A. Pengertian Kakek yang Sahih
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita,
misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai
kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai
dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab lakilaki, maka
kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."
B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara
Baik AlQur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang sahih
dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhatihati
dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang
berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian
kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku
tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."
Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:
"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia
memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."
Ketakutan dan kehatihatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara itu
tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash AlQur'an atau hadits Nabi yang menjelaskannya. Dengan
demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat
mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya
mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya
tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak
kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalaukalau berlaku zalim dan aniaya.
Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT
tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia
menjelaskannya di dalam AlQur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di
kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris.
Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf
ashshalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara
lengkap dan detail beserta dalildalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin
mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta
dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan saudara, sama
seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat
digolongkan ke dalam dua mazhab.
Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara baik saudara kandung, saudara seayah,
ataupun seibu terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek
akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya
sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan
adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali
kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu
hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah
anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara,
kemudian barulah arah paman.
Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah mencakup kakek dan
seterusnya lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para saudara akan
terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah.
Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ashShiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini
diikuti oleh mazhab Hanafi.
Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung lakilaki/perempuan dan saudara lakilaki
seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak
waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah.
Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek
dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek
merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak
untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan
yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima.
Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara mereka
ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara yang jelas lebih muda
daripada kakekterhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek. Sebagai gambaran, misalnya
saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta
peninggalannya akan berpindah kepada anakanaknya yang berarti paman para saudara. Dengan
demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak
mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal,
dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat
yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud,
asySyi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.
D.Tentang Mazhab Jumhur
Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih yakni pendapat jumhur ulama maka saya perlu
mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai
dua keadaan, dan masingmasing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain
dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu,
istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama
Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudarasaudara tanpa ashhabul furudh yang lain,
maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya agar lebih banyak memperoleh harta
warisan dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara
mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi
kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara
pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.
Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia
mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung lakilaki. Apabila kakek berhadapan
dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung
lakilaki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara
mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima
keadaan tersebut sebagai berikut:
1. Kakek dengan saudara kandung perempuan.
2. Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
3. Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
4. Kakek dengan saudara kandung lakilaki.
5. Kakek dengan saudara kandung lakilaki dan saudara kandung perempuan.
Adapun penjelasannya seperti berikut:
Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).
Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).
Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).
Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian
ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
1. Kakek dengan dua orang saudara kandung lakilaki.
2. Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
3. Kakek dengan seorang saudara kandung lakilaki dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek
Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang
kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga
orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini
kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang lakilaki mendapat
dua kali lipat bagian wanita.
Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena
akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak waris saudara lakilaki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek
tanpa saudara kandung lakilaki atau perempuan maka hukumnya sama dengan hukum yang saya
jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh
yang lain yakni ahli waris lainnya maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang
paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima
seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat
bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka
tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau
dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara pembagian setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya bagian sang kakek
lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta
waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek
tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah
bagiannya yang telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan Kedua
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung lakilaki.
Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradhnya setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai
anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak seperempat dan saudara kandung lakilaki juga seperempat.
Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab
dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung lakilaki dan dua
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6)
bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara
lakilaki dan perempuan, dengan ketentuan bagi lakilaki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta
setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga
saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2),
nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung
perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat
saudara kandung lakilaki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima
anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat
saudara lakilaki tidak mendapatkan apaapa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang
cucu perempuan dari keturunan anak lakilaki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan
setengah (1/2), dan cucu perempuan keturunan dari anak lakilaki seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.
Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apaapa sebab ashhabul furudh
telah menghabiskan bagian yang ada.