Perundingan LinggarJati
Perundingan Renville
Sesudah pertempuran di Medan Area, Kabanjahe, Samura,
Seberaya,Sukanalu, Suka, Barus Jahe, Sarinembah, Tiga Binanga dan beberapa
tempat di Tanah Karo, maka Belanda dapat menguasai sebahagian Tanah Karo.
Tetapi keinginan Belanda untuk menguasai seluruh Tanah Karo, tetap tidak
berhasil karena pertahanan yang dibuat Resimen I di Sungai (Lau Lisang), tidak
dapat ditembus oleh serdadu-serdadu Belanda. Pertahanan ini sangat
menguntungkan Resimen I, terletak di belakang jembatan Lau Lisang yang telah
dirusakkan. Meskipun dengan persenjataan yagn serba kurang, namun akibat faktor
alam yagn mendukung, memberikan kemungkinan untuk bertahan dengan baik. Di
sungai Lau Lisang inilah garis pertahanan pertama dan terdepan pada waktu itu
hingga berakhirnya Agressi I, tetap dapat dikuasai. Lalu terdengar kabar tentang
diadakannya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda di atas
kapal USA Renville di Tanjung Priok-Jakarta yang diprakarsai oleh Dewan
Keamanan PBB. Perundingan yagn terkenal dengan Perundingan Renville itu
ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, jam 15.00 sore, dimana pihak
Indonesia menerima garis “Van Mook”. Garis yagn ditentukan oleh Gubernur
Jenderal Belanda Van Mook.
Daerah Simalungun dan Asahan, sebelumnya sudah dikosongkan oleh TRI dan
Pasukan-pasukan lain, mereka telah berada di daerah Tapanuli dan Labuhan Batu.
Perundingan Roem-Royen
Belanda terus-menerus mendapat tekanan dari dunia internasional, terutama
Amerika Serikat sehingga bersedia berunding dengan Indonesia. Perundingan antra
Indonesia dan Belanda diawasi oleh komisi PBB untuk Indonesia atau United
Nations Commision fotr Indonesia (UNCI). Perundingan akan diselenggarakan di
Den Haag, Belanda yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB)
Delegasi Belanda Kemudian membacakan pernyataan yang dibacakan oleh Dr. J.H
Van Royen yang berisi antara lain sebagai berikut:
Pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali
ke Yogyakrta disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari
medan gerilya. Panglima Jenderal Soedirman tiba kembali di Yogyakrta tanggal 10
Juli 1949. Setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakrta, pada
tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang cabinet Republik Indonesia yang
pertama. Pada kesempatan itu Mr. Syafrudin Prawiranegara mengembalikan
mandatnya kepada wakil presiden, Moh.Hatta. dalam sidang cabinet juga
diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Menteri
Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan. Tindak lanjut Persetujuan
Roem Royen adalah:
Inter-Indonesia
19 Juli 1949. Hari ini, 58 tahun silam, digelar Konferensi Inter-Indonesia di
Yoyakarta. Konferensi yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Roem-Royen
ini dihadiri delegasi pemerintah Republik Indonesia dan delegasi dari Bijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO).
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga
permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana
Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara
Indonesia Timur, Gde Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan
BFO.
BFO yang dibentuk di Bandung tentu saja tak bisa dilepaskan dari strategi
van Mook mendirikan negara boneka di wilayah Indonesia yang dimulai sejak
1946. Beberapa negara federal yang tergabung dalam BFO masih menyisakan
jejak-jejak van Mook.
Tetapi tidak berarti BFO sepenuhnya dikendalikan oleh van Mook atau Belanda.
Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang.
BFO yang lahir di Bandung bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang
merdeka, berdaulat dan berbentuk negara federal. BFO ingin agar badan federasi
inilah yang kelak juga menaungi RI di bawah payung Republik Indonesia Serikat.
Ini berbeda titik pijak dengan van Mook yang jusrtu berharap BFO bisa menjadi
pintu masuk untuk meniadakan pemerintah Indonesia, persisnya Republik
Indonesia. Kegagalan mengendalikan sepenuhnya BFO inilah yang menjadi salah
satu penyebab mundurnya van Mook sebagai orang yang ditunjuk oleh pemerintah
Belanda guna mengusahakan kembalinya tatanan kolonial. Alasan itu menjadi
penyebab Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel, juga mengundurkan
diri dari jabatannya.
BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi
RI yang ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO
mengambil sikap yang tak diduga oleh Belanda tersebut menyusul Agresi Militer II
yang diangap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa di tanah airnya. Agresi Militer
II tak cuma melahirkan simpati dunia internasional, melainkan juga simpati
negara-negara federal yang sebelumnya memisahkan dari RI.
Selain membahas aspek-aspek mendasar hingga teknis perencanaan
membangun dan membentuk RIS, Konferensi Intern-Indonesia juga digunakan
sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi Meja Bundar yang
dimulai pada 23 Agustus 1949.
Bagi pemerintah RI sendiri, kesediaan menggelar Konferensi Inter-Indonesia
bukan semata karena ketiadaan pilihan lain yang lebih baik, melainkan juga karena
pemerintah RI menganggap BFO tidak lagi sama persis dengan BFO yang
direncanakan van Mook. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru”
bagi arah perjuangan Indonesia.
Konferensi yang berlangsung hingga 22 Juli itu banyak didominasi
perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai
susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Salah satu keputusan yang penting lainnya yang diambil adalah sikap BFO
yang menyokong tuntutan Republik Indonesia agar Belanda dan dunia
internasional mengakui kedaulatan Indonesia. Untuk itulah BFO dan pemerintah
RI pada Konferensi Intern-Indonesia itu ikut merumuskan bentuk kerja sama
antara RIS dengan pemerintah kerajaan Belanda.
Konsensus yang dibangun melalui Konferensi Intern-Indonesia ini menjadi
modal berharga bagi pemerintah RI, terutama delegasi Indonesia yan dtunjuk untuk
berunding dengan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Keberadaan BFO dan sikap tegas Gde Agung untuk menolak intervensi Belanda
membuat pemerintah Indonesia memiliki legitimasi yang makin kuat untuk
berunding dengan Belanda di KMB.
Ketika KMB telah selesai, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan bagi
Indonesia dan konsensus mengenai RIS, wakil-wakil BFO dan pemerintah
Indonesia kembali bertemu di Pejambon, Jakarta Pusat, pada 14 Desember 1949.
Dari pertemuan inilah disepakati UUD RIS berikut struktur negara federal di
lingkungan RIS.
Latar belakang
Hasil konferensi