Anda di halaman 1dari 11

TUBERKULOSIS PARU

EPIDEMIOLOGI
TB paru menjadi masalah kesehatan dunia terutama negara berkembang. Diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Kematian wanita karena TB
lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Di Indonesia, TB merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia
setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB dunia. TBC
adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat ketiga dalam
daftar sepuluh penyakit yang tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sekitar 100.000 kematian
setiap tahunnya atau dalam sehari terjadi 300 kematian karena TBC. Total pasien baru (BTA
positif dan BTA negative) TBC di Indonesia lebih dari 600.000 orang per tahun.

ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis  kuman berbentuk batang, aerob obligat, tidak membentuk spora,
non motil, tahan asam (kuat terhadap gangguan kimia dan fisis), dalam jaringan hidup sebagai
parasit intraseluler.
TRANSMISI
Sumber penularannya dari penderita TBC aktif (BTA +) yang batuk/bersin sehingga
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet tahan di udara
bebas selama 1-2jam tergantung ventilasi, kelembaban, dan sinar UV. Jika berada di tempat yang
gelap dan lembab, kuman akan tahan berhari-hari. Orang akan terinfeksi TB kalau droplet
tersebut terinhalasi ke dalam saluran pernapasan. Model lain penularan TB yaitu :
- oral : minum susu sapi yang terinfeksi
- kontak langsung : luka di kulit
- kongenital : kehamilan (jarang)

RISIKO PENULARAN
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia
cukup tinggi yaitu antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita
TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka
diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 %
penderita adalah BTA positif.

INKUBASI
Interval waktu dari infeksi bakteri sampai berkembang menjadi Tuberculin Skin Test + yaitu 2-
12 minggu.

PATOFISIOLOGI
Dibagi menjadi 2 yaitu TB primer dan TB post-primer.
1. TB Primer
Kuman yang terinhalasi akan menempel di saluran nafas dan parenkim paru. Jika besar
kuman <5µm maka kuman dapat menetap di alveolus. Dengan reaksi imunologis, sel-sel
pada dinding paru berusaha menghambat kuman ini melalui mekanisme alamiahnya yaitu
membentuk jaringan parut. Akibatnya kuman tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) dan
membentuk tuberkel. Basil tuberkel di alveolus ini menimbulkan respon dari sel imun
sehingga terjadi reaksi peradangan non spesifik dan menstimulasi tubuh menghasilkan sistem
imun seluler (limfosit T) sehingga penderita TB mengalami demam. Seseorang dengan
kondisi daya tahan tubuh yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Lain halnya pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang,
bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak dan
berkumpul membentuk sebuah ruang di dalam rongga paru. Ruang inilah yang nantinya
menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak).
Kuman yang difagosit oleh makrofag, setelah itu ada 2 kemungkinan yaitu kuman mati atau
kuman berkembang biak di sitoplasma makrofag (parasit intraseluler, di makrofag banyak
lipid). Dari sini kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lain. Kuman yang bersarang di
jaringan paru akan membentuk sarang tuberculosis kecil dan disebut sebagai sarang primer
(focus Gohn). Sarang ini dapat terjadi di bagian mana pun di paru. Peristiwa ini dapat
menimbulkan proses peradangan pada saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal)
dan diikuti pembesaran KGB hilus (limfadenitis regional).

sarang primer (focus Gohn) + limfangitis lokal + limfadenitis regional  KOMPLEKS


PRIMER

Selanjutnya kompleks ini dapat menjadi :


- Sembuh tanpa cacat

- Sembuh dengan meninggalkan bekas berupa garis-garis fibrotic dan kalsifikasi di hilus
- Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum,limfogen,bronkogen (kuman bisa
tertelan dan menyebar di usus),maupun hematogen.

TB primer biasanya terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak banyak kuman di hilus karena
anak kecil kebanyakan tiduran jadi oksigen ngumpul di tengah.
2. TB Post Primer
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian dan menjadi
TB post primer (15-40 tahun). Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status
gizi yang buruk. Kuman dormant tersebut tertinggal atau menempel di fibrotik, kalsifikasi,
maupun kavitas (sebagai sumber infeksi endogen). Dimulai dari sarang dini di regio atas atau
apex paru dan menginvasi parenkim paru, tetapi tidak ke hilus. Tergantung dari jumlah dan
virulensi kuman serta imunitas penderita, maka sarang dini dapat menjadi :
- Teresorbsi dan sembuh tanpa cacat
- Mulanya meluas, tetapi sembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang
membungkus diri menjadi lebih keras  perkapuran.
- Meluas  granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya  perkijuan.
Bila dibatukkan keluar akan terjadi kavitas yang semula berdinding tipis lalu mengeras
jadi kavitas sklerotik. Kavitas ini dapat :
a. meluas dan menimbulkan sarang baru
b. menjadi padat dan membungkus diri  tuberkuloma (bisa mengapur dan sembuh
atau aktif kembali)
c. sembuh dan bersih (open heald cavity)  bisa sembuh dengan membungkus diri
menjadi kecil atau sebagai kavitas yang terbungkus,menciut,bentuk bintang (stellate
shaped)

- Reaksi terhadap TB : mula-mula lekosit pada tempat inokulasi, lalu diganti sel
mononukleus besar (histiosit, makrofag)  memfagosit lekosit yang musnah dan kuman
TB. Sitoplasma makrofag menjadi jernih dan mirip sel epitel  sel epitheloid.
Kumpulan sel epithelois  tuberkel. Di tengah tuberkel ada nekrosis perkijuan.
Tuberkel dikelilingi oleh limfosit dan di dalam tuberkel ada sel Datia Langhans (sel
besar berinti banyak, inti berderet di tepi bentuk huruf U). Daerah nekrosis dapat meluas
disertai pencarian  KAVERNE (cairan dapat keluar melalui dahak jadi TB terbuka).

KLASIFIKASI TB PARU
A. Berdasarkan organ tubuh yang terkena
1. TB paru  menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura.
2. TB ekstra paru  menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, tulang, selaput
otak, persendian, usus, ginjal, etc

B. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit


1. TB paru BTA -, foto toraks + (berat dan ringan)
2. TB ekstra paru (berat dan ringan)

C. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


1. TB paru BTA +
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS : BTA +
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA + dan foto toraks menunjukkan gambaran
TB
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA + dan biakan kuman TB +
- 1 atau lebih spesimen dahak SPS hasilnya BTA + setelah 3 spesimen dah SPS
sebelumnya BTA – serta tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
2. TB paru BTA –
- 3 spesimen dahak SPS : BTA –
- Foto toraks abnoemal menunjukkan gambaran TB
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
- Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan

D. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


1. Kasus baru  belum pernah diobati OAT, pernah menelan OAT <1bulan
2. Kasus kambuh (relaps)  pernah dapat pengobatan TB dan dinyatakan sembuh,
didiagnosis lagi BTA +
3. Kasus setelah putus berobat  pasien dengan BTA +, putus berobat 2 bulan atau lebih
4. Kasus setelah gagal  hasil pemeriksaan dahak tetap + atau kembali jadi + pada bulan ke
5 atau lebih selama pengobatan
5. Kasus pindahan  dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang mempunyai
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala respiratorik  batuk-batuk, dahak, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada
2. Gejala sistemik  demam subfebril (>2 minggu), malaise, keringat malam, anoreksia, BB
turun
3. Gejala berkaitan dengan penyebaran ekstrapulmoner  tergantung organ yang terkena

DIAGNOSIS
Berdasarkan gejala klinis, radiologis, bakteriologis, dan riwayat pengobatan sebelumnya
1. TB paru BTA positif
- Dengan atau tanpa gejala
- BTA positif : mikroskopis +
mikroskopis +, biakan +
mikroskopis +, radiologis +
- Gambaran radiologis sesuai dengan TB paru aktif (infiltrat dan kavitas)
2. TB paru BTA negatif
- Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB paru aktif
- Sputum BTA –
- Mikroskopis -, biakan -,klinis dan radiologis +
- Mikroskopis -, biakan +,klinis dan radiologis +
3. Bekas TB paru
- Mikroskopis -, biakan –
- Gejala klinis tidak ada
- Radiologis ada gambaran lesi TB inaktif (fibrotik dan kalsifikasi)
- Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
A. Anamnesa
Secara anamnesa sulit dibedakan dengan pneumonia biasa (pada pneumonia dijumpai nasal
flaring/nafas cuping hidung). Pasien ditanya jika ada riwayat kontak dengan penderita TB
dan gejala yang konsisten dengan TB. Berat badan menurun yang tidak diketahui sebabnya
atau gagal tumbuh normal; demam tanpa sebab yang jelas dan berlangsung lebih dari 2
minggu; batuk kronik (batuk lebih dari 30 hari).

B. Pemeriksaan Fisik
Pasien konjungtiva pucat karena anemia, suhu badan subfebril, badan kurus/BB turun.
Tempat kelainan lesi TB paru sering di apex paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak
luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial, suara nafas
tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Bila TB mengenai pleura maka akan
terbentuk efusi pleura. Perkusi memberikan suara pekak dan auskultasi memberi suara lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.
1. Tanda-tanda infiltrat (redup,bronkial,ronki basah)
2. Tanda-tanda penarikan paru,diafragma,dan mediastinum
3. Suara amforik  seperti suara botol kosong ditiup (karena kavitas berhubungan langsung
dengan bronkus)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah  LED naik (karena perjalanan TB kronis), limfositosis
2. Pemeriksaan radiologis  lesi aktif (bayangan berawan,kavitas,bayangan bercak milier
dan efusi pleura bilateral) dan lesi inaktif (fibrotik, kalsifikasi, dan fibrotoraks atau
penebalan pleura). Luas lesi pada foto toraks :
- Lesi minimal : mengenai sebagian atau ke 2 paru dengan luas tidak lebih dari
volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga ke 2 dan prosesus
spinosus Th IV atau korpus vert Th IV (sela iga II) dan tidak ada kavitas
- Lesi luas : lebih luas dari lesi minimal
3. Pemeriksaan bakteriologis (gold standard: pakai media Lowenstein Jensen)
pemeriksaan sputum BTA 3x, hasil positif bila 2x positif dari 3x pemeriksaan. Jika hanya
1 yang positif maka pemeriksaan diulang dan hasil dinyatakan positif jika pada
pengulangan didapatkan hasil positif walau hanya 1x. Selain itu bila hanya 1 yang positif
maka dilakukan foto toraks, jika mendukung berarti TB tetapi jika tidak mendukung
maka ulang SPS. Pewarnaan sediaan memakan cara Ziehl Niellsen ataupun Kinyoun
Gabbet Tan Thiam Hok.
4. Pemeriksaan histopatologis jaringan  memberikan diagnosis pasti TB bila hasil berupa
granuloma dengan perkijuan
5. Tuberkulin Skin Test  kurang berarti bagi orang Indonesia dewasa karena indeks
tuberkulin yang tinggi pada usia >15 tahun. TST memakai tuberkuloprotein yaitu
Purified Protein Derivative (PPD) 0,1ml dengan cara Mantoux (intradermal) pada bagian
volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam pasca injeksi :
- <5mm : negatif
- 5-9mm : ragu-ragu
- ≥10mm : positif
*5 mm atau lebih dikatakan positif pada :
- Kontak erat dengan seseorang yang diketahui atau dicurigai menderita TB
- Anak dengan gejala klinis atau dengan gambaran noduler atau fibrotik pada X-foto
thorax
- Anak dengan kondisi imun yang lemah (imunosupresi), termasuk infeksi HIV, gizi
buruk, keganasan dan trasplantasi organ
- Anak dengan terapi yang menekan sistim imun seperti kortikosteroid
*10 mm atau lebih dikatakan positif pada :
- Infeksi TB alamiah (imunisasi BCG atau M. atipic )
- Riwayat bepergian dari negara dengan prevalensi tinggi TB kurang dari 5 tahun
- Tinggal di daerah atau negara yang tinggi angka infeksi TB-nya ( Indonesia)
- Anak dengan kondisi risiko tinggi (diabetes, terapi kortikosteroid jangka panjang,
leukemia, penyakit ginjal stadium akhir, sindroma malabsorpsi kronik, berat badan
rendah, pengguna obat-obatan suntik dll)
- Anak yang berusia kurang 4 tahun dan terpapar orang dewasa yang kategori risiko
tinggi
*15 mm atau lebih dikatakan positif pada :
- Anak > 4 tahun tanpa faktor risiko apapun
- Seseorang yang tanpa diketahui memilliki faktor risiko TB
Catatan: program tes kulit hanya dilakukan pada kelompok risiko tinggi
PENATALAKSANAAN
1. Terapi OAT (kesadaran penderita,motivasi dokter,dan biaya)
2. Pendidikan dan peran serta keluarga
3. Pencegahan penularan dan perbaikan lingkungan

Terapi OAT
1st line : INH, rifampizin, pirazinamid, etambutol, streptomisin
2nd line : Kanamisin, amikasin, kuinolon, kapreomisin, sikloserin, etionamid, linezolid

H= INH, R = rifampisin, Z = pirazinamid, E= etambutol, S = streptomisin  tolong cek lagi….


Kombinasi

• Kategori 1 : 2 HRZE / 4 (HR)3  6 bulan


a. Fase 1 (inisiasi/intensif) 2 HRZE
b. Fase 2 (lanjutan) 4 (HR)3

* Cek kuman TB pada akhir bulan ke 2 kalo BTA slh 1 ato keduanya + maka
diberi fase sisipan selama 1 bulan (RHZE), kemudian cek sputum lg kalo uda –
baru dilanjutkan fase lanjutan.
Pada akhir bulan ke 5 dan 6 dilakukan cek sputum lg, kalo uda – brarti sembuh,
kalo ada yang + brarti gagal dan diberi obat lini 2.

• Kategori 2 : 2 HRZES / HRZE / 5 H3 R3 E3  8 bulan


Berdasarkan populasi kuman :
A. Berkembang cepat + pH netral
a. INH
b. Rifampisin
c. Streptomisin

B. Lambat + pH asam  pirazinamid


C. Hampir sepanjang waktu dorman  rifampisin

D. Sepenuhnya dorman  tidak ada.

Profilaksis  5mg/KgBB INH


Kemoprofilaksis
Seorang anak dapat terinfeksi kuman TB tetapi belum tentu bermanifestasi menjadi sakit
TB. Apabila daya tahan tubuh anak menurun atau virulensi kuman TB yang menginfeksi ganas
maka anak yang semula ‘hanya’ terinfeksi menjadi sakit TB.
Ada 2 macam kemoprofilaksis TB pada anak. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi tuberkulosis pada anak, dengan memberikan isoniazid 5-10
mg/kgBB/hari, dosis tunggal. Kemoprofilaksis primer dihentikan bila sumber kontak tidak
menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi – dibuktikan dengan uji tuberkulin ulang.
Kalau ternyata hasil uji tuberkulin positif maka harus dievaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder bertujuan mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit –
yang ditandai dengan uji tuberkulin positif tetapi gejala klinis dan radiologis normal. Yang
diberikan adalah isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan. Kelompok anak terinfeksi TB
yang berisiko tinggi menderita TB adalah:
1. usia <5 tahun
2. menderita penyakit infeksi (morbili, varisela)
3. mendapat obat imunosupresif jangka panjang (sitostatik, steroid, dll)
4. usia pubertas
5. infeksi paru TB, konversi uji tuberkuiln dalam kurang dari 12 bulan.

Tabel 2. Klasifikasi Kelas TB pada Anak


Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0 - - - -
1 + - - Profilaksis 1
2 + + - Profilaksis 2
3 + + + Terapi TB

OAT
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada terlambat agar
komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak kemungkinan besar menderita TB
maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi apakah terdapat perbaikan klinis. Bila ya,
lanjutkan OAT lagi (total 6-12 bulan); tetapi bila tidak, mungkin bukan TB atau TB resisten
terhadap OAT.
Lama pengobatan TB berkisar 6-12 bulan yang dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
dan fase lanjutan. Pada fase intensif, OAT yang diberikan adalah rifampisin, isoniazid, dan
pirazinamid selama 2 bulan pertama. Sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid selama sisa waktu pengobatan. Waktu yang diperlukan untuk mengobati TB boleh
dibilang lama, dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi obat, membunuh kuman intraselular
dan ekstraselular, serta mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. [Tabel 3 & 4]

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama


Obat Dosis HarianDosis Max Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim
hati, cairan tubuh berwarna orange
Pirazinamid 15-30 2000 kemerahan

Etambutol 15-20 1250 Toksisitas hepar, artralgia,


gastrointestinal

Neuritis optik, ketajaman mata


Streptomisin 15-40 1000 berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin

Panduan OAT  TB Paru


a. Kategori 1  2RHZS(E)/4RH atau 4R3H3
- BTA +
- Kasus baru
- Sakit berat (BTA -)
- TB ekstrapulmoner
b. Kategori 2  2RHZES/5RHE atau 5R3H3E3
- Pengobatan ulang
- Kambuh
- Gagal
c. Kategori 3
- TB paru (BTA -)  2RHZ/4RH
- TN ekstrapulmo  2RHZ/4R3H3 atau 2R3H3Z3/4R3H3
d. Kategori 4  TB kronis  OAT sekunder

Pemakaian kortikosteroid (Prednison 1-3mg/kgbb) indikasinya pada TB milier, meningitis TB,


pleuritis TB dengan efusi.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada
umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu
hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita
TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara
terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).

Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien
TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak
disertai HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO.
Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution
(Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara
terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.
Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary
Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6
bulan.

Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
KOMPLIKASI TB PARU
1. Batuk darah
2. Bronkiektasis
3. Empiema
4. TB Ekstrapulmoner
5. Sindroma Obstruksi Pasca TB (SOPT)
6. Luluh paru (destroyed lung)

KRITERIA SEMBUH
- BTA +  BTA -, 3 bulan berturut sebelum akhir pengobatan
- Biakan +  biakan -

INDIKASI OPERASI
1. Indikasi mutlak
- Penderita telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap positif
- Batuk darah masif yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
- Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. Indikasi relatif
- Penderita dengan sputum negatif dan batuk darah berulang
- Kerusakan satu lobus paru dengan keluhan
- Sisi kavitas menetap

PENCEGAHAN
Dengan strategi DOTS yang terdiri dari 5 elemen :
1. Komitmen politis
2. Diagnosis benar dengan mikroskopis
3. Penyediaan dan distribusi obat cukup
4. Pengawasan menelan obat (PMO)
5. Pencatatan dan pelaporan yang baik
- Persyaratan PMO: seseorang dikenal,dipercaya,tinggal dekat pasien,mau membantu dengan
sukarela,bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan. (petugas kesehatan,tokoh
masyarakat,keluarga)
- Tugas PMO:
a. Mengawasi pasien menelan obat teratur sampai selesai pengobatan
b. Memberi dorongan pasien agar mau berobat teratur
c. Mengingatkan pasien periksa ulang dahak
d. Memberi penyuluhan pada keluarga pasien yang mempunyai gejala mencurigakan TB
untuk segera periksa ke UPK
- Informasi yang perlu dipahami PMO: TB bukan penyakit keturunan/kutukan,TB dapat
sembuh dengan berobat teratur,cara penularan,gejala,cara pemberian obat,pentingnya
pengawasan,efek samping obat.

Anda mungkin juga menyukai