Anda di halaman 1dari 7

FATWA-FATWA

MUSYAWARAH NASIONAL VIII


MAJELIS ULAMA INDONESIA

1. FATWA TENTANG PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN


TERBALIK
Ketentuan Hukum
1. Pada dasarnya, seseorang terbebas dari dakwaan perbuatan
salah sampai adanya pengakuan atau bukti-bukti lain yang
menunjukkan bahwa seseorang tersebut bersalah. Dengan
demikian, fikih Islam menganut asas praduga tak bersalah
dalam hukum. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada
penyidik dan penuntut, sedang sumpah bagi orang yang
mengingkarinya.
2. Pada kasus hukum tertentu, seperti penguasaan kekayaan
seseorang yang diduga tidak sah, dimungkinkan penerapan
asas pembuktian terbalik jika ditemukan indikasi (amarat al-
hukm) tindak pidana, sehingga pembuktian atas
ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.

Rekomendasi

1. Perlu dipertimbangkan untuk merevisi beberapa ketentuan


peraturan perundang-undangan, agar dimungkinkan adanya
sistem pembuktian terbalik untuk menegakkan kemaslahatan
umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat
kesulitan pembuktian material.
2. Para penegak hukum diharapkan dapat menangani dan
mengadili perkara korupsi sekalipun hanya dengan
menggunakan pendekatan pembuktian terbalik.

2. FATWA TENTANG NIKAH WISATA

Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Nikah Wisata adalah
bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan
rukun pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan untuk
sementara.

Ketentuan Hukum
Nikah Wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang
dikenal dengan istilah nikah mu’aqqat, hukumnya haram.

3. FATWA TENTANG PENGGANTIAN DAN PENYEMPURNAAN


ALAT KELAMIN

Ketentuan Hukum
A. Penggantian Alat Kelamin
1. Merubah alat kelamin yang dilakukan dengan sengaja,
misalnya dengan operasi ganti kelamin, dan tidak ada
alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan, hukumnya
haram.

2. Membantu melakukan operasi ganti kelamin


sebagaimana point 1 hukumnya haram.

3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi


penggantian alat kelamin sebagaimana point 1 tidak
dibolehkan, sehingga tidak memiliki implikasi hukum
syar’i terkait penggantian tersebut.

4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah


melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana point 1
adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti
sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski telah
memperoleh penetapan pengadilan.

B. Penyempurnaan Alat Kelamin


1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa
yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan
kelaki-lakiannya, atau sebaliknya, hukumnya boleh.

2. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin


sebagaimana point 1 hukumnya boleh.

3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin harus


didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya
pertimbangan psikis semata.

4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi


penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dibolehkan,
sehingga memiliki implikasi hukum syar’i terkait
penyempurnaan tersebut.

5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah


melakukan operasi penyempurnaan kelamin adalah
sesuai dengan kelamin setelah penyempurnaan sekalipun
belum memperoleh penetapan pengadilan terkait
perubahan status tersebut.

Rekomendasi

1. Kementerian Kesehatan RI diminta untuk membuat


regulasi pelarangan terhadap operasi penggantian alat
kelamin dan pengaturan pelaksanaan operasi
penyempurnaan alat kelamin dengan berpedoman pada
fatwa ini;
2. Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat
kode etik kedokteran terkait larangan praktek operasi
ganti alat kelamin dan pengaturan bagi praktek operasi
penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa
ini sebagai pedoman.
3. Mahkamah Agung diminta membuat Surat Edaran kepada
hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian
jenis kelamin dari hasil operasi ganti alat kelamin.
4. Ulama dan psikiater (ahli kejiwaan) diminta aktif
melakukan pendampingan terhadap seseorang yang
memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi perilaku
seksual, agar kembali normal.

4. FATWA TENTANG PUASA BAGI PENERBANG (PILOT)

Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Penerbang (Pilot) adalah awak/kru pesawat yang bertugas
menerbangkan pesawat komersial.
2. Musafir tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan secara
terus menerus.
3. Musafir tidak tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan
temporal.

Ketentuan Hukum :
1. Penerbang (Pilot) boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan
sebagai rukhshah safar (keringanan karena bepergian); dengan
ketentuan:
b. penerbang yang berstatus musafir tetap dapat mengganti
dengan membayar fidyah;
c. penerbang yang berstatus tidak tetap wajib mengganti puasa di
hari lain.
2. Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan
hukumnya haram karena bertentangan dengan syariat Islam.

5. FATWA TENTANG INFOTAINMENT


Ketentuan Hukum
1. Menceritakan aib, kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait
pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
2. Upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib,
kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada
orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
3. Menayangkan dan menyiarkan berita yang berisi tentang aib,
kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada
orang lain hukumnya haram.
4. Menonton, membaca, dan atau mendengarkan berita yang berisi
tentang aib, kejelekan orang lain, gosip, dan hal-hal lain sejenis
terkait hukumnya haram.
5. Mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib,
kejelekan orang lain, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi
kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
6. Menayangkan dan menyiarkan, serta menonton, membaca, dan
atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib, kejelekan
orang lain, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi dibolehkan jika
ada pertimbangan yang dibenarkan secara syar’i, seperti untuk
kepentingan penegakan hukum, memberantas kemunkaran,
memberi peringatan, menyampaikan pengaduan/laporan,
meminta pertolongan dan/atau meminta fatwa hukum.

Rekomendasi

1. Pemerintah diminta merumuskan aturan untuk mencegah konten


tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban,
kesusilaan, dan nilai luhur kemanusiaan.
2. Komisi Penyiaran Indonesia diminta untuk meregulasi tayangan
infotainment untuk menjamin hak masyarakat memperoleh
tayangan bermutu dan melindunginya dari hal-hal negatif.
3. Lembaga Sensor Film diminta mengambil langkah proaktif untuk
menyensor tayangan infotainment guna menjamin terpenuhinya
hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu.

6. FATWA TENTANG BANK SPERMA DAN BANK ASI

1. Mendonorkan dan atau menjualbelikan sperma hukumnya


HARAM karena bertentangan dengan hukum Islam dan akan
menimbulkan kekacauan asal-usul serta identitas anak.
2. Mendirikan bank sperma dengan tujuan seperti tersebut di point
satu hukumnya HARAM.
3. Mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat sebagai
berikut:
1. Dilakukan dengan musyawarah antara orang tua bayi
dengan pemilik ASI sehingga ada kesepakatan dua belah
pihak, termasuk pembiayaannya.
2. Ibu yang mendonorkan ASI-nya harus dalam keadaan
sehat dan tidak sedang hamil.
3. Bank tersebut mampu menegakkan dan menjaga
ketentuan syariat Islam.

7. FATWA TENTANG PENCANGKOKAN (TRANSPLANTASI) ORGAN


TUBUH

Ketentuan Hukum

1. Orang yang hidup haram mendonorkan organ tubuhnya kepada


orang lain.
2. Orang yang hidup boleh mewasiatkan untuk mendonorkan organ
tubuhnya kepada orang lain, dan diperuntukkan bagi orang yang
membutuhkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. donor dilakukan dengan niat tabarru' (prinsip sukarela dan
tidak tujuan komersial);
b. pengambilan organ tubuh diambil setelah dinyatakan
meninggal oleh minimal dua orang muslim terpercaya
(tsiqah);
c. dilakukan oleh dokter ahli di bidangnya; dan
d. penerima donor dalam keadaan darurat (tidak ada
pengobatan medik lain selain transplatasi).
3. Seorang muslim boleh mewasiatkan untuk mendonorkan organ
tubuh kepada non muslim, demikian pula sebaliknya jika
pelaksanaannya memenuhi syarat sebagaimana disebutkan
pada point 2.
4. Menjual organ tubuh hukumnya haram, karena organ tubuh
bukan miliknya tetapi milik Allah yang harus dijaga sebagai
amanat.
5. Menerima cangkok organ tubuh binatang hukumnya boleh, jika
dalam keadaan darurat (tidak ada pengobatan lain selain
cangkok organ hewan tersebut) meskipun binatang najis.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 17 Sya’ban
1431 H
27 J u l i 2010 M

PIMPINAN KOMISI FATWA


MUSYAWARAH NASIONAL VIII
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo Dr. HM. Asrorun Ni’am


Sholeh, MA
Ketua Sekretaris

TIM PERUMUS

Ketua : Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo


Sekretaris :Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA

Anggota :
1. KH. Hasyim Abbas
2. Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc, MA
3. Prof. Dr. H. Amir Syaruifuddin
4. Dr. KH. Muhammad Masyhuri Na’im
5. Dr. Maulana Hasanuddin
6. Drs. KH. Musthafa Al-Amin
7. dr Agus Taufiqurrohman. M.Kes, Sp.S

Anda mungkin juga menyukai