51 - Kajian Kebijakan Kurikulum IPA
51 - Kajian Kebijakan Kurikulum IPA
KAJIAN KEBIJAKAN
KURIKULUM MATA PELAJARAN IPA
PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
2007
KATA PENGANTAR
Pemberlakuan UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun
2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menengah menuntut cara pandang
yang berbeda tentang pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Dulu, pengembangan kurikulum
dilakukan oleh pusat dalam hal ini Pusat Kurikulum sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan
pendidikan.
Pengembangan kurikulum yang dilakukan langsung oleh satuan pendidikan memberikan harapan tidak ada
lagi permasalahan berkenaan dengan pelaksanaannya. Hal ini karena penyusunan kurikulum satuan
pendidikan seharusnya telah mempertimbangkan segala potensi dan keterbatasan yang ada.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan:
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan
dan penilaian pendidikan. Salah satu dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yakni standar isi
(SI) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping standar
kompetensi lulusan (SKL). Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan
dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus
pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Pengembangan kurikulum telah dilakukan oleh sebagian satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dengan mengacu pada standar isi. Sebagai acuan, standar isi ini masih perlu ditelaah. Penelaahan
dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang ada-tidaknya rumusan pada standar isi yang
menimbulkan permasalahan bila digunakan untuk mengembangkan kurikulum. Sebagai naskah, kurikulum
yang telah dikembangkan oleh satuan pendidikan juga perlu ditelaah. Penelaahan terhadap naskah kurikulum
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kemungkinan keterlaksanaannya. Penelaahan standar isi
dan kurikulum dilakukan melalui berbagai tahapan kegiatan pengkajian keduanya.
Hasil pengkajian antara lain berupa naskah akademik :
1. Kajian Kebijakan Kurikulum SD
2. Kajian Kebijakan Kurikulum SMP
3. Kajian Kebijakan Kurikulum Kesetaraan Dikdas
4. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama
5. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kewarganegaraan
6. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa
7. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika
8. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA
9. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS
10. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Keterampilan
11. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kesenian
12. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran TIK
13. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani
Salah satu hasil kajian tersebut di atas adalah Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran
IPA. Hasil kajian ini memberikan gambaran tentang permasalahan dan prospek pengembangan kurikulum
mata pelajaran IPA sebagai masukan bagi perumus kebijakan pendidikan lebih lanjut.
Pusat Kurikulum menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada banyak pakar yang berasal
dari berbagai Perguruan Tinggi, Direktorat di lingkungan Depdiknas, kepala sekolah, pengawas, guru, dan
praktisi pendidikan, serta Depag. Berkat bantuan dan kerja sama yang baik dari mereka, naskah akademik ini
dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Diah Harianti
Salah satu dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan
nasional masa depan adalah kebijakan mengenai kurikulum. Kurikulum merupakan
jantungnya dunia pendidikan. Untuk itu, kurikulum di masa depan perlu dirancang dan
disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan
mutu sumber daya manusia Indonesia.
Kenyataannya, berdasarkan hasil laporan beberapa lembaga internasional,
perkembangan pendidikan di Indonesia masih belum memuaskan. Hal ini tercermin dari
hasil TIMSS (Trends Internasional in Mathematics and Science Study) yang menunjukkan
bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam bidang IPA berada pada urutan ke-38 (dari 40
negara). Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan di Indonesia memang harus terus
dilakukan. Perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu dan terus menerus yang
adaptif terhadap perubahan zaman. Rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia itu
memang tidak terlepas dari hasil yang dicapai oleh pendidikan kita selama ini.
Standar nasional pendidikan harus disempurnakan dan ditingkatkan secara berencana,
terarah dan berkala sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, - terdiri dari 8 standar yang salah satunya adalah Standar Isi,
- merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan kegiatan kajian kebijakan kurikulum mata pelajaran IPA adalah untuk
mengidentifikasi permasalahan dalam memahami dokumen Standar Isi (SK dan KD mata
pelajaran IPA); pengembangannya sebagai silabus dan RPP; hingga pada pelaksanaannya
dalam kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya, memberikan masukan mengenai kurikulum
IPA yang lebih aplikatif sebagai pembelajaran IPA yang sesuai dengan hakikat IPA,
sehingga mutu pendidikan IPA bisa disejajarkan dengan mutu pendidikan IPA dalam skala
internasional.
Dalam melakukan kajian melibatkan unsur-unsur Perguruan Tinggi, dan Sekolah,
disamping juga dari Puskur Balitbang Diknas. Metode yang digunakan bervariasi dari
studi dokumentasi, diskusi fokus, kerja mandiri/ kelompok, hingga presentasi. Hasil yang
diperoleh berupa temuan berupa kelemahan atau kekurangan pada Standar Isi, meliputi
sistematika, kedalaman/keluasan kompetensi, proporsi dan distribusi kompetensi,
keterkaitan antara SK dan KD, hingga penggunaan bahasa. Di samping itu, juga rancangan
kurikulum IPA masa depan hasil perbandingan dengan negara lain.
Berdasarkan kelemahan dan kekurangan tersebut perlu dilakukan revisi jangka pendek
berupa perbaikan bahasa yang lebih komunikatif; perbaikan sistematika; menyeimbangkan
proporsi dan komposisi kerja ilmiah; menentukan rentang batas kedalaman dan keluasan
kompetensi; memeriksa keterkaitan antara SK dan KD; dan meningkatkan pemahaman
Kepala Sekolah dan Guru tentang Standar Isi. Selanjutnya dalam revisi jangka panjang
menyiapkan standar dan kurikulum baru yang lebih aplikatif.
Kata Pengantar 1
Abstrak 3
Daftar Isi 4
Bab I. Pendahuluan 5
A. Latar Belakang 5
B. Landasan Yuridis 6
C. Tujuan 10
Daftar Pustaka 33
A. Latar Belakang
Untuk membangun pendidikan masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang
dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan
prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Salah satu dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan
nasional masa depan adalah kebijakan mengenai kurikulum. Kurikulum merupakan
jantungnya dunia pendidikan. Untuk itu, kurikulum di masa depan perlu dirancang
dan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan
meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Mutu pendidikan yang tinggi
diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis,
dan mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan semua warga negara
Indonesia yang produktif dan lulusannya mampu berkompetisi secara internasional.
Agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif
sesuai standar mutu nasional dan internasional, kurikulum di masa depan perlu
dirancang sedini mungkin. Hal ini harus dilakukan agar sistem pendidikan nasional
dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (IPTEKS). Dengan cara seperti ini lembaga pendidikan tidak akan
kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan peserta didik.
Untuk menjawab tantangan di atas, Pusat Kurikulum menyelenggarakan kegiatan
”Kajian Kurikulum Mata Pelajaran IPA”.
Kajian kurikulum IPA ini juga dilatarbelakangi dari hasil pendidikan kita yang belum
memuaskan. Hal itu tercermin pada laporan beberapa lembaga internasional berkenaan
dengan tingkat daya saing sumber daya manusia kita dengan negara-negara lain.
Seperti yang terungkap dalam catatan Human Development Report tahun 2000 versi
UNDP. Peringkat Human Development Index (HDI) atau kualitas sumber daya
manusia Indonesia berada pada urutan 105 dari 108 negara. Indonesia berada jauh di
bawah Philipina (77), Thailand (76), Malaysia (61), Brunei Darussalam (32), Korea
Selatan (30), dan Singapura (24). Organisasi internasional yang lain juga menguatkan
hal itu. International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan
dalam bidang Science dan Mathe-matics siswa SMP Indonesia berada di urutan 38 dari
39 negara yang disurvei. Sementara itu lembaga yang mengukur hasil pendidikan
Science dan Mathematics di dunia, melaporkan hasil Third (kini Trends) International
in Matemathics and Science Study (TIMSS), bahwa kemampuan Matematika siswa
SMP kita berada di urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di
urutan ke-32 dari 38 negara (Martin, et al. 1999)., sedangkan pada tahun 2003,
Indonesia berada pada urutan ke-36 dari 45 negara peserta baik pada bidang
matematika maupun bidang sains (Martin, et al. 2003).
Masih lemahnya kemampuan siswa dalam bidang sains khususnya literasi sains
terbukti dari hasil penelitian tentang asesmen hasil belajar sains pada level
internasional diselengarakan oeh Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) melalui program PISAnya. Penelitian yang dilakukan oleh
OECD yaitu tentang PISA (Programme for International Student Assessment) untuk
B. Landasan Yuridis
Dalam Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Hal ini dimaksudkan
untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan
dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di tiap daerah.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kurikulum dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau
madrasah. Hal itu dilakukan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau
kantor departemen agama kota/ kabupaten untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk
pendidikan menengah.
Standar nasional pendidikan harus disempurnakan dan ditingkatkan secara berencana,
terarah dan berkala sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global. Kata standar memiliki makna tingkat atau level kualitas atau keunggulan yang
harus dicapai dengan kriteria, benchmark, persyaratan atau spesifikasi tertentu. Hal ini
sesuai dengan pengertian dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan bahwa standar nasional pendidikan merupakan kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Standar nasional pendidikan tersebut dikembangkan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), selanjutnya dipantau pelaksanaannya dan dilaporkan hasil
C. Tujuan
Terjadinya perubahan yang cepat di era globalisasi seyogianya diikuti perubahan dalam
dunia pendidikan, yaitu dengan adanya penggantian kurikulum 1994 menjadi kurikulum
2006 yang lebih dikenal dengan Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Adapun bentuk operasional Standar Isi adalah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan atau yang dikenal dengan KTSP.
Standar isi merupakan salah satu lingkup dari delapan lingkup Standar Nasional
Pendidikan, yang saat ini telah selesai disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dan telah diberlakukan di satuan pendidikan dasar dan menengah. Kedelapan
Standar Nasional Pendidikan tersebut adalah:
1. standar isi;
2. standar proses;
3. standar kompetensi lulusan;
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
5. standar sarana dan prasarana;
6. standar pengelolaan;
7. standar pembiayaan;
8. standar penilaian pendidikan.
Agar terjadinya proses KBM yang berhasil pada kurikulum 2006 atau KTSP maka Standar
Isi utama yang terpenting adalah Standar Isi mata pelajaran. Adapun Standar Isi mata
pelajaran telah tertuang dalam Permendiknas No. 22, 23, dan 24 yang mengatur tentang
Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Pelaksanaan tentang Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar Isi untuk
satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mencakup lingkup materi minimal dan tingkat
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Standar Isi terdiri atas:
1. Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum;
a. Lampiran 1: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Tingkat SD/MI dan SDLB;
b. Lampiran 2: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Tingkat SMP/MTs dan SMPLB;
c. Lampiran 3: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Tingkat SMA/MA/SMALB dan SMK/SMAK.
2. Beban Belajar;
3. Kalender Pendidikan.
Adapun salah satu aspek standar isi adalah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD) mata pelajaran, yang terdiri atas:
a. standar kompetensi dan kompetensi dasar mapel SD/MI/SDLB (61 mapel);
b. standar kompetensi dan kompetensi dasar mapel SMP/MTs/SMPLB (67 mapel);
c. standar kompetensi dan kompetensi dasar mapel SMA/MA/SMALB dan SMK/SMAK
(102 mapel).
Terdapat empat kelompok masalah yang nampaknya sulit dilakukan oleh para guru dalam
melaksanakan hal-hal di atas. Masalah-masalah tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Kompetensi dasar berisi dua hal, yaitu kata kerja dan materi pokok. Suatu kata kerja
menunjukkan perubahan perilaku yang diharapkan dikuasai peserta didik setelah
mempelajari materi pokok tertentu, sedangkan materi pokok mencakup yang dipelajari
peserta didik.
Materi pokok dalam KD adalah materi minimal dari segi cakupan materi yaitu
keluasan dan kedalaman materi. Materi minimal artinya batas bawah, tetapi batas atas
tidak ditetapkan. Tidak adanya batas atas menyebabkan guru IPA mengalami kesulitan
dalam menyusun silabus dan RPP. Namun hal ini justru memberikan keleluasaan bagi
guru untuk berkreasi, sepanjang semua komponen pembelajaran mendukung.
Materi pokok harus diuraikan menjadi uraian materi pokok dengan dasar keluasan dan
kedalaman materi.
Contoh:
Materi pokok konsep reaksi oksidasi-reduksi dapat diuraikan menjadi uraian materi
pokok konsep reaksi oksidasi-reduksi (lama), reaksi oksidasi-reduksi dengan ion-
elektron, dan reaksi oksidasi-reduksi dengan bilangan oksidasi.
Dalam latar belakang tentang standar isi mata pelajaran disebutkan tujuan pelajaran
dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan antara lain pendekatan induktif
dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah
bertujuan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah
serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting keterampilan proses sains dan
kecakapan hidup.
Media dalam pembelajaran sekarang sudah melibatkan media yang bervariasi atau
multimedia. Tayangan dapat digunakan secara interaktif. Penggunaan multimedia
membantu mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan proses. Obyekyek yang terlalu
besar atau terlalu kecil dimungkinkan disajikan kepada siswa dalam bentuk
multimedia. Peristiwa yang memerlukan waktu relatif lama dapat diatasi dengan
penggunaan multimedia. Proses yang terlalu singkat atau terlalu abstrak, atau terlalu
panjang, berbahaya dan sukar dilakukan dalam waktu belajar di kelas juga dapat
diatasi dengan penggunaan multimedia.
Guru mata pelajaran (mapel) akan sangat terbantu dengan adanya buku teks pelajaran
yang telah dinilai dari aspek berikut.
Buku non teks sebenarnya sangat diperlukan oleh siswa untuk menambah wawasan.
Buku non teks dapat disiapkan khusus untuk melengkapai buku teks pelajaran dan
tidak terikat lingkup kurikulum yang berlaku. Jadi buku non teks lebih bersifat
pengayaan.
Penilaian proses dan hasil belajar IPA menuntut teknik dan cara-cara penilaian yang
lebih komprehensif (Stiggins, 1994). Di samping aspek hasil belajar yang dinilai harus
menyeluruh yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, teknik penilaian dan
instrumen penilaian seyogianya lebih bervariasi. Hasil belajar dapat dibedakan
menjadi pengetahuan (know-ledge), penalaran (reasoning), keterampilan (skills), hasil
karya (product), dan afektif (affective). Adapun hasil belajar tersebut dapat diungkap
atau dideteksi melalui beberapa cara atau teknik seperti: pilihan atau respons terbatas
(selected response), asesmen esai (essay assessment), asesmen kinerja (performance
assessment), dan komunikasi personal (personal communication).
Guru perlu memperoleh bekal wawasan melalui berbagai pelatihan dan pemodelan,
atau memperoleh pedoman yang memadai (semacam petunjuk teknis atau petunjuk
pelaksanaan). Selain itu guru perlu mendapat contoh-contoh soal sains (IPA) yang
diluncurkan dalam studi-studi internasional seperti PISA dan TIMSS.
Program PISA menyediakan suatu landasan baru untuk dialog masalah kebijakan dan
untuk berkolaborasi dalam mendefinisikan dan mengimple-mentasikan tujuan-tujuan
besar pendidikan. Implementasi tujuan-tujuan tersebut dilakukan dalam cara-cara
yang inovatif dan reflektif yang mempertimbangkan keterampilan-keterampilan yang
relevan dengan kehidupan orang dewasa.
PISA membedakan literasi membaca (reading literacy), literasi matematika
(mathematical literacy), dan literasi sains (scientific literacy) setiap tiga tahun sekali.
Asesmen PISA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000. Dengan fokus terhadap
literasi membaca (reading literacy), PISA 2000 menunjukkan perbedaan yang luas di
negara-negara yang sukses dalam memfasilitasi para siswanya untuk mengakses,
mengelola, mengintegra-sikan, mengevaluasi dan merefleksikan informasi tertulis agar
dapat mengembangkan potensi mereka dan memperluas wawasan mereka selanjutnya.
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses
sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses
mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah,
seperti mengi-denifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan.
Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab
oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta
mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada.
Tabel 2.1 Perbandingan Assessment Area Literasi Sains 2000 dan 2003
Konteks sains merujuk pada situasi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan
bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains. Dalam kaitan ini PISA membagi
bidang aplikasi sains ke dalam tiga kelompok, yakni kehidupan dan kesehatan, bumi
dan lingkungan, serta teknologi. Masalah dan isu sains dalam bidang bidang tersebut
dapat terkait pada anak sebagai individu, bagian dari masyarakat, dan warga dunia.
Situasi nyata yang menjadi konteks aplikasi sains dalam PISA tidak secara khusus
Survei juga telah dilakukan oleh TIMSS terhadap pencapaian sains anak kelas 4 (9
tahun saat di tes) dan kelas 8 (13 tahun saat dites) dengan ruang lingkup domain
konten dan domain kognitif, untuk domain konten dibedakan: level kelas 4 mencakup
Life science, Physical science, dan Earth science. Untuk level kelas 8 mendapat
tambahan Kimia (Chemistry) dan pengetahuan lingkungan Environmental science).
Domain koqnitif mencakup pengetahuan tentang fakta (factual knowledge),
pemahaman konsep (conceptual understanding), serta penalaran dan analisis
(reasoning & analysis). Survai untuk TIMSS menunjukkan bahwa dari 38 negara yang
berpartisipasi pada tahun 1999 dan dari 46 negara yang berpartisipasi pada tahun 2003,
masing-masing anak Indonesia menempati peringkat 32 dan 37. Skor rata-rata
perolehan anak Indonesia untuk IPA mencapai 420,221, skor ini tergolong ke dalam
katagori low benchmark artinya siswa baru mengenal beberapa konsep mendasar
dalam Fisika dan Biologi (Rustaman, 2006a).
Atas dasar uraian di atas, maka diduga kurikulum IPA di Indonesia belum
diimplementasikan oleh kebanyakan sekolah. Hal ini dikuatkan oleh Dasar Pemikiran
yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa
Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa
salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran.
Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori
dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta
didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru
(teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan
dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Panduan Seminar Sehari Hasil
Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan
Membaca, 2006).
Dari kajian teoritis yang telah diberikan apa yang bisa kita berikan untuk Kurikulum
IPA di Indonesia dan Implementasinya serta Kurikulum IPA Masa Depan
2. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran menekankan pada pemberian pengalaman langsung, kontekstual
dan berpusat kepada siswa, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator. Proses
pembelajaran yang terlihat pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk
• Siswa kelas 1 – 3, belum diperkenalkan pada kerja ilmiah, mereka masih terbatas
pada: mengenal, mengidentifikasi, membiasakan, membedakan, menggolongkan,
mendeskripsikan.
• Siswa kelas 4 semester 2, baru mulai diperkenalkan dengan kerja ilmiah, yaitu
menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat
merubah gerak suatu benda dan dapat mengubah bentuk suatu benda.
• Siswa kelas 5, nampak adanya kerja ilmiah yaitu menyimpulkan hasil penyelidikan
tentang perubahan sifat benda, baik sementara maupun tetap, tetapi sebagian
besar hanya mengidentifikasi dan mendeskripsikan.
• Siswa kelas 6, nampak juga adanya kerja ilmiah, yaitu melakukan percobaan untuk
menyelidiki hubungan antara gaya dan gerak.
• Siswa kelas 7 – 12, nampak bahwa kerja ilmiah banyak digunakan dalam
pembelajaran IPA, di samping itu juga pembelajaran IPA yang bersifat analisis
dan pemecahan masalah banyak diperkenalkan.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa siswa kelas 1 – 6, masih minim sekali diperkenalkan
kerja ilmiah, padahal ini merupakan ciri penting pada mata pembelajaran IPA. Pada
latar belakang kurikulum mata pelajaran IPA siswa kelas 1 – 6 sebenarnya telah
disebutkan bahwa : ”Pembelajaran IPA sebaiknya secara inkuiri ilmiah (scientific
inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomuni-kasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup”
(http://www.puskur.net/nc/si/sd/PengetahuanAlam. pdf).
Dengan minimnya pembelajaran IPA dengan kerja ilmiah tersebut berarti sikap ilmiah
juga menjadi minim. Untuk siswa kelas 7 – 12, nampak bahwa kerja ilmiah,
pemecahan masalah dan menggunakan cara berpikir lebih tinggi (analisis) banyak
digunakan dalam pembelajaran IPA.
Dari latar belakang kurikulum IPA untuk siswa kelas 7 – 9 dan IPA Fisika untuk siswa
kelas 10 – 12 masing-masing telah disebutkan bahwa: ”Proses pembelajarannya
hendaknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientic inquiry) untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya
sebagai aspek penting kecakapan hidup”
(http://www.puskur.net/inc/si/SMP/PengetahuanAlam. pdf.), dan ”Pembelajaran Fisika
dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja
dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan
hidup” (http://www.puskur.net/inc/si/SMA/Pengeta-huanAlam.pdf.).
Di sini nampak bahwa kerja ilmiah IPA pada pembelajaran kurikulum 2006 sangat
ditekankan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rustaman (2006a) bahwa ”dalam
kurikulum 2004 (KBK) dan kurikulum 2006 (KTSP) ditekankan kemampuan kerja
ilmiah dalam Kurikulum Sains mencakup proses sains.
B. Kajian Lapangan
Bagaimana kerja ilmiah dan pemecahan masalah diimplementasikan pada pembelajaran
IPA bisa dilihat dari fakta hasil literasi sains anak-anak Indonesia yang dilakukan oleh the
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam PISA (the
Programme for International Student Assessment) dan pencapaian sains anak-anak
Indonesia oleh the Internasional Association for the Evaluation of Education Achievement
(IEA) dalam TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).
Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau belajar dari kemajuan negara lain, begitu
pula untuk kurikulum terutama kurikulum IPA. Kurikulum IPA perlu mengacu pada
hakikat IPA itu sendiri, sebagaimana tampak implementasinya pada konten/materi literasi
sains oleh PISA dan materi pencapaian sains oleh TIMSS (Rustaman, 2006ª) di atas.
Selain itu, Kurikulum IPA perlu juga mengkaji dan membandingkan dengan kurikulum
IPA di negara-negara maju.
Standar pengajaran sains mendeskripsikan guru-guru sains pada seluruh tingkatan kelas
akan mengetahui dan harus bekerja. Standar pengajaran sains ini dibagi ke dalam enam
bidang, yaitu:
1. Perencanaan program IPA berdasarkan penyelidikan;
2. Tindakan membimbing dan memfasilitasi pembelajaran siswa;
3. Membuat asesmen pengajaran dan pembelajaran siswa;
4. Pengembangan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk belajar IPA;
5. Menciptakan komunitas pebelajar IPA;
6. Merencanakan dan mengembangkan program IPA sekolah.
Kenyataannya siswa masih lemah dalam sains, padahal dengan perkembangan zaman
landasan sains sangat diperlukan untuk berkomunikasi dan pengembangan teknologi.
Walaupun hasil survei tahun 2006 belum dipublikasikan, hasilnya sudah dapat diduga
atau diperkirakan. Eratnya keterkaitan anatara literasi membaca dan literasi sains pada
PISA 2003, serta tidak terbiasanya anak Indonesia membaca yang bermakna sksn turut
mempengaruhi kemampuannya dalam ber-IPA (sciencing).
Alasan pembiayaan pendidikan yang tidak tinggi tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengelak (berkelit) dari kenyataan bahwa IPA belum diajarkan sebagaimana
seharusnya (sesuai hakikat IPA/Sains). Bukti lain dapat dilihat dari hasil mengikuti
TIMSS tahun 1999 dan tahun 2003. Apabila pembelajaran sains (dan Matematika)
efektif, tentunya hasil TIMSS 2003 sudah menunjukkan peningkatan yang berarti.
Survei juga telah dilakukan oleh TIMSS terhadap pencapaian sains anak kelas 4 (9
tahun saat di tes) dan kelas 8 (13 tahun saat di tes) dengan ruang lingkup domain
konten dan domain kognitif, untuk domain konten dibedakan: level kelas 4 mencakup
Life science, Physical science, dan Earth science. Untuk level kelas 8 mendapat
tambahan Kimia (Chemistry) dan pengetahuan lingkungan Environmental science).
Domain koqnitif mencakup pengetahuan tentang fakta (factual knowledge),
pemahaman konsep (conceptual understanding), serta penalaran dan analisis
(reasoning & analysis). Survai untuk TIMSS menunjukkan bahwa dari 38 negara yang
berpartisipasi pada tahun 1999 dan dari 46 negara yang berpartisipasi pada tahun 2003,
masing-masing anak Indonesia menempati peringkat 32 dan 37. Skor rata-rata
perolehan anak Indonesia untuk IPA mencapai 420,221, skor ini tergolong ke dalam
katagori low bencmark artinya siswa baru mengenal beberapa konsep mendasar dalam
Fisika dan Biologi (Rustaman, 2006a).
Atas dasar uraian di atas, maka diduga kurikulum IPA di Indonesia belum
diimplementasikan oleh kebanyakan sekolah. Hal ini dikuatkan oleh Dasar Pemikiran
yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa
Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa
salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran.
Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori
dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta
didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru
(teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan
dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Panduan Seminar Sehari Hasil
Pengembangan kurikulum IPA masa depan perlu mengacu pada hakikat IPA itu sendiri,
yang implementasinya berlandaskan pada perkembangan IPTEKS dan dampaknya secara
global terhadap lingkungan. Selain itu, perlu juga mengkaji dan membandingkan dengan
kurikulum di negara-negara maju.
b. Pembelajaran IPA
Penilaian hendaknya:
Standar pengajaran IPA mendeskripsikan guru-guru IPA pada seluruh tingkatan kelas
akan mengetahui dan harus bekerja. Standar pengajaran IPA ini dibagi ke dalam enam
bidang sebagai berikut.
1) perencanaan program sains berdasarkan penyelidikan;
2) tindakan membimbing siswa dan memfasilitasi pembelajaran IPA;
3) pengembangan asesmen pengajaran dan pembelajaran siswa;
4) pengembangan lingkungan yang memungkinkan siswa belajar IPA;
5) pembentukan komunitas pebelajar IPA;
6) perencanaan dan pengembangan program IPA sekolah.
Dari kurikulum yang dikembangkan oleh the National Research Council USA tersebut
dapat diperoleh pokok-pokok pikiran untuk pengembangan Kurikulum IPA ke depan
sebagai berikut.
1) Penggolongan standar isi untuk seluruh tingkatan kelas sama, perbedaan terletak
pada kesesuaian antara dimensi pengetahuan (knowledge) dan dimensi proses
kognitif. Dimensi pengetahuan kognitif berisi empat katagori, yaitu: pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Keempat katagori
B. KESIMPULAN
Atas dasar kajian terhadap Kurikulum IPA di Indonesia dan implementasinya, serta
atas dasar kajian IPA masa depan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal di
bawah ini ditinjau dari segi: Isi (konten), Pembelajaran, dan Penilaian (Asesmen)
adalah sebagai berikut.
1. Konten
a. Penggolongan materi dari seluruh jenjang kelas sebaiknya sama, yang
membedakan hanyalah dimensi pengetahuan dan dimensi kognitif.
b. Terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan pada naskah Standar Isi,
berkaitan dengan sistematika, kedalaman dan keluasan SK-KD, keterkaitan
antara SK dengan KD, proporsi dan distribusi kompetensi atau materi, dan
penggunaan bahasa.
c. Untuk mengatasi kekurangan atau kelemahan tersebut, perlu diadakan revisi
seperlunya.
d. Revisi atau perbaikan dilakukan dalam tahap jangka pendek dan jangka
panjang, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap penera-pannya pada
satuan pendidikan.
2. Pembelajaran
3. Penilaian
C. REKOMENDASI
Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assessing: A Revision of Bloo’m Taxonomy of Educational Objectives. New York:
Addison Wesley Longman, Inc.
Haladyna, T.M. (1997). Writing Test Items to Evaluate Higher Order Thinking. USA:
Allyn Bacon.
Jatmiko, B. (2007). Kurikulum IPA Masa Depan. Makalah, disajikan dalam Seminar
Kurikulum Masa Depan, diselenggarakan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.
Jatmiko, B. (2004). Hakikat Pembelajaran IPA. Semlok bagi Dosen, Mahasiswa, Guru-
guru SD, SMP dan SMA se Bali. Singaraja: FMIPA IKIP Negeri.
National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington,
DC: National Academy Press.
Purwadi, B. (2006). PISA dan TIMSS 2003. Gambaran Umum Metode Penelitian. Jakarta:
Puspendik Depdiknas.
Puspendik Depdiknas. (2006). Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi
Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta.
Rustaman, N. Y. (2006a). Pencapaian Sains Siswa Indonesia pada TIMSS. Seminar Sehari
Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains,
dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas.
Rustaman, N.Y. (2006b). Literasi Sains Anak Indonesia 2000 dan 2003. Seminar Sehari
Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains,
dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas.
Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Merrill, an
imprint of Macmillan Colege Publishing Company.
Sukardjo, FMIPA UNY. (2007). Keterlaksanaan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia
SMA/MA.