Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN BAB V

APAKAH SEMANTIK SUATU ILMU

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Tugas Mata Kuliah Semantik II


Dosen : Dra. Sri Mulyanti, M.Pd

oleh :
RAHMAN MAULANA
NPM.01020107106
TK.IV B

PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KRGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2010
BAB I

PENDAHULUAN

Sebelum kita membahas lebih jauh.Apakah ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D (1983:9)
mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan, baik aturan atau pun sosial, yang
sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad
Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti
empiris. Sementara itu, Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu secara lebih rinci
(ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa :

Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan
pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen,
survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar
hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif,
kemudian ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan
relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang
terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu pengetahuan.”

2. Syarat-Syarat Ilmu :

Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-
persyaratan, sebagai berikut

1. ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam
(kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya obyek
yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik terdapat
pembedaan antara obyek material dan obyek formal. Obyek formal merupakan obyek
konkret yang disimak ilmu. Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut
pandang terhadap ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara
obyek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
2. ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan
teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh.
Nazir, (1983:43) mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan
suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis.
Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-
fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta
dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939) mengatakan
bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,
pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa
metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesutu interrelasi.
Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir mengemukakan beberapa kriteria metode ilmiah
dalam perspektif penelitian kuantitatif, diantaranya: (a) berdasarkan fakta, (b) bebas dari
prasangka, (c) menggunakan prinsip-prinsip analisa, (d) menggunakan hipotesa, (e)
menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik kuantifikasi. Belakangan ini
berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif. Nasution (1996:9-12)
mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah dalam penelitian kualitatif, diantaranya : (a)
sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting, (b) peneliti sebagai instrumen
penelitian, (c) sangat deskriptif, (d) mementingkan proses maupun produk, (e) mencari
makna, (f) mengutamakan data langsung, (g) triangulasi, (h) menonjolkan rincian
kontekstual, (h) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti, (i)
mengutama- kan perspektif emic, (j) verifikasi, (k) sampling yang purposif, (l)
menggunakan audit trail, (m)partisipatipatif tanpa mengganggu, (n) mengadakan analisis
sejak awal penelitian, (o) disain penelitian tampil dalam proses penelitian.
3. Pokok permasalahan(subject matter atau focus of interest). ilmu mensyaratkan adanya
pokok permasalahan yang akan dikaji. Mengenai focus of interest ini Husein Al-Kaff
dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa
ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah
masalah yang sederhana tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah
dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi
sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam
pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan.
Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world
view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi (Husein Al-Kaff, Filsafat
Ilmu,)
3. Karakteristik Ilmu

Di samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau sifat
yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum ilmu,
yaitu : (1) hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama, (2) Hasil ilmu
kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, dan (3) obyektif tidak bergantung pada
pemahaman secara pribadi. Pendapat senada diajukan oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag
bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh
Sadulloh,1994:44).

Sementara, dari apa yang dikemukakan oleh Lorens Bagus (1996:307-308) tentang
pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak
kontradiksi dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu
memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat
ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang
memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat memberikan daya
prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal

Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut : (1)
obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada
emosional subyektif, (2) koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;
(3) reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat
keterandalan (reabilitas) tinggi, (4) valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan
melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun
eksternal, (5) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum, (6)
akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan (7) dapat
melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan
suatu hal.
Di lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan
seluruh kesatuan ide yang mengacup ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling
keterkaitan secara logis.

Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada prinsipnya
ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan
atau fakta yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan
dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode
yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan
lain-lain)

Sebelum saya menjawab langsung pertanyaan yang membingungkan tersebut, alangkah


baiknya saya mencoba menjawabnya dengan sebuah pertanyaan juga, agar dapat memudahkan
jalan pikiran kita dalam menjawab persoalan pada pertanyaan itu.

Apakah sinonim epistemology dalam bahasa Indonesia, teori ilmu pengetahuan, teori
pengetahuan atau teori ilmu?Ke dalam kelompok mana kita bisa memasukkan humaniora seperti
seni dan filsafat, ke dalam pengetahuan atau ilmu pengetahuan?Jadi, manakah yang benar antara
ilmu, ilmu pengetahuan atau sains?

Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kita memerlukan cara sementara


untuk melihat dan menyusun dengan tertib sederetan fenomena yang begitu luas dan
membingungkan. Adapun cara tersebut yaitu dengan menganalisis makna dari tiap kata tersebut
atau dengan cara semantik, yang tujuan akhirnya adalah untuk menjembatani antara sikap kurang
yakin yang relatif dan keyakinan relatif dalam hal kebenaran.
BAB II

PEMBAHASAN

Beberapa Alternatif

Alternatif pertama adalah menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan


pengetahuan untuk knowledge.Hal ini yang sekarang umum dipakai.Walaupun demikian
penggunaannya mempunyai beberapa kelemahan yakni pertama adalah anggota (species) dari
kelompok (genus) tersebut.Adalah kurang layak kalau pengetahuan merupakan terminologi
genetik dan pengetahuan merupakan termasuk ke dalamnya. Kelemahan lain adalah kata sifat
dari science yakni scientific; yang sekiranya secara konsekuen kita mempergunakan untuk ilmu
adalah pengetahuan ilmiah (?) atau ke-ilmu pengetahuan-an (?). Dua terminologi ini akan
menyesatkan dan kurang nyaman untuk dipergunakan. Pengetahuan ilmiah bias diartikan
scientific knowledge yang dalam bahasa inggris adalah sinonim dengan science dimana biologi
disebut ilmu hayat sedangkan fisika adalah ilmu pengetahuan alam.

Alternatif kedua didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah dua kata yakni
ilmu dan pengetahuan.Rangkaian dua kata semacam ini adalah lumrah dalam bahasa
Indonesia.Seperti emas, perak atau intan berlian.Dengan demikian kita tinggal menetapkan mana
yang sinonim dengan science dan mana yang sinonim dengan knowledge.Dalam hal ini maka
lebih tepat kiranya adalah penggunaan kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk
science.Dengan demikian maka social science kita terjemahkan dengan ilmu-ilmu sisial dan
natural science dengan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social ini termasuk humaniora (seni,
filsafat, bahasa, dan sebagainya) termasuk ke dalam pengetahuan yang merupakan terminologi
genetik.Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan; metode yang dipergunakan dalam
kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah (keilmuan).Ahli dalam bidang keilmuan adalah
ilmuwan.

Akhir-akhir ini, mungkin sebagai jalan keluar kebingungan semantik yang melanda
terminologi ilmu pengetahuan, diperkenalkan kata sains yang dalam beberapa hal telah secara
sah dipergunakan (umpanya dalam gelar Magister Sains).Sains ini dalah terminologi yang
dipinjam dari bahasa inggirs yakni science.Saya kira adopsi ini tidak perlu, sebab membentukan
kata sifat dan kata dasar sains ini adalah begitu janggal dalam struktur bahasa
Indonesia.Scientific, sekiranya sains adalah sinonim dengan science, adalah ke-sains-an atau
saintifik (?).Scientist adalah sainswan atau saintis (?) !

Keberatan kedua adalah bahwa terminologi science dalam bahasa asalnya


penggunaannya sering dikaitkan dengan natural science seperti teknik.Economies, sering
dokonotasikan bukan science, namun social studies, termasuk ke dalamnya social science -
lainnya.Dengan demikian maka terminologi science sering dikaitkan dengan teknologi.Hal ini,
meskipun tidak disengaja dan mungkin tidak disadari, menimbulkan jurang antara ilmu-ilmu
social dan ilmu-ilmu alam.Sederhananya adalah bahwailmu-ilmu social bukanlah science;atau
paling tidak, preferensi utama penggunaan kata science adalah untuk ilmu-ilmu alam.

Bagi mereka yang merindukan runtuhnya pagar yang membatasi ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan sosial baik secara pendidikan, keahlian, dan social, maka adopsi
terminologi sains ini sebaiknya segera dihilangkan agar ilmu terbebas dari wabah verbalisme
yang bertentangan dengan semangat dan hakikat keilmuan itu sendiri.

Bisa saja sebenarnya kita menggunakan ilmu pengetahuan untuk knowledge, sains untuk
science, ilmiah atau keilmuan untuk scientific; namun dimana struktur dan logika bahasanya?
Kebanyakan penyataan dan pertanyaan yang terkandung dalam karya filsafat adalah tidak salah
naum nonsensical.Konsekuensinya adalah bahwa kita tidak dapat memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan semacam ini, melainkan hanya mampu menunjukkan bahwa semua itu
adalah nonsensical.Kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan itu dalam filsafat ditimbulkan
oleh kegagalan kita untuk memahami logika dari bahasa kita sendiri, maka dengan demikian kita
memerlukan semantik sebagai jalan keluarnya.

Tujuan akhir yang pasti dan absolut merupakan tonggak ke mana sasaran diarahkan untuk
terus-menerus makin mendekati; dan celah antara sikap kurang yakin yang relatif dan keyakinan
relatif dalam hal kebenaran yang dinyatakan oleh seseorang seperti pada ilustrasi di atas adalah
celah yang harus dijembatani jika semantik itu ingin menjadi ilmu dengan segala
pengertiannya.salah satu tahap yang paling penting untuk menjembatani celah itu adalah dengan
melengkapi dengan rumusan teori yang ketat dan eksplisit, sehingga setiap orang dapat
mengetahui apa yang dinyatakan dan apa yang tidak dinyatakan, ini merupakan salah satu yang
terutama telah dicapai oleh linguistik semantik pada masa akhir-akhir ini dibandingkan dengan
usaha semacam itu pada masa lalu.

Tahap lain yang juga penting adalah membuat teori-teori semacam itu dapat
dipertanggungjawabkan pada data yang obyektif—sesuatu yang merupakan kerja keras para ahli
linguistik pada zaman Chomsky tidak terlalu memusingkannya. Tahap selanjutnya ke arah
metode ilmiah penuh adalah agar mendasarkan pada semua data, dan mengemukakannya dengan
cara yang sesederhana mungkin. Menyusun keempat syarat itu secara berurutan kita dapat
mengatakan bahwa (a) tingkat eksplisitnya layak, yaitu sine wua non (syarat mutlak) usaha
ilmiahsudah tercapai; (b) tetapi obyektifitasnya sampai saat ini belum dicari, biarlah nanti akan
ketemu sendiri; (c) kesederhanaan penjelasan sudah implisit di dalam suatu argumentasi yang
mendukung suatu teori atau solusi dan bukan yang lain, tetapi pembicaraan yang eksplisit
tentang ukuran kesederhanaan yang seringkali diucapkan oleh para ahli linguistik pada
pertengahan tahun 1960-an, belum jelas karena para ahli linguistik pada masa itu membelokkan
perhatiannya kepada semantik; (d) lengkapnya deskripsi sudah barang tentu tidak menjadi soal
sampai masa yang cukup lama di kemudian hari, karena kompleksitas makin sedikit data yang
dapat diliput oleh peneliti. Tidak seorang pun telah menghasilkan tulisan yang lengkap tentang
bahasa pada umunya, atau bahkan satu bahsa, bahkan tentang aspek semantik dari satu bahasa
tertentu.semua teori semantik sangatlah tentatif atau bersifat sementara, dan sangat bersifat
sepotong-sepotong atau parsial.

BAB III

TANGGAPAN

Maka dari semua penjelasan tersebut jelaslah bahwa semantik merupakan bakal ilmu dan
belum merupakan ilmu; tetapi untuk menjadi bakal ilmu sudah merupakan hal yang
penting:sudah mencapai tahap kemajuan ke arah tujuan yang memantapkan usaha makin
mendekati kebenaran bukanlah hal yang harus diremehkan. Inilah idealnya bagaimana suasana
pengetahuan maju—bukanlah karena nilai kebanggaannya, atau mendapat jaminan bahwa pantas
dihormati, agar studi seseorang disebut sebagai “ilmiah”, tetapi karena usaha pencarian tujuan
peneliti empirislah yang merupakan pertanda kesungguhan dalam mengharapkan untuk
menemukan kebenaran.
Segala sesuatu harus diragukan, bahkan Hamleth si peragu pernah berkata:

Ragukan bahwa matahari itu berputar

Ragukan bahwa bintang-bintang api

Ragukan bahwa kebenaran itu dusta

Tapi jangan ragukan cintaku

“Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu”

Untuk mengetahui kebenaran dalam sebuah ilmu, maka kita harus mengetahui kelebihan
dan kekurangan ilmu tersebut. “Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkan, namun
secara sadar memanfaatkannya, bahkan terlebih jujur dalam mencintainya”

BAB IV

PENUTUP

Mungkin hanya ini yang dapat penulis sampaikan dalam menganalisis pada bab ke-5 ini
yang berjudul : Apakah Semantik Suatu Ilmu? Mudah-mudahan dari hasil analisis yang
penulis berikan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan semantik ke depannya.

Besar harapan penulis, yaitu kritik dan sarannya dari semua pihak demi meningkatkan
kualitas penulis dalam menganalisis sebuah disiplin ilmu.

Anda mungkin juga menyukai