SEMESTER PENDEK
DISUSUN OLEH:
DEPARTEMEN GEOGRAFI
UNIVERSITAS INDONESIA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Industri pengolahan menengah dan kecil memegang peranan penting dalam memacu
roda ekonomi daerah ini. Industri pengolahan tumbuh pesat di Mukomuko. Tidak hanya
industri besar dan menengah, tetapi juga industri rumah tangga. Bahkan daerah ini dikenal
sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat mengingat banyak industri kecil, menengah dan
rumah tangga di sana.
Selain industri, sektor pertanian pegang peranan dan menempati peringkat pertama
kontribusinya terhadap PDRB. Sektor pertanian unggul dalam penyerapan tenaga kerja.
Sektor ini memberi sumbangan 50 persen atas PDRB dan menyerap sekitar 44,79 persen
angkatan kerja yang ada. Sedangkan industri pengolahan menyerap 11 persen tenaga kerja.
Daerah perkebunan yang sangat potensial terutama di Kecamatan Mukomuko Selatan,
Mukomuko Utara, Pondok Sungguh, Teras Terunjam dan Lubuk Pinang, sebagai daerah
perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Produksi hasil perkebunan yang dominan adalah
kelapa sawit 41.844 ton dan karet 55.965 ton terkonsentrasi di Kecamatan Mukomuko
Selatan, Pondok Suguh, dan Lubuk Pinang. Dalam hal ini hasil perkebunan kelapa sawit
merupakan komoditas utama di Kabupaten Moko-Moko yang dapat dikembangkan ke depan.
Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan
perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan ciri lokasi tumbuhnya, perkebunan kelapa sawit ini memiliki potensi
pengembangan kawasan wisata dilihat dari pendekatan aktivitas dan perilaku manusia, yang
akan menjadi kawasan agrowisata. Kemungkinan akan ada aktivitas wisata berdasarkan
perilaku manusia pada wilayah perkebunan ini. Mengunjungi perkebunan kelapa sawit yang
hanya sekedar untuk berwisata alam yang berada di kawasan hutan suaka alam dan wisata ini
ataupun untuk studi banding secara langsung di wilayah perkebunan yang ada serta melihat
proses pengolahan minyak kelapa sawit dari tahap awal hingga akhir.
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mengetahui model pengembangan
wilayah komoditi kelapa sawit dan pemanfaatannya di bidang agrowisata yang sesuai dengan
konsep-konsep dan prinsip pengelolaan wilayah komoditi kelapa sawit dan agrowisata.
BAB II
ISI
2.1.2.1 Definisi
Kelapa sawit (Elaeis guinensis jacgs) adalah salah satu dari beberapa palma yang
menghasilkan minyak untuk tujuan komersil. Minyak sawit selain digunakan minyak
makanan margarine, dapat juga digunakan untuk industri lainnya, seperti industri sabun, lilin,
dan dalam pembuatan lembaran-lembaran timah serta industri komestik. Perkebunannya
menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit. Keuntungan-keuntungan ini dilihat berdasarkan kebutuhan
akan minyak kelapa sawit di dalam negeri masih sangat diperlukan, harga minyak kelapa
sawit dapat memberikan jaminan usaha bagi setiap investor, serta memberikan kemudahan
dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada investor yang akan menanamkan modalnya pada
sector perkebunan sehingga secara tidak langsung pun dapat membangun perekonomian
wilayah kabupaten yang terdapat perkebunan kelapa sawit ini.
2.1.2.2 Habitat
Habitat asli dari kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh
dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian
0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban rata-rata 75% dan dengan suhu optimal
26°C. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum1000-1500 mm/tahun, yang
terbagi merata sepanjang tahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak
kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan mempengaruhi perilaku pembungaan dan
produksi buah sawit.
Berikut ini adalah upaya pemeliharaan tanaman kelapa sawit selama masa
produktifnya:
2.1.3.1 Definisi
Agrowisata adalah salah satu bentuk pariwisata yang obyek wisata utamanya adalah
lanskap pertanian, maka dapat dikatakan bahwa agrowisata merupakan wisata yang
memanfaatkan obyek-obyek pertanian. Agrowisata juga merupakan kegiatan wisata yang
terintegrasi dengan keseluruhan sistem pertanian dan pemanfaatan obyek-obyek pertanian
sebagai obyek wisata, seperti teknologi pertanian maupun komoditi pertanian (Anonim,
1990).
Menurut Arifin (1992) agrowisata adalah salah satu bentuk kegiatan wisata yang
dilakukan di kawasan pertanian yang menyajikan suguhan pemandangan alam kawasan
pertanian (farmland view) dan aktivitas di dalamnya seperti persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan hasil panen sampai dalam bentuk siap dipasarkan dan
bahkan wisatawan dapat membeli produk pertanian tersebut sebagai oleh-oleh. Agrowisata
tersebut ikut melibatkan wisatawan dalam kegiatan-kegiatan pertanian. Sedangkan menurut
Nurisjah (2001), agrotourism, agrowisata, wisata agro atau wisata pertanian merupakan
penggabungan antara aktivitas wisata dan aktivitas pertanian.
Ditambahkan oleh Tirtawinata dan Fachruddin (1996) bahwa agrowisata merupakan
suatu upaya dalam rangka menciptakan produk wisata baru (diversifikasi). Kegiatan
agrowisata juga merupakan kegiatan pengembangan wisata yang berkaitan dengan kegiatan
pedesaan dan pertanian yang mampu meningkatkan nilai tambah kegiatan pertanian dan
kesejahteraan pedesaan (Haeruman, 1989 dalam Khairul, 1997).
Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang
terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam
kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani.
Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan tersebut
dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan kehidupan keseharian
mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai dengan apa yang biasa mereka lakukan
tanpa ada pengaturan dari pihak lain. Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada
wisatawan, atraksi-atraksi spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan,
namun tetap menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk
kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan kultur dan estetika
asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat berteduh, sanitasi, dan keamanan dari
binatang buas. Contoh agrowisata terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang
dan Suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan
teknologi subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk budi
daya umbi-umbian.
Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasan-kawasan yang
spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat adat. Tata ruang peruntukan
lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan komoditas pertanian yang dikembangkan
memiliki nilai jual untuk wisatawan. Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari
budaya masyarakat lokal yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan
produk atraksi agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan
dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu
keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat dikelola oleh suatu badan
usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki
teknologi yang diterapkan.
Keuntungan dari pengembangan agritourism bagi petani local dapat dirinci sebagai
berikut (Lobo dkk, 1999):
1. Masyarakat desa yang memiliki lahan di dalam kawasan yang dibangun agar tetap dapat
mengolah lahannya sehingga menunjang peningkatan hasil produk pertanian yang
menjadi daya tarik agrowisata dan di sisi lain akan mendorong rasa memiliki dan
tanggungjawab di dalam pengelolaan kawasan secara keseluruhan.
2. Melibatkan masyarakat desa setempat di dalam kegiatan perusahaan secara langsung
sebagai tenaga kerja, baik untuk pertanian maupun untuk pelayanan wisata, pemandu dan
lain-lain. Untuk itu pihak pengelola perlu melakukan langkah-langkah dan upaya utnuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja khusus yang berasal dari
masyarakat.
3. Menyediakan fasilitas dan tempat penjualan hasil pertanian, kerajinan dan cendera mata
bagi masyarakat desa di sekitar kawasan, sehingga dapat memperkenalkan khas setempat
sekaligus untuk meningkatkan penghasilan. Disamping itu, dapat pula diikutsertakan di
dalam penampilan atraksi seni dan budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan.
Pada hakekatnya pengembangan agrowisata mempunyai tujuan ganda termasuk
promosi produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan, membantu
meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan petani nelayan dan
masyarakat sekitar, disamping untuk meningkatkan jenis dan variasi produk pariwisata
Indonesia.
Menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1996), prinsip yang harus dipegang dalam
sebuah perencanaan agrowisata, yaitu sebagai berikut:
1. Perencanaan agrowisata sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tempat
agrowisata itu berada
2. Perencanaan dibuat secara lengkap, tetapi sesederhana mungkin
3. Perencanaan mempertimbangkan tata lingkungan dan kondisi sosial masyarakat
sekitar
4. Perencanaan selaras dengan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumber dana
dan teknik-teknik yang ada
5. Perlu dilakukan evaluasi sesuai dengan perkembangan yang ada.
Menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:
Ada beberapa aspek yang perlu dilaksanakan untuk pengembangan wisata agro
menurut Situs Departemen Pertanian (2007) yaitu:
Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu Agrowisata saat ini dinilai masih
terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan pariwisata, mata ajaran
Agrowisata dinilai belum memadai sesuai dengan potensi Agrowisata di Indonesia.
Sebaliknya pada pendidikan pertanian, mata ajaran kepariwisataan juga praktis belum
diajarkan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut pemandu Agrowisata dapat dibina dari
pensiunan dan atau tenaga yang masih produktif dengan latar belakang pendidikan pertanian
atau pariwisata dengan tambahan kursus singkat pada bidang yang belum dikuasainya.
Sebagai bagian dari usaha pertanian, usaha Agrowisata sangat mengandalkan kondisi
sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya alam dan lingkungan tersebut mencakup
sumberdaya objek wisata yang dijual serta lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk
itu upaya mempertahankan kelestraian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang
dijual sangat menentukan keberlanjutan usaha Agrowisata. Kondisi lingkungan masyarakat
sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun objek wisata
yang ditawarkan namun apabila berada di tengah masyarakat tidak menerima kehadirannya
akan menyulitkan dalam pemasaran objek wisata. Antara usaha Agrowisata dengan
pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan. Usaha Agrowisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya
alam dan lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat
diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari.
Usaha Agrowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin sebagai usaha
jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam perspektif jangka panjang.
Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan buruknya kondisi sumberdaya wisata dan
lingkungan, dapat berdampak jangka panjang untuk mengembalikannya. Dapat dikemukakan
bahwa Agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan semua
aspek.
3. Aspek promosi, baik melalui media informasi atau dari mulut ke mulut.
a) Kelangkaan
b) Kealamiahan
c) Keunikan
Keunikan dalam hal ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek wisata
yang ada. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi lokal dimana objek
wisata tersebut dikembangkan.
d) Pelibatan Tenaga Kerja
g) Penataan Kawasan
a) Attractions
c) Infrastructure
d) Transportation
e) Hospitality
Sedangkan untuk pemilihan lokasi wilayah pertanian yang akan dijadikan objek
agrowisata perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan kemudahan mencapai
lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan adanya kegiatan agroindustri.
Pemilihan lokasi juga dapat dilihat berdasarkan karakteristik alam, apakah merupakan
dataran rendah atau dataran tinggi, pantai, dan danau/waduk. Pemilihan juga dapat dilakukan
dengan melihat potensi daerah seperti sentra produksi pertanian, letak daerah yang strategis,
sejarah dan budaya ataupun pemilihan dilakukan dengan melihat potensi agroindustri suatu
wilayah (http://lampungpost.com)
Dataran rendah biasanya memiliki karakteristik iklim kering dan biasanya terdapat
padang rumput yang luas (stepa) yang cocok untuk dikembangkan usaha peternakan,
sedangkan dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang berbukit-bukit atau berupa
kawasan pegunungan yang sambung-menyambung. Umumnya daerah pegunungan memiliki
tanah yang subur dan suhu relatif rendah, sehingga cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis
tanaman bunga dan sayuran. Untuk wilayah yang memiliki kawasan pantai yang sangat luas
dapat dimanfaatkan untuk usaha budi daya perikanan laut dan tambak atau rumput laut.
Untuk kawasan yang memiliki danau atau waduk untuk usaha teknik budi daya ikan air tawar
dengan menyediakan sarana pemancingan (http://lampungpost.com)
a) Pengaturan dasar alaminya, yang meliputi kultur atau sejarah yang menarik, keunikan
sumber daya biofisik alaminya, konservasi sumber daya alam ataupun kultur budaya
masyarakat.
b) Nilai pendidikan, yaitu interpretasi yang baik untuk program pendidikan dari areal,
termasuk lingkungan alaminya dan upaya konservasinya.
c) Partisipasi masyarakat dan pemanfaatannya. Masyarakat hendaknya melindungi/menjaga
fasilitas atraksi yang digemari wisatawan, serta dapat berpartisipasi sebagai pemandu serta
penyedia akomodasi dan makanan.
d) Dorongan meningkatkan upaya konservasi. Wisata ekologi biasanya tanggap dan berperan
aktif dalam upaya melindungi area, seperti mengidentifikasi burung dan satwa liar,
memperbaiki lingkungan, serta memberikan penghargaan/falitas kepada pihak yang
membantu melingdungi lingkungan.
Keunikan teknologi lokal yang merupakan hasil seleksi alam merupakan aset atraksi
agrowisata yang patut dibanggakan. Bahkan teknologi lokal ini dapat dikemas dan
ditawarkan untuk dijual kepada pihak lain. Dengan demikian, teknologi lokal yang
merupakan indigenous knowleadge itu dapat dilestarikan.
Teknologi lokal seperti Talun Kebun atau Pekarangan yang telah berkembang di
masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan salah satu contoh yang bisa ditawarkan
untuk agrowisata. Teknologi lokal ini telah terbukti cukup mampu mengendalikan kesuburan
tanah melalui pendauran hara secara vertikal. Selain dapat mengefisienkan pemanfaatan hara,
teknologi ini juga dapat memanfaatkan energi matahari dan bahan organik in situ dengan baik
sesuai dengan tingkat kebutuhan. Dengan demikian, melalui agrowisata kita dapat memahami
teknologi lokal kita sendiri, sehingga ketergantungan pada teknologi asing dapat dikurangi.
Jika Agrowisata dikembangkan dengan benar, harapan petani untuk dapat meningkat
kesejahteraannya bisa terwujud, apa saja harapan petani tersebut? Mosher (dalam Sutjipta,
2001) merinci sebagai berikut:
Untuk menilai dampak potensial kegiatan pariwisata, Gree dan Hunter, 1993 (dalam
Aryanto, 2003) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya yang dibagi dalam
6 komponen lingkungan yang akan rusak/berubah, yaitu : (1) nilai dan kepercayaan, (2)
moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum dan ketertiban, dan (6) sejarah.
Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan terjadi pada
Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan fauna, (2) polusi, (3)
erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan.
Bila bercermin dari kamus Oxford, kiranya dapat disebutkan bahwa model adalah
sebuah skala kecil dari sebuah kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Sementara itu,
Soekartawi, dkk (1986) menyebutkan bahwa model adalah suatu abstraksi dari sebuah
realitas, yang mampu menemukan berbagai variabel yang penting dan tepat dari realitas itu.
Dengan demikian, dalam pembuatan sebuah model pengembangan agrowisata, maka
diharapkan dapat dikristalkan bentuk proses pengembangan agrowisata, dengan bercermin
dari berbagai bentuk pengembangan agrowisata yang ada di Kabupaten Muko-Muko,
khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam
pengembangan model agrowisata, haruslah dikaji berlandaskan pada tiga aspek, yakni aspek
konsep/pola pikir, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan. Dalam hal ini, model
pengembangan tersebut dapat diterapkan sesuai potensi Kabupaten Muko-Muko dalam
bidang agrowisata dalam bidang pertanian, perkebunan, pantai serta objek wisata alam yang
menarik lainnya.
2.2 Pembahasan
Salah satu yang menjadi motor penggerak perekonomian di luar migas adalah sektor
pertanian. Sektor ini tidak saja mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap
perekonomian tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif lebih besar. Menurut
data Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, luas lahan sawah yang mempunyai saluran irigasi
teknis seluas 22.598 ha, sawah non irigasi teknis seluas 68.232 ha dan luas lahan palawija,
hortikultura dan sayur-sayuran seluas 386.881 ha. Sedangkan, panjang saluran irigasi primer,
sekunder, dan tersier, secara keseluruhan sepanjang 583,89 km. dengan spesifikasi tersebut,
Provinsi Bengkulu berhasil memproduksi padi sebanyak 3,755 ton/ha.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan, luas hutan seluas 920.753,50 ha dengan
hasil hutan Kayu Bulat sebanyak 29.945,10 m³ kayu gergajian sebanyak 23.151,94 m³ rotan:
177.200 batang dan damar: 312.500 batang. Sedangkan menurut data Dinas Kehutanan
Provinsi Bengkulu, tercatat luas Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas
444.882 ha, luas Hutan Lindung 252.042 ha, hutan produksi terbatas seluas 182.210 ha, hutan
produksi tetap seluas 34.965 ha dan Hutan Fungsi Khusus seluas 6.865 ha.
Potensi perkebunan sangat ditunjang dengan luas lahan perkebunan seluas 1.978.870
ha dengan hasil antara lain sawit sebanyak 703.335,60 ton, karet 72.248,89 ton, kopi robusta
55.461,39 ton, kopi arabika 2.466,36 ton, kakao 1.523,93 ton, kelapa dalam 5.983,21 ton,
lada 3.284,92 ton, cengkeh 64,26 ton, aren 1.862,40 ton, kayu manis 719,06 ton, pinang
465,59 ton dan kemiri 3.082,90 ton.
Data dari Departemen ESDM, Provinsi Bengkulu memiliki potensi pertambangan dan
energi diantaranya lima yang terbesar, yaitu: batu bara, emas, pasir besi, batu apung, bentonit.
Hasil produksi batu bara tercatat sebanyak 673.542.000 ton.
Potensi Perkebunan
Sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan
pertanian di Provinsi Bengkulu terutama sebagai penghasil devisa, penyerapan tenaga kerja
lokal dan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto. Luas lahan budidaya diluar
kawasan hutan Provinsi Bengkulu adalah 1.082.803 hektar (54,04 %). Dari luas tersebut
penggunaan lahan sawah seluas 116.818 hektar (10,79%), perkebunan seluas 790.017 hektar
(72,96%) dan penggunaan lainnya seluas 175.968 hektar (16,25%).
Potensi Lahan Perkebunan di Provinsi Bengkulu sebagaimana dideskripsikan dalam
tabel dibawah ini :
Industri perkebunan kelapa sawit sangat menjanjikan pada saat ini. Krisis energi
untuk bahan dasar kehidupan manusia telah di depan mata. Energi alternatif menjadi pilihan
tepat untuk dikembangkan dalam rangka mengantisipasi ke khawatiran akan krisis dalam
sektor energi. Salah satu pengembangan sektor energi alternatif adalah pengembangan
perkebunan kelapa sawit untuk kemudian dikembangkan menjadi bahan bakar biofuel. Untuk
langkah lebih jauhnnya lagi, diharapkan akan dikembangkan biofuel dengan konsep
“sustainable energi”.
Beberapa institusi seperti Bank Dunia (World Bank) dan International Finance
Corporation (IFC) memiliki perhatian khusus di dalam mengembangkan sustainable energy
melalui bahan dasar kelapa sawit sebagai bahan dasar bagi pengembangan Biofuel. Dalam
rangka mengembangankan Biofuel ini, beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit mulai
menerapkan konsep mengenai sustainable palm oil, sehingga pasokan Biofuel juga tidak
lantas mengabaikan kondisi sosial dan lingkungan yang terdapat di sekitar perkebunan kelapa
sawit. Secara singkat, bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki keinginan yang
mendalam untuk menggeser pola produksinya dari pola produksi perkebunan konvensional
menjadi pola poduksi perkebunan yang lebih mengedepankan aspek sosial dan aspek
lingkungan. Terlebih lagi dengan keberadaan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO),
perkebunan kelapa sawit berkewajiban untuk menjaga aspek lingkungan dan memperhatikan
kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Namun, sebaiknya perkembangan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia harus dilihat juga dari sisi sejarah keberadaannya di Indonesia dan
dibandingkan dengan kerberadaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Hal ini akan lebih
mempermudah untuk memahami mengenai perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada masa
sekarang ini.
Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Perkebunan kelapa sawit dikembangkan di Indonesia dimulai dari Pulau Sumatra
semenjak jaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1915 jumlah areal untuk perkebunan kelapa
sawit hanya 2, 715 hektar dan pada tahun 1939 menjadi 100.000 hektar yang dikelola oleh 66
perusahaan. Kondisi ini mengalami pembalikan ketika Indonesia mengalami penjajahan
Jepang, dimana banyak perkebunan kemudian dikonvesi untuk menanam tanaman pangan.
Setelah masa kemerdekaan, jumlah perkebunan di Indonesia semakin seiring dengan
berjalannya waktu. Diakhir tahun 1970, luasan perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi
133.000 hektar dan pada tahun 1980-an luas perkebunan kelapa sawit menjadi 290.000
hektar. Sekarang ini, Indonesia memiliki 9 Juta hektar perkebunan kelapa sawit dan
menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit dari luasan tersebut dalam setiap tahunnya.
Namun apabila kita membandingkan dengan Malaysia sebagai Negara tetangga
Indonesia. Di Malaysia dari 4,9 juta hektar luas perkebunan kelapa sawit dapat menghasilkan
18 juta ton minyak kelapa sawit. Kondisi ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar
mengenai pola pengelolaan industry perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan di Malayasia.
Di Malaysia, perkebunan kelapa sawit sudah dapat dijadikan andalan bagi penyerapan tenaga
keja padat karya dan menunjang bagi peningkatan pendapat per kapita keluarga petani kelapa
sawit, sehingga perkebunan kelapa sawit secara ekonomi mendukung terwujudnya
keberlanjutan ekonomi (economic sustainability). Sementara itu, di Indonesia keberadaan
perkebunan kelapa sawit memang tidak setua di Malaysia, namun sudah mampu memberikan
kontribusi yang berarti bagi penyerapan tenaga kerja, meskipun masih terlalu dini untuk
disimpulkan memberikan kontribusi yang berkelanjutan karena masih berada dalam proses
menuju perkebunan kelapa sawit yang mapan, seperti layaknya di Malaysia.
Komitmen Sosial
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan
DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR, yaitu keempat ayat dalam
Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan dibidang sumber daya alam
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Respon perusahaan perkebunan
kelapa sawit cukup positif di dalam menerapkan komitmen sosial sebagaimana tercantum di
dalam UU No. 40 tahun 2007, bahkan sudah tidak heran lagi perusahaan perkebunan kelapa
sawit mengembangkan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk nyata atas
kepeduliannya terhadap masyarakat di sekitar perkebunan.
Komitmen Lingkungan
Dari sisi lingkungan, keberadaan ISO 14000 dan OHSAS 18000 memberikan
kesempatan bagi perkebunan kelapa sawit di dalam mengembangkan sebuah sistem yang
komperhensif mengenai pemantauan lingkungan yang berkelanjutan.
Ketiga pihak yang saling berkotestasi ini belum menemukan kesepahaman dan
kesamaan pandangan dalam memandang pengembangan perkebunan kelapa sawit hingga
pada saat ini, terutama pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan pihak LSM. Hal
yang paling nyata yang dapat dijadikan contoh untuk hal ini adalah perseteruan yang belum
selesai antara Sinarmas dengan Green Peace. Ini menjadi contoh nyata bahwa belum adanya
upaya untuk menyamakan pemahaman mengenai perkebunan kelapa sawit.
Namun, apabila kita melihat secara lebih dalam dan lebih netral mengenai perseteruan
“yang mungkin sulit untuk berakhir” antara pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit
dengan LSM lingkungan, sebenarnya Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) hadir sebagai
sarana untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan. Keanggotaan
RSPO ini juga terdiri dari berbagai stakeholder, yaitu pemerintah, LSM, pengusaha
perkebunan kelapa sawit, sehingga RSPO dilihat dari segi keberadaannya merupakan
lembaga intermediary dan memiliki aturan yang harus dipenuhi oleh anggota RSPO dalam
rangka mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Tentunya dengan
adanya RSPO, perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung diharapkan dapat
mentransformasikan dirinya dari perkebunan kelapa sawit konvensional menuju perkebunan
kelapa sawit yang modern. Pengertian perkebunan kelapa sawit yang modern dalam hal ini
adalah perkebunan kelapa sawit yang memiliki perhatian penuh dalam memberikan dampak
positif bagi masyarakat di sekitarnya dengan tidak mengurangi kualitas lingkungan secara
signifikan.
Pengenalan tanaman kelapa sawit di Indonesia diawali pada tahun 1848 melalui
pengembangan tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor dan mulai dikembangkan sebagai
tanaman penghasil minyak sawit pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu di Pulau Sumatra oleh
maskapai Huileries de Sumatra. Sejak saat itu pengembangan perkebunan kelapa sawit terus
berlanjut, pada tahun 1915 mencapai 2.715 ha. Pada masa penjajahan Jepang perkebunan
tersebut terbengkalai dan kemudian berkembang hingga pada tahun 1957 tercatat 103 ribu ha
dengan tingkat produksi 106 ribu ton dan produktivitas sebesar 1,9 ton CPO/ha. Hingga akhir
Pelita II sebagian besar pengembangan tanaman kelapa sawit masih diimplementasikan
dalam bentuk perkebunan besar pemerintah/swasta, baru sejak awal Repelita III 1979-1980
pemerintah mulai mengembangkan usaha perkebunan rakyat melalui pola PIR (Perkebunan
Inti Rakyat) yang kemudian berkembang juga melalui pola kemitraan lainnya.
Perkembangan luas areal kebun kelapa sawit selama dua dekade terahir menunjukkan
pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu dari 290.000 ha pada tahun 1980 menjadi
5.597.000 ha pada taun 2005 dan sekitar 8 juta ha pada tahun 2009. Hal yang menonjol
adalah perkembangan perkebunan rakyat cukup pesat yaitu sekitar 6000 ha pada tahun 1980
menjadi 1.917 .000 ha pada tahun 2005 atau tumbuh 27,1 % /tahun.
Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang diperlukan
sebagai kegiatan pembangunan sub sektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor
pertanian. Perkembangan pada berbagai subsistem yang sangat pesat pada agribisnis kelapa
sawit sejak menjadi bukti pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit. Dalam dokumen
rencana kelola sosial yang dibuat oleh Departemen Pertanian digambarkan prospek
pengembangan agribisnis saat ini hingga tahun 2010, dan arah pengembangan hingga tahun
2025. Masyarakat luas, khususnya petani, pengusaha, dan pemerintah dapat menggunakan
dokumen tersebut sebagai acuan. Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak
hanya yang diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta.
Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.917. 000 ha (34,9%), perkebunan
negara seluas 677.000 ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 3.003.000 ha (52,8%).
Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6 juta.
Saat ini, pertumbuhan permintaan Crude Palm Oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah dunia
masih lebih tinggi dari pasokannya. Dengan kondisi ini, maka potensi pasar CPO masih
cukup tinggi dan industri nasional memiliki prospek kinerja yang cukup menjanjikan. Hingga
September 2009, ekspor CPO nasional telah mencapai 11,47 juta ton. Dengan asumsi ekspor
CPO nasional sebesar 1,2 juta sampai 1,3 juta ton per bulan, maka hingga akhir tahun ini
ekspor CPO akan mendekati angka 16 juta ton. Pada 2008 lalu ekspor CPO Indonesia
mencapai 14,7 juta ton. Jadi, hingga September 2009 ekspor CPO telah tumbuh sekitar 16
persen dibanding periode yang sama tahun 2008.
Oleh karena itu, berdasarkan data dari pemertintahan setempat, kami memutuskan
untuk mengembangkan wilayah perkebunan kelapa sawit di kabupaten ini. Syarat tumbuh
optimal kelapa sawit pun dapat dijangkau wilayah ini. Selain itu, di kabupaten ini masih
terdapat kawasan hutan Taman Nasional yang dapat dibuka untuk perluasan wilayah
perkebunan kelapa sawit dan memanfaatkannya pula sebagai wilayah agrowisata dari lahan
perkebunan ini. Dampak positif yang akan diterima dari perluasan wilayah perkebunan
kelapa sawit ini dapat dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung, misalnya dari
perluasan lahan akan membutuhkan banyak tenaga kerja, dan ketika perkebunan itu selesai
dibangun, maka akan banyak tenaga kerja yang terserap ke dalam perkebunan ini, serta
dampak langsung yang dapat dirasakan oleh pemerintah setempat adalah hasil pajak dari
wilayah perkebunan itu sendiri dan hasil pajak dari agrowisata wilayah yang dijadikan objek
wisata di kawasan ini.
Permintaan pasar akan Crude Palm Oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah dunia
yang melebihi pasokannya, terserapnya tenaga kerja produktif secara signifikan dan juga
semakin kondusifnya iklim investasi dari sisi regulasi dan politik, mendorong ekspansi
perkebunan kelapa sawit secara masif. Bahkan upaya mengkonversikan lahan sudah menjadi
kecenderungan dalam dasawarsa sepuluh tahun terakhir ini. Untuk menghindari degradasi
lingkungan secara berlebihan, RSPO yang beranggotakan berbagai pihak hadir untuk
mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan ini dapat
dilihat dalam 8 Prinsip di dalam RSPO, yaitu: (1) komitmen terhadap transparansi ; (2)
Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku ; (3) Komitmen terhadap ekonomi dan
kelayakan jangka panjang ; (4) Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan
pabrik ; (5) Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman
hayati ; (6) Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu dan komunitas dari kebun dan
pabrik ; (7) Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab ; (8) Komitmen
terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.
Dari masing-masing prinsip sebagaimana yang disebutkan diatas, diturunkan kembali ke
dalam sejumlah criteria-kriteria dengan indicator serta panduan yang jelas, sehingga dapat
dilihat bahwa RSPO memiliki aturan pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan. Dari keberadaan RSPO sendiri memiliki implikasi berantai, yaitu:
1. Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah memperoleh sertifikasi RSPO akan
dinilai bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki akuntabilitas terhadap aspek sosial
dan aspek lingkungan.
2. Preferensi pasar akan tergiring kepada Crude Palm Oil/minyak sawit mentah yang
“environmental friendly” dan akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi
pihak perusahaan.
3. Kualitas lingkungan dapat dimonitoring dengan alat monitoring yang terukur dan
dapat dibuktikan secara ilmiah.
4. Keterlibatan masyarakat dalam mendukung perkebunan kelapa sawit akan
memberikan keamanan investasi sekaligus juga memberikan manfaat positif bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit pada saat ini berbeda dengan perkebunan
kelapa sawit konvensional. Dalam perkebunan kelapa sawit konvensional, eksklusifitas
menjadi ciri yang utama, dimana masyarakat dan kondisi lingkungan di sekitarnya diabaikan.
Hal ini berbeda dengan perkebunan kelapa sawit modern yang bercirikan inklusifitas.
Masyarakat dan kondisi lingkungan menjadi faktor yang cukup dominan untuk
diperhitungkan dalam beroperasinya perkebunan kelapa sawit dan disinilah RSPO
memainkan peranan yang signifikan dalam menjadikan perkebunan kelapa sawit menjadi
perkebunan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Peta merupakan sarana pokok yang harus dimiliki oleh setiap wilayah/daerah, atau
dalam hal ini perusahaan perkebunan, untuk memungkinkan pelaksanaan tertib
penyelenggaraan administrasi dengan baik, yang mencakup luas areal, (Blok, Afdeling,
Estate, dan lain sebagainya), disamping peta juga mampu menunjukan posisi dan letak suatu
bangunan, juga kondisinya.
1. Fungsi Pemetaan
Secara umum fungsi peta dapat dikaitkan dengan berbagai macam kepentingan antara
lain: bidang pemerintahan, bidang hankam, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
Dalam hal pembuatan peta yang standar sesuai dengan kebutuhan harus memperhatikan
sebagai berikut :
Pertimbangan utama dalam penentuan jenis peta pada umumnya antara lain :
2. Persyaratan Pemetaan
Dalam sebuah peta harus memberikan gambaran secara jelas informasi-informasi yang
dibutuhkan sesuai dengan tingkat kebutuhan user, yang secara umum harus memuat, Legenda
(Keterangan simbol dan warna) juga garis lintang dan bujur yang disebut juga garis
astronomi. Garis Astronomi ini adalah garis khayal/abstrak pada globe atau peta yang
digunakan untuk mencari letak suatu tempat dimuka bumi yang terdiri dari garis Lintang
(Paralel) dan garis Bujur (Meridien)
a. Garis Lintang (Parelel) adalah garis abstrak yang melintang yang melingkari
permukaan bumi dan membagi bumi menjadi dua bagian yaitu Utara dan Selatan.
Garis Lintang 0º disebut juga garis khatulistiwa atau equator, jarak dari garis lintang
equator/khatulistiwa ke kutub utara yaitu dari 0º - 90º LU (North) dan jarak dari
khatulistiwa ke kutub selatan yaitu dari 0º - 90º LS (South)
b. Garis Bujur, adalah garis abstrak yang membujur dari kutub utara sampai ke kutub
selatan yang menunjukan pembagian daerah waktu, garis bujur utama adalah 0º
disebut juga garis meridien utama yang melalui kota greenwich (London Inggris),
jarak dari garis bujur 0º ke arah timur sejauh 180º BT (East) dan kearah barat
demikian juga sejauh 180º. Garis bujur utama ditetapkan sebagai tanda waktu utama
internasional (GMT/Greenwich Mean Time).
c. Legenda, adalah keterangan yang menunjukkan suatu tempat, waktu dan lain
sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu yang umum serta garis garis
yang membedakan batas dan satuan warna warna untuk membedakan ketinggian dan
kedalaman tempat.
d. Mata angin, adalah penunjuk arah atau orientasi yang menunjukan empat arah utama
yaikni Utara, Selatan, Timur dan Barat, serta 12 arah antara yang lainnya, alat yang
biasa digunakan untuk penunjuk arah ini adalah compass (kompas), tetapi pada setiap
perangkat GPS kompas sudah disediakan, dalam kompass arah jarum selalu
menunjukan ke arah utara-selatan sehingga arah lainnya dapat diketahui.
e. Skala peta adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak yang sebenarnya
dipermukaan bumi atau di lapangan, skala biasanya di nyatakan dengan angka atau
garis, misalnya 1 : 100.000 ini berati 1 cm di peta menunjukan jarak 100.000 cm atau
1 km di lapangan atau di pernukaan bumi (setiap 1 cm di peta di bagi 100.000 untuk
setiap km-nya)
f. Inset peta, adalah bagian dari peta yang digambarkan berupa peta kecil secara khusus
untuk membandingkan atau menggambarkan letak peta utama dalam peta
(lingkungan sekitarnya, misalnya kabupaten terhadap propinsi, areal kebun terhadap
kabupaten atau propinsi
METODOLOGI PEMETAAN
Pembuatan peta diperoleh dari peta-peta yang sudah ada, misalnya Peta Topografi dan
Peta Rupa Bumi Indonesia (BAKOSURTANAL), Peta RTRWK, dan lainnya. Secara
kartografis hasil yang didapatkan berupa peta turunan. Proses pemetaannya dilakukan dengan
mengkonversi peta menjadi data digital (melalui scanning maupun digitasi). Apabila skala
maupun sumbernya berbeda maka perlu dilakukan georeferensi terlebih dahulu untuk
penyamaan format data.
2. Pemetaan Alternatif
Melalui metode pengambilan data citra satelit, terutama untuk aplikasi tertentu
dengan spesifikasi khusus maka proses pemetaan dapat dilakukan dengan metode alternatif.
Dalam Pemetaan Alternatif ini metode pembuatan petanya di luar metode yang telah ada
dengan memanfaatkan tekhnologi tepat guna dengan teknik dan metoda yang disesuaikan
dengan kebutuhan.
Pada cara pemetaan ini sumber data utama yang digunakan adalah foto udara, Citra
Satelit, Ikonos, dengan skala berkisar pada skala wilayah yang akan dibuat. Peta yang
dihasilkan akan berupa peta digital sebagai peta dasar yang akan memuat berbagai macam
informasi yang dibutuhkan dan dapat di upgrade setiap saat oleh pemakai peta pada nantinya.
Metode alternatif ini bersifat sebagai pelengkap sumber data dimana ditujukan untuk
pengelolaan database, untuk itu berbagai macam informasi dalam tema-tema penataan batas
areal dapat digunakan metode peta tematik hasil turunan peta dasar yang dikompilasi dengan
sumber data dari citra satelit melalui hasil penafsirannya.
Dalam era kemajuan tehnologi yang serba komputerisasi, pembuatan peta tidak lagi
membutuhkan waktu yang lama, biaya yang tinggi dan akurasi yang sering dipertanyakan,
dan dengan tehnologi GIS pembuatan peta dapat cepat tersaji, tingkat akurasi yang baik, dan
tingkat koreksi yang kecil. Beberapa sistem pemetaan yang mendukung program dan sistem
GIS antara lain : Autocad Maping, Arc View, Arc Info, Map Info dan lain sebagainya. Data
dari lapangan berupa data digital GPS dapat di down load langsung serta dapat di overlaykan
dengan peta peta kerja lainnya, melalui langkah-langkah dalam proses pemetaan.
1. Proses Pemetaan
1. Penyediaan bahan antara lain; peta dasar, peta kerja yang selanjutnya
dilakukan digitasi serta data citra landsat liputan terbaru yang bersumber
dari LAPAN Jakarta.
2. Pembuatan peta penafsiran RBI dan citra landsat.
b. Pembuatan Peta
Sementara itu, ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa agrowisata adalah
usahatani yang pemasarannya berorientasi pada kegiatan yang berhubungan dengan
pelayanan pariwisata. Misalnya usaha penggemukan sapi atau budidaya sayur-sayuran yang
pemasaran hasilnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hotel atau restoran yang melayani
wisatawan. Di sini teknologi yang diterapkan adalah teknologi usahatani yang dapat
mencapai mutu produksi sesuai dengan permintaan hotel atau restoran. Jadi, agrowisata
merupakan salah satu bentuk kegiatan agribisnis.
Pada tahun 2000 sektor pariwisata memberikan kontribusi sebsesar Rp. 238,6 triliun
atau 9, 27% terhadap produk nasional dan kontribusi pariwisata mencapai 9,38% (Rp. 128,31
triliun) dari total PDB Indonesia sebesar Rp. 1.368 triliun (BPS 2001). Hal menarik yang
patut dikemukakan adalah bahwa pencapaian sebesar itu siperoleh melalui peranan investasi
kepariwisataan yang hanya mencapai 5,24% dari total investasi nasional. Sementara itu
peranan dalan penyediaan lapangan kerja mencapai 7, 36 juta orang atau 8,11 % dari total
lapangan kerja nasional sebesar 89,8 juta orang. Demikian juga dapat diungkapkan bahwa
penyediaan upah dan gaji dari sector pariwisata mencapai Rp. 40,09 triliun, 9,87% dari
penyediaan upah secara nasional sebesar Rp.406 triliun. Selain itu kontribusi pajak tak
langsung mencapai 8,29 % dari total pajak tak langsung sebesar Rp. 61 triliun
Sebagai gambaran, Tabel. 1 menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan internasional
di seluruh dunia yang dikumpulkan oleh WTO hingga hingga bulan Juni 2002. Dari Tabel. 1
tersebut, terlihat bahwa ada penurunan kunjungan wisatawan internasional yang terjadi pada
tahun 2001, terutama di: Amerika (-5,9%), Eropa (-0,6%), Timur Tengah (-3,1%)
Tabel. 1
Periode (1999-2001)
Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara pariwisata dan
pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan daya saing produk
pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari
komoditi ekspor non migas. Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang
dominan dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan
penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan terencana, baik
yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat yang dapat dikembangkan
sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.
1. Perkebunan
Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek dan
daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya merupakan kesatuan
yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan
atas pertimbangan bahwa setiap kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat
dijadikan daya tarik atau atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan,
penanaman, pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek
agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu, dan lain-lain.
Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun perkekbunan yang dijadikan
sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi, dengan kata lain luasnya sesuai izin atau
persyaratan objek agrowisata yang diberikan.
Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar,
seyogyanya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium, pengepakan
hasil, sarana dan prasarana.
2. Tanaman pangan dan Hortikultura
Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara lain
kebun bunga-bungaan, kebunbuah-buahan, kebun sayur-sayuran, kebun tanaman obat-
obatan/ jamu.
3. Peternakan
Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional dalam
pemeliharaan ternak, aspek kekhasan/ keunikan pengelolaan, produksi ternak, atraksi
peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh.
4. Perikanan
Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan potensi
sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan perikanan di
Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai obyek agrowisata.
Secara garis besar kegiatan perikanan dibagi menjadi kegiatan penangkapan dan kegiatan
budidaya, dan kegiatan tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi
obyek agrowisata seperti budidaya ikan air tawar, budidaya Air Payau (tambak), budidaya
laut (kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara)
Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, pertanian dan
pedesaan disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media
pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentanig
kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan
dan kelestarian alam.
Objek Agrowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang
luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena
keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Cara-cara bertanam tebu, acara panen
tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu merupakan
salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan. Cara pembuatan gula merah
kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada
wisatawan yang disamping mengandung muatan kultural dan pendidikan juga dapat menjadi
media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang
dihasilkan pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka
peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek Agrowisata yang bersangkutan, namun
pasar dan segala kebutuhan masyarakat.
Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan dan
dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah kebijakan yang
konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan Objek Agrowisata di era
globalisasi. Sesuai dengan keunikan kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan
setiap objek wisata dapat menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju.
Dalam pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang
teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.
Tabel diatas menunjukkan bahwa sumbangan sektor pertanian pada PDRB Kabupaten
Muko-Muko berada pada tingkat pertama, sektor ini masih menyediakan lapangan kerja yang
cukup besar bagi masyarakat. Sektor ini memberi sumbangan 50 persen atas PDRB dan
menyerap sekitar 44,79 persen angkatan kerja yang ada.
Dengan melihat tabel diatas, Kabupaten Muko-Muko berpotensi besar dalam bidang
agrowisata, yaitu dengan memanfaatkan potensi andalan Kabupaten Muko-Muko seperti
memanfaatkan hutan-hutan sebagai lahan camping, pengembangan peternakan untuk pasokan
daging ke hotel atau restoran, perkebunan kopi untuk trekking para wisatawan sambil
menikmati hamparan tetumbuhan kopi, trekking perkebunan cengkeh menyaksikan hamparan
pepohonan cengkeh milik petani-petani dengan diselingi nyiur, wisata pertanian, wisata
perhutanan dan perkebunan, wisata pengolahan hasil tanaman kopi dan objek-objek
agrowisata lain yang dapat dikembangkan di Kabupaten Muko-Muko.
Pada saat ini, pandangan tentang pertanian tampaknya dilihat dari dua kutub yang
berbeda. Saragih (2001) melihat sektor pertanian sebagai suatu kegiatan bisnis (agribisnis),
dan Mubyarto (l975 dan 2002) memandang kegiatan sektor pertanian sebagai way of life dari
masyarakat. Hal ini bermakna bahwa meskipun kegiatan disektor pertanian harus dipandang
sebagai kegiatan bisnis, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan di sektor pertanian
pada dasarnya masih merupakan bagian dari budaya dari kehidupan masyarakat setempat.
Untuk menghasilkan suatu rencana dan rancangan areal rekreasi yang baik, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, dipelajari dan dianalisis. Nurisjah dan Pramukanto
(1995) menyebutkan yaitu potensi dan kendala tersedia, potensi pengunjung, kebijakan dan
peraturan yang terkait dengan sumberdaya dan penggunannya, alternatif dan dampak dari
perencanaan dan pelaksanaan ulang dilakukan dan pemantauan hasil perencanaan dan
perancangan. Nurisjah dan Pramukanto (1995) menambahkan, terdapat hal-hal penting yang
perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan di antaranya sebagai berikut:
Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam fisik dan
hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk objek wisata alam.
Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula membutuhkan atraksi (Fandeli,
2001)
Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya,
flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di
Indonesia (Gunawan, 1997). Indonesia tercatat mendapatkan ranking ke-enam pada Top
Twenty Tourism Destinations in East dan The Pasific (WTO,1999).
Dalam paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata masal, yaitu
yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam
(Faulkner B., 1997), dan sekarang telah bergerak menjadi pariwisata baru, (Baldwin dan
Brodess, 1993), yaitu wisatawan yang lebih canggih, berpengalaman dan mandiri, yang
bertujuan tinggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan
alam dan pengalaman asli. Dalam usaha pengembangannya Indonesia wajib memperhatikan
dampak-dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah
sektor ekowisata termasuk juga agrowisata sebagai pariwisata alternatif yang oleh Eadington
dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat
yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya.
Low Choy dan Heillbronn, 1996 (dalam Aryanto, 2003), merumuskan lima faktor
batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :
Dari sisi kebutuhan pariwisata, pendidikan dan pelatihan harus dilakukan untuk
melakukan alih teknologi, menghadapi persaingan demi terwujudnya prinsip pariwisata
berkelanjutan. Keberhasilan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan tingkat pendidikan
masyarakat lokal. Oleh karenanya peningkatan akses dan mutu pendidikan bagi masyarakat
lokal menjadi sasaran dan tujuan yang sangat utama. (Ardiwidjaja: 2003)
Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik berkelanjutan
antara lain adalah lingkungan. Artinya industri pariwisata harus peka terhadap kerusakan
lingkungan, misalnya pencemaran limbah, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan
pemandangan yang diakibatkan pembalakan hutan, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak
sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Dengan kata lain aspek lingkungan lebih
menekankan pada kelestarian ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah, penggunaan
lahan, konservasi sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi kebisingan dan
gangguan visual.
Selain lingkungan, sosial budaya pun menjadi aspek yang penting diperhatikan.
Interaksi dan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan persentuhan
antarbudaya yang juga semakin intensif. Pariwisata merupakan salah satu kegiatan yang
memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta antarbangsa. Oleh karenanya
penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan
penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik. Aspek terakhir adalah
ekonomi. Penekanan aspek ekonomi lebih kepada Pemerataan Usaha dan Kesempatan Kerja,
Keberlanjutan Usaha, Persaingan Usaha, Keuntungan Usaha dan Pajak, Untung-Rugi
Pertukaran Internasional, Proporsi Kepemilikan Lokal, Akuntabilitas. (Ardiwidjaja: 2003)
National Geograpic Online dalam The Global Development Research Center (2002)
mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang memberikan
penerangan. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan (negara/ daerah yang
dikunjungi) tetapi juga belajar bagaimana menyokong kelangsungan karakter (negara/ daerah
yang dikunjungi) selama dalam perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi
dapat belajar (mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasa dapat menarik dan
dihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat
tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan karakter tempat
tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika dan ekologinya; (3)
Pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat. Pengusaha pariwisata melakukan
kegiatan yang terbaik untuk mempekerjakan dan melatih masyarakat lokal, membeli
persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat
lokal; (4) Pariwisata yang melindungi sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan
menyadari dan berusaha untuk meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air,
bahan kimia dan penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan
tradisi. Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit kata-
kata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat local belajar bagaimana memperlakukan/
menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka punya; (6)
Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder mengantisipasi tekanan
pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batas-batas dan teknik-teknik manajemen
untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to death) dari lokasi wisata. Stakeholder
bekerjasama untuk menjaga habitat alami dari tempat tempat warisan budaya, pemandangan
yang menarik dan budaya lokal; (7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas
(jumlah). Masyarakat menilai kesuksesan sector pariwisata ini tidak dari jumlah kunjungan
belaka tetapi dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman
yang diperoleh wisatawan; (8) Pariwisata ini merupakan perjalanan yang mengesankan.
Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk kemudian
disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka tertarik untuk
memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan menyediakan kegiatan di
lokasi tujuan wisata.
Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting dari
pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut mempunyai prakarsa
untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan kontrol/ pengawasan terhadap
perkembangan pariwisata tersebut; (2) Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang
berkualitas kepada dan dari masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus
dijaga) antara usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturan tentang perilaku yang
disusun untuk wisatawan pada semua tingkatan (nasional, regional dan setempat) yang
didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi pariwisata,
taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak komulatif pariwisata, dan
ambang batas perubahan yang dapat diterima merupakan contoh peraturan yang harus
disusun; (4) Terdapat program-program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta
menjaga warisan budaya dan sumber daya alam yang ada.
Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan tidak dapat dilepaskan kaitannya
dengan pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional. Pariwisata yang bersifat multisektoral merupakan fenomena
yang sangat kompleks dan sulit didefinisikan secara baku untuk diterima secara universal.
Sehingga menimbulkan berbagai persepsi pemahaman terhadap pariwisata, baik sebagai
industri, sebagai aktivitas, atau sebagai sistem.
Untuk itu maka perlu diperhatikan bahwa faktor yang menjadi penentu keberhasilan
penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance) yang melibatkan partisipasi aktif secara seimbang antara pemerintah, swasta,
dan masyarakat. Selanjutnya berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan di atas,
pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang
sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan memberi
peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
2) Karakteristik kependudukan/demografi
5) Sumberdaya buatan
Data tersebut dapat diperoleh melalui survei instansional, survei lapangan, interpretasi
citra dan peta, sedangkan penyajiannya dapat berupa peta dan tabel disesuaikan dengan skala
perencanaan.
Setelah kegiatan inventarisasi data wilayah kami lanjutkan dengan analisis wilayah ,
kegiatan yang dapat dilakukan oleh geografi meliputi :
3. Analisis geografi
4. Analisis ekonomi
5. Analisis fisik/daya dukung lingkungan
Penyajian informasi rencana tata ruang wilayah diwujudkan dalam bentuk peta-peta
hasil rumusan rencana yang diperoleh atas dasar studi kompilasi data dan analisis data
wilayah
Peran dalam Pelaksanaan Tata Ruang Wilayah
Materi kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Lingkungan, PROF.Dr. Suratman Woro, M.Sc.,
Universitas Gajah Mada
About Agritourism at http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp
Agricultural Tourism Small Farm Center and Partners Launch Agricultural Tourism Project
at http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/agritour.html
Gunawan M.P. 1997. Tourism in Indonesia: Past, Present and Future. Planning Sustainable
Tourism. ITB. Bandung
Lindberg K. dan Hawkins E.D, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan
Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont
Lobo, R.E., Goldman G.E. and others. 1999. Agricultural Tourism: Agritourism Benefits
Agriculture in San Diego County, California Agriculture, University of California.
Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP. Budidaya Kelapa Sawit, Irian Jaya: Balai
Informasi Irian Jaya. 1992.
Google Earth ©2009
http://ejournal.unud.ac.id
http://digilib.its.ac.id/ITS-Master-3100009035126/5257
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit
http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ppua0150.pdf
http://sultra.tripod.com/