Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN INVESTASI BARU UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh : Adhy Basar 1 )

Beberapa bulan belakangan perbincangan mengenai persetujuan Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanaman Modal yang diajukan
pemerintah banyak mendapat berbagai tanggapan baik yang sifatnya mendukung dan
menaruh harapan besar terhadap perkembangan iklim investasi maupun pihak yang kurang
setuju yang mengkhawatirkan semakin tertekannya perekonomian rakyat. Kekhawatiran
tersebut antara lain disebabkan kebijakan yang memberikan kebebasan yang besar
terhadap pihak asing untuk mengeksplorasi potensi sumber daya yang ada. UU Penanaman
Modal tersebut diikuti dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 tahun 2007 yang
berisi kebijakan percepatan pengambangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro,
kecil dam menengah sehingga diharapkan adanya sinergi dalam memperbaiki permalahan
yang terjadi di sektor riil.

Sebelum kita melihat dampak dari UU Penanaman Modal terhadap peningkatan


investasi, perlu kiranya kita melihat kondisi investasi yang melatarbelakangi
dikeluarkannya UU Penanaman Modal tersebut. Sepanjang lima tahun terakhir (2001-2006)
tingkat investasi langsung -baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun
Penanaman Modal Asing (PMA)- menunjukkan pertumbuhan yang relatif kecil dan masih
bersifat fluktuatif. Rata-rata pertumbuhan investasi sepanjang periode tersebut hanya
sekitar 6,5% dengan kontribusi rata-rata sekitar 21% terhadap PDB. Rasio tersebut masih
dinilai kurang ideal dalam menggerakkan perekonomian yang berkualitas khususnya
terhadap tingkat penggangguran dan kemiskinan suatu negara. Pada tahun 2007, dengan
pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,3%, investasi diharapkan dapat
bertumbuh sebesar 12% atau investasi senilai ± Rp 900 triliun.

Tabel 1
Perkembangan kontribusi investasi terhadap PDB
(harga konstan tahun 2000)
konsumsi Investasi Ekspor Impor
100%
441 422 429 545 612 667
80%

573 566 600 680 739 832


60%
294 308 309 355 390 401
40%

20% 984 1,031 1,078 1,130 1,180 1,224

0%
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia BI

1
Analis Riset Bisnis dan Ekonomi pada Bank BUMN di Jakarta

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 1


Sepanjang 1990-Maret 2007 tingkat realisasi proyek PMDN belum menunjukkan
kondisi yang membaik, baik dari jumlah proyek yang ada maupun dari nilai proyek yang
terealisasi dibandingkan dengan rencana investasi yang ada. Tingkat realisasi jumlah
proyek hanya mencapai 53% untuk PMDN dan 44% untuk PMA. Kondisi tersebut juga
berdampak terhadap nilai realisasi proyek yang hanya sebesar 21% untuk PMDN dan 29%
PMA. Rendahnya tingkat realisasi tersebut tidak secara langsung dapat dibanding
terhadap tahun yang bersangkutan mengingat jangka waktu realisasi menurut BKPM
adalah 3 tahun sehingga memiliki time lag dalam pelaksanaanya. Relatif rendahnya tingkat
realisasi proyek dibandingkan persetujuan investasi mengindikasikan masih adanya
keengganan investor untuk merealisasikan proyeknya walaupun telah mendapat
persetujuan dari pihak terkait.

Grafik 1. Perkembangan jumlah proyek persetujuan dan realisasi


jumlah proyek PMDN dan PMA
Jumlah proyek
2,000 Pe r s e tujuan PM DN
Re alis as i PM DN
Pe r s e tujuan PM A
1,600 Re alis as i PM A

1,200

800

400

-
1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007
Grafik 2. Perkembangan nilai persetujuan dan realisasi PMDN dan PMA
Rp miliar US$ juta
200,000 Pe rs e tujuan PM DN 50,000
Re alis as i PM DN
Pe rs e tujuan PM A
160,000 Re alis as i PM A 40,000

120,000 30,000

80,000 20,000

40,000 10,000

- -
1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Catatan: - hanya sampai Maret 2007


- PMA skala kiri (nilai investasi)
Sumber : BKPM

Pemerintah menilai bahwa untuk meningkatkan investasi langsung di Indonesia


perlu adanya perubahan iklim investasi yang diharapkan dapat dicapai dengan melakukan
langkah awal berupa kebijakan investasi yang komprehensif dalam memperbaiki iklim
investasi di tengah semakin membaiknya berbagai indikator ekonomi makro sepanjang 2
tahun terakhir. Dibandingkan negara ASEAN lainnya khususnya yang memiliki struktur

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 2


ekonomi yang relatif sama seperti Thailand, Philippina, Vietnam dan Malaysia, iklim
investasi di Indonesia masih tertinggal dalam hal menarik minat para investor untuk
melakukan penanaman modalnya. Menurut Doing Business 2007-World Bank Report,
peringkat Indonesia mengenai iklim investasi mengalami penurunan dari peringkat 131
pada 2006 menjadi peringkat 135 (dari 175 negara), Ini mengindikasikan perbaikan iklim
investasi yang dilakukan Indonesia belum sebaik negara lainnya. Dengan kondisi iklim
investasi yang kurang kompetitif tersebut sulit bagi Indonesia untuk menarik para
investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Permasalahan dalam penciptaan iklim investasi di Indonesia dinilai cukup kompleks


dan saling terkait. Apabila kita menggunakan indikator Doing Business 2007 sebagai
perbandingan dalam melihat kemudahan berinvestasi di suatu negara, terutama terhadap
indikator iklim usaha, kepastian hukum, perpajakan, tenaga kerja, jasa keuangan maka
posisi iklim investasi di Indonesia masih belum menunjukkan hal yang menggembirakan.
Dari 11 indikator Doing Business (Ease of Doing Business, Starting Business, Employing
Workers, Registrting Propety, Paying Taxes, Enforcing Contract, Dealing With License,
Getting Credit, Protecting Investors, Trading Across Borders and Closing Business) yang
ada, posisi Indonesia dibandingkan 5 negara ASEAN (Malaysia, Philippina, Singapura,
Thailand dan Vietnam) masih yang terbawah untuk 6 indikator pertama. Dengan hasil
tersebut menunjukkan masih banyak persoalan yang harus dibenahi untuk dapat menarik
investor melakukan investasi di Indonesia.

Langkah pemerintah dengan menyusun Undang-undang Penanaman Modal dan


telah mendapat persetujuan DPR pada Maret 2007 dinilai suatu langkah maju dalam
menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. Beberapa aspek dari UU No 25
tahun 2007 tanggal 26 April 2007 mengenai Penanaman Modal yang perlu mendapat
perhatian antara lain mengenai persamaan perlakuan investor lokal/dalam negeri dengan
investor asing luar negeri dan kebijakan transfer yang diperluas disamping beberapa aspek
antara lain mengenai kepastian dan kemudahan usaha serta kebijakan keringanan
perpajakan terhadap sektor usaha yang dianggap layak mendapat insentif pajak tersebut.

Secara garis besar UU Penanaman Modal tersebut menjanjikan perbaikan iklim


investasi dengan perbaikan di berbagai aspek baik yang menyangkut investor asing dan
dalam negeri, tenaga kerja, pengembangan UMKM, fasilitas terhadap penanaman modal,
kemudahan perizinan dan pelayanan, reposisi BKPM dan Kawasan Ekonomi Eksklusif (KEK).
Dengan kompleksitas aspek yang ingin diperbaiki tersebut perlu adanya penyusunan skala
prioritas dan target penyelesaian permasalahan dengan berbagai peraturan turunannya
yang terkait dengan aturan teknis pelaksanaannya. Disamping mengeluarkan UU
Penanaman Modal tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.
6 tahun 2007 mengenai kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 3


pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah yang salah satunya berisi pengaturan
lebih lanjut terhadap UU Penanaman Modal yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Inpres No 6. tahun 2007 dikeluarkan untuk meningkatkan kondisi sektor riil yang
dianggap belum bertumbuh dengan baik sehingga dapat menjadi penggerak terhadap
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Inpres ini terbagi atas 4 permasalahan besar yang
memiliki dampak signifikan terhadap sektor riil yaitu perbaikan iklim investasi, reformasi
sektor keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan UMKM.
Ketiga permasalahan tersebut memiliki keterkaitan yang cukup erat dan diharapkan
menciptakan sinergi dalam percepatan kondisi sektor riil. Inpres ini berbentuk program
yang memiliki jangka waktu penyelesaian dan pejabat yang menjadi PIC (Person In Charge)
yang mencakup berbagai level dari Menteri Keuangan hingga bupati/walikota di daerah
tingkat II.

Perbaikan iklim investasi mencakup perbaikan kelembagaan yang antara lain


memuat perbaikan di bidang investasi melalui mekanisme peraturan perundangan,
percepatan proses pendirian perusahaan dan izin usaha, peningkatan ekspor dan investasi
serta perbaikan sistem informasi investasi secara on-line. Berbagai langkah tersebut
bertujuan dapat menyelesaikan distorsi investasi yang dirasakan oleh investor khususnya
terhadap kemudahan berinvestasi yang dirasakan kurang bersaing dari negara ASEAN
lainnya. Disamping perbaikan kelembagaan, pemerintah juga memandang perlunya
sinkronisasi peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah mengenai investasi dan
sektor riil. Sinkronisasi tersebut sangat diperlukan agar investor lebih mudah memenuhi
persyaratan dan menghindari ekonomi berbiaya tinggi. Dari sisi pemerintah, adanya
keselarasan antara kebijakan pusat dan daerah akan meningkatkan efektivitas dan
percepatan implementasi kebijakan di level teknisnya. Saat ini terdapat lebih dari 100
peraturan di tingkat daerah yang mengarah kepada ekonomi biaya tinggi sehingga
mengurangi daya saing dalam menarik investor.

Seiring kebijakan terhadap kelembagaan tersebut, perbaikan terhadap arus barang


dan kepabeanan juga terus dilakukan. Perbaikan tersebut dilaksanakan secara menyeluruh
mulai dari pelayanan, pengembangan fasilitas hingga proses pengawasannya. Perbaikan
tersebut diharapkan meningkatkan efektivitas arus barang dan kepabeanan khususnya
terhadap aturan yang dirasakan terlalu panjang dan kurang transparan. Kondisi yang ada
saat ini masih menimbulkan banyak pungutan terhadap pengusaha dalam melakukan
proses ekspor impor. Dengan terciptanya kelancaran proses ekspor impor tersebut
diharapkan dapat meningkatkan ekspor yang sepanjang 5 tahun terakhir rata-rata
bertumbuh 7,9% dengan pertumbuhan pada 2006 mencapai 12,6%. Disamping
meningkatkan ekspor, kebijakan mempermudah proses impor diharapkan juga akan

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 4


berdampak pada pertumbuhan impor bahan baku dan barang modal yang dapat
membantu proses produksi di dalam negeri.

Kebijakan perpajakan juga mendapat perhatian dengan adanya peningkatan


pelayanan perpajakan, Good Corporate Governance dan melindungi Hak Wajib Pajak.
Percepatan penyelesaian restitusi tersebut dapat membantu pengusaha dalam cashflow
proses produksinya. Peningkatan kualitas layanan pegawai Dirjen Pajak secara langsung
meningkatkan kepercayaan wajib pajak kepada sistem pajak yang transparan disamping
akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Sebagai pendukung sektor riil, sektor keuangan juga dibenahi. Pembenahan di


sektor keuangan meliputi stabilisasi sistem keuangan, pembenahan terhadap lembaga
keuangan perbankan dan lembaga keuangan bukan bank serta pasar modal. Ketiga
pembenahan tersebut bertujuan meningkatkan fundamental ekonomi sehingga adaptif
terhadap perkembangan perekonomian internasional yang disertai sistem yang kuat
dalam menghadapi goncangan ekonomi global melalui macro early warning system.

Sebagai salah satu kendala utama dalam percepatan perkembangan sektor riil,
sektor infrastruktur dan UMKM juga dibenahi melalui program yang komprehensif.
Pembenahan infrastruktur diharapkan dapat direalisasikan secara komprehensif dan
berkesinambungan mengingat dukungannya terhadap terciptanya sarana pendukung
produksi dan distribusi sangat penting. Jaminan pemerintah terhadap beberapa
pembangunan infrastruktur dinilai sebagai langkah maju untuk menarik minat investor
disamping telah dilaksanakannya infrastructure summit yang menjembatani proyek yang
bernilai ekonomis tinggi dan investor yang berminat untuk melakukan pembangunannya.

Tabel 2

Posisi UMKM terhadap perekonomian nasional


2004 2005 2006
Kontribusi UKM thd PDB (%)
Kecil 39.2% 39.4% 39.3%
Menengah 17.0% 17.1% 16.6%
Besar 43.9% 43.5% 44.1%
Nilai investasi (Rp miliar)
Kecil 70,902.4 81,787.4 85,625.1
Menengah 81,388.7 93,197.5 97,089.3
Besar 202,270.1 214,772.4 221,892.3
Penyerapan tenaga kerja (juta orang)
Kecil 69.2 79.00 80.93
Menengah 6.3 4.2 4.48
Besar 2.6 3.2 3.39
Ekspor (Rp. Miliar)
Kecil 24.4 28.1 30.3
Menengah 71.1 82.3 91.9
Besar 508.7 604.4 656.1

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 5


Sektor UMKM per April 2007 memberikan kontribusi sekitar 52% terhadap
penyaluran kredit nasional. Kondisi tersebut dinilai masih rendah mengingat jumlah pelaku
usaha UMKM mencapai diatas 90% dari total pelaku usaha. Indikator lain adalah kontribusi
UMKM terhadap PDB (harga konstan 2000) yang mengalami penurunan dari 56,48% pada
2005 menjadi 55,92% pada 2006. Selain itu Loan to Output Ratio (LOR) UMKM dari 38%
pada 2005 menjadi 20% pada 2006. Penurunan tersebut mengindikasikan adanya
permasalahan di segmen UMKM sehingga perbankan cenderung kurang ekspansif terhadap
segmen UMKM. Pemerintah menilai potensi pengembangan ekonomi segmen UMKM masih
cukup besar disamping penyerapan tenaga kerja yang cukup besar pula. Fokus
pengembangan UMKM adalah peningkatan akses dan kemudahan pembiayaan serta
membantu membuka peluang pasar terhadap produk UMKM. Permasalahan pembiayaan
menjadi permasalahan utama mengingat persyaratan yang cukup ketat dari institusi
keuangan khususnya perbankan terhadap pemberian kredit terhadap UMKM, disamping
perlunya peningkatan kualitas manajemen UMKM. Dengan adanya program pemerintah
tersebut diharapkan pertumbuhan segmen UMKM tersebut dapat menjadi motor
terhadap pertumbuhan sektor riil.

Dengan adanya paket kebijakan yang meningkatkan iklim investasi dan percepatan
pertumbuhan sektor riil tersebut, para pelaku ekonomi diharapkan dapat merespon
dengan positif sesuai kepentingannya masing-masing. Setelah mengeluarkan paket
kebijakan, pemerintah diharapkan sesegera mungkin mengeluarkan peraturan pelaksanaan
yang mengatur teknis operasional dan melakukan sosialisasi kepada dunia usaha sehingga
dunia usaha dapat merencanakan langkah strategi bisnisnya. Peraturan pelaksanaan teknis
tersebut diharapkan telah sejalan dengan kebijakan daerah untuk menghindari adanya
penerapan aturan yang bertentangan yang akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Sektor perbankan sebagai salah satu penggerak sektor riil dalam hal
pembiayaannya diharapkan dapat meningkatkan fungsi intemediasinya dengan
memanfaatkan peluang terhadap sektor yang selama ini belum optimal dibiayai. Inovasi
perbankan terhadap produk dan pemasaran agar terus ditingkatkan mengingat banyak
sektor yang potensial membutuhkan persyaratan berbeda dari sektor yang selama ini
dibiayai perbankan disamping perlunya peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia
(SDM) bankir terhadap sektor-sektor potensial tersebut. Inovasi tersebut juga ditujukan
terhadap UMKM terutama mengenai persyaratan pinjaman yang selama ini dinilai masih
cukup ketat.

Pemerintah telah mengambil langkah maju dengan adanya paket kebijakan


ekonomi tersebut diatas dan diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah utama
iklim investasi dan prospek usaha di Indonesia. Baik investor dalam negeri maupun asing
dapat mulai memperhitungkan Indonesia sebagai pilihan dalam membuka usaha ataupun

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 6


memperluas usahanya. Kemudahan usaha dan prospek pasar Indonesia menjadi daya tarik
utama bagi investor untuk ekspansi usahanya. Konsistensi pemerintah dalam melaksanakan
berbagai kebijakan tersebut menjadi faktor penting terutama dalam hal kecepatan
implementasi kebijakan yang telah direncanakan tersebut mengingat adanya agenda
Pemilu yang sedikit banyak akan mengurangi fokus pemerintah. Kita semua berharap agar
sasaran kebijakan yang telah dibuat tersebut dapat tercapai sehingga pertumbuhan
ekonomi yang dimotori investasi dan ekspor dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan kesejahteraan dengan terciptanya lapangan kerja yang luas. ***

Lampiran

Daftar perbaikan aspek investasi UU No 25 tahun 2007


Aspek UU No 25 tahun 2007 Dampak
Perluasan sektor Seluruh sektor usaha dibuka kecuali yang Meningkatkan sektor usaha yang selama belum optimal.
usaha dilarang
Kepastian hukum -Perlakuan sama antara penanaman modal dalam -Investasi asing dan dalam negeri menciptakan persaingan yang
negeri dan asing sehat
-Kebijakan tidak dilakukan nasionalisasi -Kepastian investasi lebih terjamin
Kemudahan transaksi -Kebebasan transfer dan repatriasi valas -Mempermudah pengelolaan arus penanaman modal
Tenaga kerja -Mengutamakan tenaga kerja lokal -Meningkatkan lapangan kerja lokal
-Transfer pengetahuan dan teknologi kepada -Meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal
tenaga kerja lokal
Pengembangan -Bidang dan pengembangan usaha yang terkait -Melindungi UMKM dan koperasi dari persaingan dengan
UMKM dengan prospek UMKM dan koperasi korporasi.
Fasilitas penanaman -Kriteria penanaman modal yang mendapatkan -Meningkatkan sektor usaha yang belum tereksplorasi optimal.
modal fasilitas penanaman modal
-Jenis insentif penanaman modal baik berupa -Meningkatkan efisiensi investor dalam proses penanaman
keringanan/pembebasan pajak, bea masuk dan modal terhadap kriteria yang dimaksudkan.
penyusutan yang dipercepat
Kemudahan perizinan -Hak atas tanah baik HGU, HGB dan HP yang -Memberikan kepastian investasi terhadap sektor dengan
dan pelayanan cukup panjang jangka waktunya pengembalian investasi yang cukup panjang jangka waktunya
-Fasilitas pelayanan keimigrasian yang cukup -Memberikan kemudahan investor asing dalam melakukan
longgar perencanaan dan pelaksanaan investasinya.
-Fasilitas perizinan impor terhadap relokasi ke -Mendorong relokasi pabrik ke Indonesia dan produksi dalam
Indonesia dan bahan baku untuk kebutuhan negeri yang berbahan baku/modal impor
produksi sendiri
Pelayanan terpadu -Pelayanan perizinan usaha penanaman modal -Mempermudah invetor dalam memperoleh perizinan investasi
penanaman modal hanya melalui satu pintu
dan fungsi BKPM -BKPM sebagai koordinator pelaksanaan -Memberikan kejelasan kepada investor mengani fungsi BKPM
kebijakan dan pelayanan penanaman modal
Kawasan Ekonomi -Pengembangan wilayah yang berprospek -Menggali potensi KEK
Khusus (KEK) menjadi KEK

Economic Review ● No. 208 ● Juni 2007 7

Anda mungkin juga menyukai