Anda di halaman 1dari 12

Karsinoma Nasofaring

March 13th, 2011

I. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas
THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan
frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini
berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3,4 Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai
massa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur sekitarnya. Diagnosis dini menentukan
prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring mempunyai tempat yang cukup
tersembunyi sehingga jarang diketahui dini.
Penanganan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena
etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,
sehingga diagnosis sering terlambat.1,2,3,4 Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan
pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang
cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan
dengan radioterapi.2,3,5

II. INSIDEN

Insiden yang paling tinggi adalah pada ras mongoloid di Asia dan China selatan, sedangkan di
Indonesia maupun di asia tenggara. Di hongkong, insidensinya 28,5% kasus per 100.000 pria dan 11,2
per 100.000 wanitaDi singapura, diantara orang-orang cina insidensinya 18,1 kasus per 100.00 pria an
7,4 kasus per 100.000 wanita.6
Insiden karsinoma nasofaring di Indonesia mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi, yakni, 4,7%
kasus baru per tahun per 100.000 penduduk.Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa
karsinoma nasofaring menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan
kanker kulit. 7

III. EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini banyak ditemukan pada ras cina terutama yang tinggal di daerah selatan. Ras mongloid
merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di negara-
negara asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-orang yang hidup di daerah iklim
dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka
simpan.8

IV. ETIOLOGI

Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya
penyakit ini. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-
kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
karsinoma nasofaring.1,3,4,9
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring
yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring

V. ANATOMI

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara
anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan
tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke
arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid,
sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan
otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral
akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah
postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering
karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya
tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.3,4 Di nasofaring terdapat banyak
saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause
(kelenjar Rouviere).10,11,12,13

Batas :
– anterior : koane / nares posterior
- posterior : setinggi columna vertebralis C1-2
- inferior : dinding atas palatum molle
- superior : basis cranii (os occipital & sphenoid)
- lateral : fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris &
sphenoidalis)
Dorsal dari torus tubarius didapati cekungan yang disebut “fossa Rosenmulleri ”, Nasofaring
merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi. Yang disebut kanker
nasofaring adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah
dengan ruang faring.11,12,13

VI. PATOFISIOLOGI
Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan
dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita
ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai
sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-
2A dan LMP-2B.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku
Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai
biomarker pada karsinoma nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai
peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian
titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus.7,9,14
Untuk penentuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC dan AJCC (2002, Edisi VI). 9
Tumor Primer (T)
Tx = tumor primer yang belum dapat dipastikan
T0 = Tidak tampak tumor
Tis= Karsinoma in situ
T1 = Tumor berada di nasofaring
T2 = Tumor memperpanjang ke jaringan lunak di orofaring dan/atau fossa nasal.
T2a = Tanpa extensi parafaringeal
T2b= Dengan extensi parafaringeal
T3 = Tumor menyerang struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 = Tumor dengan extensi intracranial dan/atau keterlibatan CNs, fossa infratemporal,
hipofaring, atau orbit.
Kelenjar Limfe Regional (N)
Nx = Kelenjar limfe tidak teraba
N0 = Tidak ada metastase kelenjar limfe regional
N1 = Metastase unilateral kelenjar limfe, dimensi terbesar ≤ 6cm, diatas fossa clavicular
N2 = Metastase bilateral kelenjar limfe, dimensi terbesar ≤ 6cm, diatas fossa clavicular
N3 = Metastase pada kelenjar limfe
N3a= Dimensi lebih dari 6cm
N3b= Extensi fossa supraclavicular
Jarak Metastase (M)
Mx = Metastatis jauh tak teraba
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Stadium menurut AJCC/UICC, Sebagai berikut:
Stadium 0 :
Tis, N0, M0
Stadium I :
T1 dan N0 dan N0
Stadium IIA :
T2A, N0, M0
Stadium IIB :
T1, N1, M0
T2, N1, M0
T2a, N1, M0
T2b, N0, M0
T2b, N1, M0
Stadium III :
T1, N2, M0
T2a, N2, M0
T2b, N2, M0
T3, N0, M0
T3, N1, M0
T3, N2, M0
Stadium IVA :
T4, N0, M0
T4, N1, M0
T4, N2, M0
Stadium IVB – T, N3, MO
Stadium IVB – T, N, M1

VII. DIAGNOSIS

A. Pemeriksaan klinis ,3,9


Gejala klinis karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:3
1. Gejala nasofaring, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung.
2. Gejala Telinga, berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri telinga
3. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak , seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia
trigeminal, paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak.
4. Gejala atau metastasis di leher, berupa benjolan di leher.
B. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Kepala Cervical 12
Foto polos untuk menentukan atau melihat karsinoma nasofaring didalam basis skull.

2. CT- Scan
CT Scan dapat digunakan untuk melihat mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang
tersembunyi pun akan ditemukan. CT scan juga dapat melihat staging dan bisa melihat konsistensi
daripada tulang.12

3. MRI
MRI dapat digunakan untuk melihat konsistensi tumor dan MRI dapat membedakan intensitas tinggi
mukosa dari inrensitas sinyal yang lebih rendah dari torus tubarius dan porsio intrapharyngeal dari otot
levator palatini.12

C. Pemeriksaan Patologi anatomi


Dari pemeriksaan secara mikroskopis low power, gambaran PA pada karsinoma nasofaring
memperlihatkan syncytial pattern dari sel atipik dengan nucleus vesikuler ovoid, nucleus prominent,
dan indistinct pinggir sel yang sebagian besar sudah terdapat infiltrasi radang dari sel limfosit dan
beberapa eosinophil. 16

Gambar 7: Gambaran PA karsinoma nasofaring: memperlihatkan syncytial pattern dari sel atipik
dengan nucleus vesikuler ovoid, nucleus prominent, dan indistinct pinggir sel yang sebagian besar
sudah terdapat infiltrasi radang dari sel limfosit dan beberapa eosinophil: dikutip dari kepustakaan 16.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
A. Juvenile Angiofibroma nasofaring3
Tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat
ganas karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya. Umumnya
ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
B. Adenocarcinoma 9
Kanker yang berasal dari jaringan kelenjar.
IX. PENATALAKSANAAN
Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan yang dapat
diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin
antivirus. Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi seperti, mulut terasa kering,
jamur pada mulut, rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat timbul. Oleh
karena itu dapat dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktivitas dan berusaha
menjaga kebersihan pada mulut dan gigi. Pemberian vaksin pada penduduk dengan resiko tinggi dapat
dilakukan untuk mengurangi angka kejadian penyakit ini pada daerah tersebut.7
A. Radioterapi.
Sampai saat ini radioterapi masih merupakan pilihan utama pengobatan KNF.Pertimbangan pemilihan
radiasi sebagai pengobatan pilihan utama didasarkan pada dua pertimbangan yaitu pertama bahwa
secara histopatologi kebanyakan KNF 75%-95% dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO3) dan
karsinoma non keratinisasi (WHO2) yang tergolong radioresponsif apalagi pada stadium awal,7 kedua
karena letak KNF yang sulit dicapai melalaui metoda pembedahan. KNF juga cenderung menginfiltrasi
jaringan sekitar sehingga operasi yang bersih dengan prinsip operasi luas (wide excision) sulit
dilaksanakan. Radioterapi pada pengobatan KNF dilakukan dengan dua cara yaitu radiasi eksternal dan
radiasi internal (brakiterapi). Brakiterapi adalah suatu metode penyinaran langsung ke daerah
nasofaring dengan jalan memasukkan suatu alat berupa implan intertisial atau inserasi intrakavitas
secara temporal pada ruang nasofaring. Pengobatan KNF dengan radiasi menggunakan sinar gama
untuk mematikan atau menghilangkan (eradikasi) seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan
metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radiasi eksternal diberikan secara homogen pada daerah
nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, dasar tengkorak, koana dan daerah
parafaring sepertiga leher bagian atas. Radiasi diberikan dari arah lateral kanan dan kiri serta ditambah
dari arah depan bila ada perluasan tumor ke hidung dan sekitarnya.6
Radiasi dengan pesawat Co60 yang memancarkan sinar  (gama) diberikan beberapa kali dengan
dosis terbagi (fraksinasi), yaitu radiasi dosis 200 cGy setiap fraksi pemberian 5 kali seminggu selama
6–7,5 minggu. Dosis yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari banyaknya sel kanker
(besarnya tumor). Tumor yang masih dini (T1 dan T2) dapat diberikan radiasi menggunakan Cobalt 60
dengan dosis sebesar 200 – 220 cGy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat mencapai dosis total
6000 – 6600 cGy dalam 6 minggu.6 Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3
dan T4) dianjurkan diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu
7000 – 7500 cGy. Selain radiasi eksternal, booster dapat diberikan bila masih didapatkan residu tumor
dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 1000 – 1500 cGy sehingga mencapai dosis
total 7500 – 8000 cGy. Booster ini umumnya diberikan dengan cara radiasi internal (brakiterapi).6
Respons radioterapi KNF
Sudah sejak lama kita ketahui bahwa pengukuran keberhasilan suatu terapi di bidang onkologi adalah
dengan menilai angka respon tumor (tumor respone rate), kemampuan hidup bebas penyakit (disease
free survival) dan angka kemampuan hidup keseluruhan (overall survival). Penilaian respons tumor
terhadap terapi radiasi yang diberikan dianjurkan untuk dilakukan minimal 4 – 6 minggu pasca terapi
(WHO Offset Publication No. 48 tahun 1979, dikutip Affandi, 1992). 6
Meskipun sering kali didapatkan regresi tumor yang cepat sebagai respons radioterapi, namun
dilaporkan sering kali juga mengalami kekambuhan. Respon tumor KNF pada radioterapi bervariasi,
rata-rata respons secara keseluruhan berkisar antara 25% – 65%. Kegagalan kontrol lokal (local failure)
pada radioterapi KNF stadium lanjut sangat tinggi sekitar 50% – 80%. Dengan radioterapi kemampuan
hidup keseluruhan (overall survival) pasien KNF berkisar 50%. Angka kemampuan hidup 5 tahun (5-
years survival rate) pada stadium awal berkisar antara 50-90%, sedangkan untuk stadium lanjut
(stadium III dan IV) angka kemampuan hidup 5 tahun berkisar 17-60%.6
Menurut Hussey tindakan biopsi pasca radioterapi untuk memastikan residu secara histopatologi dapat
meningkatkan risiko radionekrosis pada re-radiasi. Atas dasar pertimbangan ini maka tindakan biopsi
nasofaring pasca radioterapi pada KNF dengan indeks mitosis tinggi atau tumbuh progresif sebaiknya
hanya dilakukan bila tampak nyata adanya masa tumor di nasofaring. Sedangkan untuk KNF dengan
pertumbuhan yang lambat, bila tidak dijumpai tumor residif atau gejala klinis yang nyata dianjurkan
melakukan biopsi setelah 10 – 12 minggu.6
Faktor-faktor yang mempengaruhi respons KNF terhadap radiasi antara lain keadaan umum, kadar Hb,
sistem imun, biologi tumor, derajat diferensiasi, jenis histopatologi dan dosis. Keadaan umum pada saat
menjalani radioterapi menentukan respons sel terhadap radiasi. Kadar hemoglobin yang rendah
mempengaruhi oksigenasi sel kanker. Sel kanker yang hipoksik lebih radioresisten. Hal ini akan
menurunkan prognosis penderita. Status imunologi CMI (cell mediated immunity) dilaporkan
mempengaruhi respons KNF terhadap radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah
sebelum radioterapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek.6,17,18
B. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil
terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.17,18,19

C. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.17,18,20

X. PROGNOSIS

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan metastasenya.
Karsinoma skuamus berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak
berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan
terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai : limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma
skuamus berkeratinasi.21

Daftar Pustaka
1. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors.
Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-55.
2. Lee NY dan Chao KS. Nasopharynx. Dalam: Chao KS, editors. Practical essentials of intensity
modulated radiation therapy Edisi II. Philadelphia: Lippincoot Williams & Wilkins; 2005. hal. 137-41.
3. Mansjoer A. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Arif,Kuspuji,Rakhmi,Wahyu,dan Wiwiek, editors.
Kapita selekta kedokteran Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius; 2001. hal. 110-11.
4. Magan Y. Solusi Sehat Mencegah & Mengatasi Kanker. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka; 2009. hal
22-24.
5. Kian K. dan Adam S. Nasopharynx. Radiotherapy For Head and Neck Cancer. Jakarta: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006. hal. 85-87
6. Kris. Kanker nasofaring. Medicastore. [serial on line]. 2009 Mei. [cited 2010 jan 10]. Available from
URL : http://www.medicastore.com/tht-kl/karsinoma/
7. Marnansjah Daini Rachman. Sinus Paranasal dan Mastoid. Dalam: Iwan Ekayuda, editors. Radiologi
diagnostik Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. hal. 431-45.
8. Tarigan T. Kanker nasofaring. Klikdokter. .[serial on line]. 2008. [cited 2010 jan 10]. Available from
URL: http://www.klikdokter.com/illness/detail/61
9. Lo S. Nasopharynx, Squamous Cell Carcinoma. Emedicine. .[serial on line]. 2009. [cited 2010 jan
10]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/384425-overview
10. Liston SL. Embriologi, anatomi, dan fisiologi rongga mulut faring, esophagus dan leher. Dalam:
Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran; 1997. hal. 263-71.
11. Faiz O dan Moffat D. Nasofaring. Dalam: At a glance anatomi. Jakarta: Erlangga; 2004. hal 135.
12. Steven dan Theodore. Nasopharynx. Dalam: Text book of radiation oncology Edisi II. Philadelphia:
Saunders; 2004. hal. 376-84.
13. Susworo R. kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Library [serial on line].
2004. [cited 2010 jan 10]. Available from URL :. http://library.usu.ac.id/karsinoma/nasofaring.
14. Elhy. Karsinoma nasofaring. Medicine and Linux [serial on line]. 2008 [cited 2010 jan 10].
Available from URL :http://medlinux.blogspot.com
15. Mafee MF. Nasopharyngeal carcinoma. Dalam: Mahmud, Galdino, Minerva, Editors. Imaging of
the head and neck. Stuttgart: Thieme; 2005. hal 569-72.
16. George S. Nasopharyngeal carcinoma. Medscape [serial on line]. 2008 [cited 2010 jan 10].
Available from URL : http://medscape.com/viewarticle/571674_3
17. Rachman MD. Bahaya radiasi dan pencegahannya. Dalam: Iwan ekayuda, editors. Radiologi
Diagnostik Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. hal. 25-29.
18. Machous BD. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat. Dalam: Aru, editors. Buku Ajar Penyakit
Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hal. 819-23.
19. Prayogo N. Manajemen Metastase Kanker Ke Tulang. Dalam: Aru, editors. Buku Ajar Penyakit
Dalam. Edisi IV Jilid II . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hal. 891-94.
20. Bomford K. Radiation interactions with matter. Dalam: Walter dan Miller, editors. Textbook of
Radiotherapy Edisi VI. Philadelphia: Chuchill Livingstone; 2005. hal. 37-41
21. Budiyanti C. Karsinoma nasofaring. wordpress [serial on line]. 2008 [cited 2010 jan 15]. Available
from URL : http://ackogtg.wordpress.com/2008/07/31/kanker-nasofaring/

Anda mungkin juga menyukai