Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS PEMASARAN POLITIK

Secara sederhana branding dapat diartikan sebagai “pemberian merk” terhadap suatu
produk dengan tujuan untuk menanamkan kesan yang tidak terhapuskan (indelible
impression) dari benak konsumen.

Secara etimologis branding berasal dari kata brand yang sering diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman dan asosiasi yang berhubungan dengan pelayanan, orang atau
entitas lain. Belakangan brand juga diartikan sebagai asesoris kultural dan filosofi
personal.

Brand merupakan identitas atau kepribadian yang mengidentifikasi sebuah produk,


layanan atau lembaga ke dalam bentuk nama, tanda, simbol, design atau kombinasi di
antara hal-hal itu, dan bagaimana identifikasi itu berhubungan kepada konstituen kunci
seperti pasar, anggota, funding, dan lain-lain.

Brand juga dapat diterjemahkan sebagai totalitas pengetahuan konsumen tentang apa
yang diketahui, dipikirkan, dirasakan dan diasosiasikan tentang suatu produk dan jasa
atau suatu lembaga.

Brand biasanya dibagi menjadi dua, yakni brand experience dan brand image. Brand
experience merupakan pengalaman yang dimiliki pasar atau konsumen atas kontak yang
mereka lakukan terhadap merk. Sementara brand image menyangkut pada persoalan
psikologis, yakni bangunan simbolik yang tercipta di dalam pikiran pasar atau konsumen
yang terdiri dari keseluruhan informasi dan harapan yang sering diasosiasikan dengan
produk atau jasa sebuah merk. Brand image sering dihubungkan dengan pemikiran, citra,
perasaan, persepsi, keyakinan atau sikap.

Brand menyangkut dari hal besar sampai yang paling detil dari sebuah produk atau jasa;
dari karakter personal hingga huruf dan warna logo yang digunakan, dan dari yang
berbentuk fisik hingga non-fisik. Karena itu ada pakar yang menyatakan bahwa brand
merupakan payung (umbrella) dalam marketing, karena brand manungi setiap hal detil
pada strategi marketing.

Sementara itu branding adalah keseluruhan aktivitas untuk menciptakan brand yang
unggul (brand equity), yang mengacu pada nilai suatu brand berdasarkan loyalitas,
kesadaran, persepsi kualitas dan asosiasi dari suatu brand. Branding bukan hanya untuk
menampilkan keunggulan suatu produk, namun juga untuk menanamkan brand ke dalam
benak konsumen.

Dalam panggung politik, branding sering kali hanya diartikan sebagai tindakkan
pencitraan atau pembangunan image terhadap kandidat, yakni pada karakter personal
kandidat. Branding lebih dari itu.
Dalam penelitian ini branding politik diartikan sebagai semua pengalaman, aktivitas dan
unsur psikologis dalam menciptakan brand politik yang unggul, unik, menarik dan
mampu memberikan pengaruh ke dalam benak konsumen.

Pada pembangunan branding politik yang baik, prasyarat teknis yang harus dipenuhi
adalah penyampaian pesan secara jelas dan komunikatif, mempertegas kredibilitas diri,
hubungkan target market yang prospektif kepada brand secara emosional, memotivasi
target market, membangun loyalitas target market secara berkesinambungan. Di samping
itu, untuk meraih sukses dalam branding, kandidat mesti memahami kebutuhan dan
keinginan pasar dan bagaimana prospeknya. Hal ini dilakukan dalam setiap kontak
dengan publik.

Mengutip Joko Santoso*, ada lima tahap strategi branding yang aplikatif dalam branding
politik kandidat, yakni Pertama, Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini kandidat
memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Hasil pada tahap ini adalah pemilih “tahu”
dan sadar akan keberadaan kandidat.

Kedua, Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya
pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap kandidat. Hasil dari tahap ini adalah pemilih
sudah tahu akan eksistensi kandidat sekaligus mulai memahami maksud politik dan
program kandidat.

Ketiga, Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai
membandingkan antara kandidat dengan kandidat yang lain dengan memberikan persepsi
yang positif kepada kandidat dibanding kepada kandidat lain. Tahap ini sekaligu
menunjukan tingkat keberhasilan positioning yang dilakukan kandidat.

Keempat, Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka
terhadap kandidat dan berniat akan memilihnya pada saat pemilihan. Jika seorang
kandidat sudah memasuki tahap ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang
posisinya sudah memasuki wilayah aman tahap satu. Namun yang mesti diingat, rasa
suka seseorang masih bisa dipengaruhi bahkan dirubah dengan berbagai kondisi yang
datang kemudian

Kelima, Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada kandidat
yang akan dipilihnya. Pemilih sudah memiliki keyakinan yang kuat untuk mendukung
dan memilih kandidat dan tidak akan memilih kandidat lain.
Bahan Bacaan:

Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008).

http://en.wikipedia.org/wiki/Brand, Tanggal 26 November 2010.

http://marketing.about.com/cs/brandmktg/a/whatisbranding.htm, Tanggal 26 November


2010.
4 P’s Dalam Marketing Politik
Sebagaimana dalam bisnis, 4 P’s atau marketing mix dalam politik juga terdiri dari unsur
product, promotion, price dan place. Keempatnya dapat digunakan untuk melakukan
analisis terhadap sumber daya kandidat dan juga analisis terhadap pemilih.

a. Product

Product yang ditawarkan dalam marketing politik berbeda dengan marketing komersial
karena lebih kompleks, dimana pemilih akan menikmatinya setelah partai atau kandidat
terpilih.

Seorang kandidat atau sebuah partai yang ingin memperoleh kemenangan tidak bisa
melepaskan persoalan image; pakaian, sikap, pernyataan, dan tindakan kandidat dapat
membentuk kesan di benak pasar. Istilah yang sering digunakan untuk membentuk image
bagi sebuah produk adalah konsep produk. Tema utamanya adalah dengan membangun
“unique selling proposition” atau “promised benefit” dari sebuah produk.

Kandidat atau partai harus cermat dalam memilih konsep produk yang akan dipasarkan.
Apakah kandidat atau partai ingin diasumsikan sebagai reformer, negarawan yang bijak
atau figur yang cerdas, bergantung pada sumber daya kandidat, kebutuhan pasar dan
kondisi oponen. Konsep produk bukan sekedar sebuah slogan; konsep produk
menyangkut semua kebutuhan dalam implementasi kampanye politik yang mencakup
koalisi yang dibentuk, pernyataan yang dibuat, penampilan di depan publik, dan berbagai
hal lain.

Pasar atau pemilih mencari sesuatu dari kandidat; umumnya mereka mencari janji atau
jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi. Kandidat atau parpol harus menyerap
pesan-pesan yang ada di tengah pasar untuk kemudian mengemas pesan pasar itu menjadi
sebuah konsep produk. Kandidat tidak perlu membuat sebuah konsep yang ideal, tapi
cukup dengan membuat konsep yang dapat menjadikannya berada di posisi terbaik untuk
menawarkan produknya dibanding kandidat lain.

Niffenegger, dalam Firmanzah, membagi produk politik dalam tiga kategori; Pertama,
Platform partai atau kandidat yang berisi konsep, ideologi dan program kerja. Kedua,
Post record atau catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lalu dalam pembentukan
sebuah produk politik. Ketiga, Karakteristik personal seorang kandidat atau sebuah partai
dalam memberikan citra, simbol dan kredibilitas produk politik.

Henneberg menyatakan produk politik mencakup; (1) Atribut personal, seperti


karakteristik kandidat; (2) Maksud politik, seperti isu-isu politik tertentu yang
dikomunikasikan kandidat; (3) Kerangka ideologis (ideological framework), seperti
kepercayaan dan sikap kandidat.

Produk politik dalam penelitian ini mencakup; Pertama, Karakter personal atau brand
image kandidat, yang mencakup karakter fisik dan non-fisik kandidat; Kedua, Platform
kandidat, yang meliputi ideologi, konsep dan program kerja kandidat; Ketiga, Track-
record kandidat, terutama dalam soal kepemimpinan dan kenegarawanan.

Produk politik bersifat tidak nyata, sangat terkait dengan sistem nilai, harapan, visi, dan
kepuasan masyarakat. Produk politik ini nantinya akan dipropagandakan melalui iklan
politik lewat berbagai media yang dibutuhkan. Kunci sukses dalam menawarkan dan
menjual produk politik kepada pasar adalah dengan melakukan unique selling point dan
unique selling proposition produk. Unique selling point merupakan nilai unik yang
dimiliki produk yang mempunyai keunggulan berbeda dari produk lain dan mempunyai
daya jual. Misalnya, jika ideologi keagamaan atau nasionalisme sudah dianggap sebagai
idelogi yang klise oleh pasar, maka kandidat bisa menampilkan ideologi baru berupa
nasionalisme-religius. Karena belum ada di tengah political marketplace, maka ideologi
ini unik dan berbeda. Unique selling proposition merupakan keunikan penampilan
produk. Misalnya, jika ideologi keagamaan selalu ditunjukan dengan menggunakan
atribut sorban, kerudung atau salib, sementara ideologi nasionalisme selalu ditunjukan
menggunakan atribut bendera merah-putih, maka ideologi nasionalisme-religius
ditunjukan dengan menggunakan atribut setelan safari dengan peci hitam.

b. Price

Price atau harga dalam marketing politik menyangkut banyak hal, mulai dari ekonomi,
psikologis sampai ke citra nasional. Harga ekonomi menyangkut semua biaya yang
dikeluarkan untuk membayar iklan, publikasi, rapat-rapat, hingga biaya administrasi.
Harga psikologis menyangkut pada harga persepsi psikologis seperti kenyamanan
pemilih dengan latar belakang (agama, ras, pendidikan, etnis, dan lain-lain) yang dimiliki
oleh seorang kandidat. Harga citra nasional berkaitan dengan kepuasan pemilih terhadap
citra positif kandidat.

Menurut Niffenegger, harga politik dalam marketing politik adalah bangunan psikologis
yang dibentuk oleh perasaan pemilih atas harapan dan ketidaknyamanan nasional,
ekonomi dan psikolog.

Perbedaan antara harga dalam marketing politik dengan marketing komersial adalah tidak
dikenakannya biaya kepada pasar dalam proses pembelian produk politik. Sebagai
contoh, pemilih tidak akan dipungut biaya ketika melakukan pemilihan di dalam bilik
suara.

Harga (price) dalam penelitian ini adalah; (1) harga ekonomi, yakni biaya yang
dikeluarkan dan didapat dalam proses kampanye politik kandidat, dan biaya yang didapat
pemilih dari kandidat; (2) harga psikologis, yakni kepuasan dan rasa saling
menguntungkan yang didapat kandidat dan pemilih; (3) harga politis, yakni nilai-nilai
politis yang didapat kandidat dan pemilih dalam transaksi yang dilakukan.
c. Place

Place atau tempat berkaitan dengan cara hadir atau distribusi parpol atau kandidat politik
dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Place dalam marketing
politik bisa berbentuk roadshow, kampanye, safari politik, temu kader, dan lain
sebagainya. Place diartikan pula sebagai distribusi jaringan yang berisi orang dan
institusi yang terkait dengan aliran produk politik kepada masyarakat secara luas,
sehingga masyarakat dapat merasakan dan mengakses produk politik dengan lebih
mudah.

Menurut Henneberg, place merupakan distribusi kandidat sebagai pengganti produk


melalui even-even kampanye, pengerahan massa atau tatap muka kepada massa. Dan
distribusi grassroot yang memberikan dukungannya melalui kampanye atau penyebaran
selebaran dalam kampanye yang dilakukan kandidat.

Place dalam penelitian ini adalah lokasi atau distribusi yang menyangkut pada persoalan
di mana produk politik akan dijual dan bagaimana produk tersebut dapat sampai kepada
pemilih.

d. Promotion

Promotion menyangkut cara-cara yang digunakan dalam menyebarkan dan


mempropagandakan produk-produk politik. Tidak jarang sebuah parpol atau seorang
kandidat bekerja sama dengan agen iklan dalam membangun slogan (tagline), jargon dan
citra yang akan ditampilkan.

Hal terpenting dalam proses promosi politik adalah pemilihan media yang tepat agar
transfer pesan politik sampai kepada masyarakat. Karena itu sangat valid jika dikatakan
bahwa penggunaan televisi nasional kurang tepat untuk melakukan kampanye dalam
Pilkada karena terlalu luas dan mahal. Jika, misalnya, hanya mencalonkan diri menjadi
Walikota Tangerang Selatan, tidak perlu berpromosi di televisi nasional yang
jangkauannya ke seluruh Indonesia dimana sebagian besar pemirsanya bukan calon
pemilih atau masyarakat Tangerang Selatan. Ini seperti membeli sebuah sepatu bermerk
Belly; sepatunya memang bagus karena mahal, namun ukurannya kebesaran.
Bahan Bacaan:

Bruce I. Newman, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication, 1999).

Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008).

Stephan C. M. Henneberg, “Generic Functions of Political Marketing Management,”


http://www.bath.ac.uk/management/research/pdf/2003-19.pdf, Tanggal 26 November
2010.

Kobby Mensah, “Kwame Nkrumah and Political Marketing,” www.kobbymensah.com,


Tanggal 26 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai