Anda di halaman 1dari 44

SUKU INMDONESIA

Orang Dayak Pitap


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Orang Dayak Pitap adalah Masyarakat Adat Dayak yang biasanya dikategorikan sebagai bagian dari suku


Dayak Meratus/suku Dayak Bukit yang mendiami kecamatan Tebing Tinggi, Balangan,Kalimantan Selatan.

Dayak Pitap merupakan sebutan bagi kelompok masyarakat yang terikat secara keturunan dan aturan adat,
mendiami kawasan disekitar hulu-hulu sungai Pitap dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap itu sendiri awalnya
bernama sungai Kitab. Menurut keyakinan mereka, ditanah merekalah turunnya kitab yang menjadi jadi
rebutan. Oleh datu mereka supaya ajaran kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut ditelan/dimakan atau
dalam istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu ada di hati dan ada di akal
pikiran. Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi pitapsehingga nama sungai dan masyarakat yang tinggal
kawasan tersebut berubah menjadi Pitap.

Sedangkan sebutan Dayak ini mengacu pada kesukuan mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan
kedalam rumpun Dayak Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang Pitap
atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Meratus.

Para leluhur masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan
antara Kabupaten Balangan dengan Kabupaten Kotabaru (dipuncak pegunungan Meratus). Tanah hidup
menjadi wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur mereka hidup.

Secara administratif, orang Dayak Pitap berada di 3 Desa yaitu Dayak Pitap, Langkap dan Mayanau pada


Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan.

Semula merupakan satu Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada
di Langkap. Dengan adanya peraturan sistem pemerintahan desa pada tahun 1979 dibentuk
pemerintahan desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap. Dayak Pitap terbagi
terdiri dari 5 kampung besar yaitu

1. Langkap

2. Iyam

3. Ajung

4. Panikin

5. Kambiyain.
Kemudian tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan peraturan menteri dalam
negeri no 2/tahun 1980 tentang pedoman pembentukan, pemecahan, penyatuan dan
penghapusan kelurahan dan peraturan menteri dalam negeri no 4 tahun 1981 tentang pembentukan,
pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa . Selanjutnya berdasarkan Sk camat tahun 1993kampung
Ajung digabung ke Iyam. Tahun 1998 kampung Iyam dan kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan
kampung Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.

Secara geografis, wilayah Dayak Pitap berada di bentangan pegunungan Meratus yang terletak antara


115035'55" sampai 115047'43" Bujur timur dan 02025'32" sampai 02035'26" Lintang selatan. Jarak desa ke
ibukota kecamatan 35 Km, Jarak desa ke ibukota Kab. 48 Km dan jarak desa ke ibukota propinsi 231 Km.

Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru , sebelah barat berbatasan


dengan Desa Gunung Batu dan Desa Auh, sebelah utara berbatasan dengan Halong, Balangan dan
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru dan Kecamatan Batang Alai Selatan,
Hulu Sungai Tengah.

Suku Betawi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka
yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa
yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya
terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang
sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti
orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang


digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu
nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan


Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut
asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya,
bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk
sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk
Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu
melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk
Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan
mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada
awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus
tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab
dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan
orang Melayu.

Suku Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori
baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas
penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang


Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang
Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng
Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut
masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang
membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari
komunitas ini lahir musik keroncong.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961,
'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu.
Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun
sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari
berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Seni dan kebudayaan

Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman
Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara.
Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk
Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India,
dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari
Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsiBanten. Budaya Betawi
pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya
Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang
merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di
Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan
sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di
Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh
karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah
menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa
nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang
yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai
etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang
masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng
(yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-
lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat
ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar
belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

[sunting]Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum
penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni
tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

[sunting]Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga
dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi
baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.

[sunting]Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

[sunting]Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut


agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal
dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan
perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di
pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini
sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
[sunting]Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup
wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong
banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak
menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga
banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung
Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana
semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum
pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno
menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan
kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis
mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi
masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

[sunting]Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi,
pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah
Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-
kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga
nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang
mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel,
gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak
terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari
masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Suku Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Suku Sunda
Urang Sunda

Dari kiri ke kanan: Dewi Sartika · Umar Wirahadikusumah · Jihan


Fahira · Taufik Hidayat.

Jumlah populasi

2000: kurang lebih 30,9 juta[1]

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan

Jawa Barat: 26,4 juta.

Banten: 1,9 juta.

Jakarta: 1,3 juta.

Lampung: 600 ribu.

Bahasa

bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia.

Agama

Sebagian besar Islam, namun ada sedikit yang


beragama Kristen, Hindu, Buddha dan Sunda Wiwitan.

Kelompok etnis terdekat

suku Jawa dan suku Betawi.


Wanita Sunda pemetik teh di masa Hindia Belanda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup
wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah
etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang
Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai
kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu.

Dalam urusan-urusan nasional, tidak banyak peran penting yang dimainkan oleh etnis Sunda. Walaupun
peristiwa-peristiwa penting sering terjadi di Jawa Barat, namun sedikit sekali dari peristiwa tersebut yang
diperankan oleh orang-orang Sunda. Dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya sedikit orang
Sunda yang menjadi pemimpin politik, sastrawan, dan pengusaha. Prestasi yang cukup membanggakan
adalah banyaknya penyanyi dan artis dari etnis Sunda, yang berkiprah di tingkat nasional. [2]
Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Etimo

logi

2 Bahas

3 Profe

si

4 Refer

ensi

5 Lihat

pula

[sunting]Etimologi

Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda
meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter
Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener(benar), singer (mawas diri),
dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak
jamanKerajaan Salakanagara.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan
Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada
tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya
dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa
menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan,
yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Peta linguistik Jawa Barat

[sunting]Bahasa

Lihat  :  Bahasa Sunda

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak
masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur
kata.[3] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kotaBandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat
yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.

Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek
Sunda-Priangan, dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan bahasa
Jawa dan bahasa Melayu. Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam,
bahasa Sunda - terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa
halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas
daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap dominan.

[sunting]Profesi

Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, penambang pasir, dan berladang. [4] Sampai abad ke-
19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah. Di wilayah perkotaan, banyak
orang Sunda yang berprofesi sebagai buruh pabrik, pegawai negeri, dan pembantu rumah tangga. Profesi
pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Mereka
banyak menjual aneka perabotan rumah tangga.

Orang Kanekes
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Orang Baduy (Indonesia))

Belum Diperiksa

Kanekes
Baduy/Badui
Keluarga Kanekes

Jumlah populasi

5.000 - 8.000

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan

Banten, Indonesia

Bahasa

Dialek Baduy dari Sunda

Agama

Hinduisme (Sunda Wiwitan), Islam

Kelompok etnis terdekat

Sunda, Tokoh Austronesia lainnya

Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di


wilayah Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak,Banten. Populasi mereka sekitar 5.000-8.000 orang dan
mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki
tabu untuk difoto.
Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Etimologi

2 Wilayah

3 Bahasa

4 Kelompok masyarakat

5 Asal-usul

6 Kepercayaan

7 Pemerintahan

8 Mata pencaharian

9 Interaksi dengan masyarakat

luar

10 Rujukan

11 Lihat pula

12 Pranala luar

[sunting]Etimologi

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para penelitiBelanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan
kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama
wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna,
1993).

[sunting]Wilayah

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT
(Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas
permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah),
dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.

Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, CIkertawana, dan Cibeo.


[sunting]Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-
istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga
hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara
hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak
usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

[sunting]Kelompok masyarakat

Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka
mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara
hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas
memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,


dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka
dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes
Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

 Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi

 Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki

 Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)

 Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)

 Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak
diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes
Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa
hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:

 Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.

 Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam

 Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

 Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap
merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan
peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.

 Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti
gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.

 Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan
bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.

 Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.

 Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan
Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh
dari luar (Permana, 2001).

[sunting]Asal-usul

Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari
tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga
Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan
pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-
16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah
ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan
dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut
sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya
yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih
mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja
ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh
Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori
tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat
terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa
mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci)
secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur
atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati
Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli
mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala
adalah Rakeyan Darmasiksa.

[sunting]Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada
arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi olehagama
Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk
pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya
sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam
dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur
permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak
sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya
dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti
rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang
menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan
penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun
tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau
berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut
masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum
sebelum masuknya Islam.

[sunting]Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan
negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara
nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada
di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Struktur pemerintahan Kanekes

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat
juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke


dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro
tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam
urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang
ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagaijaro
tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat
adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik,
dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

[sunting]Mata pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan.

[sunting]Interaksi dengan masyarakat luar

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah
kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil
bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan
mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan
Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan
orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para
pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu
malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol
di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa
wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam
rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang
ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya
mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Suku Minangkabau
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Minangkabau
Adnan Saidi, Hatta, Yusof Ishak, Muszaphar Shukor,Natsir, Tan
Malaka, Sutan Sjahrir, Hamka, Yamin,Marah Roesli, Chairil Anwar, Agus
Salim

Jumlah populasi

kurang lebih 5.475.000(2000) di Indonesia [1]

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan

Sumatra Barat, Indonesia: 3.747.343.

Jabotabek, Indonesia: 636.000.

Riau, Indonesia: 534.854.

Jambi, Indonesia: 385.734.

Sumatera Utara, Indonesia: 306.550.
Kepulauan Riau, Indonesia: 111.463.

Bengkulu, Indonesia: 66.861.

Sumatera Selatan, Indonesia: 64.215.

Negeri Sembilan, Malaysia: 450.000[2].

Bahasa

bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.

Agama

Islam.

Kelompok etnis terdekat


Melayu.

Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat


Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian
utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri
Sembilan di Malaysia[3]. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang
Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar
karena sistem monarki[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan
melalui jalur perempuan atau matrilineal[5], walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran
agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia [6][7].
Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau
tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum,
hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam[8].

Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka
merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan
dinamis.[9] Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam,Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia,
etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.

Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat
digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara[10].
Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Etimologi

2 Asal-usul

3 Adat dan budaya

o 3.1 Bahasa

o 3.2 Kesenian

o 3.3 Rumah adat

o 3.4 Perkawinan

4 Sosial kemasyarakatan

o 4.1 Persukuan

o 4.2 Nagari

o 4.3 Penghulu

o 4.4 Kerajaan

5 Minangkabau perantauan

o 5.1 Jumlah perantau

o 5.2 Gelombang rantau

o 5.3 Perantauan

intelektual

o 5.4 Sebab merantau

 5.4.1 Faktor

budaya

 5.4.2 Faktor

ekonomi

 5.4.3 Faktor

perang

o 5.5 Merantau dalam

sastra

6 Orang Minangkabau dan

kiprahnya

7 Catatan kaki

8 Literatur

9 Lihat pula
10 Pranala luar

[sunting]Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal didalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing
(biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui
dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan
seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau
yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari
mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau[11], yang berasal dari ucapan 'Manang
kabau' (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu
Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera
Barat.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[12] bertarikh 1365 M, juga telah ada menyebutkan


nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.

Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri
kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ...[13]. Beberapa ahli yang merujuk
dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung,
sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai
Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan[14]. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan
bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada
prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya [15]. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri
dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Bendera atau merawa yang digunakan suku Minangkabau

[sunting]Asal-usul

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan
migrasi dari daratan China Selatan ke pulauSumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan
kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau[16]. Beberapa
kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang
selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam,
dan Luhak Tanah Datar[5]. Kemudian seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat
Minangkabau terus menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu
menjadi kawasan rantau.

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada
legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat
banyak.[4]

[sunting]Adat dan budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Adat Minangkabau dan Budaya Minangkabau

Sebuah pertunjukan randai

Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan bertindak sebagai
pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan
oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih
mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan
sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal
dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat
istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo
Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh
ketiga unsur itu secara mufakat[17].

[sunting]Bahasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Minangkabau

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan
pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa
yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri
yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-
Melayu.[18][19]

Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
bergantung kepada daerahnya masing-masing. [20][21]

[sunting]Kesenian

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa
ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Diantara tari-tarian tersebut misalnya tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun
ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piringmerupakan bentuk
tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing,
yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang
sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa
diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang[22], dalam randai ini juga terdapat seni peran
(acting) berdasarkan skenario[23].

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata,
yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata
seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan
kontak fisik.[24].

Rumah Gadang

[sunting]Rumah adat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rumah Gadang

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun [25]. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat
persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. [26] Umumnya berbahan kayu, dan sepintas
kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa
disebut gonjong[27] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.

Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang.
Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum
belum menikah, biasanya tidur di surau.

Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat
ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Pakaian perempuan Minang dalam pesta adat atau perkawinan

[sunting]Perkawinan

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus
kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga
baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru,
yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas rumah gadangmereka.

Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang
umum dilakukan. Dimulai dengan maminang(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria),
sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatanmanantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab
kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya.[28] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di
kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

[sunting]Sosial kemasyarakatan
[sunting]Persukuan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar Suku-suku Minang


Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat
bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan
diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama [5].

Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh
kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga.
Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana
jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang
mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.

Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung).
Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal
pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama[29]

Pakaian khas suku Minangkabau di tahun 1900-an

[sunting]Nagari

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nagari

Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan
tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di
sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari
dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut.
Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan
inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang
konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. [30] Oleh karenanya
setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada
masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai
dari struktur terendah disebut denganTaratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang
menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah
terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].

[sunting]Penghulu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penghulu dan Datuk

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum-keluarga yang diangkat oleh
anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang
terpilih diantara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang
pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia
bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum
dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-
rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.

Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka
kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya,
anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya
kepada keluarga lainnya yang sesuku.[31] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam
suatu nagari.

Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri.
Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari
kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya
cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya. [32]
Istano Pagaruyung sebuah legitimasi institusi kerajaan pada suku Minangkabau

[sunting]Kerajaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Melayu  ,  Dharmasraya  , dan  Kerajaan Pagaruyung

Dalam laporan de Stuers[33] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman


Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang
ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunanikuno. [34] Namun
dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada
pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan
daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatra dan bahkan sampaisemenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang
ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan
Inderapura.

[sunting]Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan
ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman
untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya
mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam
mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu
agama.[35]

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun
penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal
untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu
pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman
untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah,
memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau
biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun
pematang sawah.

[sunting]Jumlah perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi
yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang
berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %[36].
Berdasarkan sensus tahun 2000, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan
perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan. [1]. Mobilitas migrasi orang Minangkabau
dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958sampai tahun 1978, dimana lebih 80 %
perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa
kolonial Belanda[37]. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang
Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau
hanya sebesar 10,5 % dibawah orangBawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang
ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat.
Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

[sunting]Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada
abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[38] Migrasi besar-besaran
terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka
mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri
Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan
masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim
di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus, hingga Bengkulu.
[39]
 Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang
berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan
administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau
di Sulawesi.[40] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan
hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang
perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di
kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7
kali[41], dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta
waktu itu[42]. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

[sunting]Perantauan intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam,
diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong
kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau
dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori
oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara
lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual
lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan
kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi
pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia. [43]

[sunting]Sebab merantau
[sunting]Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal.
Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang
tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada
anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan
selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[31] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk
merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi
juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme
melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya
budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[44] Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu
dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakanKaratau madang dahulu, babuah babungo alun,
marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas nagari Pandai Sikek

[sunting]Faktor ekonomi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pedagang Minangkabau

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam
yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak
cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa
keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di
negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu
di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai
pedagang kecil.

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan
berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau,
secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi,
semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[45] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang
muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal
ini.[46] Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah
menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada
raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa
emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari
kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di
pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau. [47] Dalam prasasti yang
ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu
penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[48] dan sampai pada abad ke-17 Belanda
masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.[49] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk
menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera
dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan
bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas. [50] Sementara itu dari catatan para
geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman
mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas. [51] Sampai abad ke-
19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk
membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil
mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.[52]

[sunting]Faktor perang

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia

Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari
daerah konflik, setelah perang Padri,[53] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda,
disusul pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927.
[54]
 Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat
Minangkabau ke daerah lain.[42] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter
masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan
fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang
Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari
Pagaruyung.[55] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan
masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan
kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De
Stuerssebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan
masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder
dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia
mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia
menyulutkan api untuk rokok tersebut.[33]
[sunting]Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para
pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman
hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang
lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang
kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya
sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul
Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai
persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang
berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak
masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat
budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan
dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

[sunting]Orang Minangkabau dan kiprahnya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar tokoh Minangkabau

Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Sjahrir, Fahmi Idris

Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh
Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari
penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.
[37]
 Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad
ke-20 merupakan orang Minang.[56] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
[57][58]

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka
telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa,Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei,
hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[59] Pada abad ke-
14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru
tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada
tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro,
menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkankerajaan Gowa. Setelah gagal merebut
tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah
I mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[60]

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di


Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang
banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas,
dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah
satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi
pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalamVolksraad, politisi
asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh
Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan,
empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul
Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad
Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara
yang cukup terkenal ialahAzwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia
terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi
liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai
dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga
duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat),Daan
Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang
dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta
Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[61]

Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan
Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh
Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai
politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis
pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa
Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita
Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.

Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan
bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis,Idrus, Hamka, dan A.A
Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis
novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismailberkarya lewat penulisan puisi.
Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia
sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau
Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang.
Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang
dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan
sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.

Tuanku Abdul Rahman, salah seorang tokoh Minang yang berpengaruh di kawasan rantau

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung.
Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik TV One), Basrizal
Koto(pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di
Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia)
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun
artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail,Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal
bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52
film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti Lewat
Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena, menjadi
film terbaik yang banyak digemari penonton.

Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce
Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi
pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita
Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping
mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di
Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik
keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman
Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.

Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku
Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia),Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh
Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di
negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang
Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen. [62]. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besarMasjidil Haram, Mekkah.

Suku Minahasa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk kawasan, lihat Minahasa.

Suku Minahasa
Jumlah populasi

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan

Sulawesi Utara: 1 juta

Jakarta:?

Bahasa

Bahasa Minahasa, Bahasa Manado

Agama

Kristen Protestan (89%), Katolik Roma(10,5%), Islam (0,5%)

Kelompok etnis terdekat

Dayak, Toraja?.

Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Utara, Indonesia. Suku Minahasa
merupakan suku bangsa terbesar di provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa terbagi atas beberapa subsuku:

1. Tontemboan
2. Tombulu
3. Tonsea
4. Toulour (Tondano)
5. Tonsawang (Tombatu)
6. Ponosakan
7. Pasan (Ratahan)
8. Bantik
Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Asal Nenek

Moyang

2 Huruf

3 Galeri gambar

4 Lihat pula

5 Pranala luar

[sunting]Asal Nenek Moyang

Dari pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997 datang meneliti di Watu
Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa
merupakan turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan
Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu. Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C
Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang
dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia dan kesamaan Warna Kulit, yaitu Kuning Langsat. Persamaan dengan
Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti
Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang
dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea.

[sunting]Huruf

Tulisan Kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti diantaranya di Watu


Pinabetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan Hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

[sunting]Galeri gambar

Rumah tradisional Minahasa Batu Pinawetengan


Kubur batu leluhur orang Minahasa pra-Kristen. Foto:KITLV
di TMII
(sebelum 1920)

Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 6,8 juta jiwa.
Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas,
dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa Timur, dari Pasuruan sampai
utaraBanyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta
timur Probolinggo jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisaberbahasa Jawa.

Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain
terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Beberapa kota
di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang
Madura. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya
yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang
bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan
mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang
Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu
orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik
Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).

Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi
bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih
mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura.

Suku Jawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Jawa
Natashia Nikita · Kartini · Opick
Ari Lasso · Ahmad Dhani · Melly Goeslaw
Krisdayanti · Megawati Soekarnoputri · Soeharto

Jumlah populasi

2009: kurang lebih 100 juta.

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan

Indonesia:

 Jawa Tengah: 33 juta

 Yogyakarta: 3 juta

 Jawa Timur: 30 juta

 Jawa Barat: 5,5 juta

 Banten: > 500.000

 Jakarta: 3 juta (perkiraan)

 Lampung: 4,5 juta

 Sumatra Selatan: 1,9 juta

 Riau: 1,2 juta

 Kalimantan Timur: 0,7 juta

 Jambi: 0,7 juta

 Kalimantan Selatan: 0,4 juta

 Bengkulu: 0,3 juta

 Kalimantan Tengah: 0,3 juta

 Papua: 0,3 juta

Malaysia: 1 - 2 juta

Suriname: 75.000.

Kaledonia Baru: 5.000.

Republik Rakyat Cina: 400.


[rujukan?]

Bahasa

Sebagian besar bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa


Melayu, bahasa Madura, sebagian minoritas bahasa Belanda, bahasa
Perancis, bahasa China, bahasa Mandarin,bahasa Korea, Bahasa
Arab, bahasa Hindi,bahasa Pali, bahasa Thailand dan lain-lain.

Agama

Islam, Kristen (termasuk Katolik danProtestan), Kejawen, Hindu,
dan Buddha(semua resmi).

Kelompok etnis terdekat

suku Sunda, suku Madura, suku Bali, suku Tionghoa.[rujukan?]

Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa


Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan
etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim
di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak
ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku,
seperti Osing dan Tengger.
Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Bahasa

2 Kepercayaan

3 Profesi

4 Stratifikasi

sosial

5 Seni

6 Tokoh-tokoh

Jawa

7 Catatan kaki

8 Sumber

9 Lihat pula

[sunting]Bahasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Jawa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari.


Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an,
kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara
campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan
antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal denganunggah-ungguh. Aspek
kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat
orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

[sunting]Kepercayaan

Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang
menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan.
Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada
pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan
ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang
kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya
luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang
kadangkala menjadi kabur.

[sunting]Profesi

Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi
pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif,
pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan
model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan
pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri
terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni
Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.

[sunting]Stratifikasi sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya.
Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi
masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya
kaum santri adalah penganut agama Islamyang taat, kaum abangan adalah penganut Islam
secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan.
Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial
dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam
menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-
pribumi seperti orang keturunan Arab,Tionghoa, dan India.

[sunting]Seni

Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama
Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian
besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India,
pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk
ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan
penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.

[sunting]

Anda mungkin juga menyukai