Anda di halaman 1dari 18

PERSEPSI SOSIAL DAN BUDAYA KESEHATAN IBU

DAN ANAK

A. Pendahuluan
SKRT 1994 menunjukkan hahwa MMR sebesar 400 – 450 per 100.000 persalinan. Selain
angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau
morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita
oleh bayi dan anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan peryakit-
penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat
membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Program-program pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan pada penanggulangan
masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-program tersebut lebih
menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka
kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hal ini terbukti dari hasil-hasil survei yang
menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar. Namun tidak
demikian halnya dengan angka kematian ibu (MMR) yang selama dua dekade ini tidak
menunjukkan penurunan yang berarti.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas
dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-
konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah
merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat
bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan
anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa
makanan tertentu.

B. Kesehatan Anak
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah
makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan
kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi
oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan
situasi-situasi tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan
untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak
mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota
keluarga yang lain; atau anak laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan.
Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan,namun yang paling
berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah
ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang
terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda,
dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep
kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan
tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun,
pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi
yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat
dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik
untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi
sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi
roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir
sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang
pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai
susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-
kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare,
muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam menambah
daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang
besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi
permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga
menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola
pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan
terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan.
Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk
mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang
memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur. Adanya pantangan makanan ini
merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang
dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan
air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan
menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka
seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih
"dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi
tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang
"panas" dan menghindari makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu
yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal
yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistemteori penyakit lebih
menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit.
Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan
interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu
dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara
pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu
personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya
intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain
termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan
naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca,
makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda
terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat
pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan
karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal
kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak
yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi
tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap
bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara,
yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab
penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah
dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai
"mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat
memanaskan badan si anak.
Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif
penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat
(Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-
unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak
yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan
sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat tradisional
ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang
paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari
perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking
behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke
petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.

B. Kesehatan Ibu.
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di
Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood
yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada
masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante
natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pacta
berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap
kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu
memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin
dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang
sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu
yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang
pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan
akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di
daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak
khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-
turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi
pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal
ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi
dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak
heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah
pedesaan. Dari data SKRT 1986 terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di
Indonesia sebesar 73,7%, dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan
gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya
angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan
untuk pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil
dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut,
udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah
Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir
bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya
kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-
buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh
beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena
segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian.
Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor
resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam
menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk
menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-
praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk
(1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan),
"kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau
"nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan
selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena
beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah,€ mengerti dan dapat
membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan
bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan
kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, na€mun praktek-
praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil
dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yai€tu kematian
atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak
ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat
tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan
dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan
suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat
tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang
diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini
seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala
ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya
yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis
dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu
keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan
takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada
masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap
dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan
oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya
mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan
darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).

C. Kebijakan pembangunan KIA.


Uraian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak melalui program-program pembangunan kesehatan perlu
memperhatikan aspek-aspek sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas kesehatan dan
membangun fasilitas kesehatan semata tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah
KIA di suatu daerah. Seperti diketahui ternyata
perilaku-perilaku kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan
kesehatan banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
Pada dasarnya, peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk,
mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial
untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua praktek/perilaku
masyaiakat yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan
praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang
kesehatan ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya upaya
mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan ataupun kepercayaan-kepercayaan
yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga lebih banyak menimbulkan dampak-
dampak yang merugikan bagi kesehatan. Dan untuk merubah perilaku ini sangat
membutuhkan waktu dan cara yang strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan
petugas kesehatan dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga
berfungsi sebagai agen perubah (change agent) maka pengetahuan dan kemampuan
berkomunikasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan
ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan
anak masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan
yang dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan
secara medis saja tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan
upaya-upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat dimana
kondisi kesehatan ibu akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya,
baik mulai dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali
menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi
kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis yang tepat
sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.
Kepustakaan :

Central Bureau of Statistics et al 1995 Indonesia DemograQhic and health Survey


Departemen Kesehatan R.I 1994 Profil Kesehatan Indonesia 1994, Pusat Data Kesehatan,
Jakarta
Foster, George M dan Barbara G. Anderson 1986 Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh
Meutia F. Swasono dan Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press
Iskandar, Meiwita B., et al 1996 Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok,
Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia.
Kalangi, Nico S 1994 Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: Megapoin.
Koentjaraningrat dan A.A Loedin 1985 llmu-ilmu sosial dalam Pembangunan Kesehatan,
Jakarta: PT Gramedia.
Raharjo, Yulfita dan Lorraine Comer 1990 "Cultur Attitudes to health and sickness in public
Health programs: a demand-creation approach using data from West Aceh, Indonesia",Health
Transition: The Cultural. Social and Behavioral determinants of Health, volume 11.
Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre.
Reddy, P.H. 1990 "Dietary practices during pregnancy, lactation and infaancy : Implications
for Health", Health Transition : The Culture. Social and Behavioral determinants of Health,
volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre.
Wibowo, Adik 1993 Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang
dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan",
Pusat Kaajian Wanita FISIP

KEBIDANAN SEBAGAI PROFESI


A. PROFESI BIDAN
Bidan (midwive/pendamping istri) berasal dari bahasa Sansekerta ”Wirdhan” yang artinya
wanita bijaksana.
Bidan adalah sebuah profesi yang khusus, dinyatakan sebagai sebuah pengertian bahwa bidan
adalah orang pertama yang melakukan penyelamatan kelahiran sehingga ibu dan bayinya
lahir dengan selamat. Tugas yang diemban bidan berguna untuk kesejahteraan manusia.
Menurut Kep Menkes RI No. 900/MENKES/SK/VII/2002, Bidan adalah seorang wanita yang
telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku.
Bidan adalah seseorang yang telah mendapatkan lisensi untuk melaksanakan praktek
kebidanan (Wahyuningsih, 2005).
Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengembangkan pelayanan yang unik bagi masyarakat.
2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan yang ditujukan untuk
maksud profesi yang bersangkutan.
3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.
4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode etik yang belaku.
5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya.
6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.
7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya

B. PROFESIONALISME
1. Pengertian profesionalisme
Seorang pekerja profesional adalah seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam kerjanya,
dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya.
2. Ciri-ciri profesional yaitu meliputi:
a. Bagi pelakunya secara nyata / de facto dituntut kecakapan sesuai tugas-tugas khusus serta
tunutuan dari jenis jabatannya
b. Kecakapan atau keahlian pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan tapi didasari
wawasan keilmuan yang mantap, menuntut oendidikan, terprogram secara relevan dan
berbobot, terselenggara secara efektif-efisien dan tolak ukur evaluatifnya terstanda.
c. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, pilihan jabatannya / kerjanya
didasari kerangka nilai tertentu, bersikap positif terhadap jabatan dan perannya dan
bermotivasi dan berkarya sebaik-baiknya.
d. Jabatan profesional mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negaranya, memiliki
syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi dimana menjamin kepantasan berkarya dan
sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja profesional bidan.

C. PRAKTEK PROFESIONAL BIDAN


Bidan merupakan jabatan profesional. Berdasarkan syarat-syarat profesional, maka bidan
telah memiliki persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional:
a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis
b. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional
c. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat
d. Memiliki kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah
e. Memiliki peran dan fungsi yang jelas
f. Memiliki peran dan fungsi yang jelas
g. Memiliki kompetensi yang jelas dan terukur
h. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah
i. Memiliki kde etik kebidanan
j. Memiliki standar pelayanan
k. Memiliki standar praktek
l. Memiliki standar pendidikan yang mendasar dan mengembangkan profesi sesuai kebutuhan
pelayanan
m. Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi

Sehubungan dengan profesionalisme jabatan bidan, maka bidan merupakan jabatan


profesional. Jabatan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu
1. Jabatan struktural
Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dan diatur berjenjang dalam suatu
irganisasi
2. Jabatan fungsional
Jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital
dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain fungsinya yang vital dalam kehidupan
masyarakat, jabatan fungsional juga berorientasi kualitatif. Dalam konteks ini, jabatan bidan
adalah jabatan fungsional profesional dengan demikian, adalah wajar jika bidan mendapatkan
tunjangan fungsional.

http://kandrawilko.blogspot.com/2009/01/persepsi-sosial-dan-budaya-kesehatan.html
ADAT BUDAYA KEHAMILAN
1.Adat pasca melahirkan daerah Palembang
 Sama seperti tradisi kelahiran di daerah-daerah lainnya di Indonesia kelahiran
merupakan hal yang penuh dengan suka cita di mana pada saat ini di Palembang dulunya saat
setelah kelahiran maka orang tua dari suami akan mengantarkan atau memberikan cupu-cupu
kecil kepada istri dari anaknya / anak menantunya sebagai bentuk kegembiraan yang di sertai
dengan beberapa lembar kain.

Di Palembang di ada tradisi yang di sebut “Ngunting” (Cukuran/Marhaban), mungkin sama


seperti tradisi di daerah lainnya di Indonesia saat melakukan akikah atau pemberian nama,
saat Ngunting di Palembang akan terlihat bendera bendera yang berwarna-warni di mana
bendera tersebut ada di lekatkan uang atau permen bahkan sebagian menggunakan telur, dan
di ikuti oleh bayi yang akan di gunting rambutnya yang biasaya yang menggendong di lapisi
dengan kain songket.
“singep” bukan merupakan kata yang asing di telinga yang biasanya merupakan
perlengkapan dalam pernikahaan ataupun sarung keris tetapi di Palembang singep merupakan
salah satu perlengkapan yang di gunakan dalam acara Aqiqah anak atau marhaba di mana
dari tumpukan kain yang di alasi dengan kain songket dan si bayi juga di kerudungi dengan
songket.
2.Adat mitoni daerah jawa
Seperti yang kita mafhum bersama bahwa negeri kita Indonesia merupakan sebuah negeri
kepulauan yang tiap pulau-pulau tersebut terdapat berbagai macam kebudayaan tradisional
yang beraneka ragam. Di antara tradisi yang beragam itu Budaya Nusantara ingin membahas
salah satu upacara adat yang terdapat di Jawa Tengah khususnya Surakarta yang disebut
dengan Tingkepan atau Mintoni. Upacara adat Tingkepan atau Mintoni sendiri merupakan
sebuah upacara adat yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama ketika
kandungan sang ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh
bulan. Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah untuk mensucikan
calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat segar bugar dalam menanti
kelahirannya yang akan datang.
Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri adalah menggelar selametan pada bulan
ketiga, lima dan kemudian puncaknya adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun
menggelar sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta
bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.
Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melakukan upacara Tingkepan duduk
untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan upacara Tingkepan ini di
ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas untuk menampung para undangan yang hadir.
Setelah semua undangan hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di
bawa keluar untuk melakukan ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri yakni
sungkeman. Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara
mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat
dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada bapak dan ibu
dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu
lainnya.
Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara inti yakni memandikan si
calon ibu setelah sebelumnya peralatan upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan
bahan dalam upacara memandikan ini sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias
dengan janur sedemikian rupa hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri dari
klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo,
daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang raja, makanan kecil,
polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan lauk
pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur;
bahan kurasi; kain lurik yuyu sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang
terdiri dari mawar, melati dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan
handuk.
Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon ibu pun di mandikan.
Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya adalah nenek dari pihak pria,
nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari
pihak wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya
dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan
untuk memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan dilahirkan dimudahkan
keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak cacat), dan sebagainya.
Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah berbeda
lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan parang yang
telah diberi berbagai hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya
sekali ayun dan harus langsung terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun
dan harus langsung terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika istrinya melahirkan sang
anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati, langkah
selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu yang telah melakukan upacara tersebut pun
diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian untuk kemudian bersiap
melakukan upacara selanjutnya yakni memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri
adalah pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon
ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah
dimantrai. Proses memotong ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon
ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama.
Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan upacara
berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah
upacara yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara
ini pada kain yang dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh
pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir
dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk menangkap
cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka
sang ibu itu pun harus berucap yang jika dibahasa Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun
wanita tak masalah. Kalau pria, hendaknya tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri
haruslah cantik layaknya Batari Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan,
cengkir yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk
ditidurkan di kasur.
Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh
perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain khusus
dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain
sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben liwatan.
Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan
wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Kedua, calon ibu
mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.
Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih
sayang orang tua, maupun sanak saudara. Keempat, calon ibu mengenakan busana kain
sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang
berbudi luhur. Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar kelak
dapat menjadi satria yang berwibawa. Keenam, calon ibu mengenakan busana kain
sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan
derajat yang baik. Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben
liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti
pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit
pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat. Sambil
mengenakan kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan
tamu-tamu lainnya tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-
kain yang telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses pergantiannya
hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi melingkar
layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih dahulu kain-kain
tersebut kemudian dibawa ke kamar.
Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut adalah
calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan
belankon warna bangun tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau
dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini
sebagai acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan
pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria pun
memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan
bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri adalah agar kelak anak yang
akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Pada waktu makan ditambah lauk burung
kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng. Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir
berkulit kuning dan tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar
kelak kalau lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul dapat
menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan rujak
untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan atau mitoni. Sambil
bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan
di dalam takir pontang dan dialasi dengan layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah
liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup kertas
dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan.
http://muslimah-isbd.blogspot.com/2010/11/tema-aspek-sosial-budaya-dan-kesehatan_12.html

KESEHATAN IBU DAN ANAK : PERSEPSI BUDAYA DAN DAMPAK KESEHATANNYA


http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm%20linda2.pdf
LINDA T. MAAS
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan :
Hingga saat ini sudah banyak program-program pembangunan kesehatan di Indonesia yang
ditujukan pada penanggulangan masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-
program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan
anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hal ini terbukti dari hasil-hasil survei yang
menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar. Namun tidak
demikian halnya dengan angka kematian ibu (MMR) yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan
penurunan yang berarti. SKRT 1994 menunjukkan hahwa MMR sebesar 400 – 450 per 100.000
persalinan.
Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau
morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISP A, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi
dan anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan peryakit-penyakit yang diderita
oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian
ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari
atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai
berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu
dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia
dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Makanan, penyakit dan kesehatan anak.
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan
yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas
dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota
suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi tertentu.
Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan
yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak laki-laki
diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi
ataupun kebiasaan, namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan
makanan kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper
dari keluarga.
©2004 Digitized by USU digital library 1
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud
dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi
kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun
medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat
sebaikn€ya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang
baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu)
kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari
mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera
Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada
pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada
bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang
pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang
sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu,
ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada
bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar
karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah
pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif
pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga
kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik
pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang
sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa
daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur.
Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi
"panas-dingin" yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah,
udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan
menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang
harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau
sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang
dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari
makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu
sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistem teori penyakit lebih menekankan pada
penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan
penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak
interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap
penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit- penyakit yang
dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu,
mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam
golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca,
makanan, debu dan lain-lain.
©2004 Digitized by USU digital library 2
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap
penyakit seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa
daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh
halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin
disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan
cara yang tepat dapat menimbulkan kematian. Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan
diare pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada
pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena
pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap
penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu
daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai
"mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat memanaskan
badan si anak.
Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit
merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatan umum dalam masyarakat (Klienman, 1980).
Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari
sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si
ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu,
apakah itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat
ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit dan
merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai
"health seeking behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa
ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.
Kehamilan, persalinan dan kematian ibu.
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia
adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi
masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai
prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada masa kehamilan, persalinan
dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga
pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care)
adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan
masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa,
alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan
ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan
tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru
diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa
akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan
kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung,
dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru
datang pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan
akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan
©2004 Digitized by USU digital library 3
dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan.
Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada
beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka
waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini
disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap beberapa
makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil
tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan
kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986
terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka
menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan
pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena
kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja
harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di
masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat
menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan
menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit
persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.
Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk
memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih
dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo,
1993).
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala
kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah
faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu,
pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan
penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong
persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992
rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat
membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang
membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk
memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk
rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan
kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan
pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa
alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara
adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping
itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah
banyak
©2004 Digitized by USU digital library 4
dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan.
lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat
menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik
kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan).
Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi
ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan
yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam
keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan
suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat
tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan
oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan
cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan
bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor
keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan
mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari
masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa
pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan
kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak
produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi
kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk
mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan
kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses
persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
lmplikasi terhadap kebijakan pembangunan KIA.
Uraian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu
dan anak melalui program-program pembangunan kesehatan perlu memperhatikan aspek-aspek
sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan
semata tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah KIA di suatu daerah. Seperti diketahui
ternyata perilaku-perilaku kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan
kesehatan banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
Pada dasarnya, peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk,
mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial untuk
memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua praktek/perilaku masyaiakat yang
pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai
dengan ketentuan medis/kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan ataupun penyebab
sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya upaya mengatasinya juga berbeda
disesuaikan dengan keyakinan ataupun kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-
temurun sehingga lebih banyak
©2004 Digitized by USU digital library 5
menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan. Dan untuk merubah perilaku ini
sangat membutuhkan waktu dan cara yang strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan
petugas kesehatan dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi
sebagai agen perubah (change agent) maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari
petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan
kesehatan.
Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan anak
masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan yang
dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan secara
medis saja tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-upaya
perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat dimana kondisi kesehatan ibu
akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan
maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali menempatkan konteks reproduksi dalam
program KIA sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai
dengan konsep medis yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja
hingga dewasa.
Kepustakaan :
Central Bureau of Statistics et al 1995 Indonesia DemograQhic and health Survey
Departemen Kesehatan R.I 1994 Profil Kesehatan Indonesia 1994, Pusat Data Kesehatan, Jakarta
Foster, George M dan Barbara G. Anderson 1986 Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh Meutia
F. Swasono dan Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press
Iskandar, Meiwita B., et al 1996 Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok, Pusat
Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia.
Kalangi, Nico S 1994 Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: Megapoin.
Koentjaraningrat dan A.A Loedin 1985 llmu-ilmu sosial dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta: PT
Gramedia.
Raharjo, Yulfita dan Lorraine Comer 1990 "Cultur Attitudes to health and sickness in public Health
programs: a demand-creation approach using data from West Aceh, Indonesia",Health Transition:
The Cultural. Social and Behavioral determinants of Health, volume 11. Disunting oleh John C.
Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre.
Reddy, P.H. 1990 "Dietary practices during pregnancy, lactation and infaancy : Implications for
Health", Health Transition : The Culture. Social and Behavioral determinants of Health, volume II.
Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre.
Wibowo, Adik 1993 Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang
dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan", Pusat
Kaajian Wanita FISIP UI, di Jakarta
©2004 Digitized by USU digital library 6

http://lensaprofesi.blogspot.com/2010/02/kesehatan-ibu-dan-anak-persepsi-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai