Anda di halaman 1dari 2

Danau Kematian

“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di
permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai
ini?”(Cerpen “Danau Kematian”)

Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan
sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama
cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya
tercebur ke danau.

“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar.
Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat
bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan
hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.

Sedari awal, penulis ingin menyuguhkan cerita yang sedih sekaligus indah. Di kalimat pembuka,
tokoh Rina memanggil-manggil nama kekasihnya. Meski begitu, Diar, sang kekasih, tak juga
kunjung datang. Lalu diikuti kesedihan berikutnya; berita hilangnya Rina. Selanjutnya, ditemukan
mayat Rina di dalam danau. Di sela-sela itu, dikisahkan kematian neneknya Diar yang juga
tenggelam di danau bertahun-tahun lalu. Juga Irin, adik Diar, yang tercebur di danau yang sama dan
untungnya bisa diselamatkan.

Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo,
terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan
kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan
kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa
POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun
“Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca
sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga
sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua
petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis
berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan
klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.

Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya
oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina
jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan
bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang
tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa
misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di
sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak
tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah
ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban.
Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin
membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan
romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan
danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai
penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah
alasan penyebab kematian.

Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata
bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih
menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah
selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar
adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun
membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil
berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu
sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras
kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.

Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah
sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis
(terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian”
mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan
diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada
kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku
padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada
kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.

Anda mungkin juga menyukai