Anda di halaman 1dari 14

APLIKASI FERMENTASI KULIT PISANG

PADA PRODUKSI BIOETANOL

Yohanes Alvin G.
7101004

ABSTRAK

Fermentasi adalah suatu aplikasi bioteknologi yang berfungsi mengubah


molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana, misalnya
etanol dan asam laktat, pada kondisi tertentu. Molekul kompleks tersebut
dapat berupa selulosa atau pektin, seperti yang terdapat pada bagian
tertentu pada buah pisang. Bagian yang tidak dapat dikonsumsi dan
berpotensi menjadi limbah lingkungan tersebut akan diubah menjadi
bioetanol, suatu bahan bakar masa depan yang dapat dijadikan alternatif
unggulan.

Kata Kunci : fermentasi, kulit pisang, bioetanol

Pendahuluan
Penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan sumber energi
minyak di dunia. Memang alam begitu mudah dan murah menyediakan energi
dalam bentuk fosil sehingga kita terlena bahwa energi butuh ratusan juta tahun
untuk terbentuk. Kini, sumur-sumur minyak semakin mongering. Padahal,
konsumsinya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga dapat
diprediksikan cadangan minyak dunia hanya cukup untuk 45 tahun ke depan
saja. Hal ini tampak bertolakbelakang dengan jumlah limbah kulit pisang yang
semakin hari semakin bertambah banyak. Kebanyakan orang hanya
mengkonsumsi buahnya saja, lantas membuang kulitnya. Padahal dalam kulit
pisang terkandung sejumlah senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan. Salah
satunya adalah kandungan pektin yang cukup tinggi, sehingga dapat
difermentasikan untuk menghasilkan bioetanol. Bioetanol inilah yang dapat
dijadikan alternatif bahan bakar, pengganti bahan bakar minyak yang selama ini
digunakan.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi fermentasi
kulit pisang pada produksi bioetanol. Lebih detil lagi, penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi pada kulit pisang, mengetahui
hakikat proses fermentasi, dan memahami bioetanol sebagai alternatif bahan
bakar masa depan. Dengan demikian, secara otomatis pula kita dapat
mengetahui proses fermentasi pada kulit pisang untuk dijadikan bioetanol dan
menentukan apakah bioetanol hasil fermentasi kulit pisang tersebut dapat
diterapkan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Untuk tujuan-tujuan
tersebutlah maka makalah ini dibuat.
Fermentasi
Kata “fermentasi” berasal dari bahasa Latin dan secara sempit berarti
transformasi sari anggur menjadi minuman anggur (wine). Secara umum,
fermentasi diartikan untuk semua kegiatan yang menunjuk pada berbagai aksi
mikrobial dan melibatkan enzim tertentu. Beberapa ahli kemudian melengkapi
definisi tersebut dengan aksi mikrobial yang tertentu dan jelas. Fermentasi
merupakan bagian respirasi seluler yang terjadi pada kondisi anaerobik, atau
tanpa oksigen. Maksudnya, fermentasi menjelaskan peristiwa respirasi yang
berlangsung pada keadaan tanpa oksigen namun masih tetap dapat
menghasilkan energi, berupa ATP.
Lebih detil lagi, menurut beberapa biologiwan (Campbell, N.A., Reece,
J.B., dan Mitchell, L.G., 2000:174), fermentasi didefinisikan sebagai katabolisme
anaerobik yang merupakan perluasan glikolisis yang dapat menghasilkan ATP
hanya dengan fosforilasi tingkat substrat sepanjang terdapat pasokan ion NAD +
yang cukup untuk menerima elektron selama langkah oksidasi. Proses glikolisis
adalah suatu proses pemecahan glukosa menjadi biomolekul yang lebih
sederhana lagi, yaitu dua (2) molekul asam piruvat, yang nantinya akan
diteruskan ke jalur katabolisme berikutnya, tergantung suasananya. Apabila
suasana oksigen cukup, maka akan diteruskan ke Siklus Kreb, namun apabila
tidak, maka akan diteruskan ke jalur fermentasi. Dengan demikian, dapat pula
dikatakan bahwa fermentasi terdiri atas glikolisis ditambah dengan reaksi yang
menghasilkan NAD+ melalui transfer elektron dari NADH ke asam piruvat atau
turunannya.
Dari segi biologis, rupanya fermentasi dijelaskan sebagai suatu gejala
makhluk hidup yang lazim ditemui pada beberapa kasus. Dengan perincian jalur
metabolisme yang cukup panjang, dapat diterangkan bahwa fermentasi memiliki
peran yang signifikan bagi kelangsungan hidup makhluk hidup. Fermentasi
sebagai cadangan respirasi yang sama-sama menghasilkan energi yang dapat
langsung digunakan oleh tubuh, meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding
dengan energi yang dihasilkan oleh respirasi aerobik. Produk besar fermentasi
bisa berupa dua molekul etanol atau dua molekul asam laktat.
Fermentasi juga didefinisikan sebagai aplikasi ilmu bioteknologi oleh
saintis lain,
“Fermentation is an important microbial process that produces many food
products and beverages including a variety of breads, beers, wines, champagnes,
yoghurts and cheeses. Fermenting microbes have very important roles in
biotechnology. One of the earliest applications of microorganisms – the brewing
of beer and wine – involves fermentation by yeast.” (Thieman, W. J., dan
Palladino, M.A., 2004:114)
Ahli bioteknologi tersebut mengartikan fermentasi sebagai aplikasi
bioteknologi yang menggunakan mikroorganisme sebagai subjeknya, dan
menghasilkan beraneka macam produk. Beberapa produk tersebut adalah keju,
yoghurt, kecap, dan bir. Namun, selain produk makanan, aplikasi fermentasi
juga digunakan dalam pembuatan pupuk kompos, pembuatan antibiotik
tertentu, pembuatan bioetanol, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, fermentasi berperan
dalam perombakan molekul-molekul kompleks menjadi molekul yang lebih
sederhana, sehingga dapat dimanfaatkan langsung energinya.
Kedua sumber acuan tersebut secara tidak langsung menyimpulkan
bahwa fermentasi selain sebagai gejala alamiah makhluk hidup, juga ternyata
memiliki keuntungan-keuntungan tertentu. Gejala alamiah makhluk hidup
tersebut menunjukkan bahwa fermentasi dapat terjadi pada seluruh organisme,
mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi. Fermentasi juga
memiliki jalur-jalur metabolisme tertentu yang hampir sama dengan jalur
metabolisme respirasi aerobik, namun menghasilkan energi dengan jumlah yang
lebih sedikit dibandingkan respirasi aerobik. Dengan jalur metabolisme yang
hampir sama dengan jalur metabolisme respirasi aerobik, berarti fungsi utama
fermentasi juga hampir sama dengan fungsi utama respirasi, yaitu membongkar
molekul kompleks menjadi molekul sederhana, namun dalam kondisi anaerobik.
Seperti yang telah disebutkan di atas, produk fermentasi bisa berupa dua
molekul etanol atau dua molekul asam laktat. Dengan demikian, berdasarkan
produk yang dihasilkan, fermentasi dapat dibedakan menjadi dua. Fermentasi
etanol, apabila produk yang dihasilkan berupa dua molekul etanol, serta
fermentasi asam laktat, apabila produk yang dihasilkan berupa dua molekul
asam laktat. Secara umum, dengan produk berbeda, tentunya jalannya reaksi
yang bersangkutan juga pasti berbeda.
Fermentasi asam laktat terjadi apabila substrat fermentasi adalah sel
hewan. Selama fermentasi asam laktat, asam piruvat langsung direduksi oleh
NADH untuk membentuk laktat sebagai produk utamanya, tanpa melepas CO 2.
Laktat di sini berarti bentuk ionisasi dari asam laktat. Fermentasi asam laktat
oleh fungi dan bakteri tertentu biasa digunakan dalam industri susu untuk
membuat keju dan yoghurt. Sel otot manusia membuat ATP melalui fermentasi
asam laktat apabila kondisi oksigen kurang. Akumulasi dari asam laktat ini
dapat menyebabkan otot nyeru dan letih, tetapi secara perlahan-lahan laktat ini
akan dibawa oleh darah ke hati. Di hati, laktat akan diubah kembali menjadi
asam piruvat.
Sedangkan pada fermentasi etanol, atau lebih lazim dikenal fermentasi
alkohol, asam piruvat diubah menjadi etanol (etil alkohol) melalui dua tahap.
Tahap pertama yaitu melepaskan karbon dioksida dari asam piruvat yang
diubah menjadi senyawa asetaldehida berkarbon dua. Dalam tahap kedua,
asetaldehida direduksi oleh NADH menjadi etanol. Ini meregenerasi pasokan
NAD+ yang dibutuhkan oleh glikolisis. Fermentasi etanol ini terjadi di substrat
sel tumbuhan pada kondisi kurang oksigen. Fermentasi etanol ini biasa
digunakan dalam produksi bir dan anggur. Banyak mikroorganisme, seperti
bakteri juga melakukan fermentasi etanol ini dalam kondisi anaerobik.
Apabila diuraikan lebih lanjut, proses fermentasi secara umum dapat
berlangsung melalui beberapa tahap. Proses fermentasi yang dimaksud di sini
adalah apabila fermentasi tersebut seakan “dipaksakan” terjadi. Dengan
demikian, maka perlu diadakan serangkaian persiapan yang mengkondisikan
substrat tertentu dalam kondisi tertentu, agar terjadi fermentasi sebagaimana
lazimnya. Proses fermentasi buatan ini bertujuan untuk mengambil produk
utamanya, yaitu bisa berupa etanol atau asam laktat tersebut.
Proses pengkondisian tersebut dimulai dengan pemilihan jenis mikroba.
Pemilihan ini sangat bergantung pada teori klon, dimana tipe produk dapat
diklasifikasikan dalam tiga cara. Pertama, menurut tipe metabolisme terkait.
Kedua, menurut kenyataan apakah produk itu sendiri adalah produk gen
rekombinan (protein) atau hasil sintesis sebagai konsekuensi perubahan
metabolisme bakteri oleh inklusi gen rekombinan. Ketiga, nilai produk. Jenis
terpilih tentunya memiliki kriteria tertentu, misalnya mampu bekerja untuk
berbagai substrat yang beragam, memiliki cirri fermentasi yang baik tanpa
memerlukan oksigen berlebihan dan pembangkitan panas, suhu fermentasi tak
terbatas, tidak menghasilkan enzim pendegradasi dan tahan terhadap toksisitas
produk, tidak patogen, untuk penghasil bahan therapeutik tidak menghasilkan
endotoksin, dapat mempertahankan stabilitas genetik, tahan terhadap infeksi
bakteriofaga, serta mudah dikontrol. Kriteria-kriteria tersebut bertujuan untuk
menghindari efek samping dari proses fermentasi yang dapat terjadi sewaktu-
waktu. Misalnya apabila ada virus yang menginfeksi mikroba fermentasi
(bakteriofaga), maka bisa jadi produk fermentasinya tidak terbentuk, atau bisa
terbentuk namun kualitas produk tidak sesuai dengan keinginan.
Setelah pemilihan jenis mikroba, proses berikutnya yaitu menentukan
media fermentasi yang tepat. Walaupun media sangat khusus untuk produksi
suatu produk fermentasi, namun juga diperlukan beberapa kriteria, misalnya
survai pasar dengan prospek baik, mahal tidaknya formulasi media, rute
produksi terpilih, konsentrasi sisa minimal pada produk jadi, serta adanya
jaminan ketersediaan komponen substrat secara lestari. Setelah penentuan jenis
media, dilanjutkan ke proses inti yaitu pembentukan produk. Secara kuantitatif,
pembentukan produk bergantung pada kapasitas sinteis, kestabilan sistem
sintesis, ketersediaan substrat, dan perolehan produk dalam proses
pemurniannya. Kapasitas sintesis yang dimaksud tergantung pada beberapa
keadaan fisiologis, misalnya jumlah enzim yang ada, aktivitas enzim khusus,
kestabilan enzim, dan kestabilan serta ketersediaan komponen-komponen
pensintesa (mRNA, tRNA, dan lain-lain).
Proses fermentasi juga melibatkan mikroorganisme, seperti yang telah
disebutkan di atas. Apabila proses fermentasi dilakukan dalam skala industri,
maka mikroorganisme yang dibutuhkan mutlak disebut juga mikroorganisme
industri. Mikroorganisme industri ini tentunya memiliki beberapa kriteria
tertentu, sehingga dari kriteria tersebut, dapat diambil sisi positifnya dan
dieksploitasi secara bijak untuk berlangsungnya proses fermentasi skala industri.
Selain memperhatikan kriteria tertentu, kita juga perlu melakukan pengaturan
metabolik dari mikroorganisme tersebut, agar sesuai dengan yang kita inginkan.
Karena mikroorganisme adalah kunci keberhasilan atau kegagalan suatu
fermentasi.
Menurut Hesseltine dan Haynes (1973:245), ciri-ciri di bawah ini perlu
dimiliki oleh mikroorganisme industri yang unggul (superior). Pertama, strain
sel tersebut harus memiliki kultur yang murni, bukan hanya bebas dari
mikroorganisme-mikroorganisme lain, tetapi juga bebas dari faga. Adanya
mikroorganisme-mikroorganisme lain membuat produk fermentasi yang
dihasilkan tidak murni juga. Kedua, secara genetik, strain tersebut haruslah
stabil. Ketiga, strain tersebut harus siap dapat memproduksi berbagai sel
vegetatif, spora, atau unit-unit reproduktif lainnya. Khusus untuk fungi divisi
Basidiomycetes, karena hanya menghasilkan miselium, maka jarang digunakan
dalam fermentasi skala industri. Keempat, strain tersebut harus mampu tumbuh
dengan cepat dan kuat sesaat setelah diionukulasi pada tangki pembibitan, atau
wadah lain yang digunakan untuk mempersiapkan suatu industri fermentasi.
Kelima, strain tersebut harus dapat menghasilkan produk yang diinginkan
dalam jangka waktu pendek. Keenam, jika memungkinkan, strain tersebut
hendaknya mampu melindungi dirinya dari kontaminasi. Cara melindungi
dirinya sendiri dapat berupa penurunan pH, mampu tumbuh pada suhu tinggi,
atau mampu dengan cepat menghasilkan inhibitor mikrobial yang diinginkan.
Ketujuh, strain harus mampu disimpan dalam jangka waktu yang lama sekali.
Kedelapan, strain tersebut hendaknya mampu memproduksi produk yang
diinginkan, tanpa menghasilkan produk lain yang bersifat toksik. Lebih jelas lagi,
produk yang diinginkan tersebut harus mudah dipisahkan dari senyawa-
senyawa atau bahan-bahan lainnya. Terakhir, strain tersebut hendaknya mudah
menerima perubahan oleh bahan-bahan mutagenik tertentu. Program mutasi
dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan strain tersebut sehinga
mampu meningkatkan produksinya.
Mikroorganisme unggul yang memiliki ciri-ciri di atas dapat diisolasi
dari suatu sumber alami, atau diperoleh dari suatu koleki kultur. Pengerjaan
isolasi, pemurnian, pemilihan, dan pengujian suatu kultur dari sumber alami,
memerlukan ahli mikrobiologi yang terlatih dengan baik. Untuk memperoleh
kultur yang tepat, kadangkala para ahli tersebut mencoba mengisolasi suatu
strain tertentu dari lingkungan yang belum tentu ada di negara yang
bersangkutan. Sumber-sumber kulturnya adalah tanah, air, sayur-sayuran segar,
tanaman atau hewan hidup, bahan buangan atau limbah, pangan yang segar
atau yang telah busuk, rumput, dan juga kotoran serangga. Isolasi kultur sendiri
adalah suatu kegiatan pemisahan suatu kultur mikroorganisme khas dari
campuran biakan beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat di alam. Jenis
dan cara pengerjaan isolasi sangatlah beragam, bergantung pada kebutuhan.
Mikroorganisme industri adalah suatu aset yang sangat berharga, oleh
karena itu perlu prosedur dan cara pemeliharaan yang bersifat rahasia. Setiap
industri fermentasi biasanya berusaha agar industri saingannya tidak
mengetahui cara pemeliharaan mikroorganismenya. Pemeliharaan ini juga perlu
dilakukan karena beberapa sebab tertentu, misalnya diperlukan untuk seleksi.
Seleksi yang dimaksud adalah mikroorganisme mana yang dapat menghasilkan
produk dengan jumlah yang lebih maksimal dan kualitas baik. Selain itu, juga
diperlukan pemeliharaan untuk pengembangan, bahkan sampai pada
perlindungan paten mikroorganisme industri untuk industri fermentasi yang
spesifik.
Lebih detil lagi, mikroba industri juga membutuhkan pengaturan
metabolik tertentu. DNA sel mikrobial yang bertugas menentukan sintesis
enzimatik secara terinci membutuhkan pengaturan tertentu agar terjadi
keterpaduan koordinasi yang akan dibahas satu demi satu. Keterpaduan
koordinasi tersebut, bisa dalam aspek induksi, katabolit, feed back, jaur bercabang,
asam amino pada sintesis RNA, dan mutasi energi. Dengan demikian
diharapkan mikroba industri tidak mensinesis produk secara ekstra berlebihan
walau terjadi perubahan-perubahan lingkungan yang tidak diinginkan.
Contohnya adalah penurunan suhu sewaktu-waktu, munculnya enzim yang
bersifat menginhibisi aktivitas mikroba tersebut, dan lain-lain.
Dari ribuan enzim yang mampu diproduksi oleh sebuah sel mikroba,
sejumlah enzim saja yang dihasilkan dalam konsentrasi yang lebih tinggi tanpa
memperhatikan medium apa yang digunakan untuk pertumbuhannya. Induksi
enzim dapat diartikan sebagai peningkatan relatif kecepatan sintesis sebuah
enzim tertentu, yang dihasilkan dari eksposur sel terhadap suatu bahan kimiawi,
yaitu suatu penginduksi. Enzim-enzim yang dapat menginduksi dibutuhkan bila
organisme berada dalam media terbatas nutrient, misalnya hanya sebuah bentuk
polisakarida, oligosakarida, atau sebuah asam amino sebagai sumber satu-
satunya karbon atau energi. Induksi menjamin energi dan asam amino tidak
terbuang percuma dengan memproduksi enzim yang tidak diperlukan, tetapi
pada saat enzim tersebut dibutuhkan, maka secara cepat dapat dihasilkan.
Hal lain yang dapat terjadi bilamana lebih dari satu substrat tersedia
dalam lingkungan pertumbuhannya, maka sel mikroba dihadapkan pada suatu
masalah. Sel mikroba dapat memproduksi enzim untuk mengkatabolisis semua
substrat, tetapi tindakan ini akan membuang komponen-komponen untuk
sintesis protein. Represi katabolit dapat diartikan di sini sebagai penurunan
relatif kecepatan sintesis suatu enzim tertentu yang dihasilkan dari eksposur
terhadap suatu sumber karbon yang diasimilasi secara cepat. Contohnya dapat
terjadi pada kasus klasik represi katabolit pada β-galaktosidase (sebenarnya lac
operon) oleh pertumbuhan bakteri E. coli pada glukosa. Sehingga sel awalnya
memproduksi enzim yang dapat mencerna substrat utama, dan hanya setelah
kehabisan substrat utama maka enzim-enzim lain dibentuk untuk
mengkatabolisis substrat-substrat lainnya.
Pengaturan umpan balik (feed back) terdapat dua cara, yaitu
penghambatan umpan balik (inibisi) dan sistem represi umpan balik.
Penghambatan umpan balik merupakan suatu gejala metabolit terakhir dari
suatu bagian biokimiawi yang mencegah kegiatan enzim yang lebih awal dari
bagian tersebut. Mekanisme ini berjalan untuk mengatur kecepatan produksi
akhir terhadap kecepatan sintesis makromolekul. Sehingga, sintesis enzim yang
berlebihan dan nantinya dapat merugikan suatu sel tertentu dapat dihambat.
Masalah lain yang mungkin dapat muncul, apabila mikroorganisme
membentuk lebih dari produk akhir dari suatu metabolik yang umum, yang
bercabang di satu atau lebih titik percabangan. Dalam kasus ini, sel harus
memiliki mekanisme pencegahan suatu produk akhir dari interferensi dengan
produksi senyawa lain yang diurunkan dari sekuen metabolik umum. Tanpa
mekanisme tersebut, situasi akan menjadi kacau. Misalnya adanya suatu produk
lain yang berlebihan akan menekan sel membentuk produk akhir yang lainnya.
Mekanisme tersebut umumnya termasuk dalam represi umpan balik yang
dikenal melalui tiga cara sederhana, yaitu pengaturan diferensial oleh isoenzim,
pengaturan harmonis, dan pengaturan kumulatif.
Pada saat sebuah urutan pengguna asam amino kehabisan pasokan asam
amino pada media pertumbuhannya, maka bukan hanya sitesis protein yang
terhenti, tetapi juga sintesis RNA. Kontrol sintesis RNA oleh asam amino bersifat
ekonomis bagi sel, karena pembentukan RNA pada saat tidak terjadi sintesis
protein merupakan suatu pemborosan yang sia-sia. Namun demikian, beberapa
strain urutan tertentu dapat terus menghasilkan RNA walaupun asam amino
yang dibutuhkan tidak tersedia. Inilah yang disebut control sintesis RNA secara
longgar.
Banyak reaksi metabolisme antara memberikan pasokan energi dalam
bentuk ATP, dengan demikian tidak mengherankan menemukan jalur Embden-
Meyerhof dan Siklus Kreb yang diatur oleh keseimbangan relatif antara ATP,
ADP, dan AMP dalam sel. Muatan energi tidak hanya mengatur kegiatan enzim
katabolik yang menghasilkan pembentukan ATP, tetapi juga enzim-enzim
biosintetis yang menggunakan ATP. Enzim-enzim katabolik seperti isositrat
dihidogenase dan fosfofruktokinase dihambat oleh suatu muatan energi tinggi.
Sedangkan piruvat karboksilase, asetil koenzim A karboksilase dan
aspartokinase diaktifkan pada urutan energi tinggi yang sama.
Mikroorganisme industri yang dipilih oleh penulis dalam aplikasi
fermentasi kulit pisang pada produksi bioetanol adalah Saccharomyces cerevisiae.
Mikroba ini dipilih karena telah memenuhi kriteria mikroba industri seperti yang
dibahas pada pembahasan sebelumnya, mudah dikultur, serta mudah dikontrol
metaboliknya. Pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae ini selain pada produksi
bioetanol, juga biasa dilakukan pada produksi roti beragi. Penyesuaian struktur
dan fisiologi umum dari S. cerevisiae ini tampak menguntungkan bagi produsen.
Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroba yang tergolong dalam yeast
(ragi). Menurut Van Rij (1984), yeast merupakan fungsi uniseluler yang
melakukan reproduksi secara pertunasan (budding) atau pembelahan (fission).
Yeast tidak berklorofil, tidak berflagella, berukuran lebih besar dari bakteri, tidak
dapat membentuk miselium berukuran bulat, bulat telur, batang, silinder seperti
buah jeruk, kadang-kadang dapat mengalami diforfisme, bersifat saprofit,
namun ada beberapa yang bersifat parasit. Dengan demikian, maka S. cerevisiae
juga memiliki klasifikasi umum seperi yang di atas.
Saccharomyces cerevisiae merupakan yeast yang termasuk dalam kelas
Hemiascomycetes, ordo Endomycetales, family Saccharomycetaceae, Sub family
Saccharoycoideae, dan genus Saccharomyces. Saccharomyces cerevisiae merupakan
organisme uniseluler yang bersifat makhluk mikroskopis dan disebut sebagai
jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk
metabolisme. Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan sejumlah gula,
diantaranya sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa dan
maltotriosa. Saccharomyces cerevisiae merupakan mikrobia yang paling banyak
digunakan pada fermentasi etanol karena dapat berproduksi tinggi, tahan
terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan
tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC.
Dalam proses fermentasi, tentunya dibutuhkan enzim fermentasi.
Mengingat bahwa proses fermentasi sebagai bagian dari katabolisme dalam
kondisi anaerob, maka tentunya fermentasi membutuhkan suatu senyawa
pengontrol yang disebut enzim. Enzim fermentasi inilah yang sebenarnya
menguraikan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana atau
disebut sebagai produk fermentasi. Enzim fermentasi inilah yang dihasilkan oleh
mikroorganisme industri terpilih di atas.
Enzim merupakan bagian dari katalis yang lebih umum disebut
biokatalis. Dalam fungsinya pada reaksi kimia biasa, katalis menurunkan energi
aktivasi dari molekul-molekul yang bergerak pada reaksi kimia tersebut. Dengan
turunnya energi aktivasi, maka reaksi kimia dapat berjalan lebih cepat. Sehingga,
enzim juga dibutuhkan untuk mempercepat reaksi fermentasi.
Prinsip kerja enzim adalah spesifik. Enzim terbentuk dari protein, yang
memiliki sisi aktif enzim. Sehingga, apabila enzim tertentu bekerja pada substrat
tertentu dihadapkan pada substrat lain, maka enzim tidak akan bekerja. Proses
ini biasa dianalogikan dengan prinsip gembok-kunci. Apabila kunci tidak sesuai
dengan gembok, maka tentunya gembok tidak akan terbuka. Enzim juga tidak
dapat bekerja pada suhu tinggi, karena dapat terjadi denaturasi protein sebagai
struktur utama enzim tersebut.
Enzim fermentasi yang digunakan dalam aplikasi fermentasi kulit pisang
pada produksi bioetanol ini ada dua macam. Pertama, yaitu enzim α-amilase.
Kedua, yaitu enzim glukoamilase. Kedua jenis enzim tersebut spesifik pada
substrat tertentu. Untuk enzim α-amilase, secara spesifik enzim ini memutus
ikatan α-1,4-glukosida melalui proses hidrolisis. Sedangkan enzim glukoamilase,
akan memutus ikatan pati yang belum terputus oleh enzim α-amilase. Lebih
jelasnya akan dijelaskan pada bagian proses aplikasi fermentasi kulit pisang
pada produksi bioetanol.

Kulit Pisang
Sebelum membahas mengenai kulit pisang, terlebih dahulu kita harus
memahami buah pisang terlebih dahulu. Karena kulit pisang adalah bagian dari
buah pisang. Pada umumnya, buah pisang memiliki dua bagian, yaitu kulit
pisang dan daging buah pisang. Daging buah pisang itulah yang biasa
dikonsumsi oleh manusia, sedangkan kulit pisang biasa disebut sebagai limbah
buah pisang.
Pisang (Musa paradisiacal) adalah tanaman buah berupa herba yang
berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini
kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah.
Pisang di Jawa Barat disebut dengan cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur
dinamakan gedang. Hampir di setiap tempat dapat dengan mudah ditemukan
tanaman pisang. Pusat produksi pisang di Jawa Barat adalah Cianjur, Sukabumi
dan daerah sekitar Cirebon. Pisang umumnya dapat tumbuh di dataran rendah
sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m dpl. Pisang dapat tumbuh pada
iklim tropis basah, lembab dan panas dengan curah hujan optimal adalah 1.520–
3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering.
Tanaman pisang yang utuh memiliki bagian-bagian yang penting di
antaranya daun, batang, buah, jantung, dan bagian umbi atau bonggol pisang.
Bagian-bagian tersebut memiliki berbagai macam manfaat misalnya saja, buah
pisang sebagai sumber berbagai macam mineral dan vitamin yang bermanfaat
bagi manusia. Kandungan mineral dan vitamin yang berperan antara lain
kalium, magnesium, fosfor, besi, vitamin C dan B kompleks yang aktif sebagai
neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Daun pisang biasa digunakan
sebagai pembungkus bahan makanan, karena dengan membungkus makanan
dengan menggunakan daun pisang akan menambah cita rasa dalam makanan
tersebut contoh bahan makanan yang sering menggunakan daun pisang sebagai
pembungkus adalah tempe. Batang pisang dapat digunakan sebagai bahan dasar
kertas daur ulang, dan digunakan sebagai bahan untuk pakan ternak. Jantung
pisang dapat digunakan sebagai bahan makanan seperti dendeng jantung
pisang. Bagian bonggol pisang juga bermanfaat sebagai bahan baku obat dengan
cara diambil airnya yang mampu mengobati penyakit disentri, pendarahan usus,
obat kumur serta untuk memperbaiki pertumbuhan dan menghitamkan rambut
(Rosdiana, 2009). Kulit pisang ternyata dapat dimanfaatkan sebgai produk
olahan makanan seperti nata dan roti.
Kulit pisang juga dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya, pati ini
menyerupai pati tepung sagu dan tepung tapioka. Kulit pisang memiliki
komposisi yang terdiri dari 76% pati, 20% air. (Yuanita dkk, 2008). Potensi
kandungan pati kulit pisang yang besar dapat dimanfaatkan sebagai alternatif
bahan bakar yaitu, bioetanol. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku
bioetanol disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki potensi
hasil yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Prihandana, 2007).

Bioetanol
Sebelum membahas lebih jauh mengenai bioetanol, kita perlu mmahami
terlebih dahulu alkohol. Alkohol adalah suatu senyawa kimia karbon. Lebih
lengkap lagi, alkohol merupakan senyawa karbon turunan alkana yang memiliki
gugus – OH (hidroksil). Alkohol terdapat pada benda-benda yang mudah
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada minuman bir, spiritus
bakar, obat batuk cair, dan lain-lain.
Alkohol berasal dari bahasa arab yakni al-kuhl, artinya senyawa yang
mudah menguap. Bahan kimia organik ini adalah salah satu senyawa kimia
tertua yang dikenal oleh umat manusia. Alkohol berupa larutan jernih tak
berwarna dan beraroma khas yang dapat diterima, berfasa cair pada suhu kamar,
dan mudah terbakar. Alkohol adalah senyawa hidrokarbon berupa gugus
hidroksil dengan 2 atom karbon (C). Spesies alkohol yang banyak digunakan
misalnya adalah metil alkohol (metanol), etil alkohol (etanol), dan isopropil
alkohol (PPA). Dalam dunia perdagangan, yang biasa disebut sebagai alkohol
biasanya adalah etanol, dengan rumus kimia C2H5OH (Purba, Michael, 2005).
Alkohol sebagai senyawa kimia tentunya juga memiliki banyak fungsi.
Salah satu fungsi alkohol adalah dapat menaikkan nilai oktan dengan dampak
positif terhadap efisiensi bahan bakar dan menyelamatkan mesin. Fungsi lainnya
adalah mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan
bakar dengan efek positif meminimalkan pencemaran udara. Bahkan alkohol
juga berfungsi untuk menghemat bahan bakar fosil.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa etanol adalah jenis alkohol
yang selain memiliki gugus hidroksil, juga memiliki gugus etil. Sehingga, nama
lain etanol adalah etil alkohol. Oleh karena etanol adalah bagian dari alkohol,
maka sifat-sifat etanol adalah sama dengan sifat-sifat alkohol, baik dari sifat
fisika maupu sifat kimia. Etanol juga merupakan salah satu produk hasil
fermentasi.
Berdasarkan bahan yang diperoleh, etanol dibedakan menjadi dua, yaitu
etanol sintesis dan bioetanol. Etanol sintesis, biasa disebut metanol atau metil
alkohol atau alkohol kayu, terbuat dari etilen. Etilen adalah salah satu derivat
minyak bumi atau batu bara. Bahan ini diperoleh dari proses sintesa kimia yang
disebut hidrasi. Sedangkan bioetanol direkayasa dari biomassa (tanaman)
melalui proses fermentasi.
Bahan baku bioetanol ada beberapa jenis. Pertama, jenis bahan berpati.
Bahan berpati ini bisa berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji
jagung, biji sorgum, gangum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia, dan ain-lain.
Kedua, bahan bergula. Bahan bergula bisa berupa molasses (tetes tebu), nira tebu,
nira kelapa, nira batang sorgum manis, nira aren, nira nipah, gewang, nira lontar,
dan lain-lain. Ketiga, bahan berselulosa. Bahan berselulosa berupa limbah
pertanian, misalnya jerami padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok, termasuk
kulit pisang, dan lain-lain.
Namun sejak Juli 2006, seperti yang diberitakan di surat kabar (Kompas, 8
September 2006), USA mengeluarkan kebijakan yang isinya memilih jagung
sebagi bahan baku produksi bioetanol. Hal ini dikaenakan jagung memiliki
kandungan gula/pati sekitar 600-700 kg per 1000 kg jagung. Dan apabila
dijadikan bioetanol, maka akan terbentuk bioetanol sebanyak 400 L. Dengan
tingkat efisiensi yang tinggi tersebutlah, maka jagung dinobatkan sebagai
sumber bahan baku bioetanol dunia terefektif.
Selama ini, di Indonesia juga telah banyak diproduksi bioetanol dari tebu.
Kemudian, disusul bioetanol dari ubi kayu. Namun sebenarnya Indonesia
memiliki komoditas yang sangat tinggi produktivitasnya sebagai bahan baku
bioetanol yakni dari nira dan pohon aren. BPPT melaporkan produktivitas
bioetanol dari pohon aren dapat mencapai 40000 liter/hektar/tahun. Nilai
tersebut adalah tertinggi karena ubi kayu dan jagung hanya memiliki
produktivitas masing-masing 2000 – 7000 liter/hektar/tahun dan 400 – 2500
liter/hektar/tahun. (Tjahjono dan M. Arief, 2007).
Produktivitas yang tinggi ini seakan-akan berbanding terbalik dengan
biaya produksi bioetanol di Indonesia yang lebih mahal dibanding dengan
negara-negara lain (Murdiyatmo, 2006). Padahal dengan jumlah bahan baku
yang cukup tinggi, seharusnya Indonesia dapat meminimalisirkan biaya
produksi bioetanol tersebut. Salah satu masalah yang muncul adalah kurangnya
lahan untuk menanam pohon-pohon yang ternyata dapat diolah menjadi
bioetanol. Diharapkan segera muncul solusi agar produksi bioetanol di Indonesia
dapat lebih efisien dan efektif lagi, mengingat manfaat bioetanol yang cukup
penting.
Peran bioetanol sebagai bahan bakar masa depan patut diperhatikan. Hal
ini disebabkan menurunnya persediaan minyak fosil yang selama ini digunakan
sebagai bahan baku bahan bakar minyak. Dan apabila kita dapat mensintesis
bioetanol melalui proses fermentasi, sungguh hal yang sangat membantu
tentunya. Apalagi bioetanol tidak memberikan dampak yang buruk seperti yang
diberikan oleh bahan bakar minyak yang lain, misalnya hasil pembakaran yang
beracun. Hal ini dikarenakan alkohol, sebagai struktur dasar bioetanol memiliki
fungsi menyempurnakan pembakaran, seperti yang sudah tercantum pada
pembahasan sebelumnya.

Proses Fermentasi Kulit Pisang pada Produksi Bioetanol


Mengapa kulit pisang? Mungkin itu yang muncul di benak Anda ketika
membaca makalah ini. Penulis memilih kulit pisang, mengingat kulit pisang
adalah limbah buah pisang yang selama ini dinilai kurang dimanfaatkan oleh
masyarakat. Padahal produktivitas buah pisang di Indonesia sangatlah
memadai. Dan pada kulit pisang, terdapat kandungan pati yang cukup memadai
seperti yang tercantum pada pembahasan sebelumnya. Dengan bahan pati
tersebutlah, maka dapat difermentasikan dan dijadikan bioetanol. Kita tidak
memerlukan lahan khusus untuk menanam pisang yang akan dijadikan
bioetanol, karena pisang mudah ditanam di mana saja karena kita hanya akan
memanfaatkan limbahnya saja.
Proses fermentasi kulit pisang pada produksi bioetanol tidaklah berjalan
dalam satu tahap. Perlu menyelesaikan tahapan-tahapan tertentu untuk dapat
memperoleh tingkat keberhasilan yang cukup tinggi pada produksi bioetanol
dari fermentasi kulit pisang ini. Tahapan-tahapan itu antara lain tahap persiapan,
tahap likuifaksi, tahap sakarifikasi, tahap pemisahan serat dan destilasi, serta
tahap dehidrasi. Hasil yang diharapkan dapat diperoleh adalah bioetanol dengan
kadar 99,7% atau yang biasa disebut sebagai fuel grade ethanol.
Tahap pertama adalah tahap yang disebut sebagai tahap persiapan. Hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan kulit pisang yang akan
dijadikan bioetanol. Untuk analisa kuantitatifnya, penulis akan memisalkan
massa awal kulit pisang 1000 kg, dengan demikian diharapkan diperoleh pati
sekitar 760 kg. Perhitungan ini dapat berlaku untuk kelipatannya juga.
Kemudian kulit pisang ini akan dicuci dan diberi air. Setelah itu kulit pisang
dapat digiling. Setelah proses penggilingan selesai, maka tahap persiapan dapat
dikatakan telah selesai juga.
Setelah itu, kita dapat menambahkan enzim α-amilase ke dalam adonan
gilingan kulit pisang. Fungsi enzim tersebut, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya adalah memutus ikatan α-1,4-glukosida melalui proses hidrolisis.
Proses ini disebut likuifaksi, dan proses ini membutuhkan air, agar proses
hidrolisisnya berlangsung sempurna. Proses likuifaksi ini berlangsung pada
suhu 90-950C selama 2 jam untuk massa kulit pisang 1000 kg, berlaku kelipatan.
Pada proses ini bisa ditambahkan uap air, untuk menanggulangi ketersediaan air
yang terbatas. Jumlah air maupun uap air yang diperlukan menyesuaikan
kondisinya.
Setelah tahap likuifaksi berlangsung, maka akan dilanjutkan dengan
proses sakarifikasi. Tahap ini berlangsung selama 2 kali. Pertama adalah dengan
penambahan enzim glukoamilase dan mikroba industri Saccharomyces cerevisiae.
Sedangkan tahap kedua hanya perlu tambahan mikroba industri saja. Pada
proses sakarifikasi pertama, hasil likuifaksi akan ditambahakn enzim
glukoamilase dan Saccharomyces cerevisiae. Pada tahap inilah fermentasi tersebut
dimulai. Proses ini membutuhkan waktu 3 jam untuk suhu fermentasi sekitar 60-
660C. Setelah itu, dilanjutkan dengan sakarifikasi lanjut dan fermentasi lanjut
pada suhu 320C selama 36 jam. Proses ini akan menghasilkan bioetanol dengan
kadar 10% saja.
Setelah itu, dilakukan pemisahan serat dan destilasi. Proses ini
menggunakan alat destilasi yang berfungsi memisahkan limbah produksi
bioetanol. Limbah tersebut bisa berupa fase padat serta fase cair, serta pemisahan
serat juga. Proses ini akan menghasilkan bioetanol dengan kadar 90-92% apabila
berlangsung dengan sempurna.
Tahap terakhir yang dilakukan adalah tahap dehidrasi. Tahap ini
bertujuan untuk mengurangi kadar air pada bioetanol sehingga tingkat
kemurnian bioetanol dapat tercapai lebih tinggi. Proses yang dikenal dengan
molecular sleve ini dilakukan dengan menguapkan air. Titik uap air yang lebih
rendah dibanding titik uap alkohol sangat membantu proses ini berlangsung.
Sehingga, setelah proses ini berlangsung dapat diperoleh bioetanol dengan kadar
99,7%. Dan dengan demikian proses fermentasi kulit pisang pada produksi
bioetanol telah selesai.
Analisa Produk Bioetanol
Setelah proses produksi berlangsung, tentunya kita perlu menganalisa
mutu bioetanol yang telah dihasilkan. Analisa tersebut bisa dilakukan dengan
membandingkan mutu bioetanol dengan mutu bensin yang tersusun atas
heptana 99,7% juga. Kemudian juga diperlukan untuk menguji secara analitis
bioetanol yang telah dihasilkan, seperti tingkat keasaman, tingkat kekentalan,
dan lain-lain. Hal ini perlu dilakukan karena bioetanol yang kita dapatkan bisa
juga tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Misalnya jangan sampai bioetanol
ini sangat sensitif dengan api. Kesensitifannya dengan api dapat membuat
bioetanol menjadi cepat terbakar dan cepat habis. Setelah itu selama proses
penyimpanan dapat terjadi penurunan mutu bioetanol. Hal ini dikarenakan
bioetanol sangat mudah menyerap air. Sehingga butuh tindakan-tindakan
antisipatif untuk menghindari hal-hal tersebut. Untuk mengetahui tindakan-
tindakan antisipatif tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam sub-bab sebelumnya, juga telah dibahas bahwa produksi bioetanol
mengelurkan limbah cair dan limbah padat. Limbah tersebut tentunya juga perlu
dikelola dengan seksama, karena tujuan pembuatan bioetanol ini adalah
mengurangi pencemaran udara. Sehingga jangan sampai limbah produksi itu
mencemari lingkungan – selain udara – juga. Berikut ini akan dibahas limbah
produksi bioetanol dimulai dari limbah cair terlebih dahulu.
Limbah cair bioetanol disebut juga vinasse atau stilage (Gamawati, 2007).
Limbah ini dapat terbentuk pada saat proses pencucian, ekstraksi pati
(penggilingan), serta pada tahap destilasi. Apabila dianalisa, limbah cair
bioetanol ternyata tidak mengandung bahan beracun. Hal ini dikarenakan proses
produksi bioetanol berlangsung secara biologis (fermentasi dan enzimatis), tidak
berlangsung secara kimiawi. Sehingga permasalahan utama terletak pada
kandungan BOD dan COD yang tinggi. Solusi yang dapat ditawarkan oelh
penulis adalah dengan memanfaatkan limbah cair tersebut untuk penyiraman
kebun-kebun tanaman, atau yang biasa disebut land application, dan jangan
dibuang di sungai-sungai kecil.
Limbah padat produksi bioetanol diperoleh dari ampas kulit pisang yang
tidak terpakai. Untuk limbah padat, kita tidak perlu memusingkan karena untuk
limbah padat dapat difermentasikan kembali agar dapat diproduksi bioetanol
lagi. Selain itu, limbah padat juga dapat digunakan untuk pupuk organik dan
bahan biogas. Dengan demikian, bioetanol yang kita produksi tidak
membahayakan lingkungan sekitar.

Penutupan
Pada penulisan makalah ini dapat disimpulkan bahwa kulit pisang yang
biasanya dijumpai sebagai limbah dan kurang dapat dimanfaatkan ternyata
memiliki daya guna. Hal ini dikarenakan kadar patinya yang cukup tinggi, yakni
sekitar 76% dari berat kulit pisang. Kadar pati yang tinggi itu dapat
difermentasikan untuk dijadikan bioetanol. Fermentasi sendiri adalah metode
perombakan pati menjadi etanol pada kondisi anaerob dengan melibatkan
mikroorganisme serta enzim-enzim tertentu. Mikroorganisme dan enzim yang
digunakan pada proses ini berturut-turut adalah Saccharomyces cerevisiae dan
enzim α-amilase dan glukoamilase. Proses produksi bioetanol terdiri dari
beberapa tahap, yaitu persiapan, likuifaksi, sakarifikasi, pemisahan serat dan
destilasi, serta dehidrasi. Hasil yang diperoleh adalah bioetanol dengan kadar
99,7%, dan perlu dianalisa mutunya serta diolah limbah produksinya agar tidak
mencemari lingkungan. Bioetanol ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bakar masa depan pengganti minyak fosil.

PUSTAKA ACUAN
Anonim. 2006. Saatnya Menanam Jagung. Juga Bisa Untuk Substitusi Bahan Bakar.
Harian Kompas, 8 September 2006
Anonim. 2007. Apa Itu Bioetanol?. http://www.nusantara-agro-industri.com.
Diakses tanggal 22 Desember 2010
Campbell, N.A., Reece, J.B., dan Mitchell, L.G. 2000. BIOLOGI 1. Penerbit
Erlangga : Jakarta
Murdiyatmo, Untung. 2006. Pengemangan Industri Bioetanol: Prospek, Kendala, dan
Tantangan. Kadin dan IPB : Jakarta
Prihandana. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Agromedia :
Jakarta
Purba, Michael. 2005. Kimia Dasar 3. Penerbit Erlangga : Jakarta
Rismunandar. 1990. Bertanam Pisang. CV Sinar Baru : Bandung
Rosdiana, R. 2009. Pemanfaatan Limbah dari Tanaman Pisang.
http://www.onlinebuku.com. Diakses tanggal 27 Desember 2010.
Thieman, W. J., dan Palladino, M.A. 2004. Introduction to Biotechnology. Benjamin
Cummings : San Fransisco
Tjahjono, Agus Eko, dan M. Arief Yudiarto. 2007. Pemilihan Bahan Baku dan
Teknologi Pengolahan Bioetanol Skala Kecil dan Industri. Trubus : Jakarta
Van Rij, K. 1984. The Yeast a Taxonomy Study. Elsevier Sci. Publ. : Amsterdam
Yuanita, dkk. 2008. Pabrik Sorbitol dari Bonggol Pisang (Musa paradisiaca) dengan
Proses Hidrogenasi Katalitik. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia ITS : Surabaya

KERANGKA MAKALAH

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
2. Fermentasi
2.1 Pengertian Fermentasi
2.1.1 Fermentasi Sebagai Gejala Biologis
2.1.2 Fermentasi Sebagai Aplikasi Bioteknologi
2.2 Macam-Macam Fermentasi
2.2.1 Fermentasi Asam Laktat
2.2.2 Fermentasi Etanol
2.3 Proses Fermentasi
2.4 Mikroorganisme Fermentasi
2.4.1 Kriteria Mikroorganisme Fermentasi
2.4.2 Sumber Mikroorganisme Fermentasi
2.4.3 Pemeliharaan Mikroorganisme Fermentasi
2.4.4 Pengaturan Metabolik Mikroorganisme Fermentasi
2.4.4.1 Induksi
2.4.4.2 Katabolit
2.4.4.3 Umpan Balik
2.4.4.4 Jalur Bercabang
2.4.4.5 Asam Amino pada Sintesis RNA
2.4.4.6 Muatan Energi
2.4.5. Saccharomyces cerevisiae
2.4.5.1 Taksonomi
2.4.5.2 Fisiologis
2.5 Enzim Fermentasi
2.5.1 Pengertian Enzim
2.5.2 Prinsip Kerja Enzim
2.5.3 Macam Enzim Fermentasi
3. Kulit Pisang
3.1 Morfologi Pisang
3.2 Fisiologi Pisang
3.3 Kulit Pisang
4. Bioetanol
4.1 Alkohol
4.1.1 Pengertian Alkohol
4.1.2 Manfaat Alkohol
4.2 Pengertian Etanol
4.3 Macam-Macam Etanol
4.4 Bahan Baku Bioetanol
4.5 Produksi Bioetanol di Indonesia
4.6 Biaya Produksi Bioetanol
4.7 Manfaat Bioetanol
5. Proses Fermentasi Kulit Pisang pada Produksi Bioetanol
5.1 Tahap Persiapan
5.2 Tahap Likuifaksi
5.3 Tahap Sakarifikasi
5.4 Tahap Pemisahan Serat dan Destilasi
5.5 Tahap Dehidrasi
6. Analisa Produk Bioetanol
6.1 Uji Mutu
6.2 Limbah Produksi
6.2.1 Limbah Cair
6.2.2 Limbah Padat
7. Penutupan
7.1 Simpulan

Anda mungkin juga menyukai