merupakan tempat tinggal manusia, kemudian bagian bawah atau
kolong diasosiasikan dengan dunia kematian.

Pembagian kepala-badan-kaki bangunan

Di masa kini memang jarang orang membangun rumah tradisional,


namun mereka menganut tren yang lebih baru : feng shui. Aturan-aturan feng
shui ini bermacam-macam, tidak heran banyak ahli feng shui yang sering
diminta konsultasi dalam merancang bangunan. Sebelum membangun,
rancangan dicek dulu ukuran dan tata letak ruangannya, apakah akan
mendatangkan keuntungan atau kesialan. Jumlah anak tangga mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah, meniadakan lantai 4 pada bangunan, bangunan
tusuk sate memberi dampak buruk bagi penghuninya, dan masih banyak
kepercayaan lain yang masih dipegang oleh masyarakat. Salah satu contoh
yang menarik adalah pada Wisma Dharmala di Jakarta. Konon, bentuk Wisma
Dharmala yang ‘tajam’ melambangkan ‘shar’ atau ketidakharmonisan. Dalam
kasus ini, sudut Wisma Dharmala dianggap berpengaruh buruk terhadap
Menara Sampoerna Strategic yang berada di seberangnya. Dikatakan bahwa
Menara Sampoerna kehilangan penyewa karena energi negatif tersebut.
Kemudian untuk ‘menyembuhkan’ sudut tajam tersebut, ditambahkanlah
tanaman.

Kiri : contoh penerapan feng shui, pintu


masuk tidak boleh langsung menuju
pintu kamar mandi
Kanan : penambahan tanaman pada
Wisma Dharmala untuk memperbaiki
feng shui
Kepercayaan-kepercayaan tersebut sebaiknya tidak diterima mentah-
mentah. Sebenarnya ada logika di balik kepercayaan-kepercayaan tersebut,
tinggal bagaimana kita sebagai manusia yang bisa berpikir dengan logika bisa
memilah-milah mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak.
Adanya kepercayaan-kepercayaan tersebut sebenarnya
menunjukkan bahwa manusia Indonesia hidup selaras dengan alam.
Setidaknya manusia Indonesia lebih menyadari akan pentingnya orientasi utara-
timur-selatan-barat dalam membangun. Namun, seiring dengan perkembangan
teknologi, lama kelamaan kearifan lokal yang selama ini dianut semakin hilang.
Orang-orang membangun tanpa mempedulikan arah timur-barat. Bukaan dibuat
di segala arah tanpa adanya pelindung dari sinar matahari.

Rumah dengan bukaan kaca di


segala arah tanpa teritisan,
tanpa ventilasi

Manusia Indonesia memiliki sifat malas. Sifat malas ini terlihat dari
betapa seringnya muncul bangunan-bangunan yang terkesan di-copy-paste dari
luar negeri ke Indonesia. Mungkinkah para arsitek terlalu malas untuk
memikirkan bangunan yang cocok dengan Indonesia, sehingga asal menyontek
bangunan yang sudah ada kemudian memindahkannya ke Indonesia?
Contoh klasik adalah bangunan pencakar langit. Kebanyakan gedung
pencakar langit (atau mungkin hampir semuanya) memiliki bentuk yang sama –
kotak. Kemudian ditambah lagi dengan permukaan bangunan yang dibalut
dengan kaca, yang menimbulkan masalah panas dan pantulan cahaya.

Bangunan pencakar langit yang


ditutupi oleh kaca
Contoh lainnya adalah perumahan yang mencaplok gaya bangunan dari
luar negeri. Hebatnya lagi, hal ini menjadi sebuah tren. Sebut saja Kota Bunga
di Puncak, Kota Legenda Cibubur, Lippo Karawaci, Sentul City, dan masih
banyak lagi. Mereka berlomba-lomba menawarkan cluster baru yang dibuat
berdasarkan negara tertentu, sebut saja Jepang, Belanda, Inggris, Mediterania,
dll. Para calon pembeli tinggal memilih, semuanya tersedia.

Atas : vila di Kota Bunga Puncak, bergaya


Jepang
Kanan : rumah di perumahan Lippo
Karawaci, bergaya Mediteran

Kalau sudah begini, siapa yang salah? Entah pembeli yang memiliki
pandangan kalau bangunan dengan gaya tersebut adalah bangunan yang
bagus, developer yang mencekoki pikiran masyarakat bahwa bangunan gaya
tersebut adalah yang baik untuk masyarakat, atau justru arsiteknya yang
memiliki idealisme untuk menghadirkan bangunan dari seluruh dunia ke
Indonesia. Media pun turut memiliki peran dalam mempengaruhi cara pandang
masyarakat awam.
Fenomena tersebut juga menggambarkan bahwa manusia Indonesia
pesimis akan bangsanya sendiri. Hal-hal yang berbau Indonesia dianggap
ketinggalan zaman, tidak keren. Ada rasa ‘lebih’ ketika memiliki bangunan yang
menyerupai bangunan di negara maju. Hanya sebagian kecil saja yang mau
mengadaptasi arsitektur Indonesia.

Kiri : gereja bergaya klasik


ala negara-negara Eropa
Kanan : gereja yang
mengadaptasi arsitektur
panggung khas Indonesia
Padahal manusia Indonesia sebenarnya memiliki sifat rajin. Lihat
saja berbagai kerajian seni yang terlihat pada rumah tradisional, mulai dari
ukiran hingga lukisan. Dari asal katanya saja sudah ada unsur rajin = ke[rajin]
an. Lantas mengapa kini manusia indonesia berakhir menjadi manusia yang
malas? Bisa jadi karena sistem pendidikan yang hanya mencekoki pikiran para
siswa dengan teori tanpa mempertanyakan asal-usul teori tersebut. Sepanjang
hari yang dilakukan adalah memberikan catatan dan catatan, kemudian saat
ujian pun bahan yang diujikan semuanya terdapat di catatan. Pada akhirnya
kegiatan belajar menjadi sebatas menghapalkan catatan, pikiran menjadi
tumpul dan tidak kritis.

Manusia Indonesia peduli akan status sosial dan gengsi/prestise.


Lihat saja bangunan-bangunan berkesan mewah, perumahan mewah, mal-mal
megah, apartemen mewah, dll. Belum lagi promosi besar-besaran yang
dilakukan untuk memberi kesan bahwa hidup mewah adalah suatu prestasi
yang harus dicapai. Contohnya saja tayangan televisi yang ditayangkan secara
rutin oleh developer terkenal untuk mempromosikan produknya, tidak lupa
dengan presenter cantik dan kata-kata yang persuasif.
Manusia Indonesia merasa bangga apabila dapat tinggal di rumah
mewah ataupun apartemen mewah yang eksklusif, kemudian berbelanja di mal-
mal megah yang semakin memadati kota-kota besar. Manusia indonesia
dimanjakan dengan segala kemewahan itu. Gengsi mereka akan terangkat bila
keluar masuk bangunan yang sejuk dan nyaman tanpa harus mengalami
sumpek. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah hanya dapat menahan
panas di tengah teriknya kota besar. Meminjam istilah dari buku ‘Arsitektur
untuk Kemanusiaan’ karya Galih Widjil Pangarsa : AC-tektur, fenomena
munculnya bangunan-bangunan elit yang full-AC, yang hanya dapat dinikmati
masyarakat menengah-atas.

Menjamurnya pusat perbelanjaan mewah di kota-kota besar


Sifat ini pun sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Rumah ketua adat
atau ketua desa akan lebih besar dan mewah dibanding rumah masyarakat
biasa, begitu pula dengan kaum bangsawan. Hanya kaum bangsawan yang
boleh memiliki hiasan dan ornamen di rumahnya.
Sifat yang mengejar gengsi ini akhirnya akan membuat manusia
Indonesia menjadi egois, menumpulkan kepekaan sosial. Tetapi di sebagian
daerah kebersamaan masih kuat. Masih ada tradisi gotong royong untuk
membangun rumah. Contohnya di Desa Ngibikan, Bantul, Yogyakarta.
Pascagempa, warga membangun rumah mereka kembali bersama-sama
secara gotong royong.
Sebenarnya tradisi Indonesia sangat kental akan kebersamaan. Jika
seandainya setiap orang mengurangi sifat mengejar gengsi dan status sosial,
mungkin rasa kebersamaan akan tumbuh kembali.
PENUTUP

Tulisan ini saya susun berdasarkan hal-hal yang saya dapatkan selama
kuliah maupun membaca, jadi seluruhnya mungkin sudah pernah dijelaskan
oleh orang lain. Saya hanya mencoba menjelaskannya kembali dengan kata-
kata saya sendiri dan menanggapinya dari sudut pandang saya.
Sebagian besar sifat manusia Indonesia yang saya gambarkan dalam
tulisan ini mungkin terkesan negatif, namun saya juga mencoba melihat sisi
positif dari sifat-sifat manusia Indonesia yang terlihat dari bentukan
arsitekturnya. Mungkin karena saya juga manusia Indonesia, yang masih lebih
mudah melihat kekurangan daripada kelebihan. Setidaknya dengan mengetahui
kekurangan, kita dapat mencari solusi agar kekurangan itu dapat kita ubah
menjadi kelebihan, daripada tidak mengetahui sama sekali kekurangan kita dan
akhirnya tidak dapat mengubahnya menjadi kelebihan. Jika kita dapat
memperbaiki sifat kita, semoga saja wujud arsitektur kita menjadi lebih baik.
Sebagai tambahan, menurut saya bukan berarti semua manusia
Indonesia memiliki karakter yang digambarkan pada arsitekturnya seperti yang
telah saya tulis. Ada juga pihak hanya terima jadi, pasrah terhadap arsitek dan
pemilik bangunan. Memang mau tidak mau akan terjadi suatu generalisasi,
sebab sulit untuk merangkum sifat seluruh manusia Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku bangsa.

Anda mungkin juga menyukai