DISPEPSIA
DISPEPSIA
I. PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran penceranaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian
tengah keatas.Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia
umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola atau
gaya hiudup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-
muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa
menyebabkan diare dengan segala
komplikasinya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu pengleuaran
asam lambung berlebih, pertahanan dindins lambung yang lemah, infeksi Helicobacter
pylori (sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung dalam jumlah kecil, gangguan
gerakan saluran pencernaan, dan stress psikologis (Ariyanto, 2007).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian
atas atau
dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau
rasa
terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria
maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa
waktu (Bazaldua, et al, 1999)
5. Kanker lambung
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
8. Kelainan gerakan usus
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10. Infeksi Helicobacter pylory
3. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)(Mansjo er, et
al,
2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas
jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan
dapat
memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare danflatu lensi
(perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi
respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak
biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika
tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung (Hadi, 2002). Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon
perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9( Vi l a n o
rangka penelitian
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia
di Indonesia) (Mansjoer, 2007). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran
makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks
gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagusnyang menurun terutama di
bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin (Hadi, 2002).
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin
(Vilano et al, cit Hadi, 2002). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak
massa
yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah (Shirakabecit Hadi, 2002). Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off
sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebutsentina l
endoskopi
fungsional kemungkinan kecil atau
tidak ada sama sekali
Kanker dan penyakitulcer bisa terlewati
Pasien menjadi tidak punya waktu
banyaknya pengobatan
Dapat menyebabkan efek samping
secara pasti
Tes untukH.pylori Endoskopi akan mendeteksi
Tidak efektif biaya dibandingkan
dan melakukangastroduodenal ulcers, reflux
dengan tes untukH.pylori diikuti
endoskopi jika hasilesophagitis, dan kanker gastro-
oleh pengobatan jika hasilnya positif
tes positif intestinal atas
Dapat terjadi penggunaan endoskopi
Meminimalisir kebal terhadap
secara berlebihan karena terjadi tes
antibiotik
positif palsu
Invasif
(N. Talley et al,cit Bazaldua, 1999)
5. Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,
ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan
tenaga
ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan
penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-
menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg
triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance)(Mansjo er et al, 2007).
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi
dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan
yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi
(Sawaludin, 2005)
Hasil (-)
Rujuk
Hasil (+)
Usia > 45 tahun atau usia < 45 tahun dengan tanda-tanda alarm
Terapi empiris selama 2 minggu :
-Antasida
-H2 antagonis/PPI (omeprazol)
-Obat-obat prokinetik
Kambuh (maksimal 3x)
Rujuk
Dispepsia tetap (+)
Gastroenterelogis / internis atau dokter anak dengan fasilitas endoskopi
Dispepsia
Usia , 45 tahun tanpa tanda-tanda alarm
Tes serologi Hp
Rujuk
Dispepsia (-)
Terapi dihentikan
Skema 5.1. Skema penatalaksanaan pasien dispepsia di masyarakat
(Mansjoer et al, 2007)
Dispepsia
Endoskopi
Tes serologi Hp
Hasil (-)
Pemeriksaan CLO, PA, kultur (untuk Hp)
Hasil (+)
CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)
CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)
CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)
CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)
CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)
Seleksi kasus
Tidak dilakukan terapi eradikasi hanya diberikan terapi empiris sambil dicari
penyebab lain
Terapi eradikasi
Skema 5.2. Skema penatalaksanaan pasien dispepsia oleh
gastroenterolog/internis
atau dokter anak dengan fasilitas endoskopi
(Mansjoer et al, 2007)
Tabel 5.1. Golongan obat antagonis reseptor H2
Obat
Indikasi
Dosis Cara, waktu, dan Efek samping
lama pemberian
Simetidin Tukak peptik akut dan
3x200mg, Selama 4 minggu Penekanan eritropoesis,
kronik
ditambah sampai pansitopeniac
dispepsia fungsional masih lemah. Di Jepang, itoprid diresepkan 50 mg untuk tiga kali
sehari. Bagaimanapun, respon kecil terhadap pemberian dosis harus dipandang dari
populasi lainnya. (Holtmann et al, 2006)
Penelitian yang dilakukan oleh Holtmann dkk membandingkan antara pasien dispepsia
fungsional yang diberi resep placebo dan itoprid. Pasien
tanda peningkatan gejala), dan berbagai keluhan nyeri dan sakit yang dihitung dalam
skala tingkat lima. Setelah delapan minggu, 41 persen dari pasien yang menerima
placebo
ternyata bebas gejala, sebagai perbandingan dengan 57 persen, 59 persen, dan 64
persen
yang menerima itoprid dosis 50, 100, 200 mg untuk tiga kali sehari (P<0.05 untuk
semua
oerbandingan antara placebo dan itoprid). (Holtmann et al, 2006)
Tabel 5.3. Pengobatan untuk Dispepsia Fungsional yang Didukung Bukti dan Tanpa
Didukung Bukti
Pengobatan yang didukung bukti
Pemberantasan H. pylori
Itoprid
Proton-pump inhibitors (PPI)
Terapi psikologi (terapi perilaku kognisi, hipnoterapi, psikoterapi)
Pengobatan tanpa didukung bukti
Antacids
Antispasmodic agents
Bismuth salts
Dietary therapy
Herbal therapy
Histamine H2-receptor antagonists
Misoprostol
Prokinetic agents
Selective serotonin-reuptake inhibitors
Sucralfate
Tricyclic antidepressants (at low doses)
c
6. Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan
memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung (Ariyanto, 2007)
Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan
mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia :
1. Atur pola makan seteratur mungkin.
2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dan lain-lain).
3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,
banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan
mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
13. Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan
dispepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas.
Daftar Pustaka
1. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta.:
488-491
2. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : 156,159
3. Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It.
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspepsia.html,
Desember 2006
4. Anonim. 2001. Dyspepsia-Symptoms, Treatment, abd Prevention.
http://www.healthscout.com/ency/68/294/main.html, 2001
5. Sawaludin, Diding. 2005. Nyeri Ulu Hati yang Berulang. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/1005/09/hikmah/kesehatan.htm, 9 Oktober 2005
6.Ariyanto, W.L. 2007. Mencegah Gangguan Lambung. www.kiatsehat.com, 2007
7. Anonim. 2004.
Dispepsia. http://medicastore.com/med/subkategori_pyk.ph
p?idktg=7&UID=20071107122240202.162.33.202,2004
8. Anonim. 2007. Dyspepsia. http://en.wikipedia.org/wiki/Dyspepsia, 7 Oktober 2007
9. Bazaldua, OV et al.1999. Evaluation and Management of Dyspepsia.
c