Anda di halaman 1dari 8

C.

PIKIRAN SEBAGAI ISI PESAN KOMUNIKASI

Secara elementer komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh seseorang


kepada orang lain, atau oleh seorang komunikator kepada komunikan.
Seperti telah di singgung pada bab-bab terdahulu, pesan komunikasi ini terdiri
dari dua aspek, yakni aspek pertama isi pesan (the content of the message), dan aspek
kedua lambang (symbol).
Isi pesan komunikasi terutama adalah pikiran, ada kalanya juga perasaan, tetapi
hanya merupakan faktor pengaruh saja; lambang umumnya adalah bahasa, oleh karena
hanya bahasa dibandingkan dengan lambang-lambang lain seperti kial (gesture), gambar,
warna, isyarat, dan lain-lain yang mampu memberi makna kepada segala hal dalam
kehidupan manusia, baik kepada yang konkret maupun konsep yang abstrak.
Pentingnya bahasa sebagai lambang, oleh karena tanpa bahasa, pikiran sebagai isi
pesan tidak mungkin dikomunikasikan. Oleh krena itu pula bahasa melekat pada pikiran,
sehingga bahasa tidak mungkin dilepaskan pada pikiran. Tegasnya orang berpikir dengan
bahasa.
Kemampuan berpikir adalah ciri khas manusia makhluk yang derajatnya lebih
tinggi daripada makhluk-makhluk lain di dunia.
Dalam filsafat komunikasi masalah berpikir sebagai fungsi komunikator ini perlu
di telaah secara mendalam, setidak-tidaknya mengenai dua hal, yakni intesita berpikir dan
sistematika berpikir.

1. INTENSITAS BERPIKIR

Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi
realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian
(Huijbers:1986.116). Jadi komunikasi dapat di definisikan sebagai kemampuan manusia
untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain.
Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri manusia yang
dinamakan “wissen” atau mengetahui dan seperti telah di singgung tadi “verstehen” atau
mengerti atau memahami secara mendalam.
Dalam kehidupannya manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai realitas
sosial yang dalam prosesnya berlangsung secara horizontal atau berpikir secara sensitivo-
rasional dan secara vertikal atau berpikir secara metarasional.

a) Berpikir sensitivo-rasional

Secara horizontal manusia berpikir mengenai suatu realitas dengan dilandasi


pengalaman sebagai rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dari
fungsinya sebagai komunikan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dirinya.
Maka, apabila ia berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada persoalan tahu dan
mengetahui, sifatnya menjadi sensitivorasional.
b) Brepikir metarasional

Manusia tidak hanya puas dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin
memhaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses refleksi atau kontemplasi atau
perenungan yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan
berkadar tinggi apabila proses perenungan itu dilakukan secara sistematik. Maka
pemikirannya itu tidak sekedar sensitivorasional, melainkan metarasional (Poespoprodjo,
1985:4). Ia tidak lagi memandang suatu realitas sosial dengan indera mata (das Ding
ansich), tetapi dengan mata batiniah apa yang terdapat di seberang realita (beyond the
reality) secara metafisik.
Dalam keradikalannya pemikiran manusia secara vertikal itu bisa menyentuh hal-
hal yang sifatnya ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin mengetahui adanya tuhan.
Lalu ia percaya akan ada-Nya, mahaesa-Nya, mahakuasa-Nya Tuhan, serta sifat-sifat
lainnya, sebagai konsekuensinya ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan seperti itu
bersifat suprarasional, suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara
sensitivo-rasional.
Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman (verstehen) itu menjadi
teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam segala konteks paling luas dan
paling lama.
Berdasarkan intensitas berpikir itu komunikator yang berpikir secara sensitivo-
rasional hanya berfungsi sebagai informer atau informan saja, yang hanya menyampaikan
informasi, sedangkan komunikator yang berpikir secara metarasional berfungsi sebagai
interpretator, menyampaikan interpretasi.
Interpretasi adalah proses memperantarai dan menyampaikan pesan yang secara
ekspilisit dan implisit termuat dalam realitas, pesan yang tidak segera jelas, tidak segera
dapat diungkap hanya sekelumit demi sekelumit, tahap demi tahap.
Interpretator menyampaikan, merumuskan yang dikatakan oleh realitas dan
bertugas mengubah hal yang mengatasi daya tangkap insani menjadi sesuatu yang dapat
dipahami oleh manusia. Jadi, interpretasi ada kaitan dengan pengertian membawa suatu
hal dari tidak dapat ditangkap kepada dapat ditangkap.
Proses memperantai dan menyampaikan pesan agar dapat dipahami mencakup
tiga arti yang terungkap di dalam tiga kata kerja yang saling berkaitan satu dengan yang
lain, yakni: meng-kata-kan, menereng-kan, menerjemah-kan (dalam arti membawa dari
tepi satu ke tepi yang lain) (Poespoprodjo :1987,192).

2. Sistematika Berpikir

Pentingnya sistematika berpikir adalah bagi seorang komunikator ketika dia


melakukan komunikasi intra sebelum melakukan komunikasi sosial dengan orang lain.
Lebih-lebih kalau komunikasi yang dilancarkan bersifat vertikal ke atas (vertical
upward), berkomunikasi dengan seseorang yang status sosialnya lebih tinggi.
Seperti telah ditegaskan pesan komunikasi terdiri dari pikiran sebagai isi pesan
dan lambang sebagai media primer sebagai sarana pembawa pikiran kepada komunikan.
Pikiran ini dikemas oleh bahasa. Proses ini dinamakan ideasi (ideation). Sesudah proses
ideasi ini baru berlangsung proses transmisi, pengoperan kepada komunikan.
Jadi, efektif tidaknya komunikasi bergantung pada pesan. Dan pesan bergantung
pada isi pesan, yaitu pikiran itu. Pada akhirnya bergantung pada komunikator., yang
menyusun pikiran itu. Berikut ini adalah sistematika berpikir berdasarkan karya tulis
dr.Marseto Donoseputro.

a) Berpikir Deduktif (deductive thinking)

Reasoning yang deduktif berasal atau bersumber dari suatu pandangan umum
(general conclusion).
Sumber dari filsafat berpikir (philosophy of thinking) seperti ini berasal dari Plato
dan Aristoteles.
Ada sebuah kisah yang menyatakan, bahwa ketika Galileo mengemukakan
pendapatnya bahwa dia dapat melihat adanya tempat yang gelap pada permukaan
matahari, pengetahuannya sebagai suatu noda terhadap konklusi umum (general
conclusion) waktu itu, bahwa matahari adalah suatu “heavenly body” yang tidak mungkin
ada cirinya.
Meskipun cara ini kurang sempurna, tetap bermanfaat kalau deduksi ini
didasarkan pada suatu perumusan yang betul. Dasar dari pelajaran ilmu pasti alam adalah
demikian pula halnya. Dari satu rumus umum dapat ditarik berbagai kesimpulan.
Metodik berpikir ini dapa disebut analytic thinking (berpikir analitik).

b) Berpikir Induktif (inductive thinking)

Kebaikan dari berpikir deduktif adalah berpikir induktif (inductive thinking),


yakni menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yang ada di
sekitarnya. Dasarnya adalah observasi, proses berpikirnya adalah synthesis, tingkatan
berpikirnya adalah inductive. Jelas, bahwa pemikiran semacam ini mendekatkan manusia
pada ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya semua pengetahuan yang dimiliki masuia berasal dari proses
pengamatan (observasi) terhadap data. Rangkaian pengamatan data tersebut kemudian
memberikan suatu pengertian terhadap kejadian berdasakan sesuatu reasoning yang
bersifat synthesis.
Dalam ilmu pasti dan alam metode synthesis adalah kelanjutan dari metode
analisis. Sumber dari tingkatan berpikir ini berasal dari “the philosophy of thinking” para
ilmuwan pada waktu ini seperti Galileo, Newton, Descartes, dan lain-lain.
Dalam ilmu statistik conclusion dari data yang didapatkan dari suatu sample yang
berlaku untuk seluruh populasi dari mana sample itu berasal, adalah suatu contoh dari
inductive thinking. Istilah lain yang sama maknanya ialah generalizing atau integral.

c) Berpikir memecahkan masalah (Problem Solve Thinking)

Manusia mulai berpikir pada waktu ia mencoba mengenal untuk kemudian


menguasai suatu situasi (to control the situation). Tingkatan ini merupakan suatu
kelanjutan yang logis dari kedua tingkatan terdahulu. Dengan pengetahuan mengenai
gejala umum yang dikenalnya dari pengalaman yang lampau (deduksi) ditambah dengan
observasi terhadap situasi yang dihadapinya, yang memberikan suatu kesimpulan
(induksi), maka dia kemudian akan menyelesaikan persoalannya dalam situasi tersebut.
Prosesnya secara kronologis adalah sebagai berikut:
− analysis
− synthesis problem definition (atau kadang-kadang disebut problem recognition)
− evaluation
− selection (alternatif)
Dalam buku-buku pelajaran, metodik ini lebih dikenal dengan istilah “analysis-
evaluate-select” approach, untuk menggambarkan suatu cara pendekatan (approach)
dalam hal menyelesaikan suatu problem secara ilmiah.
Di sini sudah ditemukan “science” dan “art”, ilmu dan seni. Science mengatakan
kepada manusia apa yang harus diketahuinya, art mengajarkan padanya apa yang harus
dilakukannya.

d) Berpikir kausatif (causative thinking)

Manusia tidak menunggu sampai dihadapkan pada suatu situasi, kalau dia dapat
menggambarkan situasi tersebut sebelumnya. Lebih dari itu dia dapat mengatur
langkahnya sedemikian rupa, sehingga situasi tadi tidak dihadapkan kepadanya. Atau
jalan lain dapat ditempuh: mengatur langkahnya sedemikian rupa. Sehingga, ia akan
dihadapkan kelak pada suatu situasi yang diingginkan (favorable).
“Titik berat causative thinking” ialah membentuk peristiwa mendatang dan
prestasi daripada menunggu nasib yang akan menimpa (causative thinking emphasizes
the shaping of future events and achievements, instead of waiting for destiny to decide
them); (G.Terry, Principles of Management).
Dalam ilmu kedokteran dasar pemikiran ini dipakai dalam apa yang disebut
“preventive medicine” ialah ilmu pencegahan penyakit: tujuannya ialah mencegah untuk
menghadapi suatu situasi sakit. Selain ini dikenal istilah “curative medicine”, suatu
penyelesaian dalam situasi sakit. Di sini tingkatannya adalah problem solving.

e) Berpikir kreatif (creative thinking)

Creative thinking adalah suatu tingkatan berpikir yang tinggi: kesanggupan


sesorang untuk menciptakan ide baru yang berfaedah. Ide ini tidak dilengkapi dengan
semua data: orangnya tidak menguasai. Seluruh situasi yang dihadapinya, tetapi dengan
kemampuannya untuk dapat mengeliminir yang tidak esensial, maka ia tetap dapat
mengatur langkahnya sedemikian rupa, sehingga mendapatkan faedah yang tinggi.
Assumption (estimate) adalah salah satu pedomannya: yang lain adalah
imagination. Tingkatan ini disebut juag scientific imagination.
Scientific imagination ini adalah suatu perpaduan antara science dan imagination;
dengan sendirinya cara berpikir ini dapat membahayakan. Seorang manager yang terlalu
banyak mengendalikan perusahaannya kepada imagination tanpa mengimbainginnya
dengan ratio, akan dapat menghancurkan usahanya. Keseimbangan antara science dan
imagination yang tepat, adalah kunci dari tingkatan berpikir ini.
Creative thinking berbeda dengan original thinking ialah dalam hal bahwa yang
pertama selalu berguna bagi usaha penciptanya, sedangkan original thinking tidak perlu.
Seseorang yang mengemukakan sesuatu yang orisinal, tidak selalu mendapatkan
keuntungan daripadanya.

f) Berpikir filsafati (philosophical thinking)

Louis O.Kattsoff dalam bukunya “Elements of Philosophy” menyatakannya


bahwa kegiatan filsafati merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang
meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan
gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”, mencari jawaban yang
lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan pertama. Filsafat sebagai perenungan
mengusahakan kejelasan, keruntutan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat
diperoleh pemahaman.
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan
menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat
membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan
yang lebih layak.
Dalam hubungan in Kattsoff menyajikan contoh klasik yang terkenal, yaitu
peristiwa dihukum matinya Socrates pada tahun 399 sebelum Masehi atas tuduhan
merusak jiwa pemuda di Athena. Hukumannya adalah minum racun sampai mati. Tetapi
Socrates mempunyai banyak teman yang bersedia membantunya untuk melarikan diri
dengan jalan menyuap penjaga penjara.
Bagi manusia praktis bantuan untuk melarikan diri seperti itu pasti disambut
segera, tetapi tidak demikian Socrates. Kepada kawan-kawannya itu ia berkata bahwa
sebelum menerima tawaran tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu apakah perbuatan
melarikan diri itu layak baginya. Demikianlah ucapan seorang filosof. Lalu ia bersama
teman-temannya membahas masalah itu. Secara hati-hati teman-temannya mengajukan
alasan-alasan mengapa Socrates perlu melarikan diri. Dengan seksama ia meneliti alasan-
alasan tersebut yang diikuti oleh alasan-alasan lain yang menunjukan penolakan untuk
melarikan diri.
Akhirnya, teman-temannya sepakat bahwa tidaklah tepat bagi Socrates untuk
melarikan diri. Pada saat itulah pembahasan filsafati berakhir; Socrates bertindak.
Tindakannya itu didasarkan pada pemikirannya, tetapi tindakan itu tidak merupakan
bagian pemikiran tersebut. Socrates tetap tinggal di penjara, dan ia pun............ minum
racun (Kattsoff, 1986:4).
Filsafat adalah suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran mengenai suatu
masalah, serta penyusunan secara sengaja dan sistematis suatu pandangan yang menjadi
dasar suatu tindakan.
3. Pertimbangan Nilai

Pertimbangan nilai (value judgement) dilakukan seorang komunikator di saat


mengemas pikirannya dengan bahasa dalam ideasi, sesaat sebelum suatu pesan
ditransmisikan kepada komunikan.
Proses internalisasi atau pembatinan ini teramat penting bagi seorang
komunikator agar komunikasi social secara teologis yang ia lancarkan, berlangsung
sebagaimana ia harapkan.
Pentingnya pemahaman nilai, karena melekat pada keterpautan antara sejumlah
manusia yang terikat sebagai konsekuensi dari hubungan sosial. Dan proses hubungan
sosial adalah proses interaksi yang juga proses komunikasi. Dalam proses komunikasi
mengandung suatu nilai tertetu, baik secara implisit maupun eksplisit, yang secara nyata
terasa oleh para pelaku komunikasi, komunikator atau komunikan, atau kedua-duanya
atau orang lain yang mengamati berlangsungnya komunikasi.
Komunikasi sebagai konsekuensi dari hubungan sosial sebagaimana dikatakan
tadi, ada yang dilakukan tanpa tujuan tertentu dalam arti kata tidak diharapkan timbulnya
efek tertentu tetapi memunculkan nilai tertentu. Sebagai contoh adalah komunikasi yang
terjadi antara dua orang yang memberi salam ketika bertemu di jalan. Dalam proses
komunikasi yang singkat itu terdapat suatu nilai tertentu. Hal ini akan tampak pada gaya
waktu si komunikator menyapa dan saat si komunikan menyambut sapaan tersebut. Jika
salam itu ditunjukkan oleh komunikator sambil berhenti di jalan, diucapkan dengan kata-
kata lemah lembut disertai wajah yang cerah yang dihiasi sunggingan senyum, maka
nilainya akan lain dibandingkan dengan komunikator yang sebaliknya.
Di lain pihak, kalau komunikan yang diberi salam itu, menyambutnya secara
ramah pula, akan menunjukan nilai tertentu dibandingkan dengan kalau menyambutnya
secara ketus. Seperti diterangkan tadi, yang merasakan nilai itu, tidak hanya mereka yang
terlibat dalam proses komunikasi singkat tersebut, tetapi juga orang lain yang
menyaksikan.
Pada kenyataanya dalam kehidupan manusia pengertian nilai yang diterapkan
pada contoh di atas, tidak sederhana seperti itu. Nilai kebaikan yang dimisalkan pada dua
orang yang berkomunikasi tadi hanyalah salah satu saja. Dalam kehidupan manusia nilai
yang dipermasalahkan tidak hanya nilai kebaikan yang dalam filsafat dikaji oleh etika,
tetapi juga nilai kebenaran yang ditelaah oleh logika, dan nilai keindahan yang dipelajari
oleh estetika.
Ketika nilai tersebut merupakan inti dari berbagai nilai lain yang terdapat dalam
berbagaio hal atau peristiwa. Kita sering mendengarkan kata-kata nilai religius, nilai
keimanan, nilai perjuangan, nilai 1945, nilai tradisional, nilai modern, dan banyak lagi.,
yang ke semuanya sesungguhnya merupakan penjabaran yang bersumber dari nilai
logika, etika, dan estetika tadi.
Dalam komunikasi ketiga nilai inti tersebut merupakan aspek kehidupan yang
penting bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun. Rakyat Indonesia yang
peningkatan jumlahnya sukar dibendung, penduduknya yang semakin kritis,
kehidupannya semakin modern, justru pada saat terjadinya globalisasi informasi dan
komunikasi yang menyebarkan pengaruh, tidak hanya yang positif tetapi juga yang
negatif. Maka banyaklah hal-hal yang peristiwa-peristiwa yang memerlukan
pertimbangna nilai secara seksama.
Suatu fenomena tidak lagi hanya sekedar memrluka pertimbangan nilai benar atau salah,
baik atau buruk, indah atau jelek. Mungkin pertimbangan nilai itu mengenai apakah
menguntungkan atau merugikan, memberi harapan atau tidak memberi harapan, layak
atau tidak layak, perlu diprioritaskan atau tidak perlu diprioritaskan, dan lain sebagainya.
Jelas bahwa pertimbangan nilai menyangkut sikap yang harus dibedakan dari
deskripsi atau penjelasan. Berling, Kwee, Mooij dan Van Peursen dalam bukunnya
“Pengantar Filsafat” menyajikan perbedaan sebagai berikut: bila saya mengatakan bahwa
demokrasi ialah bentuk negara atau bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di
tangan rakyat atau badan perwakilan yang dipilih oleh rakyat, maka dalam hal ini saya
memberikan penjelasan mengenai suatu pengertian. Jika saya mengatakan bahwa
demokrasi merupakan bentuk negara atau pemerintahan yang terbaik atau paling kurang
buruk, maka dalam hal ini saya menetapkan pertimbangan nilai. Dalam hal ini saya
“mengambil sikap”, “memilih sikap”.
Penjelasan mengenai perbedaan di atas dalam komunikasi sering tampak,
terutama dalam media surat kabar atau majalah, yakni yang berkaitan dengan masalah
objektifitas berita. Para pakar komunikasi jurnalistik sering menyanggah adanya berita
yang objektif. Mereka mengatakan bahwa yang ada ialah berita yang objektif subjektif,
karena setiap berita yang disusun tidak mungkin bebas dari sifat subjektif si wartawan
yang meliput.
Sebenarnya dapat saja sebuah berita dikatakan objektif, apabila disusun secara
deskriptif tanpa pertimbangan nilai. Hal ini dapat di lakukan si wartawan dengan
menghindarkan kata-kat sifat seperti: hebat, kejam, cantik, kaya, banyak, dan sebagainya.
Dalam hubungan ini, dalam berita yang harus objektif itu, tidak berarti tidak ada
petimbangan dari si peliput berita. Ada, tetapi pertimbangan itu adalah pertimbangan
faktual (factual judgement).
Contoh yang terkenal dalam juranlistik ialah mengenai Haji Agus Salim ketika
sebagai anggota delegasi Republik Indonesia memperjuangkan pengakuan de jure, pidato
dalam Konferensi Meja Bundar di negeri Belanda. Seorang wartawan dalam beritanya
tidak menyatakan bahwa Agus Salim pidato sambil marah. Dia tidak secara eksplisit
melakukan penilaian, melainkan secara deskriptif. Dalam beritanya itu ia mengatakan
bahwa Pak Agus Salim berpidato sambil menggebrak meja seraya matanya membelalak.
Dengan deskripsi sepertiu itu pembaca menilai bahwa pidato dengan mengggebrak meja
dan dengan mata membelalak, berarti delegasi Indonesia marah.

a) Pengertian Nilai

Nilai adalah pandangan, cita-cita, adapt, kebiasaan, dan lain-lain yang


menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam
pengertian umum istilah nilai sering dipergunakan untuk hal-hal yang menunjukan harga
atau penghargaan, guna atau kegunaan, baik atau kebaikan, dan sebagainya.
Hakikat nilai dipelajari oleh cabang filsafat yang seperti telah diterangkan oleh
muka, yaitu aksiologi. Aksiologi (axiology) terdiri dari perkataan “axios” yang berarti
nilai dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah aksiologi berarti ilmu tentang
nilai.
Dalam filsafat juga tentunya dalam filsafat komunikasi, nilai berkaitan dengan
logika,

Anda mungkin juga menyukai