Anda di halaman 1dari 6

JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF

(Abas Gozali)
1. Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan
Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta sebagaimana
difirmankan Allah dalam Al- Qur'an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" dan Surat Al-Baqarah ayat 21
yang mengatakan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertaqwa". Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan
semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan
meninggalkan segala yang dilarang olehNya.
Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi'..." Kepemimpinan itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan
kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas.
Kepercayaan Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis, dengan alasan yang
berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes
karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari
tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan
manusia, tetapi iblis tetap membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat dan
iblis yang terdapat dalam Al-Qur'an.
"...... Mereka (malaikat) berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).
"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu
mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari
tanah?'". (Q.S. Al- Israa': 61).
Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar terhadap perintah Allah ini meskipun diancam
dengan Neraka Jahannam. Akan tetapi syaithan minta 'privilege' kepada Allah SWT untuk dapat hidup
terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah
mengijinkan permintaan ini. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur'an Surat Al- Israa' ayat:62-65:
"Dia (iblis) berkata: 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan
aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'."
"Tuhan berfirman: 'pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya
neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup."
"Dan hasunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah
dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka."
"Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu
sebagai Penjaga".
Maka syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan dari jalan manapun.
Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat An-Nisaa'ayat 118-119 yang berbunyi: "... dan syaithan itu
mengatakan: 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah
ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan- angan
kosong mereka, ..." dan Surat Al-A'raaf ayat 16-17 yang berbunyi: "Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang
lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari
kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at)."
2. Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb)
Hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan.
Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur'an
Surat Az-Zumar 17-18: "Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada
bathinmu." Rasulullah SAW bersabda: "Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila
segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak,
rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati."
Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta'ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah
(Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia
dapat memperoleh ma'rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali
kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut "Ilmu Laduniah". Al-Bazari berkata:
"Dalam hati itu terdapat sifat 'Al- Latifah', 'Ar-Rabbaniyah', dan 'Ar-Rohaniyah' yang bersangkutan dengan
tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan
padanya." Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: "Hati itu tempat ilmu hakikat karena 'latifatur
Rabbaniyyah' yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat..."
Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang
manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat
menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu
menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan
buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu
yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong
pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf
mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua
mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.
Hati manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa penyebab yang membutakan
hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil
apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu
manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka
rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat
menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.
Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur'an
Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi: "... Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya,
melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada." Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya
hati tersebut adalah suatu penyakit yang apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-
pinak. Hal ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 9:
"Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa
yang pedih, karena mereka berdusta" dan Surat At-Taubah ayat 125: "Dan adapun bagi orang-orang
yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal
dunia dalam keadaan kafir."
Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini
sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari
sabda-sabda beliau seperti: "Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa
nafsunya" (Bukhari dan Muslim), "Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak
diantara lambungmu", dan "Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu"
(yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir
ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak
berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.

3. Dzikir Membersihkan Hati


Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu 'ain hukumnya. Akan tetapi,
membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat
ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap
oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke
terang benderang dengan izin Tuhannya.
Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang
antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi,
memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak
menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan
menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati
adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Hal ini dilandaskan pada Firman-
firman Allah SWT dalam Al-Qur'an seperti: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)- Ku." (Al-
Baqarah 152), "Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang", "Adapun orang laki-laki
yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan
pahala yang besar" (Al-Ahzab 35), dan "(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi
tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28).
Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
"Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah", "Bagi
setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah "DZIKRULLAH", dan "Jauhkanlah
Syaithanmu itu dengan ucapan 'LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH', karena
syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu
sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya", "Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng
dari godaan syaithan", dan "Allah berfirman 'LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa
mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku,
maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi)."
Pengertian umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu
maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji, baca Qur'an, da'wah, belajar, berusaha, dll yang
dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi disamping
melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan
cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH
atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan "cara tertentu."
Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang
mursyid dan murid-muridnya yang telah diberi "ijazah"lah yang berwenang mengajarkan metode Tha-
riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para guru Sufi mengajar murid-
muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah (dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian
meningkat secara teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena didalam hati) yang
awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam
hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah terputus dzikirnya
meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang guru pun membantu muridnya yang sedang dalam
keadaan salik untuk menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya.
Ulama-ulama Sufi berkata: "Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH dengan
memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan
cepat, yang kadang-kadang terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan
kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih.
Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat
membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu,
menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan
berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan
kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk
Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian
merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan
segala keutamaan.

4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma'rifat


Kaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu'nya karena merasakan keni'matan,
kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb),
merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan
memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma'rifat). Abu Sa'id Al-Harraz r.a. berkata: "Apabila Allah
Ta'ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia
membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya 'babul qurb',
kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid,
kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam 'darul fardaniyyah',
dan dibukakanlah kepadanya 'Hijabul jalali wal'uzmati'. Apabila sampai pada 'jalali wal'uzmati', ia merasa
tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa
fana."
Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau
kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena
lupa atau ingat hati terhadap Allah.
Kejauhan itu lupa hati.
Kedekatan itu ingat hati.
Kejauhan itu hijab (tertutup).
Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.
Gelap itu jahil, Nur itu Ma'rifat.
Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku
bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya
dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang
yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang
bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau
kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya."
Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam
menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk
terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-
orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan
dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan
Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan
Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.
Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur
lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman
allah dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: "Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal
adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia."
Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu'min dari bumi syahwat ke langit ma'rifat.
Rasulullah SAW bersabda "Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam
hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy." Guru Sufi
mengatakan: "dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang
tinggi)." Dalam tingkat ma'rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan
segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: "Ma'rifat itu
berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah "Al-
Kasyafful al-Bathini' atau 'Wasilatul Ilham ar-Ruhi', yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik,
dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis."

5. Syariat, Thariqat, dan Hakikat


Penulis menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat maka tidak perlu lagi
dia mempedulikan syari'at. Lebih jauh lagi bahkan ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat,
syari'at menyalahkan hakikat dan hakikat meremehkan syari'at. Pandangan ini penulis kira tidaklah
benar.
Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari'at, thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat atau jalan menuju Allah itu
meliputi pekerjaan dzahir dan bathin. Pekerjaan dzahir disebut syari'at dan pekerjaan bathin disebut
hakikat. Syari'at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu memperoleh musyahadah
dari padaNya.
Syari'at terikat dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari'at. Tiap-tiap pekerjaan syari'at
yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan
syari'at pun tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: "Barang siapa mengambil syari'at saja tetapi
tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik. Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak
melakukan syari'at maka dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari'at dan
mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang sesungguhnya." Riyadhah dan
latihan-latihan tharikat tidak akan berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT
selama perbuatanmu tidak sesuai dengan syari'at dan sejalan dengan Sunnah Rasul.
Hubungan syari'at-thariqat-hakikat bisa dianggap analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang
hamba Allah hanya sibuk dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam
syari'at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan ikhlas serta bebas dari kejahatan
maka orang itu berada pada maqam iman atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata
karena Allah, seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba Allah itu berada
dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat.

6. Tasawwuf dan Dunia


Anggapan umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan
segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu,
termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang
berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur'an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang
siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."
Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu
perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran
dan Hadis seperti: "Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan
nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita
berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan" (Q.S Al-
Qosas 77), "Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu
berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini" (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada
SAW: "Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan
akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan
kamu bergantung kepada manusia" (Riwayat Ibn As-sakir).
Bahkan Ulama-ulama Sufi dari Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah
menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak, memakai pakaian yang
bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk, memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu
dapat mendekatkan muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: "Tidak mengapa
mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata dapat menguatkan ibadat seperti:
tidak mengapa memakai pakaian yang bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan
dan minum yang lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan menjadi kuat
panca indera." Ahli ma'rifat Syazili mengatakan "Makan dan minumlah kamu dari makanan yang baik-
baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan
pakaian yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu." Syeikh Bahauddin Naqsyabandi berkata:
"Tiapa macam makanan harus baik dan beribadatpun harus baik pula". Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani
berkata: "Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus
menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia."

7. Penutup
Tasawuf itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau filsafati karena tasawuf
hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf
tidak dapat dinikmati dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah
karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat mengekspresikan peristiwa bathiniyyah
yang terjadi dalam dunia tasawwuf secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan
bahasa manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan rhiyadhah dan latihan-
latihan thariqat dengan tekun dan khussyu' di bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid.
Karena kendala-kendala diatas dan, yang lebih penting lagi, karena keawaman penulis dalam bidang
Tasawuf maka tulisan ini jauh dari sempurna. Bila ada kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari
Allah SWT, bila ada kesalahan maka kekeliruan itu sepenuhnya karena kekhilafan penulis. Untuk itu,
penulis mohon ampun dan petunjuk dari Allah SWT serta mohon ma'af dan koreksi dari Akhi dan Ukhti
sekalian.
Rujukan Utama:
Ali, A. Yusuf. 1978. "The Holy Qur'an, Text, Translation, and Commentary". Washington, DC.: The Islamic
center.
'Arifin, Shohibulwafa, K.H.A. 1975. "Miftahus Shudur". Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh
menjadi "Kunci Pembuka Dada". Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti
Suryalaya.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an Departemen Agama RI. (1974). "Al-Qur'an dan
Terjemahnya" , Jakarta: Depag RI.
Rujukan Penunjang:
Nasr, Seyyed Hossein. 1973. " Sufi Essays" . New York, N.Y.: Albany, State University of New York
Press.
Sah, Idies. 1990. "Sufi Thought and Action". London: Octagon Press

Anda mungkin juga menyukai