Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik,
organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara serentak
membentuk satu kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para
pendukung G30S/PKI yang diduga didalangi oleh PKI. Mereka menuntut
dilaksanakannya penyelesaian politis terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan itu.
Kesatuan aksi yang muncul untuk menentang Gerakan 30 September 1965 itu
diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila kemudian lebih dikenal dengan sebutan Angkatan 66.
Pada saat pelantikan Kabinet tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar,
dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh
Pasukan Cakrabirawa. Hal ini menyebabkan terjadinya bentrokan antara pasukan
Cakrabirawa dengan para demonstran. Dalam peristiwa itu, seorang mahasiswa
Universitas Indonesia bernama Arief Rahman Hakim gugur dalam bentrokan tersebut.
Melihat situasi konflik antara pendukung Orde Lama dengan Orde Baru semakin
bertambah gawat, DPR-GR berpendapat bahwa situasi konflik harus segera diselesaikan
secara konstitusional. Pada tanggal 3 Februari 1967 DPR-GR menyampaikan resolusi dan
memorandum yang berisi anjuran kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera agar
diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS.
Pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Soeharto. Penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada
Soeharto dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS. MPRS dalam Ketetapannya No.
XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno
dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan adanya
Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik telah
berakhir secara konstitusional.
Sekalipun situasi konflik berhasil diatasi, namun kristalisasi Orde Baru belum
selesai. Untuk mencapai stabilitas nasional diperlukan proses yang baik dan wajar, agar
dapat dicapai stabilitas yang dinamis, yang mendorong dan mempercepat pembangunan.
Proses ini dimulai dari penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada
Pancasila dan UUD 1945. dengan adanya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada
Soeharto sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Indonesia, maka dimulailah babak
baru yaitu sejarah Orde Baru.
Pada hakikatnya, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa
dan Negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 , atau
sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di masa lampau. Di
samping itu juga berupaya menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan
stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsas.
Usaha penataan kembali kehidupan politik ini dimulai pada awal tahun 1968
dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan menumbuhkan hak-hak
demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Taha
selanjutnya adalah penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan
dengan cara pengelompokkan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai
tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai
politik. Hasilnya lahirlah tiga kelompok di DPR yaitu :
Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut maka
MPR telah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973.
Pada dasarnya GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya. GBHN dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) yang berisi program-program konkret yang akan dilaksanakan dalam kurun
waktu lima tahun. Pelaksanaan Repelita telah dimulai sejak tahun 1969.
Selain itu dikumandangkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
sebagai akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diiringi oleh
pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pelita III pemerintah Orde Baru
menetapkan Delapan Jalur Pemerataan yaitu :
Negara Indonesia sebagai merasa perlu untuk menjalin hubungan kerja sama dengan
negara lain baik secara regional maupun global. Secara regional hubungan kerja sama
Indonesia dengan negara-negara yang ada dikawasan Asia Tenggara diwujudkan
melaluiorganisasi ASEAN.
Tujuan awal pendirian ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham komunis
setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja. Dalam perkembangan
selanjutnya,hubungan kerja sama yang dijalin antara negara-negara anggota ASEAN
makin meluas hamper merambah seluruh sector seperte sector ekonomi, politik, sosial
dan budaya.
Wilayah Timor Timur merupakan wilayah koloni Portugis sejak abad ke-16 setelah
sempat berpindah tangan ke Belanda. Namun demikian, karena jaraknya yang cukup jauh
dari Portugis, wilayah Timor Timur tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat di Portugis.
Pada tahun 1975, terjadi kekacauan politik yang melibatkan partai-partai politik di sana.
Partai-partai politik yang bertikai tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Hal ini
diperparah dengan pemerintah Portugis memilih meninggalkan Timor Timur. Dengan
demikian, situasi di Timor Timur menjadi tidak menentu dan tidak jelas
pemerintahannya.
Untuk meredakan kekacauan yang terjadi di Timor Timur, sebagian masyarakat Timor
Timur mempunyai keinginan menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Keinginan
itu disampaikan oleh para pemimpin partai politik yang ada di Timor Timur. Keinginan
itu tentu saja disambut dengan baik oleh pemerintah Republik Indonesia. Setelah melalui
berbagai proses, akhirnya Timor Timur secara resmi menjadi bagian dari negara Republik
Indonesia pada bulan Juli 1976, dan dijadika propinsi yang ke-27.
Namun demikian, ada juga partai politik yang tidak setuju dengan masuknya Timor
Timur menjadi wilayah Republik Indonesia. Kelompok ini salah satunya adalah Fretilin.
Kelompok inilah yang terus memperjuangkan hak-haknya dengan melakukan gerilya
terhadap pemerintah Indonesia. Ketika Presiden Habibie menjabat sebagai Presiden RI
tahun 1999, merasa bahwa Timor Timur seperti duri dalam daging. Untuk mengakhiri
dilemma itu, Presiden Habibie memberikan dua pilihan kepada rakyat Timor Timur, tetap
bersatu atau pisah dengan Indonesia. Usul ini ditanggapi oleh rakyat Timor Timur.
Kemudian di masa pemerintahan Habibie digelar jajak pendapat untuk menentukan status
Timor Timur. Akhirnya, berdasarkan hasil jajak pendapat pada tahun 1999 Timor Timur
secara resmi keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara
tersendiri dengan nama Republik Demokrasi Timor Lorosae atau Timor Leste.