A. Pendahuluan
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak
tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi
beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan
dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat
memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya
ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun
Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana
Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun
2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun
pada tahun 2008, atau tumbuh ratarata sebesar 20,2 persen per tahun
Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk
membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu
dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan
kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total
dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN.
B. Landasan Teori
merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil
pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal
pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah
kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari
APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan adanya
penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan
Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana dekonsentrasi
Kementerian Negara/Lembaga.
Kabupaten/Kota.
B. Pembahasan
Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan pada
salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan dekonsentrasi
yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas pembantuan pada
Alokasi dana APBN dari pemerintah pusat untuk Dinas Kesehatan Propinsi
sedangkan dana tugas pembantuan yang turun dalam bentuk bantuan Inpres 6 untuk
Daerah Pasca Konfik yang terdiri atas 2 kegiatan yaitu upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perorangan pada tiap tahunnya mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan kebutuhan rill yang dituangkan dalam draft usulan anggaran pada tiap tahunnya.
Sejak tahun 2005-2007, alokasi anggaran yang turun hanya berkisar antara 45% - 50%.
Mekanisme turunnya anggaran yang terjadi selama ini tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Tahun 2005 sampai 2007 rata-rata turunnya anggaran pada
bulan Juni hingga Juli. Pada tahun 2007 kondisi anggaran dekonsentrasi dan tugas
15%. Kemudian di tahun 2008 ini, kepastian tentang pengalokasian dana dekonsentrasi
tugas pembantuan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005- 2007
selama ini telah melibatkan seluruh komponen di tingkat kabupaten/kota maupun intern
untuk masing-masing program khususnya program malaria maupun gizi, dilakukan pada
saat rapat evaluasi program. Hasil yang diperoleh dari evaluasi program ini kemudian
ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke dalam sebuah Rapat Kerja Kesehatan
Daerah (RAKERKESDA) guna membahas lebih lanjut rencana kerja tahunan kesehatan
untuk masing-masing program sama dengan proses perencanaan dan penggaran dana
dekonsentrasi. Propinsi Maluku Utara selama ini dalam proses perencanaan dan
pengaanggran hanya melakukan lobby untuk dana tugas pembantuan sampai di tingkat
Departemen Kesehatan. Lobby tidak dilakukan sampai di tingkat DPR. Lobby di tingkat
DPR hanya dilakukan olen oleh departemen kesehatan sehingga Propinsi Maluku Utara
dapat dikatakan tidak pernah melakukan proses lobby penentuan jumlah besaran dana
Realisasi dilapangan selama ini juga menunjukkan bahwa selalu muncul gap
antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah setiap tahunnya.
Munculnya gap ini penulis asumsikan disebabkan oleh sistem perencanaan dan
penganggaran yang terjadi selama ini di propinsi belum sejalan dengan apa yang
seharusnya. Sehingga transfer dana yang sampai di daerah berbeda antara DIPA yang
disetujui dan dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan draft usulan yang
ajukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara. Selalu muncul gap antara DIPA
dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah pada setiap tahunnya.
Hal ini sejalan dengan PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
ini harus melibatkan seluruh jajaran di tingkat daerah bahkan sampai di tingkat desa.
Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan telah melibatkan seluruh
indikatif kebutuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diperlukan oleh
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya, interaksi yang terjadi antara
Kesehatan Propinsi Mauluku Utara selama ini belum sampai pada tingkat bagaimana
melibatkan komponen yang ada diluar Dinas Kesehatan. Lobby dan negosiasi yang
dilakukan adalah baru pada sebatas dengan unit esalon I vertikal. Lobby dan negosiasi
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara selama ini belum
Pada saat ini, lobby dan negosiasi yang dilakukan dengan memanfaatkan
kekuatan politis ternyata memiliki dampak dan hasil yang lebih baik. Lobby dan
negoisasi sangat penting dalam proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan di daerah Lebih lanjut dikatakan bahwa lobby dan pendekatan serta advokasi
kepada partai politik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, metode pendekatan ini bisa diterapkan dalam upaya untuk melancarkan
draft perencanaan anggaran dan kegiatan yang sesuai dengan permasalahan dan
nilai-nilai politik misalnya partai politik yang dalam sistematika pemerintahan dan
sangat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara input dengan
ouput yang diharapkan atau dengan kata lain harapan akan realisasi dana dekonsentrasi
yang sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah melalui usulan daerah tersebut dapat
memberikan tekanan kepada para pemimpin institusi. Oleh karena itu prinsip-prinsip
advocacy ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan dan argumentasi-argumentasi.
Adapun tujuan utama yang diharapkan dari advokasi adalah untuk memperoleh
komitmen dan dukungan kebijakan dari para penentu kebijakan atau pembuat keputusan
di segala tingkat. Besar kecilnya realisasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
bagi masing-masing daerah sangat tergantung dari variabel yang diduga dominan yaitu
Relalisasi dana untuk kegiatan dalam DIPA dengan kebutuhan dana yang
diusulkan belum sesuai dengan keinginan daerah. Adanya gap ini kemungkinan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Keuangan negara yang memang minim
untuk mengeluarkan anggaran yang besar di bidang kesehatan dan kesehatan tidak
rendahnya biaya kesehatan di Indonesia yaitu keuangan negara yang memang minim
untuk membiayai pelayanan kesehatan serta sektor kesehatan yang tidak termasuk dalam
dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam anggaran tetapi
Selama ini daerah mungkin terlalu besar membuat perencanaan dana untuk
Rienke dan Taylor (1996) yang mengatakan bahwa menyusun bahan perencanaan
kesehatan bukan hal yang sederhana sehingga output yang dihasilkan juga belum sesuai
dengan yang diharapkan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai salah satu
instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain untuk: (i)
mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical
kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar
daerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (iv) tata kelola,
yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) dan mendukung kesinambungan
dalam isian DIPA dengan kegiatan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini dikarenakan oleh
karena daerah tidak diberikan sebuah keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis
kegiatan yang sesuai dengan perasalahan dan kebutuhan nyata yang ada didaeranya.
Fenomena ini sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Herawati yang menjelaskan
pembantuan dengan perencanaan yang diusulkan oleh daerah karena daerah mungkin
decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan
menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Hal ini sebagaimana dengan konsep decision
space yang dikemukakan oleh Bossert bahwa decision space digunakan untuk
adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan bagi daerah tersebut untuk mempunyai
Utara sejauh ini belum memiliki decision space. Selain itu, kemungkinan ketidaksesuaian
realisasi dana dengan usulan juga dapat dipengaruhi oleh faktor Departemen Kesehatan
RI sendiri belum memiliki formulasi anggaran untuk alokasi secara khusus sehingga
anggaran harus memenuhi kriteria equity dan equality ketidaksesuaian realisasi dengan
meningkatnya dana desentralisasi. Secara praktis hal ini diwujudkan dalam fenomena
pemerintahan provinsi yang masih didanai oleh pusat. Berdasarkan kenyataan ini maka
kriteria transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi penting. Secara teoritis ada
berbagai kriteria dalam transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang mengkategorikan
kriteria
C. Penutup
malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005-2007 masih
tergantung dari hasil lobby dan negosiasi antara Dinas Kesehatan Propinsi dengan
Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara belum melakukan
lobby dan negoisasi langsung dengan DPR dan hanya mengklarifiasikan dana yang
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan ibu,
gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yang terealisasi dalam
DIPA belum memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya di Dinas Kesehatan Maluku Utara
tahun sejak 2005-2007. Dampak yang ditimbulkan akibat keterlambatan turunnya dana
ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di Dinas
Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak tahun 2005-2007 adalah tingkat capaian masing-
Kebijakan tentang formulasi dan teknik alokasi dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tahun 2005- 2007 selama ini di Propinsi Maluku Utara masih bersifat top
down dan belum menyesuaikan dengan anggaran dari pemerintah daerah, artinya belum
DAFTAR BACAAN