Anda di halaman 1dari 3

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh

Ibu-Ibu, Bapak-bapak, adik-adik dan hadirin sekalian yang saya muliakan.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah serta kesehatan kepada kita semua sehingga kita masih bisa menjalankan
ibadah puasa Ramadhan hingga memasuki hari yang ke 7 ini. Mudah-mudahan kita tetap diberi
kekuatan sehingga dapat menyelesaikan ibadah shaum Ramadhan ini sampai selesai dengan sebaik-
baiknya.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan suri tauladan kehidupan berahlak mulia kepada kita semua untuk mencapai ridha
Allah SWT.

Pada kesempatan ini ijinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah
puasa yang sedang kita jalani in.

Hadirin sekalian,

Assalamu’alaikum wr wb.
Asyhadualla ila hailallah waasyhaduana muhammadurosullah amaba’du
Dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan sedikit apa itu yang dimaksud dengan khusyu’
dalam sholat !
Khusyu’ dalam sholat adalah impian setiap Muslim. Keadaan semacam ini telah banyak diceritakan
dalam kisah-kisah inspiratif dari masa lampau yang mengundang decak kagum kita semua umat
muslim. Sebutlah misalnya tentang seorang sahabat Rasulullah saw. yang tubuhnya tertembus
panah, kemudian ia minta agar panah tersebut dicabut ketika ia sedang sholat saja. Ketika anak
panah itu dicabut, ia seolah tidak merasakan sakit sama sekali lantaran khusyu’ dalam sholatnya.
Gerangan kondisi semacam apakah khusyu’ itu sebenarnya? Apakah khusyu’ itu berarti tidak
memikirkan apa pun selain sholat? Atau apakah kita seharusnya tidak mempedulikan hal-hal
duniawi ketika sholat?
Anggapan bahwa orang yang sholat dengan khusyu’ hanya memfokuskan pikirannya pada satu
kegiatan (yaitu sholat) agaknya malah terbantahkan dengan berbagai teladan yang dilakukan sendiri
oleh Rasulullah saw. Beliau bahkan pernah melakukan sholat sambil mengasuh anaknya. Ketika
berdiri, anak itu digendongnya, dan ketika ruku’ atau sujud, anak itu pun diturunkannya. Tentu saja
hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membagi pikirannya ketika sholat. Di lain pihak, kita tidak
mungkin menuduh Rasulullah saw. telah melaksanakan sholat dengan tidak khusyu’. Kalau beliau
saja tidak khusyu’, lalu siapa yang bisa melakukannya?
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. juga pernah mempersingkat sholat berjamaah yang
dipimpinnya karena mendengar tangisan seorang anak. Beliau mempersingkat sholat karena sadar
bahwa sang ibu pastilah merasa khawatir karena mendengar tangisan anaknya. Artinya, beliau
sempat berpikir dan membuat keputusan penting ketika sedang melakukan sholat. Sekali lagi,
Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dalam hal sholat khusyu’. Hal ini tidak bisa dibantah oleh
siapa pun.
Jadi, bagaimanakah khusyu’ itu sebenarnya?
Memusatkan pikiran kepada satu hal dalam sholat agaknya tidaklah dimungkinkan. Sholat itu
sendiri terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan. Kita harus mengendalikan ucapan kita, membaca
doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an menurut aturan tertentu, dan hal itu pasti menuntut pembagian
konsentrasi. Demikian pula pengaturan gerakan pastilah memerlukan kesadaran yang cukup. Jika
kita melepaskan kesadaran dalam segala hal, maka barangkali sholat kita ini akan tampak seperti
tari-tarian orang yang menelan ekstasi atau orang yang sedang kesurupan. Tapi sholat tidak seperti
demikian. Sholat adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan secara teratur dengan penuh
kesadaran.
Dalam (Q.S. al-baqarah :45,46) diterangkan
45. Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
46. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Allah SWT sendiri mengatakan bahwa sholat itu berat (yang artinya memang seharusnya kita
merasa bahwa sholat itu adalah suatu ibadah yang cukup kompleks). Pada ayat ke-45 di atas, Allah
menegaskan bahwa hanya orang-orang yang khusyu’ sajalah yang bisa mendapatkan manfaat
terbesar dalam sholat. Dan ayat selanjutnya memberi kita informasi yang kita butuhkan untuk
memahami makna khusyu’ yang sebenarnya.
Cukup sederhana, ternyata. Mereka yang khusyu’ ditandai oleh sebuah sifat : yakin bahwa dirinya
akan menjumpai Allah yang maksudnya (dalam sholat) dan suatu hari nanti akan kembali kepada-
Nya. Kelihatannya Sederhana, tapi bukan perkara yang mudah untuk melakukan sholat khusyu’.
Hal ini kemudian membawa kita pada berbagai konsekuensi. Barangkali perlu dibuat berjilid-jilid
buku untuk menjabarkan keseluruhan konsekuensi dari khusyu’ tersebut. Yang jelas, mereka yang
khusyu’ ditandai oleh sikap khidmatnya yang luar biasa ketika sedang melaksanakan sholat, karena
mereka yakin bahwa mereka tengah ‘berjumpa’ dengan Rabb-nya, yaitu Dzat yang memiliki dirinya
dan menjadi satu-satunya tempat kembali untuknya kelak. Tentu saja masih banyak sikap lainnya
yang akan muncul di luar sholat sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, namun itu masalah lain
lagi.
Sekarang kita telah memiliki sedikit gambaran mengenai sikap khusyu’ dalam sholat. Konkretnya,
kita harus meyakini bahwa ketika sholat kita sedang menghadap Allah SWT, bukan yang lain.
Dengan demikian, kita harus mengatur setiap ucapan dan gerakan kita.
Sebagai perbandingan, anggaplah Anda sedang berbincang-bincang dengan seorang ulama yang paling Anda hormati.
Bagaimanakah sikap Anda? Tentu Anda akan mengatur ucapan Anda bukan?, khawatir kalau-kalau Anda akan
memberikan kesan buruk di hadapannya. Setiap kata yang mengalir dari mulut akan dipilih baik-baik dan diusahakan
terucap dengan sejelas mungkin. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lambat.
Bagaimana dengan bahasa tubuh Anda? Tentu saja Anda tidak akan bergerak serampangan. Anda tidak akan mengobrol
dengannya sekedar basa-basi. Anda tentu akan berbincang-bincang dengan sangat serius dan tidak membuat gerakan
yang tidak perlu. Anda tidak akan menggaruk-garuk ketiak di hadapan seseorang yang amat dihormati, bukan?
Sekarang refleksikanlah sikap tersebut dengan sholat Anda! Tentu saja Allah SWT jauh lebih mulia daripada ulama
mana pun, bahkan Dia-lah Yang Maha Mulia, tidak ada bandingannya dengan apa pun. Jika kita mengatur ucapan dan
gerak-gerik kita di hadapan seorang ulama, lebih-lebih lagi di hadapan Allah!
Kita berdiri tegak untuk sholat dengan postur yang sempurna layaknya prajurit yang akan
melaksanakan upacara bendera. Kita bersiap untuk melakukan sesuatu yang amat formal. Ketika
akan bertemu Allah SWT, tentu saja kita dituntut untuk mengatur sikap. Kita menundukkan wajah
kita, menatap ke arah sujud karena rasa takut dan khidmat kepada Allah. Kehadiran-Nya bisa
dirasakan di seluruh ruangan, bahkan seluruh alam berkhidmat kepada-Nya.
Kemudian mulailah kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram. Tidak perlu terburu-buru, tidak
perlu dilambat-lambatkan. Gunakanlah waktu secukupnya untuk tetap merasakan kehadiran-Nya.
Setelah itu, mulailah membaca surah Al-Fatihah dan seterusnya dengan tertib. Tidak boleh ada kata
yang salah terucap, huruf yang tidak jelas makhraj-nya, kalimat yang tidak jelas maknanya, bacaan
yang kita tidak mengerti maksudnya, dan penuturannya pun harus terlantun dengan indah bagaikan
lagu. Bahwa kita kita tengah berhadapan dengan Allah.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat tambahan, maka kita mulai melakukan
ruku’. Gerakan ini tidak dimulai jika bacaan kita belum selesai. Sebaliknya, bacaan ruku’ pun tidak
dilakukan sebelum kita benar-benar sampai pada posisi akhir ruku’ tersebut. Segalanya harus tertib
dan formal. Di hadapan kita ada Allah Yang Maha Melihat.
Selanjutnya, setiap gerakan dan bacaan harus dilakukan dengan tertib, tidak saling mengejar dan
memburu. Selesaikan sebuah gerakan, baru membaca doa. Selesaikan doa, baru melakukan gerakan
berikutnya. Tidak boleh ada overlap dalam sebuah ibadah formal. Ini tidak main-main. Demikian
seterusnya hingga akhirnya kita mengucapkan salam sebagai tanda selesainya ibadah sholat. Setiap
rukun sholat harus ditunaikan sebaik mungkin, serapi mungkin, dan tertib.
Demikian tadi adalah sedikit pamikiran tentang sholat khusyu
Barangkali sahabat Rasulullah saw yang tertusuk anak panah tadi juga merasa sakit ketika anak
panah itu dicabut dari tubuhnya ketika sholat. Hanya saja, ia begitu merasa takut di hadapan Allah
dan berusaha sedemikian kerasnya untuk bersikap tertib ketika sholat. Ia tidak berani untuk sekedar
mengaduh atau meringis kesakitan. Ia tahu persis bahwa sholat adalah ibadah yang bukan main-
main. Ini adalah ibadah yang serius.
Jadi marilah kita mengkoreksi diri kita masing-masing apakah sholat kita sudah bisa dikatakan
khusyu’ atau hanyalah sebuah rangkaian gerakan saja

Anda mungkin juga menyukai