Anda di halaman 1dari 9

Sebuah suara nyaring terdengar: traaang….

Suara kaleng
minuman kosong ditendang anak-anak berseragam
merah-putih, saat mereka dalam perjalanan pulang
menuju rumah masing-masing. Dengan tawa-tawa polos
yang ditingkahi sorakan, mereka berebut untuk
menendang dan menggiringnya. Mungkin di dalam
pikiran mereka, kaleng itu adalah sebuah bola kaki
bermerek Adidas Teamgist yang biasanya digiring oleh
bintang-bintang piala dunia. Mereka asyik melakukan itu
di sebuah ruas jalan utama kota wisata yang penuh
dengan aktivitas  itu.
Tak lama berselang, traaaak…!, bagaikan  tendangan
bintang sepak bola nasional Elie Eboy, kaleng itu
melayang dan tepat berada di tengah-tengah jalan. Tidak
sampai sedetik kemudian telah gepeng dilindas sebuah
mobil angkutan umum. Terdengar komentar dan
penghakiman antarmereka untuk mencari “tersangka”
dengan tuduhan “telah menghilangkan alat permainan”.
Perjalanan pulang sekolah yang terasa tidak begitu
melelahkan tadi, kini mereka teruskan dengan wajah letih.
Bola kaleng, tak lagi dipikirkan.
***
Oought…! Sangat sakit badanku. Satu jam yang lalu,
tubuhku masih mulus, tapi kini telah cacat. Mungkin
karena aku terus berpindah tempat, walaupun terkadang 
menetap, tapi  itu pun tidak dalam hitungan jam.
Aku dihempas ke kiri, terbanting ke kanan. Tanpa
kusadari aku telah berada jauh dari tempat asalku.
Wajahku telah berubah. Aku semakin pipih dan tipis bagai
sehelai daun. Aku mendengar suara azan Ashar dari
sebuah masjid di dekatku terhempas ke pinggir jalan.
Hempasan terakhir ketika sebuah motor sport dengan
kecepatan tinggi sedikit menyenggol badanku, senggolan
yang memberikan efek yang luar biasa bagi posisiku. Aku
aman. “Alhamdulillah,” ucapku dalam hati. Jika aku bisa,
tentulah otak dan organ tubuhku serta syarafku, akan
kuperintahkan ber-tahmidkepada Sang Khalik  untuk
mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya.
Aku tetap diam dalam persembunyian, mengintip dan
menilai. Menyesali bahkan mungkin mencaci tingkah
sekelompok makhluk yang bernama manusia. Makhluk
yang memiliki jutaan sel yang membentuk jaringan untuk
menjadi sebuah organ yang tergabung dalam sistem organ
yang menyebabkan manusia menjadi suatu organisme
yang sempurna. Tapi belum seluruhnya mereka mampu
mengucapkan satu kata untuk mengungkapkan rasa
syukur atas jutaan nikmat yang telah diberikan-Nya pada
mereka. Naudzubillah! Tapi inilah hidup, sesuatu yang
dianggap tidak mungkin, malah itulah yang terjadi.
Aku kembali meratapi nasibku. Hampir setengah jam aku
berjemur di bawah terik matahari kota Bukittinggi.
Ratusan orang lalu-lalang di dekatku tanpa ada satu pun
yang memperhatikan atau memperdulikanku. Dan … tiba-
tiba tanpa aku sadari badanku terangkat ke atas. Aku
berada di genggaman seorang laki-laki. Laki-laki itu
memungutku dari jalanan ini. Laki-laki bercelana pendek
hitam sedikit di bawah lutut, berkemeja coklat lusuh, yang
sudah tidak pantas lagi dipakai. Sebuah topi kumal yang
dipasang terbalik di kepala dan sepasang sandal jepit yang
berbeda motif dan warnanya, itulah penampilan kasat
mata tentang pria yang telah mengangkat tubuhku dari
panasnya jalan ini. Aku berpikir, apakah aku akan lebih 
menderita di tangan lelaki ini? Atau dialah dewa
penyelamat yang akan mengangkat derajatku?
Aku dibawa ke mana-mana, menapaki perjalanan panjang
yang sudah cukup jauh. Kami melewati Pasar
Atas, Janjang 40*. Aku dan dia berhenti di belakang
sebuah warung makan yang telah tutup.
Aku membatin. Berjuta tanya tak terjawab muncul di
benakku. Pertanyaan yang berawal dari: “di sinikah
tempat peristirahatan terakhirku? Mau diapakan diriku?
Untuk apa dia membawaku jauh-jauh ke sini?”
Dan … seketika lamunanku tersentak. Aku sangat kaget
melihatnya mengeluarkan sebuah pisau kecil mengkilap
dari belakang pinggangnya. Dia menatapku dengan mata
berbinar. Aku melihat ada cahaya gemerlap di matanya.
Dia masih mengamatiku dengan sungguh-sungguh. Tak
ada bagian tubuhku  yang terlewatkan oleh tatapan atau
elusan tangannya, dan tanpa kusadari ia telah menekan-
nekan tubuhku dan memasukkan berbagai benda-benda
keras ke dalam tubuh tipisku.
Aku pasrah, bahkan aku tak menjerit. Sedikit demi sedikit,
aku merasakan ada perubahan bentuk tubuhku, tidak
pipih dan gepeng lagi. Sudah lebih setengah jam, dia
menjalankan aktivitasnya. Kulihat dia mulai keletihan dan
aku juga makin merasakan perubahan pada diriku, aku
mulai merasa nyaman dan perasaanku sedikit lebih
normal daripada keadaan tubuhku yang tadi. Ternyata dia
orang baik.
Aku berusaha membuatnya mengerti bahwa aku sangat
berterimakasih.
Tak lama kemudian ia mengambil pisaunya yang sempat
ia lepaskan tadi, dan mulai menyayat wajah paling atas.
Aku kesakitan. Raungku tak menyurutkan langkahnya
untuk melanjutkan niatnya. Bagian atas tubuhku memang
sudah cacat sejak lahir ke dunia ini. Sebuah lubang kecil di
pipiku, dan biasanya di lubang itulah mulut-mulut
menempel menikmatiku. Dia tak mau lubang itu tetap
bersemayam dan akhirnya tidak begitu lama, mungkin
hanya lima menit, laki-laki ini telah selesai
menelanjangiku. Dia telah membuang bagian atas
tubuhku.
Dia membuatku malu karena bagian bawah dan bagian
dalam tubuhku dapat terlihat siapa pun. Aku sebenarnya
malu kerena bagian tubuhku tidak sebagus dan semulus
dulu.
Tapi entah mengapa, aku masih merasa beruntung karena
aku masih punya rasa malu sehingga gunjingan dan
cemoohan dapat kutepis dengan “ini semua bukan
kemauanku”.
Aku bukan manusia-manusia sekarang, yang telah
diberikan Allah bentuk tubuh indah tapi tidak punya rasa
takut dan malu untuk mempertontonkannya. Dengan
mudahnya mereka biarkan auratnya terbuka sehingga
semua orang dapat menikmatinya.
Sering kulihat di masa laluku, mereka memakai baju
kekecilan. Aku selalu berpikir, bahwa mereka sedang
memakai baju adiknya. Perempuan-perempuan itu
memakai baju kaos ketat yang selalu tergantung di atas
pusatnya. Celananya pun tak kalah ketat sehingga
mencetak lakuk-lekuk tubuhnya. Astagfirullah… dalam
situasi diriku yang tak tahu akan berujung seperti apa, aku
kok masih sempat memikirkan orang lain?
***
Azan Magrib pun berkumandang dari semua penjuru. Dan
jelas kudengar, suara yang paling merdu itu dari Masjid
Raya yang tak pernah sepi oleh para pedagang yang
mengais rezeki di Pasar Atas. Dulu, aku sering berdecak
kagum setiap melihat mereka bergegas menuju masjid itu.
Aku agak lama juga tinggal di depan masjid itu. Tiap hari
yang punya rumah berdoa agar aku cepat pergi.
Dari tempat itulah aku sering mengungkapkan rasa
salutku, “Kalian adalah umat-Nya yang tahu bersyukur.”
Apakah aku larut dalam lamunan? Ke mana laki-laki tadi?
Rasanya aku tadi ditinggal sendirian dan kapan dia datang
lagi? Dan kini, saat aku terbaring tidur di sebelah makhluk
aneh ini.
Aku pun sempat berpikir, “Tidakkah laki-laki ini
mendengar suara azan itu? Apakah pura-pura tidak
dengar atau dia memang kelelahan? Yang pasti dia seakan
terbuai dan dininabobokkan sampai ketika azan Isya pun
memanggilnya. Bahkan aku muak mendengar
dengkurannya.
Ingin aku lari dan menyelamatkan diri. Tapi entah ke
mana? Apakah aku akan jadi lebih baik? Atau….
***
Aku tertidur enak, bahkan azan Subuh pun tak bangunkan
aku. Ketika aku terbangun, laki-laki itu tiada. Apakah laki-
laki itu pergi shalat? Semoga ia mohon ampun atas
dosanya yang telah meninggalkan shalat kemarin. Aku
rela selalu berada di dekatnya, asal dia mengenal
Penciptanya. Aku tak peduli akan diapa-apakannya.
“Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,”
kudengar suara di depan pintu masuk tempat tinggalnya.
Dia melangkah masuk. Ya Tuhan, sarung yang dipakainya,
kopiah hitam di kepalanya dan tasbih di tangannya.
Aku diam, aku berada di tangan orang baik-baik. Aku rela
mendampinginya. Kulihat tangannya meletakkan tasbih di
dekat sebuah Al Quran kecil dalam kardus kecil.
Kemudian sarung dan bajutaluak balango*, dilipat dan
juga  dimasukkan ke kardus itu, terakhir kopiah pun
dimasukkannya.
Kardus itu ditutup rapi dan masuk kantong plastik. Di
bagian bawahnya, di luar plastik ada sajadah lusuh.
Rasanya, kantong ini juga kemarin selalu dijinjingnya
sejak aku bertemu dengannya. Dan pagi ini pun dia
menjinjingnya, kemudian pergi.
Aku ditinggalkannya, setelah melemparkanku ke pojok.
Aku tergeletak dan kulihat, aku tidak sendiri. Banyak
kawanku yang bernasib sama. Kami bergabung dan
bertukar cerita. Tak satu pun yang bersedih. Aku jadi
banyak tahu tentang dia
“Dia alim, shalatnya tidak pernah tinggal,” kata temanku.
“Ada, waktu aku baru ikut bersamanya, dia tidak shalat
Magrib dan Isya,” kataku, karena aku ingat dia tidur pulas
dan mendengkur.
“Dia memang sering tertidur setelah pulang shalat Magrib,
tapi tengah malam dia akan terbangun untuk shalat Isya,”
kata yang lain menimpali.
Aku ingat, berarti dia menghilang saat Magrib, dia pergi
shalat. Kami terus bercerita tentang mau diapakan kami
selanjutntya, tentang sudah banyak yang pergi dari sini
dan tentu akan banyak juga yang akan dibawa ke sini.
Tidak ada yang tahu ke mana laki-laki itu membawa
teman-teman yang sudah pergi dari sini, karena kata
mereka, “Tidak ada yang kembali.”
Entah mengapa aku juga tidak takut, tidak sedih apalagi
jika tiap hari sepulang dari perjalanannya, dia selalu
menyentuhku. Mulai sentuhan tangan dan benda-benda
halus bahkan tak jarang dengan benda-benda kasar dan
tajam. Seperti kata teman-temanku.
“Percayalah, dari hari ke hari, kita akan semakin cantik
dan mulus dibuatnya,” ujar seorang temanku.
“Jika tiba harinya, dia akan membawa kita pergi dari sini,”
jelas yang lain.
“Artinya, kita akan berpisah?” kataku.
“Ya, ketika datang ke tempat ini, kita terkadang sendiri
tapi juga bisa serentak. Tapi ketika meninggalkan tempat
ini kita selalu bersama-sama.”
“Memang sedih, tapi itulah alur yang harus kita lalui jika
sudah hidup bersamanya.”
“Rasanya, aku ingin cepat pergi! Biar kutahu ke mana kita
dibawanya,” kataku mengakhiri percakapan malam itu.
“Amin, amin ya rabbal ‘alamin.” Doa kami bersama
***
Tadi malam, laki-laki itu telah memilih-milih yang akan
diberangkatkan hari ini. Aku termasuk yang dipilih. Sudah
sebulan aku hidup bersamanya. Rasa penasaranku
semakin tinggi. Kami yang akan meninggalkan rumah ini,
saling mematut diri. Siapa yang paling mulus? Paling
cantik? Paling rapi? Namun, terlalu sulit bagi kami
masing-masing untuk memilih sang juara. Kami punya
kelebihan masing-masing. Mungkin laki-laki itu bahagia
berselimut bangga dapat mempersembahkan kami kepada
yang mau memiliki.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Kudengar dia melafalkan di
awal langkahnya. Kami mengikuti langkah-langkah itu.
Kata pamit pada yang belum bisa ikut hilang dibawa
angin. Biarlah mereka lebih lama menemani laki-laki ini
dan menyaksikan dia shalat malam dengan doa yang
begitu panjang sambil menadahkan tangan. Aku tak bisa
melupakan di antara doa-doanya, bahkan nyaris hafal, dan
tadi malam dia pun berdoa.
“Ya Tuhanku, ampuni dosa-dosa hamba-Mu ini, dosa ibu
bapakku. Berikanlah rejeki yang halal bagiku, agar aku
apat menghidupi kedua adikku, dan dapat melanjutkan
pendidikannya. Kepada siapa mereka akan minta tolong
setelah kedua orangtua kami Engkau panggil untuk
menghadap-Mu? Aku teringat, mereka meninggal karena
kelaparan.
Demi kami bertiga makan, mereka berdua menahan
laparnya sampai hari itu, hembusan nafas terakhirnya
seakan teriakan padaku, ‘Jangan kau sia-siakan adik-
adikmu!’ Adikku masih kecil-kecil, Tuhanku. Hamba-Mu
ini menitipkan mereka ke dunsanak* jauh, di kaki gunung
Singgalang, karena tak mungkin hamba membawanya
bernaung ke dalam rumah-rumahan ini.
Biarlah hamba makan sekali sehari dan menahan lapar,
asal setiap bulan dapat pulang mengantar uang makan-
minum dan keperluan sekolah mereka. Besok hamba akan
bawa pesanan-pesanan ini, semoga Engkau berikan
kemudahan.
Semua telah kubuat sesuai yang diinginkan pemesan, tapi
jika itu ada kekurangan, hamba-Mu ini makhluk yang
tidak sempurna, penuh kelemahan. Rabbânâ âtinâ fi ‘d-
dun-yâ hasanah wa fi ‘l-âkhirat-i hasanah wa qinâ
‘adzâba ‘n-nâr… âmîn….”
Kulihat dia sujud di sajadah yang sudah tipis itu, dan
sesenggukan menagis. Ingin aku mengelus pundaknya,
membujuk, tapi aku tak mampu. Aku diam dan
membiarkannya dan ketika dia kembali duduk, pipinya
masih penuh airmata.
Matanya sembab dan merah. Dia habis menangis. Seperti
biasanya, semua perlengkapan shalat itu ditata rapi dalam
kardus kecil yang dilapisi kantong plastik. Benda-benda
itu selalu mendampinginya berkelana setiap hari untuk
tunaikan shalat Zuhur serta Ashar, di mana pun masjid
terdekat yang dilaluinya.
Kakinya berhenti melangkah. Berdiri di depan seseorang.
Mengucapkan salam dan berbasa-basi. Kemudian dia
menyerahkan kami dengan sopan.
“Ini, Pak Haji. Aku sudah menyelesaikan dua puluh buah,
semoga Pak Haji bisa menjualkannya.”
Pak Haji meneliti satu persatu, sesekali terdengar
pujiannya dan tak jarang juga terdengar kritikannya.
Kurang licin, warna terlalu kontras, ukuran kebesaran
atau kekecilan dan lainnya. Laki-laki itu dengan sabar
selalu menerima kritikan dan berjanji akan memperbaiki
dan setiap pujian tak membuatnya merasa bangga, tapi
dia selalu berucap “Alhamdulillah…” dari bibirnya yang
selalu kering karena tak pernah tersentuh vitamin C.
Yah, sebulan aku bersamanya tak pernah kulihat dia
memakan buah dan sayuran. Nasi pengganjal perutnya
saja dari belas-kasih pemilik rumah makan di depan
tempat tinggalnya. Itu pun jika orang itu mau memberi,
kalau tidak… ya puasa, menahan haus dan dahaga.
“Mengapa hanya dua puluh buah, Nak?” tanya Pak Haji.
“Kaleng-kaleng bekas sekarang tidak banyak lagi
berhamburan di jalanan karena sudah ada UU yang
mengatur denda jika membuang sampah sembarangan.
Kota ini akan jadi Kota Bebas Sampah, kata Pak Wali
Kota!” Kudengar kalimat itu keluar dari mulutnya dan
wajahnya pun mengikuti perasaan batinnya yang gundah.
“Biarlah, Pak Haji. Saya bangga pada Pak Wali Kota kita.
Kota jadi bersih dan tak akan ada lagi anak-anak pulang
sekolah yang menendang kaleng-kaleng minuman
kosong.”
“Bagaimana dengan usahamu ini, Nak?” balas Pak Haji.
“Saya akan kerja sama dengan para penjual minuman
kaleng, Pak.”
“Baguslah, semoga Tuhan selalu memberi petunjuk
padamu dan janganlah engkau pernah melupakan-Nya.
Tuhan tidak pernah tidur. Dia Pencipta skenario terbaik
buat umat-Nya, yang kita pun tidak akan pernah tahu
rencana-Nya.”
“Terimakasih, Pak?” ucap laki-laki pengumpul kaleng
minuman bekas itu, sambil tangannya menerima sejumlah
uang dari tangan Pak Haji, orang yang menampung
benda-benda kerajianan tangan dari bahan bekas.
“Saya pamit dulu, Pak. Sore ini saya akan pulang menemui
adik-adik untuk berikan uang jajan mereka.
Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
***
Kini aku si kaleng bekas yang sudah diselamatkan oleh
umat-Nya yang tak pernah putus asa, terpajang di lemari
kaca, menunggu jika ada tangan-tangan lain yang ingin
merangkulku. Tempatku yang sekarang jauh lebih nyaman
daripada ketika aku di depan Masjid Raya atau di rumah
kardus sang manusia penyelamatku.***

Anda mungkin juga menyukai