Ada Yang Menangis Sepanjang Hari...

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

Ada yang Menangis Sepanjang Hari…

Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah


kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para
warga pun tak terlalu peduli.

Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai
terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-
diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk
dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan.
Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.

”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!”

”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah
keterlaluan!”

”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.

”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena
suaminya mati dibakar kemaren.”

Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung
rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek,
seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar.
Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang
harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau
yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari
tangisan itu?

Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi
terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah
berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap
rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu.
Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti
suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang.
Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan
panjang yang mengiris malam.

Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling


memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi
mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu?

”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis,
tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga
sepakat mengadu pada Pak RT.

”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”
”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.

”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”

”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”

”Jadi kebawa pingin nangis…”

”Itu namanya mengganggu ketertiban!”

”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!”

Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW,
karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu
memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah
membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih
gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis
itu memang terdengar di seluruh kampung.

”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata
Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau
lapor Pak Lurah.”

***

Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu
terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis
itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu
makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada
kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis
penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena
penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-
menerus sepanjang hari.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak
Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis,
Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan
kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis
itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin
terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror
yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu
siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari…

Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus-
terusan menangis seperti itu.

”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…”

”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”


”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…”

”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan
tak ditemukan sampai kini…”

”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”

”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”

”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”

Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota
segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis
yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan
sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di
hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai
dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.

Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan
teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru
ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang
keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul
tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis
itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar.

Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis
yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika
melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang
mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang
mendengar sekan diiris-iris kesedihan.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.

Menteri yang lain hanya diam.

***

Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis
itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia
menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu
pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar
sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya
itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka
jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5
Milyar.

Mendadak istrinya sudah di sampingnya.

”Ada apa?”
”Saya seperti mendengar suara tangis…”

”Siapa?”

”Entahlah…”

”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan
mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”

Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.

***

Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara
bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor
lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang
bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan
cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu
hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun
mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.

Apakah kau dengar tangisan itu?

Agus Noor (Jakarta, 2007-2010 )

Anda mungkin juga menyukai