Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai
dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung. Rongga hidung
merupakan sebuah ruang di belakang hidung di mana udara yang melewatinya
masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah daerah yang dipenuhi udara yang
mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus maksila), di atas dan di antara mata
(sinus etmoid dan sinus frontal), dan di belakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker
sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal.
Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor
yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari
1% seluruh tumor ganas.
Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal
hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat
menentukan jenisnya.
Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan
seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga
tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus
paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka
kesembuhannya masih sangat rendah.
Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini
bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai
tumor ganas hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena
keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam
keadaan dini.
Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain:
tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Gejala 26
dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri
lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis.

| Bagian/SMF Radiologi
Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk:
pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan
biopsi.

26

| Bagian/SMF Radiologi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANATOMI HIDUNG
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian seperti puncak hidung,
dorsum nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang hidung (nares
anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung.

Rongga Hidung (Kavum Nasi)


Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke
belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkannya dengan nasofaring.
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrissae).
Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
dinding lateral, dinding inferior dan dinding superior.
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid, (2)
vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian tulang
rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2) kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum 26
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

| Bagian/SMF Radiologi
Dinding lateral
Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral
hidung.
Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,
sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan
labirin etmoid.
Konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung
disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus,
hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus semilunaris yang
merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.
Dinding inferior
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum.
Dinding superior
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
26

PENDARAHAN

| Bagian/SMF Radiologi
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmikus, sedangkan a. oftalmikus
berasal dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksila
interna. Yang penting ialah a. sfenopalatina dan ujung a. palatina mayor. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada  bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoid anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmikus (n. V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.
maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, disamping memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau autonom pada mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari
n. petrosis profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit
diatas dari ujung posterior konka media.
SINUS PARANASAL
Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga didalam
tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara (ostium)
didalam rongga hidung.
Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus
frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang 26
dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid
anterior pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada

| Bagian/SMF Radiologi
usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

A B

C D
Gambar 1: Anatomi sinus paranasal posisi (A) Water , (B) Caldwell, (C) lateral
dan (D) Axial 26

2.2 EPIDEMIOLOGI

| Bagian/SMF Radiologi
Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari
seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung
dan Tenggorokan di mana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%.
Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini ± 20% merupakan
keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4%), ± 24% keganasan
hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%.
Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-
laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Rifki mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di
10 kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3-
25,3% dari keganasan THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas
nasofaring.

2.3 ETIOLOGI
Faktor resiko untuk keganasan pada sinus paranasal sudah lama diteliti.
Penyebabnya rumit, multifaktorial dan agak kontroversial. Diperkirakan penyebab
squamous cell carcinoma dan adenocarcinoma pada suatu daerah berhubungan
paparan debu nikel, gas mustard, thorotrast, isopropil oil, diklorodietil sulfida.
Paparan debu kayu khususnya dapat meningkatkan resiko squamous cell carcinoma
21 kali dan adenocarcinoma 874 kali. Banyak dari faktor-faktor ini ditemukan pada
industri furnitur, industri pengolahan kulit hewan, dan industri tekstil. Riwayat
sosial dan pekerjaan harus ditanyakan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala
yang mengarah ke keganasan pada sinus paranasal.
Infeksi virus dan hubungannya terhadap keganasan merupakan hal yang
menarik tetapi belum cukup diteliti. Studi pendahuluan mempelihatkan bahwa
peningkatan ekspresi dari epidermal growth factor reseptor (EGFR) dan
transforming growth factor-alpha (TGF-alpha) mungkin berhubungan dengan
paparan awal karsinogen yang menyebabkan papilloma inverting. Infeksi Human
papilloma virus (HPV) dan Epstein-Barr virus (EBV) mungkin juga merupakan awal 26
dari proses panjang yang menyebabkan perubahan papilloma inverting menjadi
ganas.

| Bagian/SMF Radiologi
Karsinogen eksogen primer yang bekerja langsung sebagai persenyawaan
semula atau metabolit atau konjugat terhadap substrat seluler atau mengganggu
aktivitas enzim atau bersenyawa dengan putih telur serta membentuk alergen.
Karsinogen eksogen sekunder bekerja secara tidak langsung melalui suatu
mekanisme sekunder dan merubah beberapa bahan normal sel atau cairan jaringan
yang berakibat pertumbuhan kanker.
Golongan karsinogen yang merubah fungsi kualitatif dan kuantitatif organ-
organ tertentu yang berakibat sekresi organ-organ tersebut mengandung bahan-
bahan karsinogen. Dalam hal ini, nikel berperan sebagai karsinogen eksogen
sekunder.
Karsinogen di tempat kerja tidak menyebabkan gambaran histopatologi
kanker yang khusus, demikian juga dengan kanker nasal yang secara histopatologik
rumor epitel yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.
Lokasi tumor sinus primer yang terbanyak berasal dari sinus maksila (60 %),
kemudian rongga hidung (30 %) dan sinus etmoid (10 %). Jarang sekali tumor
primer berasal dari sinus frontal dan sfenoid. Pada kanker sinus akibat kerja yang
berhubungan dengan nikel, belum didapatkan data mengenai lokasi yang tersering
dijumpai.

2.4 PATOLOGI
Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas.
Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar
80% kasus.
Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus
berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas
(60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung,
dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang.
Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada
presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke 26
nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya,
nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun.

| Bagian/SMF Radiologi
2.5 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi
primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan
gejala hidung berupa obstruksi dan epiataksis. Tumor etmoid juga muncul dengan
gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala orbita seperti proptosis dan epifora,
dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis cenderung muncul
semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat
pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.
Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor
antrum. Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara
kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah,
atau perdarahan secara alternatif menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada
pasien dewasa yang tidak hipertensif membutuhkan investigasi radiologis, namun
radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari untuk memberi resolusi inflamasi
apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih lebih baik CT-scan
harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan gejala pasti
menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis.
Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan
tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan
tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa
secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior
melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik
dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala
akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan
epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan
sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan
limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan
basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi 26
trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke
nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius.

| Bagian/SMF Radiologi
Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan
volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat.

2.6 JENIS TUMOR


Papilloma
Meski pun papilloma merupakan suatu lesi yang jinak pada kebanyakan
kasus, dapat juga menjadi ganas pada beberapa kasus, pemerikasaan fisik
menunjukkan massa berwarna merah kehitam-hitaman pada cavum nasi.
Berlawanan dengan suatu polip yang reaktif, papilloma ini biasanya unilateral. Jadi,
kapan pun seorang ahli bedah memeriksa pasien dengan massa polipoid unilateral,
seorang ahli bedah harus memiliki indeks data yang tinggi untuk papilloma. Lebih
dari 90% dari papiloma menyatu dengan dinding lateral, meskipun dapat juga
tumbuh di sinus maxilla, frontal, atau, ethmoidal. Seluruh bentukan lesi biasanya
tidak dapat ditentukan dengan imaging radiografik. Biopsy amat sangat dianjurkan.
Rata-rata 10% dari papilloma merupakan bentuk dari squamos cell carcinoma.
Pemeriksaan histologis menunjukkan hiperplasi multilayer epitel skuamous ke
kolumnar dengan atau tanpa atipia.
Squamous cell carcinoma
Squamous cell carcinoma merupakan 80% dari seluruh keganasan yang ada
di cavum nasi dan sinus paranasal. Mencakup juga karsinoma verrucous, basaloid
squamous cell carcinoma, spindle cell carcinoma, dan transitional atau cylindrical
cell carcinoma. Terminologi dari squamous cell carcinoma digunakan untuk
menunjukkan keganasan yang merupakan gambaran standar yang diketahui untuk
mewakili keadaan ini.
Gambaran yang tampak sangat variatif dan dapat mencakup massa nasal atau
obstruksi, rinorrhea, epistaxis, neuripati, atau nyeri. Lesi ini dapat membedakan
gambaran wajah yang dapat dideteksi menyebabkan ketidaksimetrisan atau
proptosis. Sering juga terjadi gangguan penglihatan dan parestesia. Bisa juga terjadi
fenomena maloklusi dengan massa yang timbul dari dasar maksila dan palatum 26
durum.

| Bagian/SMF Radiologi
Pada evaluasi klinis, penampakan menentukan stadium tumor. Awalnya
hanya sebatas massa yang kecil atau ulkus kecil. Pada tahap lanjut dapat ditemukan
ditemukan ulkus yang besar, nekrosis, tepi yang menebal, dan invasi ke tulang dan
jaringan lunak. Biopsi diperlukan untuk mengklasifikasikan lesi. Granulomatosis
Wegener danenyakit nonneoplastik lainnya dapat juga memberikan tanda, gejala dan
penampakan SCCA. Pemeriksaan histology dapat menunjukkan lembaran, pita dan
sel skuamous, sel polyhedral atau sel bulat ke oval individual dengan derajat
keratinisasi yang bervariasi.
Prognosis menjadi semakin baik pada pasien dengan kanker yang berasal
dari etmoid, lesi awal yang diterapi dengan radiasi dan pembedahan dan pada pasien
dengan rawayat inverted papilloma. Tidak seperti SCCA kepala dan leher yang lain,
keterlibatan nodus limfatikus adalah sangat jarang dan tidak dianjurkan untuk
melakukan diseksi nodus limfatikus selektif. Kelangsungan hidup selama 5 tahun
keseluruhan adalah 60-64%.
Karsinoma Kista Adenoid
Karsinoma Kista Adenoid (ACC) berasal dari kelenjar ludah dan merupakan
keganasan sinonasal kedua yang paling sering, melibatkan sebanyak 10% dari total
kasus. Terdapat tiga subtype histologi yang berdasarkan pada pola pertumbuhan:
tubular, kribriform dan solid. Penentuan ketiga subtype ini adalah sangat penting
karena bentuk solid mempunyai prognosis yang lebih jelek jika dibandingkan
dengan bentuk kribriform atau tubular.
Nodus limfe jarang terlibat dan diseksi leher elektif tidak diindikasikan pada
kebanyakan kasus. Invasi perineural adalah sangat sering dan didapatkan pada 40-
60% kasus. Rekuren lambat dan metastasis jauh sering terjadi dapat terjadi
berdekad-dekad setelah presentasi awal.
Operasi merupakan terapi utama dan radiasi biasanya untuk stadium lanjut,
penglibatan perineural atau ditemukannya batas-batas. Kemoterapi tidak memainkan
peran dalam terapi. Walau pun tidak ada penelitian spesifik yang meneliti
radioterapi sinar neutron untuk ACC region sinunasal, penelitian yang melibatkan 26
ACC pada area kepala dan leher yang lain menunjukkan adanya perbaikan kada
pengaturan local berbanding radiasi tradisional. Tidak ada manfaat kelangsungan

| Bagian/SMF Radiologi
hidup keseluruhan yang ditunjukkan. Rekure sering kali terjadi, terjadi pada hingga
55% kasus. Kadar kelangsungan hidup 5 tahun spesifik penyakit keseluruhan adalah
63% dan menurut pengalaman MD Anderson adalah 70%.
Adenocarcinoma dan variannya
Adenokarsinoma pada cavum nasi dan sinus paranasal sangat lah penting dan
berhubungan dengan factor resiok tertentu termasuk paparan terhadap debu, dan
materi organic lainnya.
Adenocarcinoma, baik yang grade ringan maupun berat dan menyebabkan
gejala obstruktif, rinorea, atau epistaxis. Namun, nyeri, parestesis, dan ulkus di
rongga mulut lebih sering ditemikan pada grade yang berat. Tanpa
mempertimbangkan grade yang ada, destruksi local pada orbita dan basis kranii
sering terlihat.
Metastase dari tipe ini jarang terjadi. Maka jika terjadi, paru-paru, liver, dan
tulang merupakan tempat yang paling sering terkena. Metastasis melalui nodus limfe
servikal jarang terjadi, bahkan pada tumor yang sudah sangat berat.
Terapinya adalah eksisi surgical dengan batasan luas dam radioterapi post
operatif untuk penyakit yang sudah berat atau batasan yang jelas. Kejarangan dari
metastase melalui nodus limfe menyebabkan disesksi pada leher tidak harus
dilakukan.
Prognose dari adenocarcinoma grade ringan jauh lebih baik dari pada grade
yang berat pada area sinonasal. Adencarcinoma grade berat dilaporkan memiliki
survival rate sekurang-kurangnya 35% dalam 3 tahun, sedangkan adenocarcinoma
dengan grade ringan memiliki 5 tahun survival rate dengan rerata 80%
Melanoma Malignan
Melanaoma maligna merupakan suatu gangguan di cavum nasi dan mukosa
sinus paranasal yang jarang terjadi. Kurang dari 1% dari seluruh keganasan dan
kurang dari 4% dari seluruh keganasan yang terjadi di nasal. Umumnya, melanoma
mukosa dari kepala dan leher sebesar 55% dari seluruh melanoma mukosa, 80%
ditemukan didalam cavum nasi dan 20% didalam sinus. Melanoma jarang 26
bermetastase pada region anantomisnya, namun, pencarian klinis dibutuhkan untuk

| Bagian/SMF Radiologi
meniadakan penyakit metastase. LAD positif ditemukan pada lebih dari 26% dari
pasien dengan gejala ini.
Verrucous carcinoma
Verucous carcinoma merupakan salah satu dari tipe skuamous karsinoma
yang digambarkan dengan gambaran jamur dengan kompleks papiler.
Pada pemerikasaan histologist, neoplasma maligna ringan ini terdiri dari sell
yang berdiferensiasi, epitel skuamous yang terkeratinisasi dengan gambaran
hiperplastik dan abundan.
Hal yang penting yang berhubungan dengan progessivitas dari verrucous
carcinoma menjadi karsinoma sel skuamous yang tradisional dan agresif. Verrucous
carcinoma menyebabkan kerusakan dengan invasi local tetapi tidak bermetastase
jika tidak memiliki komponen dari karsinoma sel skuamous. Pada pemeriksaan lebih
lanjut, 20% dari lesi ini menggambarkan karsinoma sel skuamous yang klasik paling
kurang pada salah satu area. Laju dari invasi local juga lebih lambat dibandingkan
dengan yang biasanya terlihat pada skuamous sel karsinoma.
Satu gambaran yang penting pada verrucous karsinoma adalah keadaan
kepala dan leher biasanya berhubungan dengan sinkoronous atau metakronous
tumor. Membentuk suatu keganasan epitel atau premalignansi pada traktus
aerodigestivus bagian atas, dengan nilai rerata sebesat 37%. Hubungan ini haru
selalu dipertimbangkan selama pemeriksaan lanjut terhadapo pasien dengan
verrucous karsinoma.
Lymphoma
Kategori dari neoplasma malignan pada sinus dan cavum nasi ini sangat
membingungkan, kurang dimengerti, controversial dan ekstensif.
Umumnya, lymphoma non-hodgkins ditemukan secara primer pada pasien
dengan usia 60an sampai 70an dan bermanifestasi dengan gejala ubstruksi. Rinorea
dan epsistaxis juga dapat tampak. Setelah tipe dari tumor ini ditegakkan, terapi
biasanya dilakukan dengan radiasi dan kemoterapi, dengan mengikuti protocol yang
tersedia. Prognosis umumnya bervariasi untuk pasien degan lymphoma non- 26
hodgkins dan, bergantung pada tipe dan stadium, median dari survival rate nya
mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun.

| Bagian/SMF Radiologi
Tipe malignansi tumor limphoid lainnya yang masih controversial adalah sel
T/natural killer-cell lymphoma. Memiliki beragam nama dalam perjalanan
penyakitnya, termasuk lethal midline granuloma, midline malignant reticulosis,
lymphomas granulomatosis, angiocentric lymphoproliferatif lesions, dan T-
cell/natural cell lymphoma. Pangetahuan terkini, lesi ini mungkin dikategorikan
sebagai T-cell/natural killer-cell carcinoma.
Tumor ini merupakan lesi sinonasal yang destruktif yang berhubungan
dengan gejala obstruksif, tulang dan destruksi jaringan lunak, dan perdarahan.
Diyakini sangat erat kaitannya dengan Epstein-barr virus dan sering terjadi di asia
dan amerika latin, dengan usia pasien berkisar antara 13-80 tahun.
Terapi mencakup radiasi dengan atau tanpa kemoterapi. Regimen kemoterapi
sering menyertakan kombinasi dari cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine, dan
prednisone. Karena sangat membingungkan untuk mengelompokkan penyakit ini,
data saentifik untuk memastika prognose tidak tersedia. Sekarang, prognosis masih
dianggap buruk, dan 5 tahun survival rate kurang dari 70%.
2.7 DIAGNOSIS
A. GEJALA KLINIS
Gallagher dan Boies yang dikutip oleh Gasal membagi gambaran gejalanya
sebagai berikut :
Hidung : obstruksi nasal kronis, rinotea, epistaksis
Muka : pembengkakan pipi, parestesia
Rongga mulut : bombans palatum, gigi goyah atau tanggal
Mata : epifora, proptosis, diplopia
Telinga : pendengaran menurun, otalgia
Lain-lain : trismus, pembengkakan kelenjar leher
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis terhadap keluhan disertai pemeriksaan
THT yang teliti, pemeriksaan visus, gerakan bola mata dan pemeriksaan fungsi
nervus kranial. Pemeriksaan radiologi dengan memakai foto biasa hasilnya kurang
26
memuaskan. Pemeriksaan dengan alat-alat CT scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) dapat memberikan hasil yang memuaskan dimana struktur tulang disekitar
sinus maksila, jaringan lunak dan orbita dapat dievaluasi.

| Bagian/SMF Radiologi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi. Biopsi dapat dilakukan
secara transnasal baik langsung maupun dengan alat endoskopi

B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
X-Ray Konvensional
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling
utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang
dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan
jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya
cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.
Tanda-tanda radiologi pada foto polos kepala adalah adanya masa pada sinus
maksilaris disertai dekstruksi tulang aktif. Ada sekelompok tumor dengan tanda-tanda
radiologik yang khas, yaitu adanya ekspansi aktif meliputi seluruh rongga sinus,
dekstruksi tulang dinding pada sinus yang diserang, tetapi secara garis besar tulang-
tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi, sehingga sering tumor dianggap jinak,
tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek. Kelompok tumor ini adalah papiloma,
esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer saliva minor termasuk adenokarsinoma,
ekstramedulariplasmasitoma, melanosarkoma, dan rhabdomiosarkoma.

26

| Bagian/SMF Radiologi
Gambar 2: Foto Water’s menunjukkan kista yang normalnya sinus maxilla tersebut
berisi udara

COMPUTERIZED TOMOGRAFI (CT)


CT scanning penting sebagai tambahan terhadap pemeriksaan radiologi dari
sinus paranasal, dan sebenarnya telah menggantikan tomografi konvensional sebagai
cara penilaian tumor, mukokel dan perluasan lesi lainnya pada sinus. CT memiliki
manfaat untuk menunjukkan baik itu dekstruksi tulang dan perluasan jaringan lunak
dari penyakit. Pada penyakit ganas ini memberikan metode yang akurat bagi
penetapan stadium tumor sebelum radioterapi atau pembedahan dan ini penting
secara postoperative untuk menunjukkan rekurensi tumor. Sebagai tambahan, ini
telah memperluas kemungkinan dari diagnose banding patologi sinus, tidak hanya
menunjukkan pola jaringan lunak dari penyakit, tetapi dengan demonstrasi yang
lebih sensitive dari kalsifikasi tumor, pada beberapa contoh dapat menjadi suatu
karakteristik.
Medium kontras
Nilai penting pada kontras atenuasi CT secara umum bisa berupa jaringan
normal dan abnormal menunjukkan peningkatan setelah pemberian medium kontras
intravena. Pada neoplasia sinus tidak hanya mengerjakan variasi peninggian derajat
dengan tumor yang berbeda-beda dengan histology, tetapi juga mempertimbangkan
variasi dalam tipe-tipe tumor dengan histology yang sama. Secara umum, medium
kontras intravena harus dicadangkan untuk pasien dengan kategori berikut:
1. Pasien dengan tumor vascular seperti angiofibroma. Disini harus dikerjakan
injeksi bolus atau infuse drip dan scanning dikerjakan selama pemberian
yang sesungguhnya dari bahan kontras untuk bisa menangkap fase vascular
dari peninggian tumor.
2. Pasien dengan dugaan penyebaran tumor kedalam fossa cranial anterior atau
medial; yaitu dimana barier darah otak terlibat. Tumor kemudian
digambarkan berlawanan dengan gambaran otak yang tidak enhance. 26

| Bagian/SMF Radiologi
Gambar 3 . (A) Foto CT pasien dengan kanker sinus maxilla menunjukkan
penghancuran tulang (anak panah) yang merupakan tanda utama keganasan.

Gambar 3. (B) inverting papilloma –


computed tomography
Transverse section through the nasal
cavity. A spindle-shaped tumor fills in the
nasal cavity. The tumor extends into the
pterygopalatine fossa (arrow) and the
posterior and medial wall of the maxillary
sinus is destroyed being suspicious for
amalignant component within the polypoid
tumor.

26
Gambar 4 (C) Squamous cell carcinoma - computed tomography Trarnsverse section through the
sphenoid sinus. A tumor fills in the sinus with spread into the middle cranial fossa (black arrows)

| Bagian/SMF Radiologi
and the inferior orbital fissure (open
arrow).

MAGNETIK RESONANSI
IMAGING
Fasilitas multi-slice. Manfaat dari
tomografi magnetic resonansi
melebihi metode-metode lainnya
adalah dengan fasilitas multi-slice
yang berstandar pada mesin terbaru.
Ini membolehkan potongan
multiple untuk diperoleh secara simultan dengan menggunakan slice yang letaknya
berdekatan 1 cm atau 0,5 cm hingga kedalaman 12 cm. Gabungan antara
penggunaan head koil (gulungan utama) dan pencitraan 3 dimensi, ini menyediakan
pencakupan total dari kepala dan leher dan membolehkan identifikasi penyakit yang
bersamaan dari tempat primer di sinus, seperti malignansi leher. Hal ini secara jelas
sebagai onkolog (ahli kanker) dalam merencanakan pengobatan dan ini mewakili
secara mayoritas lebih maju dibandingkan CT scan.
Secara umum, tumor malignan yang berasal dari sinus, baik itu epithelial atau
mesenkimal, menghasilkan sinyal dengan intensitas medium pada rangkaian T1
weighted spin-echo dan sinyal medium hingga kuat pada gambaran T2. Pada
kontras, retained secretion menghasilkan sinyal tinggi pada rangkaian spin echo.
Perbedaan antara tumor dan sekresi yang tertahan terutama ditemukan pada
gambaran T2 weighted, retained secretion selalu memberikan sinyal yang lebih kuat
daripada tumor. Gambaran tambahan adala sinyal yang diberikan oleh tumor yang
heterogen, dimana yang ditunjukkan oleh retained secretion tanpa kecuali selalu
homogeny. Vaskularisasi dari tumor memiliki kontribusi terhadap pengurangan
sinyal homogeny yang terlihat pada angiofibroma juvenile. Pada tumor jinak ini
pembuluh darah besar dapat diidentifikasi baik pada tumor dan otot di sekitarnya. 26
Hal itu terlihat sebagai area dengan sinyal negative atau kosong dan saat
menunjukan diagnose secara total.

| Bagian/SMF Radiologi
Gambar 4: MRI kanker sinus maxilla dengan jelas dapat membedakaan tumor yang
membatasi sinus maxilla.

2.8 PENATALAKSANAAN
Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan
diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.
Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi,
sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana
terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor.
Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas
Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima
oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus
paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali
ditemukan sudah dalam stadium lanjut.
26
Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan
terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil

| Bagian/SMF Radiologi
pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima,
untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas.
Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem
TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe
regional yang terkena dan M = Metastasis.
Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem
TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian
onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium TNM
yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada rapat
gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut dapat
diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan
satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang
diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma
sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus
etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid
tidak perlu, karena sangat jarang.

GARIS OHNGREN
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang
imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi
rahang atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-
anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus
maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya
termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

26

| Bagian/SMF Radiologi
Gambar 5: Garis Ohngren

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:


Kategori T untuk karsinoma sinus maksila
T1      : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi
tulang.
T2      : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk
palatum durum dan/atau meatus medius.
T3      : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila,
dasar orbita atau sinus etmoid anterior.
T4      : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah
satu dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid,
nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar
tengkorak.
Kategori N untuk karsinoma sinus maksila
N0      : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.
N1      : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter
26
terbesar 3 cm atau kurang.
N2a    : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar
lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.

| Bagian/SMF Radiologi
N2b    : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter
terbesar tidak lebih dari 6 cm.
N2c    : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan
diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.
N3      : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.
Kategori M untuk karsinoma sinus maksila
Mx      : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0      : Tidak ada metastasis jauh.
M1      : Ada metastasis jauh.
Penentuan stadium karsinoma sinus maksila
Stadium I      : T1, N0, M0
Stadium II     : T2, N0, M0
Stadium III    : T3, N0, M0 atau
: T1, T2 atau T3, N1, M0
Stadium IV    : T4, N0 atau N1, M0 atau
: semua T, N2 atau N3, M0 atau
: semua T, semua N, M1
Pengobatan
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan
stadium tumor bila tumor ganas.
Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas
hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga
belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti,
juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk
membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap
jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai
dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara
pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi
antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. 26
Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus
paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah

| Bagian/SMF Radiologi
“inoperable” atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi
sesudah dibuatkan antrostomi.
Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar,
radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi
pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan
radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk
operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau operasi
karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai
radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-
metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada
waktu operasi.
Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor
di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah
memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi
rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah
sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan
operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke
nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah “inoperable” dan hanya
diberikan penyinaran saja.
Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan
maksila yang dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus
dipersiapkan sebelum operasi dan langsung dipasang pada waktu operasi karena
kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit diperbaiki kemudian.
Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada kebanyakan
operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah
dengan bedah plastik.

26

| Bagian/SMF Radiologi
Jadi, untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus, diperlukan kerja sama
yang baik antar berbagai disiplin ilmu, yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli
patologi, ahli bedah mata, ahli bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.

BAB III
26

PENUTUP

| Bagian/SMF Radiologi
Kanker rongga hidung atau sinus paranasal adalah sebuah kondisi yang
sangat mematikan dan terutama tidak nyaman dengan pembawaannya yang jelas
baik bagi pasien maupun bagi keluarganya. Keganasan pada hidung dan sinus
paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 2 : 1.
Etiologi diakibatkan pemaparan terhadap lingkungan pekerjaan. Pekerja
nikel memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa.
Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar
80% kasus. Gejala klinis yang paling sering, obstruksi hidung dan epistaksis.
Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi
tumor.
Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja
hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi,
radioterapi dan kemoterapi. Pada umumnya prognosis kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA
26
Anonimous. 2010. Tumor Ganas Hidung. http://ningrumwahyuni.wordpress.com.
Diunduh tanggal 6 juni 2010.

| Bagian/SMF Radiologi
Christopher. Klem, 2009. Malignant tumors of the sinuses.
http://www.emedicine.medscape.com. Diunduh tanggal 8 juni 2010
Halinda Sari Lubis, 2004. Kanker sinus Nasal Pada Pekerja Yang Terpajan
Terhadap Nikel. USU digital library
Larsson. Sven G, and. Mancuso. Anthony A. 2010. The nose, paranasal sinuses and
the facial skeleton. http://www.medyclopaedia.com. Diunduh tanggal 6 Juni
2010
Rasad, Sjahriar, 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Balai penerbit FKUI:
Jakarta.
Soepardi EA, Iskandar N, 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

26

| Bagian/SMF Radiologi

Anda mungkin juga menyukai