Sebab Turunnya Musibah
Sebab Turunnya Musibah
Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, musibah merupakan suatu kata yang tak jarang kita dengar bahkan
telah akrab di telinga kita dalam beberapa tahun terakhir ini terutama di negeri kita tercinta atau dibelahan bumi yang lain.
Musibah tersebut berupa gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain. Banyak pihak yang mengklaim bahwa musibah ini
terjadi karena adanya ini dan itu. Datang orang lain lagi yang mengklaim karena ini dan itu, begitu seterusnya. Namun
bagaimanakah Islam memandang musibah, apa penyebabnya dan apa obatnya serta apa hikmahnya?
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi sebab Allah menampakkan sebagian kerusakan di muka bumi
adalah karena berbagai dosa yang dilakukan manusia”. Sedangkan lanjutan ayat (yang artinya) “supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yang dimaksud di sini adalah sebahagian akibat dari dosa-dosa
yang mereka kerjakan. Dengan demikian sebab kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi berupa berbagai
kekurangan, bahaya, kesedihan, penyakit dan lainnya yang Allah tampakkan adalah karena kemaksiatan yang dilakukan
oleh hamba-hambaNya. Akibat setiap hambaNya melakukan kemaksiatan, Allah ‘Azza wa Jalla akan timpakan kepada
mereka bencana sebagai hukuman atas perbuatan mereka. [2]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sebab bencana dan musibah yang kita alami adalah karena perbuatan
maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian musibah yang kita rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari
akibat dosa-dosa yang telah kita perbuat. Sekiranya ditimpakan seluruh akibat dari dosa-dosa yang telah kita perbuat,
niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini. [3]
Maka telah benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah akan mencabut ilmu dengan
mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan ulama’. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai
pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah sesat dan menyesatkan (orang
lain).” [6]
Demikian juga sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang
menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat dan
akan ada Ruwaibidhah”. Para sahabat bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallammengatakan: “Orang yang hina lagi jahil (berbicara tentang) urusan orang banyak.” [7]
Mereka mengambil urusan agama mereka dari orang-orang kecil yang jahil dan meninggalkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam dan penjelasan para ‘ulama padahal Allah Robbul ‘Alamin telah berfirman, “Jika kalian berselisih
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Demikian juga firman Allah (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (para ‘ulama) jika kalian tidak tahu.” (QS.
Al Anbiya’ : 7)
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap individu untuk menuntut ilmu agama. Karena mempelajari ilmu
adalah adalah suatu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Menuntut ilmu (agama) hukumnya wajib bagi setiap muslim.” [8]
Inilah dua dari sekian banyak sebab turunnya berbagai macam adzab Allah beserta obatnya.
Musibah yang kita hadapi ini tidaklah ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan musibah yang menimpa orang tua kita
Adam ‘alaihis salam yaitu dikeluarkan dari Surga tempat yang penuh kenikmatan setelah dulu pernah merasakannya.
Disebabkan tobatnya yang sempurna, Allah anugrahkan kepadanya kenabian, Allah terima taubatnya, Allah berikan ia
petunjuk berupa hidayah dan Allah angkat derajatnya. Kalaulah bukan sebab cobaan yang Allah berikan kepadanya berupa
dikeluarkan dari surga maka tidaklah beliau mendapatkan kenikmatan di atas. Lihatlah keadaan beliau setelah berbuat
keasalahan dan Allah timpakan kepadanya musibah kemudian ia bertaubat dengan sebenar-benar taubat lebih mulia
daripada keadaan sebelumnya. [9]