Anda di halaman 1dari 9

Pancasila Potensi Disintegrasi Nasional

I. Latar Belakang
Krisis moneter yang disertai krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang
berlangsung sejak pertengahan 1997, membawa implikasi ganda, baik yang bersifat
positif maupun negatif, bagi masa depan politik Indonesia. Aspek positif dari krisis
tersebut adalah timbulnya gelombang tuntutan reformasi total, khususnya di bidang
politik, ekonomi dan hukum. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah
memberikan kesempatan emas bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk menata
kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih sehat, adil, dan
demokratis. Meski di tengah euforia politik saat ini masih terdapat gejolak politik di
antara mereka yang pro pemerintah dan yang anti pemerintah, diharapkan transisi
menuju demokrasi ini akan dapat dilalui secara damai seperti yang dicita-citakan
sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tampaknya tidak menginginkan
terulangnya kembali lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke demokrasi,
anarki politik dan kembali ke tirani lagi, seperti yang terjadi pada proses pergantian
kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
Dari sisi negatif, di tengah euforia politik tersebut muncul kembali aspirasi
sebagian masyarakat di beberapa propinsi di Indonesia seperti di Irian Jaya, Aceh,
Timor Timur, dan Riau yang menghendaki kemerdekaan, lepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kejatuhan rezim Soeharto yang otoriter, represif, dan cenderung
menafikan aspirasi lokal, tampaknya dipandang sebagai momentum oleh sebagian
masyarakat di daerah-daerah tersebut untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan
mereka yang diabaikan selama sekitar 30 tahun Orde Baru. Dalam perkembangan
terakhir, pemberian kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk memilih dua opsi
yang ditawarkan Presiden Habibie, yakni status khusus dengan otonomi luas atau
lepas dari RI, menjadi momentum baru untuk sebagian masyarakat di tiga daerah
lainnya untuk menuntut perlakuan yang sama.
Kalau ditelusuri ke belakang, potensi disintegrasi politik di Irian Jaya, Aceh,
dan Timor Timur memang memiliki akar yang amat mendalam. Di Irian Jaya,
misalnya, keinginan sebagian masyarakat Irian untuk lepas dari Indonesia memiliki
sejarah yang panjang, bahkan sebelum propinsi tersebut resmi menjadi bagian dari
Indonesia pada 1 Maret 1963. Meski gerakan-gerakan separatisme, atau nasionalisme
Papua, bersifat sangat sporadis dan kadang-kadang tidak ada hubungan satu sama
lain, semua gerakan tersebut cenderung menggunakan nama gerakan yang sama,
yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sementara itu di propinsi paling barat Indonesia, Daerah Istimewa Aceh,
sejarah perlawanan rakyat terhadap pemerintah pusat jauh lebih lama lagi, yakni
sejak masa kolonial Belanda. Pada intinya, rakyat Aceh memiliki suatu harga diri
yang tinggi dan ingin membangun suatu negara berdasarkan Islam. Pada masa awal
kemerdekaan Indonesia, masyarakat Aceh termasuk yang pertama mendukung
kemerdekaan nasional melalui simbolisme pemberian pesawat Dakota (DC 3)
kepada pemerintah republik yang berpusat di Yogyakarta. Kurangnya apresiasi
pemerintah terhadap para pemimpin lokal Aceh, menyebabkan timbulnya
pemberontakan Daud Beureuh. Pemberontakan tersebut berhenti setelah Pemerintah
RI memberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh. Namun demikian, hal itu tidak
mengurangi perlawanan sebagian masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat di
Jakarta, seperti yang dilakukan oleh Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka.
Gerakan perlawanan rakyat Timor Timur terhadap pemerintah memiliki
sejarah yang berbeda dengan kedua propinsi yang disebut terdahulu. Timor Timur
bukanlah bagian dari wilayah bekas Hindia Belanda, sehingga secara historis daerah
itu tidak pernah pula menjadi bagian dari Republik Indonesia yang diproklamirkan
sejak 17 Agustus 1945. Sejarah “integrasi”, atau tepatnya aneksasi, Timor Timur ke
dalam wilayah RI yang penuh dengan pertumpahan darah telah menimbulkan trauma
politik yang amat mendalam di hati sanubari sebagian masyarakat Timor Timur
terhadap Indonesia dan menjadi salah satu alasan bagi mereka untuk lepas dari
Indonesia. Belum adanya pengakuan internasional (PBB) atas “integrasi” Timor
Timur ke dalam wilayah Indonesia, menambah harapan bangsa Maubere untuk
berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang merdeka.
Apa yang terjadi di Riau sangat berbeda dengan di ketiga propinsi tersebut
diatas. Riau termasuk propinsi pinggiran yang kaya di Indonesia seperti halnya Aceh
dan Irian Jaya. Namun demikian, masyarakat Riau relatif tidak memiliki kesadaran
etnik yang kuat dan kurang memiliki keberanian untuk melakukan gerakan
pemisahan diri dibandingkan dengan tiga daerah lainnya. Walaupun demikian, kasus
Riau tetap dipilih sebagai salah satu kasus dalam kajian potensi disintegrasi nasional
dalam rangka menguji, apakah teori gerakan pemisahan diri yang selama ini berlaku,
masih valid. Di samping itu, kasus Riau juga bermanfaat untuk mengetahui, apakah
masyarakat Riau sungguh-sungguh ingin merdeka dan memisahkan diri dari RI, atau
sekedar “unjuk rasa” dalam rangka memperoleh perhatian yang lebih besar dari
pemerintah pusat di Jakarta.

II. Permasalahan
Masalah disintegrasi politik akhir-akhir ini menjadi perhatian sekaligus
sumber kekhawatiran yang luas, baik di kalangan masyarakat, intelektual, maupun
kalangan pemerintah. Kekhawatiran itu tidak hanya bersumber dari tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat di tiga daerah diatas, tetapi juga lantaran maraknya
kerusuhan sosial di beberapa kota besar dan kecil selama dua tahun terakhir. Di
beberapa daerah seperti di Jakarta (Ketapang), Kupang (NTT), Ambon dan Maluku
pada umumnya, serta Sambas di Kalimantan Barat, kerusuhan sosial berkembang
menjadi pertentangan yang berbau sentimen SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan). Ratusan orang tewas secara sia-sia dan tak terhitung harta benda
yang dirusak, terbakar ataupun dibakar. Sementara itu di Aceh Utara, Aceh Timur,
dan Pidie, rakyat setempat secara terbuka melawan aparat negara bersenjata lengkap
yang selama masa berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) dianggap
bertanggung-jawab membunuhi keluarga mereka secara biadab dan di luar batas-
batas kemanusiaan.
Secara umum diakui bahwa gerakan pemisahan diri cenderung terjadi di
daerah-daerah pinggiran (periphery) yang jauh dari pusat pemerintahan (centre),
kaya akan sumber alam, dan memiliki perasaan etnik yang kuat serta berbeda dengan
elite politik yang memerintah. Namun demikian di dalam suatu negara yang tengah
bergolak dan mengalami transisi demokratis seperti Indonesia, potensi disintegrasi
bisa bersumber dari berbagai faktor atau variabel lain yang tidak terduga. Struktur
politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain
cenderung korup, kolusif, nepotis, dan monopolistik, bisa jadi merupakan faktor
yang memperbesar potensi disintegrasi tersebut. Tak mengherankan apabila
kebijakan ekonomi daerah dalam rangka distribusi kekuasaan maupun sumber daya
daerah dilihat sebagai alternatif pemecahan yang bisa mengurangi ancaman
disintegrasi.
Kajian potensi disintegrasi nasional di Indonesia dengan studi kasus di empat
wilayah tersebut sangat penting untuk dilakukan. Banyak pihak mengkhawatirkan
bahwa Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara-negara kecil yang merdeka
jika tidak ada upaya serius untuk mengatasinya. Upaya untuk mencegah disintegrasi
nasional secara intens juga dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, baik melalui
penciptaan lagu-lagu yang membangkitkan heroisme dan nasionalisme seperti yang
dilakukan Ully Sigar Rusadi, gagasan untuk membuka diri bagi federalisme di
Indonesia seperti dicanangkan Partai Amanat Nasional (PAN), maupun melalui
perubahan atas Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta modifikasi Undang-
Undang Bagi Hasil antara pusat dan daerah seperti yang dituntut oleh beberapa
kalangan di daerah.
A. Rumusan Masalah
Dalam kaitan tersebut masalah yang ingin dikaji dalam studi ini mengacu
kepada beberapa pertanyaan pokok. Pertama, seberapa besar sebenarnya potensi
disintegrasi nasional di Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Timor Timur? Bagaimana akar
sejarah perlawanan masyarakat di keempat wilayah tersebut terhadap pemerintah
pusat? Kedua, faktor-faktor apa sebenarnya yang melatarbelakangi semakin
kuatnya gerakan pemisahan diri di berbagai wilayah di Indonesia, terutama Aceh,
Irian Jaya, Riau, dan Timor Timur? Apakah faktor historis, politis, ekonomis,
sosial budaya atau hankam? Ketiga, apakah masyarakat di wilayah-wilayah itu,
kecuali Timor Timur yang persoalannya memang spesifik, benar-benar ingin
merdeka dan lepas dari Indonesia atau hanya ingin mendapatkan perlakuan yang
adil di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya? Dan keempat, apa yang
diharapkan masyarakat setempat dari pemerintah pusat jika mereka menginginkan
daerahnya tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.

III. Pembahasan
A. Integrasi : Perspektif Teoritis
Konsep integrasi biasanya menunjuk pada upaya penyatuan berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda-beda secara sosial, budaya, maupun politik
ke dalam satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar
dan bersifat nasional. Dalam hal ini integrasi dipandang sebagai usaha
meniadakan kesetiaan-kesetiaan picik dan ikatan-ikatan sempit dalam rangka
membangun kesetiaan dan ikatan yang lebih luas ke arah pembentukan identitas
sosio-kultural dan politik yang bersifat nasional. Selain itu, istilah integrasi sering
juga dipergunakan untuk menunjuk pada upaya membangun suatu otoritas atau
kewenangan nasional; penyatuan pemerintah dengan yang diperintah; konsensus
tentang nilai-nilai kolektif; dan soal kesadaran setiap anggota masyarakat untuk
memperkokoh ikatan di antara mereka.
Menurut James J. Coleman dan Carl G. Rosberg, ada dua dimensi utama
konsep integrasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi
vertikal sering disebut sebagai integrasi politik yang mencakup masalah yang
timbul dalam hubungan negara dengan masyarakat. Sedangkan integrasi
horizontal lebih bersifat kultural dan karena itu mencakup persoalan ketegangan
hubungan diantara berbagai kelompok kultural di dalam masyarakat itu sendiri.
Namun demikian, Myron Weiner tidak sepenuhnya setuju pada
pembedaan secara tajam antara integrasi vertikal di satu pihak dan integrasi
horizontal di lain pihak. Ia justru memandang penting semua aspek integrasi yang
mencakup 5 (lima) persoalan sekaligus, yaitu integrasi bangsa, integrasi wilayah,
integrasi elite massa, integrasi nilai, dan perilaku integratif.
Kelima aspek integrasi inilah yang disebut oleh Weiner sebagai integrasi
politik. Dengan pemahaman demikian, Weiner tampaknya memandang bahwa
integrasi politik tidak akan pernah bisa dicapai apabila salah satu dari kelima
aspek integrasi tersebut diabaikan.
Sementara itu menurut Howard Wriggins, terdapat sekurang-kurangnya
lima faktor yang menentukan berhasilnya integrasi bangsa. Faktor-faktor itu
adalah: (1) upaya penciptaan musuh bersama dari luar; (2) gaya politik para
pemimpin yang memperkecil perbedaan, dan pemberian penghargaan serta rasa
hormat terhadap semua suku bangsa yang berbeda-beda; (3) lembaga-lembaga
politik, partai politik, dan birokrasi nasional, termasuk militer, yang aspiratif,
luwes dan akomodatif terhadap perbedaan dan keanekaragaman daerah; (4)
ideologi nasional yang menentukan tujuan dan cara-cara pencapaiannya; dan (5)
pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada perluasan kesempatan bagi semua
orang secara adil.
Dalam konteks Indonesia, integrasi politik itu lazim disebut sebagai
integrasi nasional, yang cakupan dimensinya bukan saja integrasi bangsa dan
integrasi wilayah (teritorial), melainkan juga integrasi penguasa (elite) dengan
rakyat yang dikuasai (massa). Dengan menggunakan perspektif Coleman dan
Rosberg, William Liddle melihat persoalan integrasi nasional di Indonesia
berkaitan dengan dua masalah utama yang berpeluang menjadi potensi
disintegrasi, yaitu : pertama, adanya pembelahan horizontal yang berakar pada
perbedaan suku, ras, agama, dan geografi. Kedua, pembelahan yang bersifat
vertikal yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pandangan antara elite
yang berorientasi perkotaan dan massa yang masih berorientasi pedesaan serta
tradisional.
Sementara itu dari perspektif historis, para ahli menunjuk berbagai faktor
penyebab yang cenderung berbeda dalam melihat berbagai kasus yang dianggap
mengancam disintegrasi nasional di Indonesia. Studi Nawawi yang memusatkan
diri pada konflik regional memandang bahwa faktor kesukuan dan stagnasi yang
diperdalam oleh dampak kekuasaan kolonial merupakan akar regionalisme dalam
kasus Republik Maluku Selatan (RMS), Sulawesi Selatan (Darul Islam), dan
Aceh (Darul Islam). Herbert Feith melihat kurangnya konsensus tentang tujuan
dan gagasan sosial dari dua budaya politik utama “aristokrasi Jawa” dan
“wiraswasta Islam” sebagai faktor penyebab rendahnya tingkat integrasi.
Sementara Hans Schmitt berpendapat bahwa sumber konflik politik yang terjadi
pada tahun 1950-an terletak pada perbedaan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa.
Persoalannya, apakah perspektif teoritis para ahli tersebut masih relevan
dalam melihat potensi disintegrasi negara Orde Baru dan pasca Orde Baru yang
ditinggalkan mantan Presiden Soeharto?

B. Orde Baru dan “Bom Waktu” Disintegrasi


Pada mulanya salah satu agenda utama pemerintahan Orde Baru selama
lebih dari 30 tahun berkuasa adalah menciptakan integrasi nasional yang kokoh.
Obsesi ganda pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan stabilitas politik di pihak
lain, tak lain adalah dalam rangka pencapaian integrasi nasional tersebut.
pembentukan birokrasi nasional yang kuat, integrasi berbagai elemen militer,
termasuk kepolisian, dalam satu komando, restrukturisasi sistem kepartaian,
penegakan suatu sistem hukum nasional, adalah beberapa upaya yang dilakukan
dalam rangka integrasi.
Akan tetapi persoalannya kemudian, dalam praktek semua upaya itu,
termasuk hampir semua kebijakan ekonomi maupun politik pendukungnya,
cenderung dilakukan dalam rangka memperkokoh integrasi kekuasaan elite
penguasa ketimbang suatu integrasi nasional yang memperkokoh semua unsur
negara Orde Baru. Stabilitas politik cenderung mengarah kepada stabilitas
kekuasaan saja tanpa stabilitas pemerintahan, sementara pertumbuhan ekonomi
cenderung hanya dinikmati secara amat berlebihan oleh kelas penguasa, termasuk
elite birokrasi dan para penguasa kroni yang diuntungkan oleh pemihakan
kebijakan negara.
Kebijakan yang seragam dan sentralistik bagi bangsa yang amat beragam,
menjadi begitu parah ketika digabungkan dengan pendekatan keamanan yang
amat represif, menindas, dan menafikan aspirasi masyarakat, terutama di tingkat
lokal. Partisipasi dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses
politik hampir tidak ada karena negara Orde baru menerapkan strategi ganda
korporatisme negara di satu pihak dan depolitisasi massa di pihak lain. Sementara
itu, di sisi lain, eksploitasi atas sumber daya ekonomi dan kekayaan daerah
berlangsung intens tanpa diimbangi dengan pemberian hak atas bagi hasil yang
lebih adil serta proporsional bagi daerah.
Oleh karena itu potensi konflik dan disintegrasi berakar pula pada
kecenderungan elite politik di hampir semua tingkat untuk memanipulasi aspirasi
dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul
ketika elite politik, terutama elite birokrasi negara (sipil maupun militer),
memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai
“kepentingan nasional” serta menyalahgunakan otoritas negara untuk melindungi
dan mempertahankan vested interest semacam itu. Fenomena manipulasi itulah
tampaknya yang lebih relevan dalam melihat berbagai kasus empirik yang
berkaitan dengan soal integrasi dalam periode Orde Baru dan pasca Orde Baru
dewasa ini. Karena itu pula, disintegrasi bisa menjadi ancaman serius bagi
bangsa Indonesia jika para elite politik terus menerus melakukan manipulasi atas
aspirasi, isu, dan realitas kultural masyarakat, terutama di tingkat lokal.
Kasus-kasus kerusuhan Ambon (yang merupakan “kelanjutan” dari
kerusuhan Ketapang dan Kupang), penindasan negara atas masyarakat di Aceh
dan Timor Timur walaupun dalam beberapa soal bisa dikecualikan,
mencerminkan dengan jelas bahwa masalah integrasi yang tengah dihadapi
Indonesia tidak semata-mata integrasi yang bersifat vertikal, melainkan juga
integrasi horizontal. Akibat manipulasi terus-menerus yang dilakukan oleh
negara, kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkembang menjadi kerusuhan berbau rasial
(anti Cina). Di Ambon dan Maluku pada umumnya, konflik dipertajam oleh isu
yang lebih sensitif lagi, yaitu agama Islam dan agama Kristen yang tumpang
tindih dengan soal kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk asli dan para
pendatang. Sementara di Sambas, Kalimantan Barat, konflik etnis Madura
dengan Melayu serta Dayak tumpang tindih dengan soal kesenjangan sosial
ekonomi diantara kedua kelompok etnik tersebut.
Pembelahan masyarakat secara kultural adalah realitas obyektif bangsa
Indonesia yang tidak mungkin ditiadakan. Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-
sekat primordial itulah yang selalu diupayakan selama sekitar 30 tahun Orde
Baru melalui berbagai kebijakan yang sangat sentralistik, seragam, dan
memarjinalkan kontribusi faktor lokal. Oleh karena itu, integrasi dan stabilitas
yang dicapai oleh rezim Orde Baru sesungguhnya adalah integrasi dan stabilitas
semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite lokal, represi terhadap
aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta
kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme.
Akibatnya, ketika negara tak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan
otoritarianisme politik, maka harmoni dan integrasi semu Orde Baru secara
berangsur-angsur runtuh pula.

C. Demokrasi, Desentralisasi, dan Integrasi


Dilihat dari perspektif teoritis yang diajukan Weiner, Indonesia pasca
Orde Baru tampaknya menghadapi dilema integrasi yang amat kompleks, yang
mencakup hampir semua aspek integrasi : integrasi bangsa, integrasi elite massa,
integrasi nilai, integrasi wilayah, dan perilaku integratif. Ironisnya, berbagai
upaya dalam bentuk kebijakan politik maupun ekonomi yang diterapkan oleh
Orde Baru, justru makin memperbesar potensi disintegrasi ketimbang
memperkokohnya. Faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah praktek
politik otoritarianisme yang lebih berorientasi pada integrasi kekuasaan diantara
elite penguasa ketimbang integrasi nasional dalam pengertian yang
sesungguhnya.
Sementara itu dilihat dari perspektif teoritis Wriggins, Orde Baru gagal
memperkokoh integrasi bangsa karena cenderung melakukan manipulasi atas
hampir semua faktor integratif. Selama lebih dari 30 tahun rezim Soeharto
menciptakan hantu komunisme, ekstrem kiri, dan ekstrem kanan, yang tidak
pernah sungguh-sungguh terbukti secara empirik karena diciptakan untuk
membenarkan represi atas masyarakat. Dalam gaya kepemimpinan, hampir
semua elite politik di semua tingkat dalam struktur politik Orde Baru cenderung
melakukan pembodohan atas masyarakat ketimbang mengakomodasi aspirasi dan
kepentingan mereka. Begitu pula, lembaga-lembaga politik seperti DPR dan
partai politik dikontrol dan diintervensi oleh negara, sehingga tidak ada peluang
bagi munculnya aspirasi alternatif dan berbeda dari mainstreamkekuasaan.
Sementara itu ideologi negara Pancasila yang mestinya bisa menjadi faktor
dinamik bagi perubahan, tidak hanya dimonopoli penafsirannya oleh negara
melalui misalnya indoktrinasi dalam bentuk P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila), melainkan juga cenderung dijadikan alat pembenaran
bagi setiap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elite penguasa di satu
pihak, serta juga untuk memisahkan “kawan” dan “lawan” politik bagi pihak lain.
Masih dari perspektif Wriggins, betapa pun pertumbuhan ekonomi Orde Baru
relatif tinggi selama tiga dekade (rata-rata 6 – 7 persen pertahun), tetapi tidak ada
peluang, kesempatan, dan akses yang sama, adil, dan proporsional bagi semua
pihak untuk menikmati pertumbuhan itu. Daerah-daerah yang memberikan
kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Orde Baru seperti Aceh, Irian Jaya,
dan Riau, justru terlantar secara ekonomi.
Oleh karena itu dalam rangka memperkokoh integrasi nasional, kajian ini
mengambil posisi bahwa penegakan sistem demokrasi merupakan jalan keluar
bagi Indonesia pasca Orde Baru dalam upaya mempertahankan keberadaannya.
Demokrasi yang dimaksudkan itu tidak hanya sekedar dalam pengertian
perluasan partisipasi rakyat dalam proses politik, melainkan juga distribusi
kekuasaan dan kekayaan secara adil serta proporsional bagi daerah-daerah.
Dengan kata lain, desentralisasi politik dan ekonomi merupakan jalan keluar
yang penting untuk mempertahankan keutuhan negara bangsa Indonesia yang
amat beragam secara sosial, kultural, dan politik.
Persoalannya, secara konseptual, arah desentralisasi dalam kebijakan
otonomi daerah di Indonesia cenderung tidak jelas. Dalam kebijakan tentang
otonomi daerah seperti dianut UU No. 5 tahun 1974 misalnya, tidak begitu jelas,
apakah pemerintah hendak mengimplementasikan desentralisasi politik (political
decentralization) ataukah desentralisasi administratif (administrative
decentralization). Di sisi lain, betapa pun di daerah ada DPRD I dan II, lembaga
perwakilan tersebut justru menjadi bagian dari pemerintah daerah itu sendiri.
Padahal, secara teoritis, pemerintah daerah dengan lembaga perwakilan (local
representative government) dan pemerintah daerah tanpa lembaga perwakilan
(local non representative government), adalah dua kategori yang berbeda dengan
implikasi politik dan administratif yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu pula,
model otonomi daerah yang dianut UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya sangat
kabur, dan tidak seluruhnya mengikuti model local self government yang
diterapkan negara-negara Anglo Saxon yakni suatu pemerintahan daerah
berfungsi majemuk dengan lembaga perwakilan.
Urgensi perluasan otonomi bagi daerah-daerah dalam rangka distribusi
kekuasaan dan kekayaan di satu pihak, dan dalam upaya memperkokoh integrasi
nasional di lain pihak, terlihat jelas di sini. Kecenderungan elite politik Jakarta
maupun pemerintah pusat untuk terus mengeksploitasi sumber daya ekonomi
daerah tanpa mempertimbangkan aspirasi politik masyarakat daerah secara adil,
tampaknya harus segera diakhiri. Tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat di
daerah-daerah, yang menjadi fokus kajian ini cenderung akan terus berlangsung
selama tidak ada upaya serius untuk mengakomodasi aspirasi mereka melalui
pemberian hak otonomi bagi daerah. Ironisnya, kendati sejak 1974 pemerintah
dan DPR menerbitkan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
dalam praktiknya hampir tidak ada kewenangan bagi daerah untuk ikut menata
masa depan daerah mereka secara otonom tanpa intervensi pusat. Selama 25
tahun UU No. 5 tahun 1974 “tidur” dan ditidurkan oleh rezim Soeharto
sementara eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi daerah berlangsung terus.
Di sisi lain, UU No. 5 tahun 1974 itu sendiri secara substantif tidak
memberikan peluang kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya
masing-masing. Malah UU tersebut menciptakan ketergantungan permanen dan
hampir mutlak pemerintah daerah, khususnya Dati II, kepada pemerintah pusat.
Hal itu tidak hanya tercermin dari introduksi prinsip “otonomi yang nyata dan
bertanggung-jawab” di dalam UU tersebut, melainkan juga pada hampir semua
materi tentang hubungan pusat dan daerah di dalamnya. Kecenderungan ke arah
sentralisasi kekuasaan maupun eksploitasi sumber daya ekonomi daerah tampak
jelas dari lemahnya kedudukan pemerintah daerah tingkat II dan DPRD II dalam
berhadapan, baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diatasnya
(propinsi). Persoalannya, hampir semua kewenangan penting yang berhubungan
dengan masa depan daerah tetap ditentukan oleh pemerintah pusat melalui asas
dekonsentrasi. Penentuan kepala daerah pun, walaupun dipilih oleh DPRD, tetap
berada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Begitu pula
pertanggung-jawaban kepala daerah, tidak diberikan kepada DPRD, melainkan
kepada Presiden melalui Mendagri. Sentralisasi yang dibungkus dengan asas
dekonsentrasi terlihat dl hampir semua sektor kehidupan, mulai dari keuangan,
perpajakan, perijinan, kepegawaian, dan seterusnya. Di tingkat kebijakan,
semuanya disiapkan oleh pemerintah pusat secara seragam tanpa
memperhitungkan kebutuhan dan perbedaan karakteristik, kultur, dan sejarah dari
setiap daerah. Meminjam ungkapan J.D. Legge, kebijakan rezim Soeharto
tentang otonomi daerah tampaknya masih diwarnai oleh colonial flavour.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru, No. 22 tahun 1999, dan
telah disepakati oleh DPR dan Presiden Habibie memang menjanjikan hak atas
otonomi daerah yang dirampas selama tiga dekade oleh pemerintahan Orde Baru.
Begitu pula Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah, menjanjikan proporsi bagi hasil yang lebih
adil bagi daerah-daerah yang lebih kaya akan sumber daya alam. Namun
barangkali, terlalu dini untuk percaya bahwa pemerintahan baru hasil pemilu bisa
memberikan otonomi dan bagi hasil kekayaan daerah tanpa perubahan atau
perbaikan atas kedua UU yang baru disahkan itu. Persoalannya, di dalam UU itu
masih ada sejumlah pasal karet yang membuka peluang bagi pemerintah pusat
untuk “berkelit” dan mengingkari janjinya atas daerah. Karena itu, sejauh mana
kedua UU itu bisa memenuhi ketidakpu

Anda mungkin juga menyukai