Anda di halaman 1dari 3

Kisah Pengusaha Sukses

Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya hanya dengan dua gerobak.
Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam Burger yang tersebar di
seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih. Bahkan, ia pernah
menjalani hidup yang keras di Jakarta.

(Di rumah mungil di kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai
berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus
kemasan bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap
edar. Seorang lelaki bercelana pendek berhenti bekerja, lalu keluar menyambut
NOVA.

Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum


hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi,
hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang
pemilik Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)

Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak
pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap
sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan
hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana.
Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.

Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April
1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa
bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi
pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan.
Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya
potong-potong, lalu dijual ke pasar.

Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya,
beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup
besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya
harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi
segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.

PENSIUN JADI PREMAN


Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975.
Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di
kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi
tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.

Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan


preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang
saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang
kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa
lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli
satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha
saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan
seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang
belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung -
Cililitan.

Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, saya
menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta kami
bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib.
Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis
mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun
1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus
menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.

NYARIS TERSAMBAR PETIR


Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa
sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya
mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya
saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah
gerobak dan kompor.

Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega,
saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan
cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina,
sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.

Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa
jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya
bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan,
saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun
di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup
hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.

Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri,
padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu
pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per
buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku
lebih dari 20 buah.Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah
tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari
saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam
dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun
pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak
buah.Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri
dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak
mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa
lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di
berbagai restoran cepat saji.
Analisis
Jadi menurut kelompok kami sifat wirausaha yang ada di Bapak Made Ngurah
Bagiana adalah pekerja keras sejak ia masih kecil karena ia sudah terbiasa dalam
kondisi sulit sehingga mengharuskan beliau untuk mendapatkan uang tambahan
tanpa bantuan orang tua. Ia juga adalah orang yang sanagat ulet dan tidak pantang
menyerah dalam berjualan, meskipun pada awalnya tidak ada yang dibeli, tapi
dengan keuletannya ia terus berjalan sampai pada akhirnya banyak yang tertarik
pada jualannya.

Anda mungkin juga menyukai