Anda di halaman 1dari 3

Revitalisasi Sistem Pembayaran Pajak

Kontribusi pajak terhadap APBN sudah tak dapat diperdebatkan lagi. Namun, dalam hal mutu
pelayanan pembayaran pajak, keluh kesah para wajib pajak (WP) tetap tak pernah sepi.
Ada tiga pihak yang terkait dengan sistem pembayaran pajak ini, yakni Direktorat Jen-daral
Pajak (Kantor Pelayanan Pajak), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kantor Perbendaharaan
Negara), dan Bank Persepsi (Bank Penerima Pembayaran Pajak). Sistem pembayaran pajak,
dikenal dengan Monitoring Penerimaan Pajak (MPN), dibangun oleh Ditjen Perbendaharaan.

Direktorat Jenderal Pajak hanya bertindak sebagai pengguna database pembayaran pajaknya,
di mana selanjutnya data tersebut digunakan untuk pengawasan kepatuhan pembayaran pajak
per WP. Sementara itu, Bank Persepsi berperan sebagai penerima pembayaran,
menatausa-hakan pembayaran pajak, untuk selanjutnya meyetorkan uang pajak tersebut ke
rekening negara.

Melihat peran masing-masing pihak terkait, Ditjen Perbendaharaan adalah yang sangat
bertanggungjawab apabila ada keluhan WP atas ditolaknya pembayaran pajaknya. Tapi,
karena berurusan dengan pajak, selama ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetap menjadi
tempat pengadilan dan penyampaian keluh kesah WP

Sejumlah Kendala

Sesungguhnya ada dua sumber masalah yang menyebabkan terganggunya pelayanan


pembayaranpajak, yakni kondisi sistem teknologi informasi (TI) yang mendukung sistem
pembayaran pajak dan faktor pembatasan jam pelayanan Bank Persepa kepada WP.

Bila sistem teknologi informasi kurang andal, itu jelas akan sangat menganggu sistem
pembayaran pajak. Ini bisa kita lihat dari munculnya kata off-line di komputer para petugas
penerima pembayaran. Ka-lau hal ini terjadi, berarti tidak terjadinya proses transfer data antara
server MPN Cetaknya di Jakarta) dengan server Bank Persepsi (yang menampilkan menu
pembayaran).

Terkait belum andalnya sistem TI, hal ini terjadi karena belum tersedianya menu untuk jenis
setoran pajak tertentu, sehingga Bank Persepsi menolak pembayaran oleh WP Hal ini terjadi
karena belum adanya standarisasi menu dan tampilan pada menu penerima pembayaran Bank
Persepsi. Di sini pihak Bank Persepsi terpaksa merancang sendiri tampilan menu pembayaran,
yang sangat mungkin kode jenis setoran tidak -entry.

Masalah lain adalah WP sudah memiliki NPWP, tapi belum terdaftar dalam database MPN
Bank Persepsi, sehingga pembayaran pajaknya ditolak. Ini terjadi akibat belum di-transfernya
data masterSle WP dari server KPP ke server Kantor Pusat Ditjen Pajak atau belum
dilakukannya pemuktakhiran data WP pada server MPN.

Pembatasan jam kerja pelayanan yang diterapkan Bank Persepsi hanya sampai 10.00 pagi
juga menjadi masalah tersendiri. Padahal, Ditjen Perbendaharaan telah memperlakukan aturan
jam pelayanan, termasuk pelayanan pembayaran pajak, yaitu sampai jam 14.00 siang.
Akibatnya, muncul komplain dari para WP dengan ucapan "bayar pajak aja susah" yang kerap
dialamatkan pada kantor pajak terdekat

1/3
Revitalisasi Sistem Pembayaran Pajak

Masalah fee tampaknya merupakan alasan utama Bank Persepsi selalu menempatkan
pelayanan pembayaran pajak menjadi nomor dua dibandingkan jenis pelayanan lain,
pembayaran listrik misalnya.

Segera Berbenah

Guna mengatasi permasalahan tersebut di atas, sudah saatnya sistem pembayaran pajak di
Indonesia direvitalisasi. Tiga serangkai yang terlibat dalam kaitan pajak, yaitu Ditjen
Perbendaharaan, Ditjen Pajak, dan Bank Persepsi, harus menyadari arti penting perannya
masing-masing.

TI merupakan masalah pertama yang harus mendapat penanganan segera. Setidaknya hal itu
harus dimulai dengan memperbesar bandwidth untuk jalur komunikasi antar-server. Sistem ini
harus mampu mengatasi jam sibuk, terutama pada batas akhir pembayaran pajak, yaitu tanggal
10 dan tanggal 15 setiap bulannya

Setiap tanggal tersebut WP sudah dipastikan akan berbondong-bondong mendatangi Bank


Persepsi.

Bayangkan, jikalau seluruh transaksi (seluruh Indonesia) mencoba masuk ke server yang
sama, sedangkan pintunya sempit, otomatis terjadi antrean dan perlambatan.

Pemerintah telah setuju memberikan fee atas setiap transaksi pembayaran pajak di Bank
Persepsi mulai kuartal Hl tahun 2009. Walaupun besarannya belum ditetapkan secara resmi,
fee tersebut dapat dipastikan mengikuti harga normal di pasaran. Dengan adanya fee ini, sudah
seharusnya Bank Persepsi berbenah diri dari segi perangkat pendukung (TI dan SDM) dan
kualitas pelayanan.

Bank Persepsi harus menyediakan menu pembayaran pajak secara lengkap, termasuk
menampung pembayaran pajak bagi masyarakat yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak
(NPWP). Bila perlu, pihak Bank Persepsi malah harus menyediakan coun/lerkhusus untuk
pembayaran pajak.

Selain memberikan pelayanan terbaiknya, sudah sepantasnya pembayar pajak disamakan


dengan, misalnya, nasabah platinum. Mereka layak mendapat pelayanan istimewa, punya
privilis. Sejujurnya, pembayar pajak inilah sesungguhnya pahlawan bangsa. lihat saja, dari sisi
struktur dan komposisi penerimaan pajak yang bisa kita lihat ternyata pembayar pajak
penghasilan, PPh 21 (karyawan), adalah yang terbesar, bukan perusahan besar. Kontribusi
pajak terhadap APBN tidak perlu diperdebatkan lagi. Jadi, memperlakukan mereka bak raja
merupakan sesuatu yang wajar.

Karena itu, upaya peningkatan semangat profesionalisme dan penegakan aturan main,
teristimewa dalam dunia perpajakan ini, harus selalu tertuju pada satu tujuan, yakni
memberikan pelayanan terbaik bagi para "pahlawan bangsa" tadi. Itulah harapan ke depan,
agar tak lagi ada keluhan para WP, "Kokbayar pajak saja sulit apa kata dunia!" Penulis adalah

2/3
Revitalisasi Sistem Pembayaran Pajak

staf Direktorat

Sumber : Investor Daily Indonesia


Oleh Chandra Budi
Penulis adalah staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan

3/3

Anda mungkin juga menyukai