Anda di halaman 1dari 21

SUSTAINABLE DEVELOPMENT: PARADIGMA BARU DALAM KEBIJAKAN

BANK DUNIA1

Oleh: Lindra Darnela2

INTISARI

Tulisan ini membahas tentang adanya perubahan paradigma baru dalam


kebijakan Bank Dunia dalam memberikan bantuan terhadap proyek-proyek
pembangunan terutama kepada negara berkembang. Hal ini muncul karena
adanya kritik dari para aktivis lingkungan yang melihat adanya kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek-proyek tersebut. Selanjutnya analisis
terhadap hal-hal yang menjadi konsekuensi bagi Bank Dunia dan tantangan yang
dihadapi ketika mengambil paradigma “Pembangunan Berkelanjutan”. Tulisan ini
menggunakan pendekatan deskriptif-analisis dengan melihat perkembangan
perekonomian internasional dengan menggunakan kebijakan (hukum) sebagai
pemecahan masalah. Tulisan ini “mendialogkan” antara dua mata sisi hukum
yaitu hukum ekonomi internasional dan hukum lingkungan internasional,
meskipun tidak begitu “akrab” dengan pasal-pasal yang menjadi trend dalam
wacana hukum.

1 Tulisan ini dimuat di SOSIO-RELIGIA, Vol.6, No 5, Agustus 2007


2 Dosen Hukum Internasional Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

1
PENGANTAR
Pasca Perang Dunia II, timbul kesadaran baru bagi masyarakat
internasional terutama negara-negara maju bahwa perkembangan ekonomi
merupakan tujuan yang penting untuk memulihkan perekonomian internasional
dari keterpurukan. Hal ini dikemukanan pertama kali dalam Atlantic Charter
tahun 1941 dengan prinsip ”Freedom of War” yang berpengaruh besar terhadap
para pemimpin negara-negara besar untuk membantu kemiskinan yang diderita
oleh negara-negara berkembang.3 Untuk mewujudkan ”Orde Baru” tersebut,
maka pada tahun 1946 diadakan Konferensi Bretton Woods dengan jargon untuk
mengatur tata cara perekonomian internasional.4
Deskripsi di atas, banyak dianggap orang sebagai hal yang
melatarbelakangi dibentuknya International Bank of Recontruction and Development
(IBRD) yang lazim disebut “Bank Dunia”.5 Akan tetapi jika ditinjau dari falsafah
yang mendasari lembaga yang dibentuk pada tahun 1946 ini, diketahui bahwa
awalnya bank tersebut dibentuk sebagai usaha yang disponsori oleh Amerika
Serikat untuk pembangunan kembali Eropa dan Jepang (termasuk Amerika
sendiri), bukan sebagai usaha internasional dalam rangka menyalurkan bantuan
kepada negara-negara berkembang.6 Terbukti sampai tahun 1964, kurang lebih
sepertiga dari pengeluaran mereka (Bank Dunia) masih diberikan untuk negara-
negara maju.
Selain itu, negara-negara miskin hanya berpartisipasi secara formal belaka
dalam pengambilan keputusan ekonomi dunia. Saran mereka hampir tidak
diminta bila kesepuluh negara-negara industri bersama-sama berkumpul untuk
mengambil keputusan-keputusan penting tentang masa depan ekonomi dunia
dan kekuatan 7suara mereka di Bretton Woods sebagai cikal bakal dibentuknya

3 Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm.166.


4 Joseph Gold, Legal Institutional Aspects og the International Monetary System, (Washington
DC: IMF, 1984).
5 Sidik D. Saputra, artikel “ICSID dan MIGA: Lembaga Internasional untuk Meningkatkan

Arus Penanaman Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.8, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, 1999), hlm.60.
6 Mahbub ul Haq, “Dunia Ketiga dan Tata Ekonomi Ketiga”, Peranan Hukum dalam

Perekonomian di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm.454.


7 Ibid, hlm.313.

2
Bank Dunia dan International Monetary Foud (IMF), kurang dari sepertiga dari
jumlah keseluruhan.
Terlepas dari perdebatan tersebut, orientas Bank Dunia ini diharapkan
mampu menangani pendanaan, khususnya menjembatani antar investor-investor
dari negara-negara maju dalam membantu perekonomian di negara-negara
berkembang.8 Pembangunan perekonomian bagi negara berkembang diharapkan
mampu untuk menunjang perekonomian dunia. Sayangnya, modal yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia banyak yang merugikan lingkungan dengan adanya
eksploitasi terhadap sumber-sumber daya alam tanpa ada upaya yang efektif
untuk menanggulangi kecenderungan yang berdampak negatif terhadap
lingkungan.9 Selain itu, adanya penggunaan teknologi yang diadopsi dari negara
maju yang belum tentu cocok dengan kondisi alamnya, sehingga mengancam
ekosistem yang ada dan akan datang. Masalah lingkungan, diperlakukan sebagai
masalah sektoral yang seolah-oleh memiliki dunianya sendiri; lingkungan di satu
pihak dan pembangunan di pihak lain.
Dikotomi seperti ini menimbulkan counter argument dari para aktivis
lingkungan untuk mencegah timbulnya interaksi ekonomi dan ekologi yang
memberi dampak negatif dan bencana. Kesadaran tersebut muncul dengan
timbulnya kerusakan sumberdaya alam seperti yang terjadi di Afrika dengan
menjual binatang-binatang yang langka untuk membayar hutangnya, atau
teknologi yang muncul menawarkan janji produktifitas yang lebih tinggi,
peningkatan efisiensi dan penurunan pencemaran. Banyak di antaranya yang
membawa resiko baru berupa bahan kimia dan limbah beracun yang baru
ataupun kecelakaan yang jenis maupun skalanya di luar kemampuan mekanisme
yang ada.10
Dengan melihat akibat tersebut, maka lebih dari satu dasawarsa lalu, benih-
benih gerakan reformasi Bank Dunia mulai ditebarkan ketika sekelompok

8 Ciri khas suatu Negara berkembang menurut W. G. Friedman adalah adanya

kesenjangan tajam antara keadaan ekonomi dan sosialnya, lihat: Wolfgang G. Friedman, artikel
“Peranan Hukum dan Fungsi Ahli Hukum di negara Berkembang”, Ibid, hlm.363.
9 Sidik D. Saputra, Op Cit, hlm.28.
10 The World Commision on Environment on Development (WCED), Hari Depan Kita

Bersama, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm.23-24.

3
pembela lingkungan di Amerika Serikat melakukan protes terhadap kerusakan
ekologis yang diakibatkan oleh proyek yang di dukung Bank Dunia di Indonesia
dan Brazil. Karena kritik-kritik eksternal terseut disampaikan melalui tekanan
kongres Amerika Serikat dan didukung oleh kritik dari dalam institusi, maka
Bank Dunia pada akhir tahun 80-an mengakui pentingnya untuk mengantisipasi
dan mengurang dampak buruk ekologis dan pinjamannya. Sejak saat itu, Bank
Dunia mengambil beberapa langkah kecil untuk memperbaiki kinerja lingkungan.
Akan tetapi agar terjadi perubahan orientasi dari penekanan pada pertumbuhan
ekonomi ke pendekatan yang konsisten dengan keberlanjutan lingkungan, maka
perlu ada lompatan jauh ke muka.
Sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992
yang menghasilkan The Rio Declaration on Environtment and Develompment, Bank
Dunia mengadopsi retorika “Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Berkelanjutan” (Sustinable Development)11 yang mengintegrasikan aspek
perlindungan lingkungan dalam kegiatan pembangunan dan vise versa
mempertimbangkan aspek pembangunan dalam program-program perlindungan
lingkungan.12 Selain itu, Laporan Pembangunan Dunia Bank Dunia 1992 tentang
”Pembangunan dan Lingkungan” merancang pendekatan yang ditujukan pada
masalah lingkungan.
Laporan tersebut membuat suatu peryataan yang jelas bahwa negara-
negara maju harus memikul tanggung jawab utama dalam masalah lingkungan
global seperti perubahan iklim dan penipisan lapisan ozon. Beberapa tahun
terakhir ini, Bank Dunia telah merinci seperangkat kebijakan dan prosedur
lingkungan, dan menambah jumlah pinjaman yang dikucurkan untuk proyek-

11 The World Commision on Environment on Development (WCED) mendefinisikan


“Sustainable Development” sebagai: development that meet the needs of the present without compromising
the ability of future generations to meet their own need, yaitu pembangunan yang dijalankan untuk
memenuhi kebutuhan sekarang, tidak boleh mengurangi kemampuan gererasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, lihat: Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm.10.
12 Marsudi Triatmodjo, artikel “Peran dan Fungsi Soft Law dalam Perkembangan Hukum

Internasional tentang Hukum dan Lingkungan Hidup”, Mimbar Hukum, hlm.41.

4
proyek yang berinisiatif terhadap “lingkungan” (terutama pada pengendalian
polusi), di samping pada proyek lain.
Ketika Bank Dunia melaksanakan perbaikan lingkungan, implementasi
prosedur lingkungan pada proyek demi proyek dilaksanakan tidak merata, dan
sering gagal dalam pencapaian sasaran positif yang telah ditentukan dalam
kebijakan-kebijakan Bank Dunia. Ada kesepakatan bahwa “pendekatan”
mengurangi Bank Dunia terhadap dampak pembangunan yang merugikan
lingkungan adalah tidak mencukupi untuk memastikan keberlanjutan lingkungan
tercapai, baik pada tingkat lokal, regional, maupun pada tingkat global.
Bank Dunia sebagai lembaga, belum mempertanyakan kecocokan antara
keberlanjutan lingkungan dengan paradigma pembangunan yang ada, yang
menundukkan sasaran pembangunan lain pada pertumbuhan ekonomi dan
efisiensi. Memang benar bahwa Bank Dunia bisa dikritik karena gagal
menggalakan perubahan pro-lingkungan, yang konsisten dengan paradigmanya
saat ini, seperti pencabutan subsidi yang mendorong eksploitasi berlebih atas
sumber alam. Adalah cukup adil untuk mengatakan bahwa kemajuan-kemanjuan
yang dicapai selama ini sekedar perbaikan tambal sulam dengan cara “bisnis as
usual”, sama sekali belum merupakan perubahan-perubahan paradigma ke arah
pendekatan “keberlanjutan” yang diperlukan.
Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada peran Bank Dunia yang
diharapkan harus bergerak dari pendekatan yang dipakai sekarang ini, ke
pendekatan yang menjadikan keberlanjutan sebagai tujuan utama operasi seluruh
Bank Dunia dan keberlanjutannya. Bank Dunia selaku pelaksana utama bagi
pembiayaan multilateral untuk negara-negara berkembang, maka ia dituntut
untuk dapat mendukung proyek-proyek dalam kebijaksanaan yang sehat ditinjau
dari segi lngkungan dan harus mendukung tujuan pembangunan yang lebih luas
dan berjangka panjang dibanding sekarang ini dengan memperhatikan:
pertumbuhan, sasaran sosial dan dampak lingkungannya.13

13Emil Salim, Kata Pengantar “Pola Pembangunan Terlanjutkan”, Hari Depan Kita bersama,
hlm.XVIII.

5
Tulisan ini lebih lanjut akan membahas tentang: 1) Dimulai dengan
ringkasan kritik dari luar terhadap kinerja lingkungan. 2) Memaparkan dan
menilai tanggapan Bank Dunia terhadap kritik tersebut melalui rincian kebijakan,
proyek-proyek, instruktur, instrumen perencanaan dan hasil-hasil analisis Bank
Dunia. 3) Diakhiri dengan sebuah analisis mengenai tantangan perubahan
pendekatan Bank Dunia: dari sebuah ”pendekatan meringankan” kepada suatu
”pendekatan keberlanjutan” dalam isu-isu lingkungan.

A. Kritik Aktivitas Lingkungan terhadap kinerja Bank Dunia


Kritikan terhadap kinerja lingkungan Bank Dunia telah menjadi
ujung tombak usaha mereformasi Bank Dunia sejak awal tahun 80-an.
Advokasi atas pembaharuan pada Bank Dunia diperluas lagi dengan
penekanan pada keadilan sosial dan pemerintahan, namun terus menerus
dikaitkan dengan gerakan lingkungan.
Selama beberapa tahun, LSM lingkungan di Utara dan Selatan
menyampaikan keprihatinannya secara langsung pada Bank Dunia, juga pada
anggota pemerintahan yang lainnya, dan meningkatkan usaha advokasi
mereka. Di Amerika Serikat, gema kritik atas sepak terjang Bank Dunia dalam
soal lingkungan dipernyaring melalui Kongres Amerika Serikat dan
Pemerintah AS melalui proses dan instruksi pada Direktur Eksekutif Amerika
Serikat.14 Usaha Advokasi yang sama juga dilakukan di Eropa dan Jepang dan
mendapat dukungan yang lebih luas dari badan legislatif dan badan eksekutif
pada para pemegang saham lain. Bank Dunia akhirnya menjadi tanggap
terhadap kritikan ini, dan telah menyusun perbaikan dalam berbagai
kebijakannya. Adapun kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para aktivis
lingkungan tersebut, antara lain:
1. Proyek-proyek yang merusak lingkungan.
Kritik lingkungan atas Bank Dunia pada awalnya berpusat pada
dampak merugikan dari suatu proyek atau program. Sebagai contoh, para

14 www.worldbank.com

6
aktivis lingkungan yang menuduh bahwa pinjaman Bank Dunia pada
program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dan
pembangunan jalan menembus hutan tropis Amazon Brasil, telah
mempercepat laju penggundulan hutan tropis di negara-negara tersebut.
Proyek-proyek swasta yang didukung oleh Group Bank Dunia terus
menjadi pintu masuk bagi kritik lingkungan. Baru-baru ini, fokus tersebut
telah bergeser ke proyek yang didukung oleh bagian pinjaman sektor
swasta dan asuransi dari Group Bank Dunia, yaitu IFC dan MIGA.15
Sebagai contoh bantuan MIGA untuk operasi penambangan Freeport-
McMoRan's di Irian Jaya, Indonesia yang pada saat ini berada dalam
pengawasan (contoh kasus terbaru yang terjadi di Indonesia adalah
meluahnya lumpur panas yang diakibatkan kebocoran pipa oleh PT.
LAPINDO BRANTAS Surabaya yang merupakan anak perusahaan dari
Bakri Group). Sejumlah LSM baru-baru ini melaporkan kepada Dewan
Direktur bahwa MIGA telah gagal dan memperhitungkan dampak
lingkungan dari peningkatan tiga kali lipat ekspansi dan kegiatan
penambangan, yang sekarang membuang 100,000 ton limbah
pertambangan ke dalam sungai-sungai lokal setiap harinya. Hal tersebut
ditunjang dengan fakta bahwa para investor tidak saja membawa modal
yang diperlukan negara berkembang, mereka juga membawa berbagai
keterampilan teknis yang dapat dialihkan pada tenaga kerja setempat dan

15 Multilateral Investment Guaranted Agency (MIGA) merupakan suatau badan khusus PBB
untuk manyangga campur tangan negara berkembang dan mencegah usaha politisasi sengketa
investasi. Badan ini juga untuk mendorong investasi asing ke negara berkembang dan
mengeluarkan jaminan asuransi terhadap beberapa resiko nonkomersial (seperti nasionalisasi,
kerusuhan sosial, dan pengambilalihan), dan melakukan kegiatan promosi jaminan resiko
termasuk pembatasan transfrer uang dan ingkar janji kontrak. Lihat: Sidik D. Saputra, artikel
“ICSID dan MIGA: lembaga internasional untuk Meningkatkan Arus Penanaman Modal”, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol.8, hlm.60
15 Ibrahim F.I Shihata, Factor Influencing the Flow of Foreign Investment and the Relevance of

Multilateral Investment Guarntee Scheme, Vol.21, No.3 9 (The International Lawyers, 1987), hlm.675.

7
mendapat keuntungan dari dimasukkannya pada proyek investor
teknologi baru yang belum dimiliki negara berkembang.16
2. Strategi Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan
Para aktivis lingkungan juga mengkritik Bank Dunia yang telah
gagal untuk memajukan strategi-strategi pembangunan sektoral yang
lingkungan berkelanjutan. Sebagai contoh, kebijakan kehutanan tahun
1991, pinjaman Bank Dunia pada sektor kehutanan cenderung ditekankan
pada produksi kayu dari pada biaya konservasi dan target pembangunan
pedesaan.17 Di sektor pertanian, Bank Dunia menopang ” Revolusi Hijau”
suatu teknologi yang telah dikritik tajam karena memerosotkan
keanekaragaman hayati dari sistem agronomi, disamping meningkatkan
polusi dan kcsehatan manusia yang diakibatkan oleh penggunaan
pestisida.
Hal tersebut menjadi mafhum jika kita berkaca pada perumusan
kebijakan pertanian dalam Uruguay Round, ketika pertanian dianggap
sebagai sektor yang pada dasarnya bersifat multi dimensional dengan
kemungkinan dampak politik dan sosial yang cukup luas. Perdagangan
dalam bidang pertanian tidak hanya menyentuh kegiatan ekonomi, tetapi
unsur sosial dan budayapun berperan, sehingga setiap upaya untuk
mengadakan reformasi dibidang ini, selalu terbentur dengan aspek-aspek
tersebut. Sebaliknya, kompleksnya permasalahan tersebut juga seringkali
digunakan sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa sehingga sektor
pertanian secara optimal dalam Punta del este Declaration.18
Pada sektor tenaga listrik, pinjaman Bank Dunia menjadi bias ke
pembangkit listrik fosil19 dengan mengesampingkan investasi pada energi

16 Ibrahim F.I Shihata, Factor Influencing the Flow of Foreign Investment and the Relevance of a
Multilateral Investment Guarantee Scheme, Vol. 21, No.3, (The International Lawyers, 1987), hlm.675.
17 OED, Conditional Lending Experience in World Bank Financed Forestry Projects, 1994.
18 H.S. Kartadjoemea, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI Press, 1997),

hlm.108.
19 Penggunaan bahan baker fosil telah meningkat hamper 30 kali lipat yang berlangsung

sejak tahun 1950, berdasarkan data dari World Bank, World Development Report 1984, (New York:
Oxpord University Press, 1984)

8
alternatif skala kecil hemat energi dan dapat diperbaharui. Yang terakhir,
Bank Dunia dikecam habis lantaran menggalakkan pengembangan
transportasi jalan raya dengan mengorbankan sistem transportasi kereta
api di negara-negara ekonomi transisi Eropa Timur.
3. Kebijakan Ekonomi Makro dan Program Penyesuaian Struktural yang
Buta Lingkungan
Bank Dunia juga telah dikritik akibat kegagalannya
mempertimbangkan aplikasi lingkungan dari program penyesuaian
struktural dan nasehat kebijakan ekonomi makronya. Sebagai contoh,
penghapusan pajak ekspor pada komoditi pertanian pembabatan hutan
telah mengabaikan ketetapan tentang hak milik, hal tersebut tidak sesuai
prinsip demokrasi modern,20 dengan menyediakan insentif bagi para
kontraktor untuk semakin meluaskan area pembabatan dan pembukaan
lahan kehutanan mereka. Sementara banyak aspek perbaikan ekonomi
makro yang dapat bermanfaat terhadap lingkungan, contohnya dengan
dihapuskannya subsidi yang menganjurkan pestisida atau energi secara
berlebihan, maka manfaat-manfaat yang telah dicapai itu berkembang
menjadi semacam artefak atau bukti sejarah dari sasaran kebijakan efisiensi
ekonomi Bank Dunia dibanding desainnya.
4. Kegagalan dalam Soal Lingkungan Global
Bank Dunia telah disalahkan akibat kegagalannya untuk
mengambil peran pelopor pada isu-isu lingkungan global, bahkan tidak
memasukkan biaya dan manfaat lingkungan global ke dalam analisis dan
programnya tingkat negara peminjam. Yang paling kontoversial adalah
sejauh mana investasi Bank Dunia dalam sektor energi memperhitungkan
sumbangan mereka dalam masalah perubahan iklim global. Ketika Bank
Dunia membiayai pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil,

20 Demokrasi modern menyebabkan meningkatnya modifikasi hak-hak individu menjadi

kewajiban-kewajiban sosial terhadap para tetangga dan masyarakat, di mana mengekang


kebebasan memiliki dengan tanggung jawab sosial yang melekat para hak milik. Lihat: W.
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Jilid III, (Jakarta: Rajawali
Press, 1990), hlm. 56.

9
hal demikian jelas ini memberikan dampak yang tidak netral atas
peningkatan emisi gas rumah kaca.21
Kritik lain mengatakan bahwa Bank Dunia terlalu optimis dalam
proyeksi penyediaan makanan, gagal dalam memperhitungkan faktor
degradasi lingkungan dan kelangkaan sumber daya.22
5. Kaitan antara Lingkungan dengan Kemiskinan
Banyak pihak berpendapat bahwa Bank Dunia harus
bertanggung jawab atas ”dosa-dosa” dengan mengabaikan degradasi
lingkungan, karena negara negara termiskin, dan rakyat miskin di pelosok
negara, mengalami penderitaan yang luar biasa dari efek hancurnya
sumber daya alam dan kontaminasi ekosistem. Selain itu, diversifkasi cara-
cara yang dapat menghapuskan kemiskinan dan tekanan ekologi terhalang
oleh proteksionisme dan oleh menipisnya arus dana ke negara-negara yang
paling memerlukan pembiayaan internasional.23
Pandangan awam bahwa masyarakat harus membuat ”pilihan
mana yang lebih dahulu” antara lingkungan dan pengurangan kemiskinan,
telah dibantah oleh analisa dan pengalaman, dan ada bukti dimana Bank
Dunia tidak mengambil langkah yang memadai untuk ”sama-sama
menang" atas kedua sasaran tersebut.
Penurunan pinjaman Bank Dunia di sektor pertanian dan
pembangunan pedesaan lainnya tiada lain berarti menurunnya investasi
untuk si rakyat miskin. Ketidakstabilan harga yang merugikan negara-
negara berkembang membuat meraka tidak mampu mengelola sumber

21 “Efek Rumah kaca” merupakan salah satu ancaman terhadap sistem pendukung
kehidupan, akibat langsung penggunaan sumber daya meningkat. Pembakaran bahan bakar fosil,
penerbangan serta pembakaran hutan melepaskan CO2, akumulasi CO2 dan gas-gas lainnya
dalam atmosfer menahan radiasi matahari dekat permukaan bumi sehingga menyebabkan naiknya
suhu bumi. Hal inipun dapat menyebabkan naiknya permukaan laut dalam 45 tahun mendatang.
Lihat: FAO, Fluelwood Supplies in Developing Country, Forestry Paper No. 42, (Rome: t.p., 1983).
22 Emil Salim, Op.Cit., Hlm. Xviii.
23 UNCTAD, Hand Book of International Trade and Dvelopment Statistic 1985 Supplement, (New

York: t.p., 1995).

10
daya alam untuk produksi yang berlanjut.24 Pemusnahan aset-aset alam
seperti hutan untuk keuntungan-keuntungan sesaat yang sering
dipromosikan oleh Bank Dunia dibanyak kesempatan, tidak hanya
menimbulkan akibat yang merugikan pada para penduduk hutan, tapi
dalam jangka panjang juga memiskinkan masyarakat secara keseluruhan.
Guna mencapai sasaran pokok mengurangi kemiskinan, Bank Dunia juga
harus mengejar sasaran 5. Hubungan Lingkungan dengan Pemerintah
Laporan Pembangunan Dunia Bank Dunia tahun 1992 mengakui
perlunya kebijakan dan institusi pemerintahan yang kuat dan didukung
oleh masyarakat umum untuk menjawab permasalahan lingkungan. Kritik-
kritik kepada Bank Dunia menuduh bahwa melalui bantuan untuk
penyesuaian struktural dan swastanisasi,Bank Dunia baik langsung atau
tidak langsung melemahkan kapasitas pemerintah untuk menjaga
lingkungan. Pada saat yang sama, kerja Bank Dunia dianggap belum cukup
untuk memabantu perkembangan munculnya lembaga-lembaga
masyarakat yang dapat memainkan peranan sebagai pengawas, menagih
akuntabilitas pihak pemerintah dan perusahaan swasta agar mematuhi
standar lingkungan.

B. Tanggapan Bank Dunia


Dalam menghadapi kritikan-kritikan tersebut, Bank Dunia
menanggapi dengan tiga aspek: Pertama, elaborasi dan perbaikan sejumlah
kebijakan lingkungan, kedua, menaikkan jumlah pinjaman untuk proyek-
proyek yang target utamanya perlindungan lingkungan dan ketiga
penambahan jumlah staff serta struktur organisasi yang ditujukan untuk
mendukung pelaksanaan proyek-proyek dan kebijakan-kebijakan tersebut.
Langkah besar yang dilakukan baru-baru ini oleh Bank Dunia
adalah diselenggarakannya konsultasi atas kaji ulangnya tentang kebijakan
lingkungan, dengan ini maka akan ada strategi baru yang meskipun statusnya

24 World Commission on Environment and Development, Hari Depan Kita Bersama,

(Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.93.

11
bukan suatu kebijakan yang mengikat, namun kebijakan baru ini akan
mempengaruhi sikap keseluruhan Bank Dunia terhadap isu-isu pembangunan
yang berkelanjutan, dengan 3 sasaran:
1. Memperbaiki mutu kesehatan dengan mengurangi bahaya lingkungan
terhadap masyarakat.
2. Meningkatkan mutu hidup dengan mendukung manajemen sumber daya
alam yang berkelanjutan.
3. Mengurangi kerentanan terhadap risiko-risiko lingkungan seperti bencana
alam nasional dan perubahan iklim.25
1. Kebijakan Lingkungan Berkelanjutan
Bank Dunia untuk pertama kali menyusun prosedur analisis
lingkungan (EA) pada tahun 1980, kemudian disusun dalam sebuah
petunjuk operasional pada tahun 1909. Kebijakan EA sangat penting tidak
hanya sebagai alat untuk memaksa Bank Dunia dan negara peminjam
untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dari projek yang
dimaksud, namun juga merupakan kebijakan pertama yang mengharuskan
keterbukaan informasi proyek-proyek sebelum dilakukan pertimbangan
oleh Dewan.
Sebagai tambahan terhadap kebijakan semacam EA yang sifatnya
prosedural, dan kebijakan-kebijakan tentang dampak sosial, Bank Dunia
telah mengembangkan kebijakan khusus yang berkaitan dengan
manajemen pestisida pertanian, hutan, habitat-habitat alam, energi, dan
manajemen sumber daya air.26 Kebijakan sektoral semacam ini berisi
campuran antara statement-statement umum yang memiliki tujuan positif
dari isu-isu yang ditangani oleh Bank Dunia dan penerapan syarat-syarat
khusus atau larangan dari suatu pinjaman. Sebagai contoh, kebijakan sektor
kehutanan menganjurkan dukungan Bank Dunia untuk adanya reformasi
kebijakan di sektor kehutanan, dan di pihak lain, melarang pinjaman untuk

25www.worldbank.org/environment/stategy.
26 Pinjaman untuk pertanian, kehutanan, perikanan dan energi biasanya dilakukan
berdasarkan criteria ekonomi yang sempit yang tidak memperhatikan efek lingkungan, lihat:
WCDE, Op.Cit., hlm.106.

12
penebangan hutan terutama di hutan tropis.
2. Proyek-proyek Lingkungan
Cara lain yang dilakukan oleh Bank Dunia untuk menunjukkan
komitmennya terhadap lingkungan adalah melalui meningkatkan jumlah
pinjaman yang diberikan untuk proyek-proyek "berwawasan lingkungan"
beserta komponen-komponen proyek yang ditambahkan ke dalam
program pinjaman regularnya.
3. Komposisi Staff Lingkungan
Untuk menjalankan proyek-proyek dan kebijakan-kebijakan
lingkungannya, Bank Dunia telah mendirikan unit-unit lingkungan di
kantor pusat dan di kantor perwakilannya, dan mengaku bahwa jumlah
staf teknik lingkungannya telah meningkat menjadi lima kali lipat sejak
akhir 80-an.
Pada tahun 1993, Bank Dunia membentuk sebuah jabatan baru,
wakil kepresidenan yang baru untuk pembangunan berwawasan
lingkungan (ESDVP), yang diketuai oleh oleh Ismail Serageldin, bekerja
sama dengan Departemen Lingkungan, Pertanian, dan Sumber Daya Alam
serta Departemen Perhubungan, Perairan dan Pembangunan Perkotaan
Baru-baru ini presiden James Wolfensohn mengangkat Maurice
Strong sebagai Penasehat Khusus Bank Dunia dalam masalah lingkungan.
Meskipun Maurice Strong dikatakan telah memainkan peranan penting
dalam pengambilan keputusan untuk membatalkan proyek Arun di Nepal
yang kontroversial.27
Rencana lain yang sedang digunakan Bank Dunia untuk
memperbaiki kinerja lingkungan dan peminjamnya adalah perencanaan
lingkungan pada tingkat nasional dan regional. Pada awal tahun 1990-an,
untuk merespon tekanan dari pemerintah negara-negara donor IDA, Bank
Dunia membentuk dukungan untuk penyusunan perencanaan aksi

27 Sebuah keputusan yang oleh Bank Dunia dikatakan tidak dipengaruhi oleh

pertimbangan lingkungan, sifat dan peranan, pengaruh dan hubunganya dengan unit lingkungan,
namun lain lagi dengan pendapat pengamat dari luar.

13
lingkungan tingkat nasional "National Environmental Action Plans" (NEAP)
di negara-negara peminjam. Proses NEAP diharapkan berasal dari negara
peminjam dan menyatukan para pihak terkait pada tingkat nasional untuk
menetapkan prioritas-prioritas lingkungan. Bank Dunia menyatakan
bahwa NEAP merupakan salah satu "building block”dari strategi bantuan
negara CAS (Country Assistance Strategies), yang dasar kerangka untuk
seluruh pinjaman Bank Dunia.
Strategi-strategi ini ternyata tidak memuaskan, contohnya NEAP
dianggap telah gagal mengidentifikasi penyebab masalah lingkungan dan
sering dianggap sebagai latihan untuk menarik dana bagi proyek-proyek
khusus.

C. ANALISIS: TANTANGAN UNTUK MERUBAH FOKUS DARI


MENGURANGI MENJADI KEBERLANJUTAN

Dengan melihat data-data di atas, sekarang ini Bank Dunia


menghadapi tiga buah tantangan sekaligus dalam merubah pendekatannya
tentang lingkungan, dari yang bersifat mengurangi ke arah keberlanjutan.
Pertama, pihak Bank Dunia harus menutup kesenjangan antara retorika dan
realita dan komitmen Bank Dunia terhadap lingkungan. Harus ada kemajuan
yang dibuat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ada, dan
menghasilkan manfaat "sama-sama menang" baik dalam hal lingkungan dan
dalam manfaat pertumbuhan dan efisiensi ekonomi.
Tantangan kedua adalah merubah paradigma pembangunan Bank
Dunia untuk menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai tujuan utama dan
menyebarkan paradigma baru pada seluruh kerangka konseptual dan kegiatan
lembaga. Dengan paradigma yang ada sekarang usaha Bank Dunia dalam
rangka menjawab persoalan-persoalan lingkungan lebih kepada deteksi dan

14
pengurangan dampak lingkungan pada tingkat proyek, dan lebih pada
perbanyakan pinjaman untuk proyek-proyek lingkungan.28
Tantangan ketiga adalah membuat hubungan cocok dengan negara-
negara dan pemegang saham, forum-forum lingkungan multilateral dan
elemen-elemen masyarakat sipil pada tingkat nasional dan internasional untuk
memajukan paradigma baru. Mereka inilah yang pada akhirnya harus memilih
bagaimana mencapai keberlanjutan lingkungan, dari pada pihak Bank Dunia.
Implikasi dari tiga tantangan Bank Dunia pada tingkat proyek
wilayah nasional dan global, akan dibahas lebih lanjut.
1. Implikasi pada Tingkat Proyek
Pada tingkat proyek, tantangan utama yang dihadapi Bank
Dunia ialah tujuan dari analisis lingkungan Bank Dunia sendiri, untuk
memastikan bahwa kriteria keberlanjutan lingkungan menentukan atau
mempengaruhi pemilihan proyek, baik tempat maupun rancangannya.
Tambahan lagi, ada hal lain yang bisa dilakukan dengan mengubah
praktek rata-rata Bank Dunia dan membuatkriteria”praktek yang baik"
dalam arti memasukkan biaya dan manfaat lingkungan ke dalam evaluasi
ekonomi pembangunan.29 Selama ini, praktek yang ada adalah membuat
konsep mengidentifikasi dan mengurangi dampak lingkungan yang
merugikan dari konsep itu.
Melalui paradigma baru pihak Bank Dunia dan peminjam akan
menilai syarat-syarat keberlanjutan dengan dasar ekosistem atau berdasar
daerah (daripada berdasar proyek), isi proyek dan kecenderungan
pembangunan biasanya terbukti tidak seimbang atau memenuhi
persyaratan tersebut, dan menyusun strategi dan proyek dengan biaya
yang efektif untuk mendukung alternatif pembangunan beresiko rendah.
Paradigma baru yang dibangun oleb Bank Dunia kini tidak akan
sanggup mewujudkan janji tersebut tanpa adanya dukungan politik yang

28 Katrina Brandon, artikel :Environment and Development at the Bretton Woods

Institutions”, dalam Bretton Woods: looking to the Future, (t.t.: Komisi Bretton Woods, 1994).
29 Herman E. Daly, artikel “Fostering Environmentally Sustainable Development: four part

suggestions for the World Bank”, dalam Ecological Economic, No.10.1994, hlm. 183-287.

15
kuat dan kemitraan dengan pemerintah serta dengan para pelaku non
pemerintah dan institusi-institusi lain yang mempunyai posisi lebih baik
untuk mewakili dan merespon keinginan masyarakat mengingat
kredibilitas Bank Dunia sangat rendah dan dimungkinkan akan terus
demikian sampai jangka waktu dekat.30
Pada tingkat sektor, tantangan utama ialah berbuat sesuai
dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya yang berkenaan dengan
sumber-sumber alam, seperti hutan, energi, dan air, sehingga menjadi lebih
produktif dalam membantu para peminjam untuk menerapkan
pembangunan berwawasan lingkungan.
Kelemahan Bank Dunia dalam mengimplementasikan kebijakan
energinya harus menjadi prioritas utama dalam reformasi demi
kepentingan keberlanjutan nasional dan global. Investasi sektor
pembangkit tenaga listrik yang didukung Bank Dunia harus dirubah dari
pembangkit berbahan bakar fosil menjadi pembangkit listrik berbahan
bakar hemat dan bisa diperbaharui, sedangkan investasi sektor transportasi
pada jalan raya yang boros energi harus diubah ke sistem rel kereta api,
yang hemat energi atau teknolofi alternatif yang lebih berkelanjutan.
2. Implikasi pada Tingkat Nasional
Pada tingkat nasional, paradigma baru ini mengharuskan Bank
Dunia untuk mengakui bahwa keberlanjutan lingkungan sebagai syarat
utama dari pinjaman ke suatu negara dan nasihat kebijakannya dengan
menggunakan pendekatan yang tidak menghambat pembangunan (Counter
Productive Approach).31 Reorientasi semacam ini menghendaki perubahan
fokus dari "penyesuaian struktural" kepada apa yang dikatakan Katrina
Brandon "penyesuaian lingkungan”,32 dan kemauan yang sama untuk
mendorong pemerintah peminjam untuk melaksanakan reformasi

30 Marsudi Triatmodjo, artikel “Penerapan Precautionary Principle: Pergeseran paradigma

Hukum Lingkungan Internsional”, Mimbar Hukum, hlm. 21.


31 Sarwono Kusumaatmadja, artikel “Arah Kebijaksanaan Lingkungan dalam Era

Globalisasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 2, 1997.


32 Katrina Brandon, Op.Cit.,

16
seperlunya. Pengalokasian dana-dana yang sedikit jumlahnya dalam dana
IDA, dan dana GEF harus semakin ditentukan oleh komitmen peminjam
atas kebijakan-kebijakan dan institusi yang memacu keberlanjutan
lingkungan.
Bank Dunia seharusnya juga makin memberi perhatian terhadap
peranan lembaga masyarakat dan lembaga masyarakat sipil dalam
menagih akuntabilitas pemerintah berhubungan dengan kinerjanya dalam
soal lingkungan. Mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang politik
bagi LSM, advokasi dan kebebasan pers-analog dengan peranan Bank
Dunia dalam mengembangkan liberalisasi ekonomi untuk membuka
tempat bagi keuntungan kegiatan sektor swasta, merupakan jalan yang
penting dimana Bank Dunia dapat menyokong keberlanjutan lingkungan
di tingkat nasional.
3. Implikasi pada Tingkat Global
Paradigma baru mengharuskan Bank Dunia untuk memasukkan
keberkelanjutan ekosistem regional dan global dalam strategi
pembangunan tingkat Nasional. Sampai saat ini, Bank Dunia
memperlihatkan peranannya sebagai sebuah badan pelaksana GEF,
berkaitan dengan tanggung jawabnya menangani masalah-masalah
lingkungan global.
Di bawah paradigma baru, semua investasi, dan bukan hanya
investasi yang dibiayai GEF saja, harus memperhitungkan pengaruhnya
terhadap kecenderungan lingkungan antar negara. Meskipun kebijakan
Bank Dunia sekarang ini mengharuskan bahwa biaya-biaya luar
(lingkungan) dimasukkan dalam rancangan dan seleksi proyek, namun
tidak ada bukti bahwa praktek yang terjadi sekarang ini sesuai dengan
kebijakan itu atau memiliki dampak dan pengaruh komposisi pinjaman.
Memasukkan keberlanjutan lingkungan regional dan global ke
dalam strategi tingkat nasional-di luar sejumlah prakarsa yang dapat
dibiayai oleh GEF, kemungkinan besar akan sangat merepotkan Bank

17
Dunia.33 Ketika Bank Dunia tidak merupakan forum bagi masyarakat dunia
untuk menentukan bagaimana tantangan ini, maka Bank Dunia harus
memainkan peranan mitra yang penting dalam mendukung dan
melaksanakan treaties. Selain itu, Perlu peninjauan kembali terhadap pasal-
pasal Bank Dunia yang disusun dan dirancang pada tahun 1940-an,
Sehingga ada keluwesan dalam operasi Bank Dunia, 34terutama

disesuaikan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut.

PENUTUP
Hanya sedikit dari operasi Bank Dunia yang netral berkaitan dengan
lingkungan berkelanjutan pada tingkat nasional, dan banyak proyek dampak
yang besar untuk lingkungan tingkat global dan regional yang sesungguhnya
sehingga Bank Dunia harus merubah stateginya ke dalam strategi pembangunan
berkelanjutan.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan misalnya dengan mengadakan
reorientasi teknologi khususnya bagi negara berkembang yang berkaitan antara
manusia dan alam dengan memperhatikan kemampuan inovasi teknologi yang
lebih efektif menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan dan orientasi
pengembangan teknologi itu harus diubah untuk memberi perhatian yang lebih
besar pada faktor-faktor lingkungan.
Selain itu juga perlu perangkat hukum yang mengatur jaminan keamanan
bagi investor asing di negara-negara berkembang untuk meningkatkan
kepercayaan dalam menanam modal bagi pembangunan berkelanjutan. Negara-
negara berkembang diberikan hak untuk mengatur sumber daya alamnya sendiri
tanpa campur tangan negara lain, termasuk dalam memilih teknologi dalam
pembangunan.
Hal terpenting adalah Bank Dunia sebagai badan yang menjembatani
antara investor dan negara-negara berkembang diharapkan mampu

33 WCDE, Op.Cit., hlm. 30.


34 Mahbub ul Haq, Op.Cit., hlm.360.

18
melaksanakan kebijakan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan, seperti
memberlakukan prinsip " precautinory principle”.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Dunia, "The World Bank and the UN Framework Convention on Climate
Change," Dokumen Departemen Lingkungan No. 008, Maret 1995.

19
Brandon, Carter dan Ramesh Raman Kuffy, Toward and Environmental Strategy for
Asia, Bank Dunia, 1993.
Brandon, Katrina "Environment and Development at the Bretton Woods
Institutions," dalam Bretton Woods : Looking to the Future, Komisi Bretton
Woods, April 1994.
Brown, Lesser R., The Twenty Ninth Day Accomodating Human Needs and Numbers to
the Earth's Resources, New York, Worldwactch Institute Book, 1978.
Daly, Herman E, "Fostering environmentally sustainable development: four part
suggestions for the World Bank" dalam Ecological Economic, No. 10, 1994.
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum dalam Masalah-masalah Kontemporer,
Jilid.III, Jakarta, Rajawali Press, 1990.
Gold, Joseph, Legal and Institutional Aspect of the International Monetary Sistem,
Washington D.C., IMF,1984.
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta, Gadjah Mada
Press, 1994.
------------, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 8, Jakarta, Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis 1999.
Kartadjumena, H.S., GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta, UI Press, 1997.
H.S., Kartadjumena, H. S., GATT dan WTO, Sistem, Forum dan Lembaga
Internasional di Bidang Perdagangan, Jakarta, UI Press, 1996.
Lubis, T. Mulya dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di
Negara Berkembang, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Serageldin, Ismail, "Sustainability and the Wealth of Nations: First Steps in an Ongoing
Journey", Konferensi Tahunan ketiga Bank Dunia tentang Pembangunan
Lingkungan Berkelanjutan tertanggal 30 September 1995.
Shihata, Ibrahim F.I., Factor Influencing the Flow of Foreign Investment and the
Relevance of a Multilateral Investment Guarantee Scheme, Vol. 21, NO,
The International Lawyers, 1987.
WCED (World Commission on Environment and Development, Hari Depan Kita
Bersama, Jakarta, Gramedia, 1997.

20
WWW. Worldbank.org/environment/strategy
WWW. Worldbank.com.

21

Anda mungkin juga menyukai