Hakikatnya Tuhan menciptakan segala hal yang ada di muka bumi
ini berpasangan, demikian halnya dengan kekuasaan. Pada suatu ketika, pada jaman dimana aspek spiritualisme berada dalam tataran sangat kuat seperti yang seharusnya, maka aspek ini menjadi pasangan serasi bagi kekuasaan. Pada suatu ketika, seorang raja adalah kunci, tauladan, sumber inspirasi bahkan sumber keyakinan, raja hidup didampingi golongan yang mengusai aspek spiritual. Sehingga, pada jamannya, filsapat seorang raja adalah filsafat negara, agama raja adalah agama negara, agama seluruh rakyatnya, bahkan seluruh kekayaan negara adalah kekayaan raja. Kekuasaan adalah madu yang memabukkan, kekuasaan adalah candu yang membius rasa kemanusiaan, kekuasaan yang tertumpuk pada satu orang atau sekelompok orang, rentan menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan, itulah yang terjadi. Pelajaran pahit yang diderita masyarakat pada masa lampau, sebagai korban penindasan oleh idiologi kerajaan, keluarga kerajaan dan golongan bangsawan, ditambah dengan kemajuan perekonomian, kesejahteraan dan pendidikan ditingkat masyarakat diluar dua golongan tadi, memunculkan kesadaran dan keinginan atas pengakuan, terhadap hak-hak dasar menyangkut kepemilikan. Ayn Rand (1970), mengatakan, kapitalisme adalah ”a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”, memiliki arti ”sebuah sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu, termasuk hak milik, dimana semua bentuk kepemilikan adalah milik pribadi ”private”. Konsep ini tak lebih hanya sebuah kesimpulan atas perjalanan sejarah sekelompok manusia yang telah menguasai materi dalam jumlah sangat besar dari berbagai belahan dunia. Selebihnya adalah rumusan bentuk pemberontakan, yang muncul di masyarakat atas hak dasar “Manusia”, setelah evaluasi panjang sejarah, atas kegagalan sistem dan penghargaan “Manusia” dihadapan pola pemerintahan kerajaan atau monarki atau bahkan tirani dalam berbagai bentuk. Meskipun juga adalah fakta, bahwa konsep ini adalah inspirasi bagi sekelompok manusia lainnya dari berbagai belahan dunia, yang mulai mencapai tataran golongan ini. Seiring dengan bergulirnya jaman, pemerintahan monarki absolut runtuh satu demi satu, reruntuhan mereka hanya mensisakan serpihan kejayaan dalam bentuk sejarah. Sebagian monarki runtuh dan tersapu bersih, sehingga kekuasaan sepenuhnya beralih ketangan rakyat, dalam berbagai bentuk pemerintahan dan faham kenegaraan. Sebagian monarki lainnya karena kebanggaan masyarakatnya, kemudian mengalami transformasi dan mengikuti perubahan kondisi ekonomi, sosial budaya, serta kesadaran idiologi dan politik masyarakat, mereka bergulir menjadi monarki konstitusional. Sebuah monarki yang bersedia berbagi kekuasaan dengan masyarakat kebanyakan, bukan hanya sekedar dengan kroni dan antek dari golongan bangsawan. Dengan terjadinya pergeseran tatanan nilai kehidupan, dimana aspek nilai materi menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek nilai spiritual, terlebih hanya sekedar tatanan feodalisme monarki dan kebangsawanan, maka sadar atau tidak, pasangan kekuasaan telah bergeser, kini pasangan kekuasaan adalah materi, “golongan penguasa materi”. Dalam tataran nilai inilah, konsep “Kapitalisme” kemudian semakin kuat berkembang. Pemahaman akan kekuatan materi dalam simbol-simbolnya yang mampu membeli segalanya, bahkan kekuasaan dan hukum, telah mengubah paradigma berfikir, mereka kemudian disebut sebagai “Kaum Kapitalis”. Kaum Kapitalis menjelma menjadi sebuah kekuatan bayangan, yang jauh lebih kuat dan besar dari hanya sekedar kekuasaan negara. Kekuasaan golongan ini tidak dibatasi wilayah teritorial, kekuasaan mereka tidak bersandar pada satu hukum negara, mereka berkuasa hampir di seantero dunia. “Satu Dunia”, kilah mereka dalam berbagai slogan yang disamarkan, setiap teritorial negara adalah potensi, setiap hukum suatu negara adalah “manual book”, dalam mengeksploitasi sumber daya kekayaannya. Bagi kaum kapitalis, golongan nasionalis adalah ancaman yang lebih serius, dibandingkan segala macam terorisme, yang sesungguhnya hanya sekedar skenario permainan. Adalah juga fakta, selayaknya hukum Tuhan yang tidak dapat mereka lawan, betapapun sebagian dari mereka mengingkari keberadaan sesuatu yang disebut “Tuhan”, tidak ada yang yang sempurna di dunia ini, demikian hal-nya dengan kekuasaan mereka. Terdapat beberapa monarki dan beberapa sistem pemerintahan yang mereka benci, bagi kaum kapitalis pemerintahan jenis ini, lebih indah dikatakan sebagai monarki otokratis atau regim diktator. Bentuk- bentuk pemerintahan yang sulit mereka masuki dan kuasai sumberdaya alamnya. Mereka benci karena regim diktator sulit didikte, dan cenderung subjektif, faktor like and dislike menjadi sangat mengemuka dan menjadi penghalang atau penyakit bagi iklim usaha, dimana segala cara terbuka dikembangkan untuk meraup keuntungan. Sedangkan sistem monarki otokratis, sama sekali tidak memberikan ruang bagi kepemilikan saham atas usaha eksploitasi sumber daya alam, sesuatu yang sangat mereka impikan, padahal jika hal itu telah tercapai, sampai akhir hayat dunia ini, sepanjang usaha itu tetap berjalan, mereka akan tetap meraup keuntungan. Menghadapi regim diktator suatu negara, beberapa formula penggulingan kekuasaan relatif efektif bisa diterapkan untuk membodohi rakyatnya, selebihnya mereka tinggal membeli penguasa baru untuk memuluskan jalan penguasaan sumber daya / materi yang menjadi tujuan. Menjatuhkan sebuah kekuasaan monarki adalah hal lain yang lebih rumit, kepatuhan masyarakat terhadap raja, dan kuatnya budaya yang tercampur kental dengan keyakinan/agama, adalah hal lain lagi. Ditilik dari apa yang kini sedang bergulir di wilayah timur tengah dan afrika utara, wilayah nan kaya dengan sumberdaya alam, terutama minyak bumi yang diprediksi akan habis dalam hitungan beberapa abad kedepan. Maka pembodohan dan segala iming-iming atas kebebasan dan demokrasi terhadap rakyat di negara-negara tersebut, adalah sebuah tunggangan. Sebuah format skenario penggulingan kekuasaan, yang memungkinkan celah akan terbuka, entah dengan membeli penguasa baru yang akan muncul, atau dengan pengerahan kekuatan militer negara boneka seperti yang pernah dilakukan. Pada dasarnya, perang kepentingan ditingkat masyarakat negara objek yang mereka / “kaum kapitalis” picu, adalah bentuk-bentuk stimulan, dimana fakta dan data dapat mereka kumpulkan, sehingga titik keberpihakan dapat mereka tentukan. Mereka tidak akan peduli, pihak mana yang akan menang dari rakyat bodoh ini, yang terpenting bagi mereka sebagai raja-raja opportunis, adalah kesempatan yang terbuka untuk meraup untung di akhir cerita. Mereka adalah raja-raja opportunis, berbagi diantara sesama mereka adalah hal yang lumrah, hanya tinggal membagi porsi berdasarkan kesadaran akan tingkat keterlibatan. Jika kita kembalikan ke ranah Nasionalisme, sebagai bagian dari NKRI, pada posisi manapun kita berpijak, sudah sejauh manakah kita terperdaya, solusi seperti apakah yang patut dan telah kita rumuskan untuk mengambil dan merebut kembali, apa-apa yang telah mereka ambil dan curi. _JAYALAH NEGERIKU_