Anda di halaman 1dari 12

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DANA DEKONSENTRASI

DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN

A. Pendahuluan

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak

tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi

beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan

ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang

tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola

pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah

dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat

memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya

akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer

ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun

Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),

dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana

Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun

2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun

pada tahun 2008, atau tumbuh ratarata sebesar 20,2 persen per tahun
Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk

membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu

dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan

kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut

dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik.

Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total

dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN.

B. Landasan Teori

Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Dana Dekonsentrasi

merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil

Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka

pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal

pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah

kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu.

Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari

APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan

pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan adanya

penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana dekonsentrasi

dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut:

1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah.

3. PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

4. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga.

5. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota.

6. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

B. Pembahasan

Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan pada

salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan dekonsentrasi

yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas pembantuan pada

kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.

Alokasi dana APBN dari pemerintah pusat untuk Dinas Kesehatan Propinsi

Maluku Utara khusunya dekonsentrasi pada tiap tahunnya mengalami peningkatan

sedangkan dana tugas pembantuan yang turun dalam bentuk bantuan Inpres 6 untuk

Daerah Pasca Konfik yang terdiri atas 2 kegiatan yaitu upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perorangan pada tiap tahunnya mengalami penurunan bila dibandingkan

dengan kebutuhan rill yang dituangkan dalam draft usulan anggaran pada tiap tahunnya.

Sejak tahun 2005-2007, alokasi anggaran yang turun hanya berkisar antara 45% - 50%.

Mekanisme turunnya anggaran yang terjadi selama ini tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan. Tahun 2005 sampai 2007 rata-rata turunnya anggaran pada

bulan Juni hingga Juli. Pada tahun 2007 kondisi anggaran dekonsentrasi dan tugas

pembantuan mengalami devisit secara nasional sehingga berimbas pada pemanfaatan

anggaran tersebut didaerah dimana daerah mengalami pemotongan anggaran sebanyak

15%. Kemudian di tahun 2008 ini, kepastian tentang pengalokasian dana dekonsentrasi

dan tugas pembantuan sendiri juga belum jelas.

Mekanisme proses perencanaan dan penganggaran baik dana dekonsentrasi dan

tugas pembantuan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005- 2007

selama ini telah melibatkan seluruh komponen di tingkat kabupaten/kota maupun intern

Dinas Kesehatan itu sendiri. Perencanaan penganggaran kegiatan dana dekonsentrasi

untuk masing-masing program khususnya program malaria maupun gizi, dilakukan pada

saat rapat evaluasi program. Hasil yang diperoleh dari evaluasi program ini kemudian

ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke dalam sebuah Rapat Kerja Kesehatan

Daerah (RAKERKESDA) guna membahas lebih lanjut rencana kerja tahunan kesehatan

untuk dituangkan ke dalam anggaran APBN.

Pada proses perencanaan dan penganggaran kegiatan dana tugas pembantuan

untuk masing-masing program sama dengan proses perencanaan dan penggaran dana

dekonsentrasi. Propinsi Maluku Utara selama ini dalam proses perencanaan dan

pengaanggran hanya melakukan lobby untuk dana tugas pembantuan sampai di tingkat
Departemen Kesehatan. Lobby tidak dilakukan sampai di tingkat DPR. Lobby di tingkat

DPR hanya dilakukan olen oleh departemen kesehatan sehingga Propinsi Maluku Utara

dapat dikatakan tidak pernah melakukan proses lobby penentuan jumlah besaran dana

yang akan disetujui kepada DPR.

Realisasi dilapangan selama ini juga menunjukkan bahwa selalu muncul gap

antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah setiap tahunnya.

Munculnya gap ini penulis asumsikan disebabkan oleh sistem perencanaan dan

penganggaran yang terjadi selama ini di propinsi belum sejalan dengan apa yang

ditentukan di dalam PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan

seharusnya. Sehingga transfer dana yang sampai di daerah berbeda antara DIPA yang

disetujui dan dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan draft usulan yang

ajukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara. Selalu muncul gap antara DIPA

dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah pada setiap tahunnya.

Hal ini sejalan dengan PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas

pembantuan, dimana proses perencanaan dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan

ini harus melibatkan seluruh jajaran di tingkat daerah bahkan sampai di tingkat desa.

Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan telah melibatkan seluruh

pemegang program propinsi, Dinas Kesehatan kabupaten/kota serta puskesmas sebagai

instansi kesehatan di tingkat desa. Pemerintah Daerah diwajibkan membuat rencana

indikatif kebutuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diperlukan oleh

setiap sektor di daerahnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya, interaksi yang terjadi antara

komponen-komponen terkait dalam proses perencanaan anggaran ini, mengakibatkan


terjadinya lobby dan negosiasi. Lobby dan negosiasi yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi Mauluku Utara selama ini belum sampai pada tingkat bagaimana

melibatkan komponen yang ada diluar Dinas Kesehatan. Lobby dan negosiasi yang

dilakukan adalah baru pada sebatas dengan unit esalon I vertikal. Lobby dan negosiasi

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara selama ini belum

menunjukan hasil yang sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya.

Pada saat ini, lobby dan negosiasi yang dilakukan dengan memanfaatkan

kekuatan politis ternyata memiliki dampak dan hasil yang lebih baik. Lobby dan

negoisasi sangat penting dalam proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan di daerah Lebih lanjut dikatakan bahwa lobby dan pendekatan serta advokasi

kepada partai politik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan, metode pendekatan ini bisa diterapkan dalam upaya untuk melancarkan

draft perencanaan anggaran dan kegiatan yang sesuai dengan permasalahan dan

kebutuhan daerah. Penyusunan rancangan kebijakan harus memperhitungkan juga aspek

nilai-nilai politik misalnya partai politik yang dalam sistematika pemerintahan dan

demokrasi memegang peranan yang paling penting dalam sebuah birokrasi

Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa advokasi di dalam penganggaran

sangat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara input dengan

ouput yang diharapkan atau dengan kata lain harapan akan realisasi dana dekonsentrasi

yang sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah melalui usulan daerah tersebut dapat

terpenuhi. Untuk melakukan advokasi bukan sekedar melakukan lobby-lobby politik,

tetapi mencakup kegiatan persuasif, memberikan semangat dan bahkan sampai

memberikan tekanan kepada para pemimpin institusi. Oleh karena itu prinsip-prinsip
advocacy ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan dan argumentasi-argumentasi.

Adapun tujuan utama yang diharapkan dari advokasi adalah untuk memperoleh

komitmen dan dukungan kebijakan dari para penentu kebijakan atau pembuat keputusan

di segala tingkat. Besar kecilnya realisasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan

bagi masing-masing daerah sangat tergantung dari variabel yang diduga dominan yaitu

adanya political approach seperti negosiasi dan lobby.

Relalisasi dana untuk kegiatan dalam DIPA dengan kebutuhan dana yang

diusulkan belum sesuai dengan keinginan daerah. Adanya gap ini kemungkinan dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Keuangan negara yang memang minim

untuk mengeluarkan anggaran yang besar di bidang kesehatan dan kesehatan tidak

termasuk dalam prioritas pembangunan. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan

rendahnya biaya kesehatan di Indonesia yaitu keuangan negara yang memang minim

untuk membiayai pelayanan kesehatan serta sektor kesehatan yang tidak termasuk dalam

prioritas pembangunan, rendahnya alokasi anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan

dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam anggaran tetapi

tidak mendapat persetujuan dari pusat.

Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:

1) Kebijakan dalam mengalokasikan anggaran APBN tidak didasarkan pada kebutuhan

dinas kesehatan propinsi,

2) ketidakmampuan SDM perencana dinas kesehatan dalam meyakinkan pusat tentang

pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut

Selama ini daerah mungkin terlalu besar membuat perencanaan dana untuk

pelaksanaan kegiatan/program dan daerah cenderung mengurangi besarnya jumlah


anggaran dari daerah sendiri di bidang kesehatan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh

Rienke dan Taylor (1996) yang mengatakan bahwa menyusun bahan perencanaan

kesehatan bukan hal yang sederhana sehingga output yang dihasilkan juga belum sesuai

dengan yang diharapkan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai salah satu

instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain untuk: (i)

mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical

fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (ii) meningkatkan

kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar

daerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (iv) tata kelola,

transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian Transfer ke Daerah

yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) dan mendukung kesinambungan

fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untuk meningkatkan

akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan

memungut pajak (taxing power)

Dengan model pendekatan top down ini, mengakibatkan adanya ketidaksesuaian

dalam isian DIPA dengan kegiatan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini dikarenakan oleh

karena daerah tidak diberikan sebuah keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis

kegiatan yang sesuai dengan perasalahan dan kebutuhan nyata yang ada didaeranya.

Fenomena ini sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Herawati yang menjelaskan

bahwa permasalahan ketidaksesuaian realisasi dana dekonsentrasi maupun dana

pembantuan dengan perencanaan yang diusulkan oleh daerah karena daerah mungkin

belum memiliki decision space yang luas


Selama ini aturan keuangan pusat dan daerah dalam satu sisi hanya untuk

mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, sedang di sisi lain adalah untuk

memfasilitasi proses pembangunan di daerah yang dijalankan di bawah skema otonomi

daerah. Proses pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan

sentralisme otoriter, dimana konsep perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan

dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah.

Di era desentralisasi ini idealnya daerah harus mempunyai kewenangan dan

decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan

menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Hal ini sebagaimana dengan konsep decision

space yang dikemukakan oleh Bossert bahwa decision space digunakan untuk

mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di berbagai negara Decision space

adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan bagi daerah tersebut untuk mempunyai

kewenangan yang dapat meningkatkan pilihan mereka. Kenyataannya Propinsi Maluku

Utara sejauh ini belum memiliki decision space. Selain itu, kemungkinan ketidaksesuaian

realisasi dana dengan usulan juga dapat dipengaruhi oleh faktor Departemen Kesehatan

RI sendiri belum memiliki formulasi anggaran untuk alokasi secara khusus sehingga

kemungkinan timbulnya ketidakadilan dalam alokasi anggaran dari pemerintah pusat

sangat mungkin terjadi. Secara ideal Departemen Kesehatan RI dalam mengalokasikan

anggaran harus memenuhi kriteria equity dan equality ketidaksesuaian realisasi dengan

dana yang diusulkan karena meningkatnya dana desentralisasi, sehingga menimbulkan

kemacetan transfer dana di pemerintah pusat.

Di dalam konsep desentralisasi pemerintah pusat masih mempunyai peran sebagai

pemberi anggaran melalui anggaran dekonsentrasi yang akan sampai ke propinsi.


Logikanya dana dekonsentrasi akan semakin menurun seiring dengan semakin

meningkatnya dana desentralisasi. Secara praktis hal ini diwujudkan dalam fenomena

merger-nya kantor-kantor wilayah departemen teknis ke pemerintah daerah.

Penghilangan pola vertikal dekonsentrasi ini diwujudkan dalam pola dekonsentrasi di

pemerintahan provinsi yang masih didanai oleh pusat. Berdasarkan kenyataan ini maka

kriteria transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi penting. Secara teoritis ada

berbagai kriteria dalam transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang mengkategorikan

kriteria

C. Penutup

Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan

malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005-2007 masih

tergantung dari hasil lobby dan negosiasi antara Dinas Kesehatan Propinsi dengan

Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara belum melakukan

lobby dan negoisasi langsung dengan DPR dan hanya mengklarifiasikan dana yang

keluar dengan DJA.

Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan ibu,

gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yang terealisasi dalam

DIPA belum memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya di Dinas Kesehatan Maluku Utara

tahun sejak 2005-2007. Dampak yang ditimbulkan akibat keterlambatan turunnya dana

dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap pelaksanan kegiatan malaria, kesehatan

ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di Dinas
Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak tahun 2005-2007 adalah tingkat capaian masing-

masing program belum sesuai dengan target.

Kebijakan tentang formulasi dan teknik alokasi dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan tahun 2005- 2007 selama ini di Propinsi Maluku Utara masih bersifat top

down dan belum menyesuaikan dengan anggaran dari pemerintah daerah, artinya belum

mengacu kepada kebijakan desentralisasi fiskal yang diharapkan

DAFTAR BACAAN

Republik Indonesia, RAPBN, 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan


Keuangan Daerah 2009, Jakarta.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangan dalam pelaksanaan anggaran dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
Herawati, D.M.D., Perencanaan Anggaran Dan Teknik Alokasi Oleh Pemerintah Pusat
Tahun 2006, www.desentralisasi-kesehatan.net
Bastian, I., (2006), Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di
Indonesia, Salemba Empat, Jakarta.
Trisnantoro, L., 2004. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah
Sakit, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Winarno, B (2007) Kebijakan Publik, Teori dan Proses. PT Buku Kita, Jakarta.
Herawati, D.M.D., Perencanaan Anggaran Dan Teknik Alokasi Oleh Pemerintah Pusat
Tahun 2006, www.desentralisasi-kesehatan.net
Sukarna, L.D., Budiningsih, N., Riyarto, S., Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Dalam
Mengalokasikan Anggaran Kesehatan Pada Era Desentralisasi, Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan Vol. 09. No. 01 Maret 2006, Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal
10-18
Rienke, W.A., (ed), ( terjemahan Trisnantoro, L) (1994), Perencanaan Kesehatan untuk
meningkatkan Efektifitas Manajemen ( Health Planning for Effective
Management), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Republik Indonesia, RAPBN, 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan
Keuangan Daerah 2009, Jakarta.
Bossert, T. Analyzing the Decentralization Of Health Systems in Developing Countries:
Decision Space, Innovations And Performance, Soc. Sci. Med. 1998;47(10).
Trisnantoro, L., Harbianto, D., 2005, Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan Dan Teknik
Alokasi Anggaran, www.desentralisasi-kesehatan.net
Shah A. 1994. The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and
Emerging Market Economies, Policy and Research Series 23 (Washington DC.
World Bank.).
Bastian, I., (2006), Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di
Indonesia, Salemba Empat, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai