Anda di halaman 1dari 2

Sebab Turunnya Musibah

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, musibah merupakan suatu kata yang tak jarang kita dengar bahkan
telah akrab di telinga kita dalam beberapa tahun terakhir ini terutama di negeri kita tercinta atau dibelahan bumi yang lain.
Musibah tersebut berupa gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain. Banyak pihak yang mengklaim bahwa musibah ini
terjadi karena adanya ini dan itu. Datang orang lain lagi yang mengklaim karena ini dan itu, begitu seterusnya. Namun
bagaimanakah Islam memandang musibah, apa penyebabnya dan apa obatnya serta apa hikmahnya?

Sebab Turunnya Musibah


Abul Sa’adaat Al Mubarok bin Muhammad Al Jazariy rahimahullah mengatakan, “Musibah adalah suatu perkara yang
menghinggapi manusia dan mereka membencinya.”
Sudah menjadi sunnatullah di muka bumi Allah ini adanya hukum sebab akibat. Sudah barang tentu musibah yang banyak
kita alami pada tahun-tahun terakhir ini pasti ada sebabnya. Salah satu sebab datangnya musibah adalah karena maksiat
yang diperbuat oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, taubat)”. (QS. Ar Ruum: 41)

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi sebab Allah menampakkan sebagian kerusakan di muka bumi
adalah karena berbagai dosa yang dilakukan manusia”. Sedangkan lanjutan ayat (yang artinya) “supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yang dimaksud di sini adalah sebahagian akibat dari dosa-dosa
yang mereka kerjakan. Dengan demikian sebab kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi berupa berbagai
kekurangan, bahaya, kesedihan, penyakit dan lainnya yang Allah tampakkan adalah karena kemaksiatan yang dilakukan
oleh hamba-hambaNya. Akibat setiap hambaNya melakukan kemaksiatan, Allah ‘Azza wa Jalla akan timpakan kepada
mereka bencana sebagai hukuman atas perbuatan mereka. [2]

Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sebab bencana dan musibah yang kita alami adalah karena perbuatan
maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian musibah yang kita rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari
akibat dosa-dosa yang telah kita perbuat. Sekiranya ditimpakan seluruh akibat dari dosa-dosa yang telah kita perbuat,
niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini. [3]

Kesyirikan, Sebab Utama Turunnya Musibah


Sesungguhnya karena perbuatan syirik yang dilakukan manusia, Allah menimpakan musibah kepada mereka. Karena
kesyirikan adalah kezholiman yang terbesar yang berakibat datangnya bencana. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya),“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah benar-benar kedholiman (kemaksiatan) yang besar” (QS. Luqman: 13)
Bahkan syirik adalah dosa yang tidak Allah ampuni jika seseorang tidak bertaubat darinya sebelum ia mati. Kesyirikan juga
adalah bentuk pelanggaran terbesar terhadap hak Allah Ta’ala [4]. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa
yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatuapapun) dengan Allah,
maka sesungguhnya ia telah tersesat (dari kebanaran[5]) dengan kesesatan yang amat jauh”. (QS. An Nisaa’: 116)
Itulah mengapa musibah sering menimpa suatu negeri. Kalau kita tilik, ternyata akibat kesyirikan yang merajalela di
tengah-tengah mereka. Maka sudah sepatutnya setiap muslim merenungkan hal ini. Sudah menjadi keharusan bagi setiap
muslim untuk mentauhidkan Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan selain-Nya.

Kejahilan, Sebab Lain Datangnya Musibah


Kemudian sebab yang lain adalah jahilnya/bodohnya sebagian besar ummat Islam terhadap agama mereka, yang ini
merupakan suatu hal yang kita lihat bersama. Berapa banyak kaum muslimin yang ketika ditanya di mana Allah, maka ada
yang menjawab “Allah itu ada dimana-mana”, Allah itu ada di hati saya dan berbagai jawaban keliru lainnya. Bahkan
keyakinan seperti ini disuarakan di hadapan orang banyak. Yang menyuarakan pun adalah da’i yang diikuti. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas mengatakan (yang artinya), “Ar Rahman (Allah) beristiwa’ di atas
ArsyNya.” (QS. Thaha: 5)

Maka telah benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah akan mencabut ilmu dengan
mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan ulama’. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai
pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah sesat dan menyesatkan (orang
lain).” [6]
Demikian juga sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang
menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat dan
akan ada Ruwaibidhah”. Para sahabat bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallammengatakan: “Orang yang hina lagi jahil (berbicara tentang) urusan orang banyak.” [7]
Mereka mengambil urusan agama mereka dari orang-orang kecil yang jahil dan meninggalkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam dan penjelasan para ‘ulama padahal Allah Robbul ‘Alamin telah berfirman, “Jika kalian berselisih
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Demikian juga firman Allah (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (para ‘ulama) jika kalian tidak tahu.” (QS.
Al Anbiya’ : 7)
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap individu untuk menuntut ilmu agama. Karena mempelajari ilmu
adalah adalah suatu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Menuntut ilmu (agama) hukumnya wajib bagi setiap muslim.” [8]
Inilah dua dari sekian banyak sebab turunnya berbagai macam adzab Allah beserta obatnya.

Hikmah Musibah, Agar Hamba Segera Bertaubat


Bertaubat
Di antara sekian banyak hikmah musibah yang Allah berikan kepada hambanya adalah sebagai peringatan agar mereka
kembali/bertaubat kepadaNya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali/bertaubat.” (QS. Ar Ruum: 41)

Musibah yang kita hadapi ini tidaklah ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan musibah yang menimpa orang tua kita
Adam ‘alaihis salam yaitu dikeluarkan dari Surga tempat yang penuh kenikmatan setelah dulu pernah merasakannya.
Disebabkan tobatnya yang sempurna, Allah anugrahkan kepadanya kenabian, Allah terima taubatnya, Allah berikan ia
petunjuk berupa hidayah dan Allah angkat derajatnya. Kalaulah bukan sebab cobaan yang Allah berikan kepadanya berupa
dikeluarkan dari surga maka tidaklah beliau mendapatkan kenikmatan di atas. Lihatlah keadaan beliau setelah berbuat
keasalahan dan Allah timpakan kepadanya musibah kemudian ia bertaubat dengan sebenar-benar taubat lebih mulia
daripada keadaan sebelumnya. [9]

Musibah Sebagai Penghapus Dosa


Hikmah dari musibah yang tak kalah agungnya dibanding hal di atas adalah sabar. Jika Allah timpakan kepada seorang
hamba musibah apabila ia bersabar maka musibah tersebut merupakan penghapus dosa baginya [10], sebagaimana sabda
Nabi yang mulia ‘alaihish sholatu was salam, “Akan senantiasa seorang laki-laki dan perempuan yang beriman ditimpa
musibah pada jiwanya, anaknya dan hartanya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki
dosa/salah.” [11]

Musibah Merupakan Nikmat


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Musibah merupakan nikmat karena ia merupakan penghapus
dosa, juga merupakan suatu hal yang mendorong diri untuk sabar sehingga mendapatkan pahala sabar, merupakan suatu
hal yang mendorong diri untuk kembali kepada Allah dengan keta’atan/inabah, merendahkan diri dihadapanNya dan
menghindar dari pandangan manusia (sehingga jauh dari riya’)”. Akan tetapi beliau rohimahullah mengaitkan hal ini
dengan sabar dan tidak berlaku apabila seorang hamba ditimpa musibah kemudian ia meninggalkan hal-hal yang wajib
atau melakukan sebagian maksiat. [12] Kemudian perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang balasan bagi
orang yang sabar (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Dan sabar adalah dimulai pada saat awal musibah menimpa kita, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
“(Sesungguhnya yang dikatakan) Sabar adalah sabar pada awal sesuatu yang dibenci.” [13]

Musibah Merupakan Tanda Cinta Allah pada HambaNya yang Ridho


Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan. Dan
sesungguhnya Allah jika Ia mencintai suatu kaum maka Allah akan coba/timpakan pada mereka musibah, barangsiapa yang
ridho maka baginya ridho Allah dan barangsiapa yang marah terhadap cobaan/musibah dari Allah mak baginya murka
Allah.”[14]
Ibnu ‘Aun rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba tidaklah mencapai hakikat dari ridho
sampai dia menjadikan ridhonya ketika tertimpa kefakiran dan musibah sebagaimana ridhonya ketika diberikan kecukupan
dan kesenangan/kelapangan.” [15]
Dengan demikian kami mengajak diri kami sendiri dan para pembaca sekalian, marilah kita mewaspadai dua penyakit di
atas dengan giat menuntut ilmu agama dan diiringi dengan mengamalkannya serta melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban orang yang ditimpa musibah yaitu bertaubat, bersabar, lebih jauh lagi dianjurkan untuk ridho terhadap
musibah. Allahu A’lam bish Showab.

Anda mungkin juga menyukai