DI KOTA SOLO
OLEH :
Drs. Soedarmono,SU
Dosen Sastra Sejarah UNS
Pemerhati Solo Heritage Community
Sejarah kebudayaan di kota Solo hampir bersamaan waktunya, terseret pada arus
Pada masa itu momentum perpindahan keraton Kartasura ke desa Solo pada tanggal 17
Februari 1745 desa Solo dideklarasikan sebagai pusat kegiatan kerajaan Mataram sebagai
kepanjangan dari dinasti Mataram Islam. Arus perubahan terus bergulir yang ditandai
dengan adanya perubahan feodalisme yang selalu menjadi ancaman buat pertumbuhan
kerajaan Mataram Islam itu. Ekonomi kerajaan selalu bertumpu pada mekanisme tuan
tanah yang pada gilirannya hanya menempatkan petani sebagai golongan wong cilik yang
senantiasa hidup di tengah kemiskinan rakyatnya. Dalam rentang abad 17 hingga abad
ke-20 selama tiga abad teori feodalisme Jawa selalu menempatkan preposisi orang Jawa
sebagai masyarakat yang teralienasikan. Disana, di komunitas petani Jawa hanya mampu
bisa menggerakkan ekologi pertanian berbasis lingkungan yang biasa disebut sebagai
sistem pra noto mongso. Selebihnya mereka dikebiri hak-hak previlage nya, mereka juga
ditekan ekologi yang beradaptasi pada lingkungan budayanya. Hampir sebagian besar
ekologi petani tidak beranjak dari iklim pranoto mongso, karena hanya itu satu-satunya
Dari hilir sampai ke hulu sepanjang Bengawan Solo ekologi petani yang mampu
berdialog dengan alamnya hanyalah petani yang berada di sekitar kerajaan Mataram
Islam itu. Dengan demikian maka sumbangan kerajaan kepada rakyatnya di era Mataram
Ekologi Kerajaan
Bila diamati secara jeli artefak peninggalan jaman kerajaan bagi kota Solo
Paraning Dumadi. Berbasis pada konsep njobo keraton masyarakat yang diperkenalkan
dengan bangunan-bangunan situs keraton merupakan wujud dari perjalanan hidup : dari
mana asal-usul hidup ?, kemana perjalanan hidup ini ?, dan mau kemana hidup ini?
Berangkat dari artefak yang merupakan awal perjalanan hidup, keraton memberi tanda
bangunan Tugu Pemandengan Dalem yang berdiri diantara simbol duniawi (Sar Gede)
untuk poros Masjid Agung. Konsep Sangkan Paraning Dumadi dimulai dari sana (depan
kantor Balaikota sekarang). Simbol kehidupan sebagai fakta sejarah yang dilambangkan
dalam pemaknaan Sar Gede dalam perjalanan hidup manusia harus seimbang dengan
simbol matahari terbenam (akherat) yang dilambangkan sebagai Masjid Agung. Disana
kita temukan garis poros lurus yang dianggap sakral menuju dua gapura yaitu Gladag dan
Pangurakan. Selama hidup orang Jawa masih menjaga keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan akherat tidak akan ditemukan kondisi yang bertabrakan. Demikian pula
simbol gapura Gladak dan Pangurakan sebenarnya lebih mengarah kepada sifat-sifat
hidup yang mencerminkan nilai gegladagan dan pangurakan. Garis poros yang lurus
menembus di tengah alun-alun yang memisahkan antara dua pohon yang berdiri diatas
konsep kerajaan. Alun-alun yang dilambangkan yang sebagai gelombang alun, adalah
tataran pertama hidup yang dilambangkan sebagai riak-riak gelombang alun. Pagelaran
yang ditafsirkan sebagai kehidupan yang mencerminkan hati yang gumelar, lebih
menonjolkan tataran hidup kedua. Tahap ketiga kehidupan siap pada tataran yang disebut
Siti Hinggil adalah tahapan yang tertinggi dalam perjalanan hidup manusia. Cerminan
tiga tahapan hidup yang sudah diwujudkan dalam artefak bangunan keraton, dimulai dari
gelombang alun, pagelaran, dan Sitinggil sama halnya bila penafsiran itu dikonotasikan
Disisi lain ada juga persamaan dengan tiga tingkatan dikomplek candi Sukuh dan
Cetho yang terdiri atas halaman satu disebut Profan, halaman kedua disebut Semi-sakral
halaman ketiga disebut Sakral. Bila tiga unsur ini dipelajari dalam khasanah tradisi Jawa
era megalithikum, maka jawaban atas tiga situs di lereng gunung Lawu menjadi
pelengkapnya. Teori yang dikembangkan oleh Profesor Ricklefs, Seen and Unseen World
in Java, menjawab polemik atas tiga tingkatan rebah kebelakang dalam tradisi
kepercayaan Jawa.
Dengan demikian maka terjawablah sudah teori Seen and Unseen dari Profesor
Ricklefs tentang situs-situs kebudayaan Jawa masa jaman Mataram Islam adalah
perpaduan antara ajaran Budhism Jawa dengan ajaran Islam Kejawen. Bahwa tiga
tingkatan rebah ke belakang adalah ajaran sejarah kebudayan Jawa yang hingga kini
Monumenten Ordonantie
Tonggak sejarah yang pernah ditetapkan oleh pemerintah colonial Belanda hingga
pemerintah colonial Belanda terhadap pengelolaan benda cagar budaya untuk memelihara
termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi usaha ilmu pengetahuan. KITLV yang
bergerak di ranah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan budaya sangat serius
menanggapi lahirnya Monumenten Ordinatie ini karena masalah itu di ranah mereka.
Belanda itu dipertimbangkan sangat vital karena banyak artefak budaya yang tidak
mampu diurusi oleh pemerintah Belanda. Misalnya situs-situs candi penataan kembali
secara preservasi, konservasi bahkan sampai revitalisasi menjadi ranah penting untuk
mengembalikan citra budaya bangsa ini. Situs artefak jaman Budhis abad ke 7 sampai 8
hingga situs-situs budaya periode Hinduism abad 9 sampai 10 akan terjaga keberadaanya
1992 maka ada larangan untuk penguasaan, pemilikan, penemuan, dan pencarian sumber-
sumber cagar budaya. Undang-undang ini ditetapkan oleh menteri / sekertaris Negara
Indonesia dalam lembaran Negara RI nomor 5 tahun 1992. Undang-undang ini terdiri
atas pasal 32 yang mengawal benda-benda cagar budaya untuk diselamatkan. Pasal-pasal
yang berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan dibedakan pada asas penemuan
demikian pula topik masalah pencarian dan perburuan yang tercover ke dalam pasal 10,
11, 12 dibedakan dalam pasal 13 yang berbunyi perlindungan dan pemeliharaan. Pada
umumnya peraturan dalam undang-undang tentang benda cagar budaya sudah memadai
unsur kepentingan perlindungan dan pemeliharaan atas benda cagar budaya itu. Sebagai
contoh Beteng Vastenburg tahun 1768 dan bangunan situs Sriwedari dibangun awal
abad ke 20, sudah cocok dengan konsep perlindungan dan pemeliharaan. Lebih lagi bila
dikaitkan dengan unsur pengelolaan dan pemanfaatan benda yang dilindungi cagar
budaya itu dianggap sudah memadai. Pada konteks situs cagar budaya dijadikan
artefak peninggalan jaman colonial bisa dijadikan akses periode colonial waktu menjajah
bangsa ini demikian halnya ketika situs Sriwedari di gagas oleh rajanya jaman PB X
untuk sarana prasarana hiburan (public space) agaknya dijawab oleh rakyat Solo dalam
konsep yang lain yaitu Kebon Rojo. Ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Orde Lama
ke Orde Baru control social masyarakat melemah terjadilah pencaplokan atas asset-aset
bersejarah itu. Di satu sisi pemerintah terlalu serius memperhatikan proses suksesi itu. Di
sisi lain Monumenten Ordonantie dilupakan orang. Itulah sebabnya mengapa kelompok
kekuasaan dari Orla ke Orba. Tidak jauh berbeda dengan peralihan pengawasan dan
Radya Pustaka di bawah pengawasan konsep presidium yaitu lima anggota presidium
memiliki hak untuk memutuskan yang sama. Baru sesudah peristiwa manajemen ’71
konsep pengawasan hilang presidium tidak berfungsi samasekali maka ambruk lah
manajemen pengawasan Radya Pustaka peristiwa ini agaknya juga dibarengi oleh
Pada dokumen yang dimiliki seseorang untuk kategori benda cagar budaya
disinyalir terdapat 66 benda cagar budaya yang masih dilindungi keberadaanya. Dari 66
itu ada sekitar 50 % yang kondisinya tidak terawat secara baik. Misalnya terdapat 5
rumah sakit yang secara memori kolektif tidak lepas dari ingatan orang, hingga sekarang
5 rumah sakit itu tinggal 1 yang masih dilestarikan yaitu bekas rumah sakit zending
Jebres. Tampaknya ada kecenderungan setiap muncul gejala pengambil alihan kekuasaan
atas ke empat rumah sakit itu ada “grand design” untuk sengaja menutupinya. Ada lima
lapangan sepak bola yang dijadikan bancakan oleh penguasa lokal. Ada 25 bangunan
strategis di jalan protokoler, tampaknya juga menjadi ajang bancakan bagi penguasanya.
beteng Vastenburg dan Sriwedari, sebagian lagi memprihatinkan lima bangunan tower
pencakar langit yang konon katanya difasilitasi oleh Pemkot sekarang (Ibis, disamping
Luwes, Solo Paragon, Gedung SE (center point), dan bekas gedung bioskop Fajar). Ini
Fenomena yang tercover dalam makalah ini hanya riak-riak kecil untuk kasus
kota Solo. Saya sekedar melemparkan masalah untuk diketahui publiknya warga kota
Oleh
Drs. Soedarmono, SU
8 Januari 2011
Fenomen Sosial-Budaya..
waktunya, sudah cukup mengalami situasional yang biasanya disebut kota beprpredikat
“rust and orde “. Sejak ditinggalkan berbagai konflik perebutan antar dinasti antara
Jawa tengah itu, seolah-olah berhenti dari intrik-intrik kerajaan, kecuali perlawanannya
menorehkan jejak peninggalan sejarahnya. Ini fakta sejarah yang ditempuh Yogya dalam
jaman ( transisional), dari system monarki ke jaman demokrasi. Untuk mengatasi kemelut
panutan yang sangat didambakan oleh seluruh rakyatnya dan terutama kalangan
bangsawan yang terjebak kedalam dua opsi : monarki atau demokrasi. Dalam koteks
peralihan ini, Raja HB IX, sosok tampil secara bijaksana, cerdas dan mampu membaca
perubahan jaman. Disamping tampilan sebagai sosok raja yang merakyat, beliau adalah
lokal wisdom wilayah adat-istiadat kraton Jogya. Konsep daulat rakyat yang terwujud
dalam tri-loginya Yogya (DPD-DPR dan ke dua raja ), menjadi sangat dominan hingga
kini, utamanya bagi warga kawulo gusti yang sangat patuh kepada rajanya. Pemerintahan
Jepang Koti Zimu Kyoku Tyokan dirombak menjadi kekuasaan Sultan dan Pakualaman –
munculnya makloemat no. 18 tahun 1950 yang memfungsikan kembali peran DPD dan
DPR daerah, sementara itu kedudukan Sultan dan Pakualam masih sama seperti
kedudukan semula sebagai kategori tri-loginya keistimewaan Yogya yaitu DPD, DPRD,
dan kedudukan istimewa bagi kedua raja itu. Berkaitan dengan uraian diatas maka ada
kaitan sejarah antara fungsi DPRD, DPD dan Kepala Daerah Yogya karena nilai
keistimewaannya. Itulah nantinya bakal menjadi fakta sejarah, bahwa ada nilai
keistimewaan Yogya karena juga ada pemerintahan yang bersifat collegial. Ada dua raja,
fakta sejarah dari nilai ke-istimewaan Yogyakarta. Tidak ada kemelut politik disana,
berbagai kasus di kota Sala. Indonesia nbaru merdeka bulan Agustus 1945, sudah disusul
Revolusi Sosial tahun 1946, hingga munculah gejolak politik hingga kini, setidaknya
sudah ada 12 kali kerusuhan rakyat membakar kotanya. Ada baiknya dua kota kembar ini
perlu dikaji secara kritis apa yang menyebabkan pertumbuhannya selalu mengalami
dominant bagi masyarakat Yogya, terutama atas desakan kraton untuk memiliki akses
pada rakyatnya yang cukup loyal pada raja. Nilai-nilai Keistimewaan daerah Yogya,
kepercayaan lokal di wilayah local wisdom dari nilai keistimewaan Yogya itu. Dua orang
tokoh raja, ialah Sultan HB IX-Pakualaman VIII, masih ditambah 3 orang wakil DPP,
yang memerankan sebagai tokoh senior zitison kota Yogya. Mereka bekerja atas
rekomendasi semacam dewan kota yang banyak memberi masukan kepada Dewan
Perwakilan Pemerintah.
Perwakilan Rakyat, yang memerankan fungsi-fungsi vertical dan horizontal. Unsur peran
verikal, yaitu menyalurkan seluruh aspirasi dan ketentuan dari DPR pusat, seperti
anggaran keuangan pusat yang sudah di breakdown dari pemenrintah pusat. Sementara
DPR fungsi horizontal, sebagian besar harus menyerap aspirasi daerah, khususnya
mendengar aspirasi nilai-nilai keistimewaan Yogya yang berkaitan dengan varian sejarah
luar biasa. Ada 12 kali kerusuhan disana, biasa disebut amuk massa selama dua decade
pemerintahan dengan apa yang disebut periode orde lama vs orde baru. Enam kali
kerusuhan : pembakaran kantor kepatihan, kerusuhan Api Pon I, tahun 1947, kerusuhan
Soeranto), pembantaian pelajar oleh batalion 444, dan kerusuhan Mei 1966. Sementara
selama orde baru terjadi kerusuhan sopir becak vs Arab taun 1972, kerusuhan Anti China