Anda di halaman 1dari 17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Investasi

Investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan dalam

produksi yang efisien selama periode waktu tertentu (Hartono, 2000). Reilly

dan Brown (1995) mendefinisikan investasi sebagai suatu perjanjian

menempatkan sejumlah uang pada satu atau lebih aset selama periode tertentu

dengan harapan memperoleh penghasilan di masa yang akan datang.

Menurut Hartono (2000) terdapat dua tipe investasi yaitu :

1. Investasi Langsung

Investasi ini berupa pembelian langsung aktiva keuangan suatu

perusahaan. Investasi langsung dapat dilakukan pada :

a. Pasar uang (money market), berupa aktiva yang mempunyai resiko

gagal kecil, jatuh tempo pendek dengan tingkat cair yang tinggi seperti

Treasury bill (T-bill).

b. Pasar modal (capital market), berupa surat-surat berharga pendapatan

tetap (fixed-income securities) dan saham-saham (equity income).

c. Pasar turunan (derivative market), berupa opsi (option) dan futures

contract.

2. Investasi Tidak Langsung

Investasi tidak langsung merupakan pembelian saham dari perusahaan

investasi yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari

11
12

perusahaan-perusahaan lain. Perusahaan investasi adalah perusahaan yang

menyediakan jasa keuangan dengan cara menjual sahamnya ke publik dan

menggunakan dana yang diperoleh untuk diinvestasikan ke dalam

portofolionya.

B. Resiko

Sehubungan dengan investasi, para investor akan memperkirakan

tingkat keuntungan yang akan diperoleh (expected return) untuk suatu periode

tertentu di masa yang akan datang atas investasinya. Namun demikian, belum

tentu tingkat keuntungan yang terealisasi (realized return) sama dengan

tingkat keuntungan yang diharapkan. Adanya ketidakpastian akan tingkat

keuntungan inilah yang diidentifikasi sebagai resiko (Haroyah, 2000).

Menurut Hartono (2000) terdapat dua tipe resiko, yaitu :

1. Resiko Sistematik

Resiko sistematik merupakan tingkat minimum resiko yang dapat

diperoleh bagi suatu portofolio melalui diversifikasi sejumlah besar aktiva

yang dipilih secara acak. Resiko ini merupakan variabilitas dalam total

return suatu sekuritas yang secara langsung berhubungan dengan pasar

secara keseluruhan, sehingga resiko ini tidak dapat dhilangkan dengan

diversifikasi sekuritas atau portofolio. Resiko ini dapat disebut juga

dengan nondiversifiable risk atau resiko pasar (market risk) atau resiko

umum (general risk). Resiko ini terjadi karena kejadian-kejadian di luar


13

kegiatan perusahaan, seperti inflasi, resesi, tingkat bunga maupun kondisi

politik negara.

2. Resiko Tidak Sistematik

Resiko ini merupakan variabilitas dalam total return suatu sekuritas yang

tidak berhubungan dengan pasar secara keseluruhan atau dapat dikatakan

hanya terjadi pada suatu perusahaan tertentu. Resiko ini disebut tidak

sistematik karena pengaruhnya tidak sama terhadap perusahaan yang satu

dengan yang lain. Penyebabnya dari dalam perusahaan seperti resiko

finansial, resiko manajemen dan resiko likuiditas. Resiko ini dapat

dihilangkan dengan diversifikasi sekuritas karena sifat dari resiko ini unik,

yaitu untuk hal buruk yang terjadi pada suatu perusahaan dapat

dihilangkan hal baik pada perusahaan lain.

Penjumlahan resiko sistematik dan resiko tidak sistematik disebut

dengan resiko total. Hubungan antara kedua jenis resiko tersebut dapat dilihat

pada gambar 1.

Gambar II. 1. Hubungan Resiko Sistematik dan Resiko Tidak Sitematik

Resiko tidak sistematik


Resiko
total
Resiko sistematik

Sumber : Hartono (2000)


14

C. Beta

Beta adalah pengukur resiko sistematik dari suatu sekuritas atau

portofolio relatif terhadap resiko pasar. Beta merupakan pengukur volatilitas

(volatility) return suatu sekuritas atau return portofolio terhadap return pasar

(Hartono, 2000). Volatilitas diartikan sebagai fluktuasi dari return-return

suatu sekuritas atau portofolio dalam suatu periode waktu tertentu.

Mengetahui beta suatu sekuritas merupakan hal penting untuk

menganalisis sekuritas atau portofolio tersebut. Beta menunjukkan resiko

sistematiknya yang tidak dapat dihilangkan karena diversifikasi (Hartono,

2000). Menurut Fabozzi (1999) beta merupakan indeks resiko sistematis suatu

aktiva atau suatu portofolio aktiva. Saham dengan koefisien beta sama dengan

satu berarti memiliki resiko yang sama dengan dengan resiko rata-rata pasar.

Koefisien beta lebih dari satu menunjukkan bahwa beta tersebut sangat peka

terhadap perubahan pasar atau memiliki resiko diatas resiko pasar, disebut

sebagai saham yang agresif. Saham yang mempunyai beta kurang dari satu

disebut saham yang defensif dimana saham tersebut kurang peka terhadap

perubahan pasar.

Estimasi beta yang akurat sangat diperlukan investor untuk membuat

keputusan investasi yang tepat. Beta untuk pasar modal yang berkembang

perlu disesuaikan. Alasannya adalah bahwa beta yang belum disesuaikan

masih merupakan beta yang bias disebabkan oleh perdagangan yang tidak

sinkron (non-synchronous trading). Perdagangan tidak sinkron ini terjadi di


15

pasar yang transaksi perdagangannya jarang terjadi atau disebut dengan pasar

tipis (thin market) (Hartono, 2000).

D. Stabilitas Beta

Masalah serius yang dihadapi dalam memperkirakan beta saham

kenyataannya bahwa beta bersifat tidak stabil, yaitu koefisien beta sering

mengalami perubahan. Penggunaan beta sebagai ukuran resiko dalam

penentuan tingkat return yang disyaratkan investor akan lebih berguna jika

beta tersebut relatif stabil (Tandelilin dan Lantara, 2001).

Fabozzi (1999) menjelaskan sedikitnya terdapat dua penyebab

ketidakstabilan beta, yaitu :

1. Kesalahan perkiraan statistik, biasanya berhubungan dengan jangka waktu

dimana pengembalian diukur (harian, bulanan, atau tiga bulanan).

2. Penggunaan beta sebagai indeks tunggal resiko sistematis. Setiap alat ukur

resiko tunggal yang berusaha mengumpulkan seluruh sumber resiko

sistematis dapat bersifat tidak stabil pada saat menghadapi satu atau lebih

penyebab makro ekonomi atau mikro ekonomi dari resiko sistematis yang

mengalami perubahan.

Penelitian banyak dilakukan untuk mengetahui alasan terjadinya beta

yang tidak stabil pada faktor mikroekonomi dan makroekonomi. Brooks, Faff

dan McKenzie (1997) meneliti perubahan yang terjadi pada beta setelah

adanya perubahan peraturan pada Bank individu di pasar Australia dan

menemukan penurunan pada beta setelah perubahan peraturan tersebut.


16

Brooks, Faff dan Ho (1997) meneliti reaksi pasar modal di Amerika Serikat

terhadap perubahan peraturan, seperti dampaknya pada resiko, return, nilai

pasar dan profitabilitas saham industri perbankan. Secara umum, mereka

menemukan perubahan peraturan tersebut memiliki dampak yang substansial,

walaupun tidak sama pada seluruh institusi perbankan, yaitu terdapat

penurunan resiko atau tingkat beta. Brooks dan Faff (1997a) juga melakukan

penelitian pada pasar modal Australia. Mereka meneliti dampak penetapan

kembali peraturan keuangan pada tingkat dan stabilitas beta pada saham

individu dan portofolio. Perbandingan antara periode sebelum dan setelah

deregulasi menunjukkan dampak yang berbeda pada tiap industri. Namun,

secara umum beta setelah deregulasi menjadi lebih stabil dalam sebagian

besar klasifikasi industri utama. Brooks dan Shoung (1998) menemukan

akibat pengendalian modal pada beta industri perbankan di Malaysia yaitu

resiko saham industri perbankan mendekati resiko keseluruhan pasar. Yong,

Brooks dan Faff (2000) menemukan adanya hubungan antara perubahan

dalam resiko beta dengan peristiwa unifikasi pasar modal Hongkong.

Ragunathan, Faff dan Brooks (2000) menemukan bahwa siklus bisnis

memiliki dampak yang besar pada beta saham dan industri portofolio.

E. Telaah Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis

1. Stabilitas Beta Saham

Stabilitas beta pada pasar modal akan sangat berguna bagi para

investor, karena beta yang stabil akan menunjukkan resiko yang stabil
17

pula. Tandelilin dan Lantara (2001) mengungkapkan bahwa penggunaan

beta sebagai ukuran resiko dalam penentuan tingkat return yang

disyaratkan investor akan lebih berguna jika beta tersebut relatif stabil.

Beta dikatakan stabil jika misalnya β A>β B tahun ini tetap terjadi untuk

tahun depan, meskipun bukan berarti bahwa β A tahun ini harus sama

dengan β A tahun depan.

Murray (1995) pada Dublin Stock Exchange (DSE) pada periode

waktu Januari 1987 sampai dengan Desember 1990. Penelitian ini

menggunakan data harga saham dan indeks pasar harian, menemukan

adanya beta yang stabil dengan menggunakan perbandingan empat

metode estimasi beta yaitu metode OLS, metode Cohen, Hawawini,

Mayer, Schwartz dan Whitcomb (CHMSW), metode Vasicek (1973)

dan metode Vasicek Adjusted.

Brooks, Faff dan Ariff (1996) menguji stabilitas beta saham di

KLSE (Kuala Lumpur Stock Exchange) dengan menggunakan model

koefisien random Hildreth-Houck dan Multiplier Lagrange. Penelitian

ini menganalisis ketidakstabilan beta saham di Malaysia pada periode

waktu antara tahun 1986 sampai dengan 1993 dengan menggunakan

data harga saham bulanan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar

saham individual di Malaysia memiliki saham yang selalu berubah.

Mereka juga menemukan karakteristik beta saham di Malaysia, yaitu

semakin tinggi volatility saham pasar dan semakin besar potensi tingkat

beta dan ketidakstabilan beta. Beta saham pada resiko rendah


18

mempunyai tendensi tidak stabil, hal ini berlawanan dengan penemuan

penelitian pada pasar Singapura.

Stabilitas beta saham di New Zealand Stock Market diteliti oleh

Brooks, Faff dan Slade (1997). Data yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu data mingguan dan bulanan pada periode Januari 1987 sampai

dengan Desember 1994. Model estimasi beta yang digunakan model

Hildreth-Houck dan model Rosenberg. Stabilitas beta diuji dengan

menggunakan metode point optimal invariant (POI). Tingkat dan

stabilitas beta diuji dalam dua sub periode yaitu 1987 sampai dengan

1991 dan 1990 sampai dengan 1994. Hasil penelitian ini yaitu bahwa

analisa dengan menggunakan data bulanan menemukan sedikit petunjuk

adanya ketidakstabilan beta saham, sedangkan pada data mingguan

ditemukan beta yang tidak stabil lebih signifikan. Hal ini terjadi karena

adanya efek interval pada stabilitas beta. Hal ini menunjukkan bahwa

interval pengukuran yang lebih pendek akan memperlihatkan

ketidakstabilan beta.

Penelitian Brooks, Faff dan Ariff (1998) pada bursa efek

Singapura pada periode waktu tahun 1986 sampai dengan 1990,

menemukan sebesar 40% saham individu mempunyai beta yang tidak

stabil. Penemuan ini menggunakan analisa interval delapan tahun,

namun tingkat ketidakstabilan beta saham tersebut turun menjadi sekitar

20% ketika diuji dengan mengunakan analisis pada sub periode empat

tahun. Sampel perusahaan dalam penelitian ini sebanyak 41 perusahaan


19

dengan criteria pemilihan sampel perusahaan yang terus listing antara

tahun 1986 sampai dengan 1993. Model penelitian yang digunakan

adalah Multiplier Lagrange dari Brusch dan Pagan. Mereka meneliti

dampak perubahan listing pada stabilitas beta. Hasil yang diperoleh dari

penelitian tersebut bahwa stabilitas beta tidak peka terhadap perubahan

listing. Data harga pasar relatif diperoleh dari Straits Times Index dan

Morgan Stanley Country Index. Morgan Stanley Country index

disesuaikan terhadap aliran dividen dan harga, sedangkan Straits Times

Index tidak disesuaikan. Hal ini memungkinkan untuk menganalisa

apakah aspek konstruksi indeks berpengaruh terhadap stabilitas beta.

Hasil dari perbandingan ini menemukan adanya indikasi kepekaan pada

konstruksi indeks pasar. Untuk melihat kemungkinan beta yang tidak

stabil, mereka menggunakan regresi Blume untuk menguji adanya

tendensi regresi pada nilai beta. Pengujian ini menunjukkan adanya

tendensi regresi dan beta yang tidak stabil antar periode.

Odabasi (2000) dalam penelitian pada Istanbul Stock Exchange

(ISE), Turki mengemukakan bahwa kestabilan beta tergantung pada

interval estimasi. Investor akan lebih baik menggunakan periode

estimasi yang lebih panjang. Penelitian ini menggunakan metode Blume

(1971) untuk menghitung nilai beta dengan sampel sebanyak 100 saham

yang aktif diperdagangkan pada periode 1 Januari 1992 sampai dengan

31 Desember 1997. Kestabilan beta diuji dengan pengujian arithmatic

mean correlation, rank correlation, dan multiple rank correlation.


20

Beta yang tidak stabil pada Bombay Stock Exchange (BSE)

diungkapkan oleh Chawla (2001). Data dalam penelitian ini mengambil

harga penutupan harian 36 saham perusahaan pada BSE-100 index.

Periode observasi diambil yaitu periode Maret 1996 sampai dengan

Maret 2000. Nilai beta dihitung dengan menggunakan model OLS, dan

pengujian stabilitas beta dilakukan dengan penggunaan waktu sebagai

variabel dan penggunaan variabel dummy untuk mengukur perubahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan 50% lebih saham memiliki beta yang

tidak stabil pada teknik OLS. Selanjutnya, pengujian stabilitas

memberikan hasil yang konsisten dengan hasil 20 saham dari 36 saham

observasi memiliki beta yang tidak stabil.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Moonis dan

Shah (2002). Penelitian ini menemukan 52% saham pada BSE-50 index

memiliki beta yang tidak stabil. Data penelitian adalah return harian 50

saham yang aktif diperdagangkan dalam periode waktu 1 Mei 1996

sampai dengan 30 Maret 2000. Pengujian kestabilan beta dalam

penelitian ini menggunakan modified Kalman filter. Metode ini sesuai

dengan masalah pada market model dengan beta yang bervariasi,

dibawah asumsi normalitas dan hemoskedastisitas.

Penelitian mengenai stabilitas beta pernah dilakukan oleh

Pudjiastuti dan Husnan (1993). Mereka melakukan pengujian terhadap

52 saham teraktif diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta, dengan data

harga saham dan IHSG mingguan. Periode penelitian ini selama 1990
21

sampai dengan 1992. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi

positif yang cukup tinggi pada beta saham-saham di pasar modal

Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya stabilitas beta saham di pasar

modal Indonesia.

Penelitian Tandelilin dan Lantara (2001) melakukan penelitian

stabilitas dan prediktibilitas saham-saham di Bursa Efek Jakarta selama

periode 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1996 yang dibagi

dalam tiga sub periode amatan. Data yang digunakan yaitu data harga

saham mingguan dan indeks harga saham mingguan. Beta yang

diperoleh dikoreksi dengan metode Fowler dan Rorke untuk kemudian

diuji stabilitasnya dengan alat uji matrik transisi. Pengujian tersebut

secara keseluruhan mengindikasikan adanya stabilitas beta selama tiga

sub periode amatan, hasil ini konsisten dengan penelitian Pudjiastuti dan

Husnan (1993). Disamping itu juga menemukan adanya indikasi bahwa

stabilitas beta saham cenderung berkurang jika diuji dalam sub periode

yang lebih panjang. Tandelilin dan Lantara (2001) juga mengungkapkan

bahwa prediktibilitas beta saham ditentukan oleh stabilitas beta saham,

sehingga jika beta stabil maka beta tersebut dapat diprediksi. Alat uji

korelasi product moment dan rank order digunakan untuk menguji

prediktibilitas beta saham. Hasil dari pengujian tersebut adalah indikasi

adanya prediktibilitas beta saham antar sub periode amatan.

Dari uraian penelitian terdahulu di atas, maka dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :


22

H0 : Beta saham pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta

tidak stabil.

2. Metode Estimasi Beta Saham

Permasalahan beta saham pada pasar modal yang berkembang

perlu diperhatikan, karena nilai beta saham yang selalu berubah bisa

mengurangi keakuratan hasil estimasi return yang diharapkan dari suatu

investasi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keakuratan estimasi

return suatu investasi, investor memerlukan estimasi ukuran resiko

sistematis yang stabil sehingga nilai beta saham di masa depan bisa

diprediksi. Hal ini mendorong dikembangkannya beberapa metode

estimasi beta saham.

Klemkowsky dan Martin (1975) melakukan penelitian untuk

mengetahui sumber kesalahan peramalan koefisien estimasi beta.

Penelitian ini menguji akurasi peramalan beta dengan menggunakan

Mean Squared Error (MSE) untuk mengukur forecast error. Mean

Squared Error digunakan karena dapat dengan mudah dibagi dalam tiga

komponen forecast error yaitu bias, inefisiensi dan random error.

Mereka meneliti jumlah ukuran portofolio dengan MSE yang diperoleh.

Hasilnya adalah pengelompokan sekuritas ke dalam portofolio

mengurangi total MSE sebagai hasil dari pengurangan dalam komponen

random error, walaupun pada komponen inefisiensi tidak mengalami

perubahan. Mereka juga melakukan pembandingan terhadap tiga metode

estimasi beta yaitu metode Blume (1971), metode Bayesian atau


23

Vasicek (1973) dan metode Meryll, Lynch, Pierce, Fenner, Schmidt Inc.

(MLPFS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode estimasi

Vasicek (1973) memberikan estimasi yang terbaik. Penelitian

menggunakan data return bulanan dari CRSP Investment Return

Performance File dan Fisher’s Investment Performance Index dengan

periode amatan selama Juli 1947 sampai dengan Juni 1972. Kesimpulan

dari penelitian mereka adalah kombinasi antara Bayesian dan ukuran

portofolio yang sesuai akan menimbulkan koefisien beta yang dapat

diprediksi secara lebih akurat.

Penelitian yang dilakukan oleh Brooks, Faff dan Lee (1992) pada

pasar modal Australia menggunakan model Hildreth-Houck dan model

Rosenberg yang kemudian diuji dengan menggunakan metode point

optimal invariant (POI). Mereka menemukan model Hildreth-Houck

merupakan model yang tepat pada bentuk resiko sistematik yang

bervariasi, jika dibandingkan dengan model Rosenberg. Data penelitian

ini menggunakan data return bulanan yang diperoleh dari Price

Relatives File pada Centre of Research di Australia dengan periode

waktu amatan 1978 – 1987.

Murray (1995) melakukan pengujian stabilitas beta pada Data

Harian Irlandia dengan empat metode estimasi beta yaitu : metode

model pasar, metode Cohen, Hawawini, Mayer, Schawrts dan

Whitcomb (metode CHMSW), metode Vasicek (1973), dan metode

Adjusted Bayesian. Periode waktu yang diteliti adalah Januari 1987


24

sampai dengan Desember 1990 menggunakan data harga saham dan

indeks pasar harian. Nilai beta yang diperoleh pada masing-masing

metode menunjukkan bahwa metode Vasicek (1973) lebih berhasil

mengurangi bias dengan nilai mean, median dan variance yang rendah.

Pengujian stabilitas beta tahunan dilakukan dengan menggunakan

second pass regression. Hasil pengujian ini menunjukkan beta Vasicek

(1973) lebih prediktabel dibandingkan dengan estimasi CHMSW.

Mereka juga menemukan penggunaan jumlah lead dan lag yang lebih

besar pada metode CHMSW tidak mempengaruhi stabilitas beta, hal ini

bertentangan dengan penemuan Hartono dan Surianto (2000). Murray

(1995) menilai kinerja estimasi beta dengan Mean Squared Forecast

Error (MSE), yang kemudian dibagi menjadi tiga komponen bias,

inefisiensi dan random error. Nilai MSE pada beta Vasicek (1973)

adalah yang paling rendah, yang menunjukkan bahwa beta Vasicek

merupakan prediktor yang paling efisien. Beta Vasicek (1973)

merupakan paling akurat karena memiliki tingkat random error yang

paling rendah.

Penelitian Brooks, Faff dan Slade (1997) mengenai stabilitas beta

saham di New Zealand Stock Market dengan data mingguan dan

bulanan pada periode Januari 1987 sampai dengan Desember 1994 juga

menggunakan model estimasi beta Hildreth-Houck dan model

Rosenberg, sedangkan stabilitas beta diuji dengan menggunakan metode

point optimal invariant (POI). Tingkat dan stabilitas beta diuji dalam
25

dua sub periode yaitu 1987 sampai dengan 1991 dan 1990 sampai

dengan 1994. Hasil yang diperoleh berbeda dengan penelitian

sebelumnya. Mereka menemukan bahwa model yang komplek pada

perubahan beta seperti model Rosenberg didukung dengan penggunaan

data dengan frekwensi yang tinggi.

Brooks dan Faff (1997a) melakukan penelitian pada pasar

Australia. Penelitian ini membandingkan metode peramalan beta dengan

menggunakan data bulanan saham individual periode Januari 1983

sampai dengan Desember 1992 dengan sampel sebanyak 142 saham

perusahaan. Metode yang dibandingkan adalah metode OLS, metode

Blume (1971), metode Brooks dan Faff (1997a, b), metode Vasicek

(1973) dan metode general weighting. Perbandingan dari empat metode

ini menggunakan perhitungan mean forecast error (MFE), mean

absolute forecast error (MAFE) dan mean squared forecast error

(MSFE). Mereka menemukan metode peramalan yang kompleks tidak

begitu bermanfaat pada usaha penghitungan tambahan. Hal ini

ditunjukkan oleh nilai MFE, MAFE dan MSFE paling rendah pada

metode yang paling sederhana.

Brooks dan Faff (1997b) juga melakukan penelitian di pasar

Malaysia dengan cara yang sama. Penelitian ini mengambil periode

waktu dari 1986 sampai dengan 1991 yang dibagi dalam dua sub

periode yaitu 1986 sampai 1989 dan 1990 sampai 1991. Metode yang

dibandingkan terdapat empat metode yaitu metode Blume (1971),


26

metode Vasicek (1973), metode Brooks dan Faff (1997a, b) dan metode

general weighting. Dari perbandingan nilai MFE, MAFE dan MSFE

tersebut diperoleh bahwa transformasi sederhana dari Brooks dan Faff

(1997a, b) memberi estimasi beta yang terbaik pada periode pertama dan

sebaliknya metode Vasicek (1973) memberikan mean squared error

yang terbesar. Pada periode kedua teknik Vasicek (1973) memberikan

estimasi beta yang terbaik, dan sebaliknya mean squared error pada

teknik Brooks dan Faff yang terbesar. Hal ini disebabkan adanya

kecepatan putaran estimasi beta terhadap rata-ratanya. Brooks dan Faff

(1997a, b) bekerja dengan baik pada putaran yang sedang sementara

metode Vasicek (1973) pada putaran beta yang lebih lambat.

Lally (1998) dan Fabozzi (1999) mendukung penemuan Murray

(1995), melakukan perbandingan antara metode Blume (1971) dan

metode Vasicek (1973). Hasil penemuannya bahwa metode Vasicek

(1973) mempunyai kelebihan yang lebih baik dalam menghindari

perkiraan implisit dari beberapa kecenderungan beta yang sesungguhnya

beregresi kearah satu. Penemuan terakhir konversi awal dengan estimasi

beta metode regresi indeks tunggal (OLS) memberikan perbaikan pada

estimasi beta. Metode yang diajukan Vasicek (1973) menurut Fabozzi

(1999) memberikan tingkat ketepatan yang lebih tinggi dari pada

metode Blume (1971).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan

penelitian untuk menunjukkan metode estimasi beta saham yang paling


27

tepat untuk digunakan pada Bursa Efek Jakarta antara metode OLS,

metode Blume (1973), metode Vasicek (1973) dan metode Brooks dan

Faff (1997a, b).

Anda mungkin juga menyukai