Oleh; M. Zamroni
A. Pengertian
Istihsan secara bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik, sedangkan Istihsan
menurut istilah para Ushuliyyin adalah berpalingnya seorang Mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada qiyas yang khofy (samar) atau
berpalingnya Mujtahid dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy
(pengecualian) karena adanya dalil yang tersirat pada aqalnya yang
menyebabkan dia mencela aqalnya dan memenangkan keberpalingan ini. Atau
meninggalkan hukum-hukum yang jelas ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara', menuju (menetapkan) hukum
lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara' yang
mengharuskan meninggalkannya.
Imam Hanafiah terkenal dengan orang yang menggunakan istihsan, sehingga
orang yang membaca kitab-kitabnya sering kali menjumpai teks ibarat yang
berbunyi: hukumnya masalah-masalah ini adalah menggunakan dalil qiyas seperti
ini dan dalil istihsan seperti ini. Kalangan Hanafiyah menjadikan dalil istihsan
sebagai acuan dan meninggalkan dalil qiyas karena dalil istihsan merupakan
salah satu macamnya qiyas, sehingga istihsan merupakan qiyas khofy di dalam
penukaran qiyas jali. Hal ini merupakan sebuah tanda; bahwasanya dalil istihsan
adalah dali yang paling utama untuk di Implementasikan dan Imam Abu Hanifah
R.a adalah orang yang menguasai tentang dalil istihsan, akan tetapi muridnya
Muhammad bin Hasan berkata: sesungguhnya murid-murid Imam Hanafi
mencegah menggunakan dalil istihsan. Ulama Malikiyah menulis bahwa istihsan
adalah meninggalkan dalil atas dasar pengcualian dan memberikan rukshah
karena ada sesuatu yang menentangnya, disamping itu Imam Malik menilai,
pemakaian istihsan merambat 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara itu, murid-
murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan, tidak sejalan
dengan gurunya. Sebagai catatan, Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai
hujjah dengan syarat, "meninggalkan qiyas karena jika dilihat kepada 'illatnya,
berlawanan dengan kemaslahatan manusia dan syara' telah memandangnya".
Pada hakikatnya istihsan secara bahasa adalah menganggap dan mempercayai
sesuatu itu baik dan diantara para ulama tidak terdapat perbedaan di dalam
kebolehannya menggunakan lafadz istihsan karena ada dalil al-Qur'an yang
menjelaskan tentang lafadz istihsan, sebagaimana Firman Allah SWT yang
berbunyi:
39 :)الذين يستمعون القول فيتبعون احسانه )الزمر
Artinya: "Yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya".
Dan firman Allah SWT yang berbunyi:
145 : )وامر قومك ياخذوا باحسنها )العراف
Artinya: "Suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan
sebaik-baiknya".
Dan dijelaskan juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud
yang berbunyi :
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya: "Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga dihadapan
Allah adalah baik. (HR. Ahmad Ibn Hanbal).
Sebuah prinsip hukum Islam yang berkaitan erat dengan prinsip istishlah Imam
Malik, yang dengannya hukum Islam ditegakkan di atas petunjuk-petunjuk yang
tersimpan di dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Ia merupakan prinsip kerja yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab fikih Hanifah. Ia secara
langsung menunjukkan ekspresi dari sebuah ide bahwa hikmah keadilan yang
telah ditetapkan oleh Tuhan mestilah diterapkan dalam perumusan dan penafsiran
hukum Islam. Pada masa sekarang ini, prinsip moralitas hukum ini menjadi dasar
terkuat atas diakuinya unsur keragaman hukum negeri-negeri muslim. Meskipun
demikian, pada prinsipnya hukum yang dirumuskan manusia mestilah tidak
bertentangan dengan hukum Tuhan.
B. Macam-macamnya
Melihat dari difinisi istihsan secara istilah, menjadi jelas bahwa istihsan terbagi
menjadi dua macam, yaitu: pertama, mengunggulkan qiyas yang khofy (samar) di
atas qiyas yang jaly (jelas) dengan menggunakan dalil. kedua, mengecualikan
juz'iyyah (bagian) dari hukum kully dengan dalil.
1. Mengungguli qiyas khofy atas qiyas jaly dengan dalil
Ulama Fiqh Hanafiyah menegaskan bahwa orang yang mewaqofkan; jika dia ridho
mewaqofkan pertaniannya, maka hak mengalirkan air, hak minum, dan hak lewat
adalah masuk di dalam perwaqofan. Karena mengikutkan sesutu yang tidak
disebutkan di dalam waqof sebagai istihsan. Pada dasarnya waqof yang
disebutkan tadi tidak masuk kecuali dengan adanya penegasan, seperti mabi' .
Bentuk istihsan disini adalah mengambil manfa'atnya orang yang menerima
waqof dari perwaqofan dan tidak boleh mengambil manfa'at tanah pertanian
kecuali minum, mengalirkan air dan lewat. Karena waqof itu hanya masuk pada
hal-hal yang sudah disebutkan, seperti; aqad ijaroh.
Qiyas Dzohir-nya adalah menyamakan waqof ini dengan bai', karena masing-
masing dari keduanya itu mengeluarkan kepemilikan dari pemiliknya. Sedangkan
qiyas khofy adalah menyamakan waqof ini dengan ijaroh, karena masing-masing
dari keduanya itu adalah bertujuan pengambilan manfa'at. Hal ini tergambar dari
masuknya mengalirkan air, minum dan lewat didalam menyewakan tanah dengan
tampa menyebutkannya, begitu juga masuknya mengalirkan air, minum dan
lewat di dalam waqof tanah dengan tampa menyebutkannya.