Anda di halaman 1dari 2

anak lakilaki yang tak ingin tertinggal

sholat shubuh
by Ardianus Ichsan on Tuesday, July 6, 2010 at 10:00pm

Mata anak itu berbinar. Ia begitu terpesona atas apa yang


disampaikan sang guru. Pada sebuah kelas, di sebuah sekolah
dasar. Di depan kelas, sang guru bercerita. Tentang keutamaan
sholat shubuh. Maka sang anak itu bertekad, ia akan
melaksanakan sholat shubuh. Namun ternyata itu bukan hal
yang mudah. Sholat shubuh bukan hal yang jamak di
rumahnya. Tak ada yang sholat subuh di rumah itu.

Ia tak bisa berharap ada yang membangunkannya untuk bangun


melaksanakan sholat shubuh. Satu-satunya hal yang mungkin
adalah ia berjaga sepanjang malam. Maka ia kuatkan tekadnya
untuk berjaga. Sepanjang malam ia berusaha agar matanya tak
terpejam. Hingga adzan shubuh bergema, ia segera bangkit
mengambil wudhu. Pelan-pelan ia buka pintu rumahnya.
Namun persoalan lain muncul. Ternyata lokasi masjid cukup
jauh dari rumah dan ia tak punya banyak keberanian untuk
menembus gelapnya malam. Maka terduduklah ia dan mulai
menangis, pelan tanpa suara. Hingga terdengar olehnya suara
langkah kaki. Ternyata kakek dari temannya yang hendak
berangkat menuju masjid. Timbullah keberaniannya. Perlahan
ia ikuti sang kakek. Hal ini dilakukannya sepanjang pagi.
Hingga berbulan bulan.

Datanglah berita duka, sang Kakek yang senantiasa ia ikuti


langkahnya menuju masjid hari itu meninggal. Maka ia pun
mulai menangis.
Ayahnya yang heran bertanya “mengapa engaku menangis, toh
kakek itu bukan kerabat kita, bukan pula teman bermain mu?”

“seandainya yang mati ayah,…seandainya yang mati bukan


kakek itu…” ucap sang anak setengah terisak, dan berulang
kali ke hadapan sang ayah.

Maka sang ayah terkejut dan meminta sang anak untuk


menjelaskan maksudnya.

“mengapa ayah tak seperti kakek itu. Mengapa ayah tak seperti
orang-orang yang lain? Mengapa?” ujarnya

“lalu siapa lagi yang harus saya ikuti untuk berangkat ke


masjid untuk melaksanakan sholat shubuh?” lanjutnya.

Maka ia pun mulai bercerita pada ayahnya, tentang apa yang


dilakukannya selama hari-hari beberapa bulan belakangan.
Tanpa terasa airmata sang ayah pun menetes dan sejak saat itu
tak pernah lagi sang ayah meninggalkan sholat 5 waktu
berjamaah.

Saya menemukan kisah ini di majalah Tarbawi edisi terbaru.


Sebagimana di ceritakan oleh seorang ustadz *yang saya lupa
namanya dalam bukunya *yang saya lupa judulnya (maklum
saja, saya baca Tarbawi nya di Gramedia, mana sempat pula
untuk menulis). Ah,…saya hanya ingin bercerita, ternyata saya
jauh tertinggal dari anak itu...

Anda mungkin juga menyukai