Anda di halaman 1dari 7

1

Hukum dan HAM

ANALISIS MENGENAI PEMENUHAN HAK EKOSOB


(EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA) DI RUMAH DOME
DUSUN NEW NGLEPEN (SENGIR), DESA SUMBERHARJO,
KECAMATAN PRAMBANAN, SLEMAN, YOGYAKARTA
PASCA GEMPA 27 MEI 2006

A. PENDAHULUAN

Nglepen, 17 Oktober 2009

Hari ini Sabtu, 17 Oktober 2009, saya beserta teman-teman mata kuliah
Hukum dan HAM khususnya kelas C melakukan kunjungan ke Dusun New
Nglepen untuk mengetahui secara lebih dekat kehidupan warga dalam pemenuhan
hak “ekosob” (hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) di rumah dome pasca gempa
Yogyakarta tiga tahun silam. Di sana, kami mendapatkan suguhan yang jarang
terlihat di pemukiman penduduk pada umumnya. Sejauh mata memandang terlihat
rumah-rumah yang berbentuk “dome” seperti kubah besar, sungguh menarik dan
menakjupkan. Kami mendapat banyak ilmu sekaligus menambah wawasan dan
pengalaman. Bapak Sakiran selaku ketua RT New Nglepen sekaligus pengelola
rumah dome memberi pengarahan dan penjelasan mengenai rumah dome. Kami
juga diajak mengunjungi lahan bekas gempa Dusun Sengir di sebuah areal
perbukitan.

B. URAIAN KASUS DAN TEORI

Berawal dari gempa 27 Mei tiga tahun silam yang terpaksa mengharuskan
dilakukannya “bedol desa” Sengir yang direlokasikan ke Dusun Nglepen karena
kondisi tanah yang labil akibat pergeseran tanah selebar 20 m dalamnya 7-15 m
sehingga tanah tidak layak untuk ditempati. Kemudian muncul sebuah LSM
bernama World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) dan
Domes for the World Foundation (DFTW) yang memberi bantuan rumah
berbentuk dome, yang menurut penelitian tahan akan gempa. Sebelumya niat baik
LSM ini sempat ditolak oleh masyarakat di daerah Aceh. Namun, keinginan baik
2
Hukum dan HAM

ini disetujui oleh pihak Pemda Yogyakarta. Tidak hanya itu warga Nglepen pun
menyetujui keputusan ini. Akhirnya, pembangunan dimulai pada bulan November
tahun 2006. Pembangunan rumah dome ini untuk relokasi desa Nglepen tidak jauh
dari daerah asalnya. Lahan yang dipakai adalah tanah milik kas desa tersebut.
Luas lahan ini sekitar 2,8 hektar. Pembangunan rumah-rumah berbentuk dome ini
di gagasi oleh David Soud. Menurut pendapatnya rumah berbentuk dome ini anti
akan tiga hal, yaitu : anti gempa, anti badai, dan anti kebakaran. Arsitek
pembangunan domes ini adalah Rick Crandell.

a. Proses Pembangunan
Proses pembangunan memakan waktu hampir satu tahun. Penyelesaian
domes ini pada awal bulan Mei tahun 2007. Namun telah diresmikan, pada
tanggal 29 April 2007. Kemudian daerah ini dinamakan New Domes Nglepen.
Terdapat 80 domes, diantaranya 71 rumah huni, delapan fasilitas lain, enam
MCK, satu mushola, satu taman kanak-kanak (TK), dan satu poliklinik. Semuanya
dalam ukuran sama, diameter rumah dome 7 m, dua lantai, luas sekitar 38 m2 per
kapling kecuali mushola dan TK.
Konstruksi rumah dome yaitu untuk membuat bangunannya, para tukang
harus mempersiapkan fondasi bangunannya dulu yang berbentuk lingkaran
dengan diameter 7 meter. Setelah fondasi berupa cor semen itu selesai, di atasnya
ditaruh sebuah balon besar berketinggian sekitar 6 meter yang menyerupai
parabola tertelungkup dengan diameter sesuai dengan fondasi dasarnya.
Di atas balon tersebut para tukang kemudian mempersiapkan rangka besi
yang bentuknya sesuai dengan bentuk balon tadi. Di antara diameter tersebut
dipasang kerangka pintu dan jendela. Jika kerangka besi yang sudah dilengkapi
kerangka pintu dan jendela tersebut telah terpasang dengan sempurna, balonyang
dijadikan dasar pembentukan kerangka itu digembosi dan dicopot. Selanjutnya,
para tukang mengecor rangka besi yang menyerupai parabola tertelungkup itu
dengan semen dan pasir dengan perbandingan adukan 1:2. Tinggi bangunan
domes itu sekitar 6,15 meter. Jika pengecoran dinding luar telah selesai, bagian
dalam domes selanjutnya dibagi empat ruang sesuai garis diameternya.Bangunan
3
Hukum dan HAM

seluas 36 meter persegi itu lalu disekat menjadi empat ruangan dengan dinding
bata yang diplester semen setinggi sekitar empat meter. Empat ruangan yang
masing-masing bentuknya menyerupai seperempat lingkaran itu lalu digunakan
untuk kamar tamu, dua kamar tidur, dan dapur.
Di atas sekat bata yang memisahkan empat ruangan itu, dipasang papan
dari kayu yang fungsinya sebagai lantai dua yang atapnya langsung di bawah
kubah. Tangga yang menghubungkan antara lantai satu dan lantai dua bangunan
domes dipasang di ruang dapur.Dinding dan lantai rumah yang memiliki tinggi
4,6 meter dibuat dari semen. Batu bata hanya dipakai untuk menyekat dua buah
kamar yang ada di dalamnya. Diameter ruangan tidak terlalu besar, hanya sekitar
tujuh meter. Rumah ini memiliki dua pintu dengan empat buah jendela, masing-
masing dua di depan (mengapit pintu) dan dua di kamar. Pintu satunya ada di
belakang. Untuk mengurangi panas, dipuncak dome terdapat lubang berdiameter
sekitar 30cm. Rencananya, pada lubang itu akan dipasang kipas angin.
Sayangnya, setiap domes hanya dilengkapi dengan sarana saluran air di dapur dan
tidak dilengkapi dengan kamar mandi. Kamar mandi disediakan khusus dalam
satu domes tersendiri yang berisi 10 hingga 12 kamar mandi. Satu domes kamar
mandi tersebut diletakkan di tengah blok, dimana setiap blok terdiri atas 12
domes.

b. Analisis Mengenai Potensi Wisata


Terselesaikannya proses pembangunan ini dinantikan oleh semua orang,
khususnya para warga Dusun New Nglepen. Bahkan warga di luar daerah DIY
pun penasaran menantikannya. Sehingga ketika proses penyelesaiannya tiba,
berbondong-bondong warga ingin melihatnya. Bahkan dari kalangan artis yaitu
Luna Maya pun datang untuk melihat keindahan dari domes ini. Para pengunjung
yang datang sangat banyak. Sehingga para penduduk domes mengalami kesulitan
dalam hal parkiran kendaraan para pengunjung.
Potensi ini disadari oleh pihak Dinas Pariwisata, sehingga Dinas
Pariwisata mengajak para warga setempat untuk bekerjasama dalam
pengembangan daerah yang akan dijadikan tempat wista ini. Salah satu bentuk
4
Hukum dan HAM

sosialisasinya mengajak beberapa warga untuk studi banding ke daerah yang


memiliki daya tarik wisata. Namun, usaha ini bisa dikatakan tidak berhasil.
Karena sifat warga New Domes Nglepen ini yang masih tradisional. Para warga
menganggap apabila 1 hari kerja, maka 1 hari itu juga mereka harus mendapat
upah, sedangkan dalam bidang pariwisata hal itu tentu tidak dapat diterapkan,
begitulah ungkap Pak Sakiran. Warga hanya bergantung pada mata pencaharian
sebagai petani saja. Masalah SDM dan sifat warga yang masih tradisional itulah
yang menjadi masalah hingga saat ini. Padahal banyak bentuk usaha lain yang
bisa mereka gunakan sebagai penyokong kehidupan mereka. Usaha tersebut
dengan cara memanfaatkan wilayah mereka untuk dijadikan tempat wisata. Usaha
yang kreatif dapat menghasilkan pendapatan yang cukup memadai dan dapat
menyokong serta meningkatkan taraf kehidupan warga. Akan tetapi hal itu sampai
saat ini masih sulit untuk bisa terwujud, sehingga masalah ini menjadi perhatian
banyak pihak, tak terkecuali dari kami selaku mahasiswa Fakultas Hukum yang
sangat tertarik akan keunikan-keunikan rumah dome dari berbagai segi
pandangan, khususnya dipandang dari segi hukum positif Indonesia yang berlaku
sesuai aturan perundang-undangan.

C. ANALISIS TENTANG PEMENUHAN HAK EKOSOB


Dapat diberi kesempatan mengunjungi rumah dome New Nglepen
merupakan suatu kesenangan tersendiri bagi saya. Karena selain terkait Study
Klinik dengan adanya tugas mata kuliah Hukum dan HAM, saya mendapat
banyak pengetahuan dan wawasan mengenai rumah dome dan kehidupan para
warga yang menempatinya.

Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya


Saat ini para warga menghuni rumah sumbangan donatur Uni Emirat
Arab, yang berbentuk kubah besar (dome) ini dengan fasilitas yang jauh lebih
baik dibanding rumah asli mereka. Ukuran rumah tembok berdiamater 7 meter
tersebut dibagi menjadi beberapa ruang, yakni dua ruang tidur dan satu ruang
tamu dan bagian belakang adalah dapur, sedangkan di lantai atas ada ruang
5
Hukum dan HAM

keluarga bisa juga digunakan untuk tempat tidur bagi sebagian warga yang
mempunyai anak lebih dari dua, setelah beranjak dewasa tentunya terpisah antara
laki-laki dan perempuan. Kamar mandi dibangun secara terpisah dan digunakan
secara komunal. Tapi justru dengan begitu, Pak Sakiran mengatakan mereka bisa
berinteraksi dengan tetangga sehingga terjalin keakraban antar warga seperti di
dusun asal mereka. Namun hal itu juga menjadi suatu masalah yang pelik. Karena
biasanya para warga dengan leluasa dapat menikmati fasilitas MCK di rumah
sendiri yang sekarang rumah-rumah itu telah luluh lantak oleh gempa. Sangat
berbeda dengan keadaan sekarang.

Sedangkan bagi orang Jawa, khususnya di pedesaan Yogyakarta, rumah


atau “omah” berarti rumah tempat tinggal, mempunyai arti penting yang
berhubungan erat dengan kehidupan mereka. Saya sendiri adalah orang asli Jawa,
dimana kehidupan orang Jawa terdapat dalam tiga ungkapan kata, yakni :
sandang, pangan, papan yang artinya: pakaian, makan, dan tempat tinggal. Di
samping itu, tipologi rumah orang Jawa ialah dengan denah berbentuk empat
persegi panjang atau segi empat sama sisi. Bagian-bagian rumah pun berukuran
besar dan luas, banyak pula rumah-rumah Jawa yang terdapat sebuah ruangan
yang disebut “senthong” atau gudang sebagai tempat penyimpanan hasil
pertanian. Orang Jawa menganggap rumah sebagai tempat tinggal yang identik
dengan pribadi yang memilikinya. Sistem mendirikan rumah tidak begitu saja
terjadi tanpa menghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual. Menurut anggapan
mereka, bila nilai-nilai luhur budaya Jawa ikut dipertimbangkan dalam
membangun rumah, akan memberikan kebahagiaan lahir batin bagi pemilik atau
penghuni rumah tersebut. Walaupun rumah dome memiliki fasilitas yang lebih
modern daripada rumah mereka dahulu, menurut pendapat saya para warga yang
masih berpandangan tradisional kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap
berbagai fasilitas modern dalam rumah dome. Misalnya, mengenai ukuran rumah
yang kurang besar, tidak sama dengan rumah dahulu yang terdapat senthong
untuk menyimpan hasil pertanian, serta kurang luasnya halaman rumah dome,
tidak seperti rumah mereka dulu. Warga juga dipaksa untuk memasak dengan
6
Hukum dan HAM

kompor gas karena juga terkait konversi gas yang dicanangkan oleh pemerintah
pusat bagi seluruh warga Indonesia. Padahal dahulu para warga memasak dengan
kayu bakar yang dengan mudahnya dapat diambil dari hutan sekitar tempat tinggal
mereka yang merupakan daerah perbukitan. Mahalnya harga gas di pasaran tidak
dapat dijangkau oleh warga yang sebagian besar adalah petani dan buruh,
sehingga ada sebagian warga yang terpaksa membangun dapur tambahan untuk
memasak dengan kayu bakar atau tempat menyimpan hasil panen di belakang
rumah dome dan menurut pandangan saya, hal ini tentunya sangatlah bertolak
belakang, karena susahnya kehidupan tradisional beralih menjadi kehidupan
modern.

Kebiasaan dan pekerjaan warga pun tidak berubah. Mereka masih ke


sawah atau beternak sapi dan kambing. Tapi, mereka tidak bisa memelihara
hewan ternak di dekat rumah. Karena kandang hewan ternak dibangun dan
digunakan secara komunal oleh warga, sehingga terlihat bersih, rapi, dan terjaga.
Ada kandang umum sebanyak 24 unit di lokasi yang berjarak hanya 50 meter dari
kompleks rumah dome. Untuk pengaturan penggunaan fasilitas secara komunal,
para warga sering melakukan diskusi atau sharing dalam hal pengaturan piket
kebersihan maupun keamanan sekitar rumah dome, sehingga kebersihan,
keselarasan, dan keamanan warga senantiasa terjaga.

Letak rumah dome yang diapit oleh perkampungan rumah warga biasa,
menurut saya, akan menimbulkan berbagai gejolak sosial dan budaya. Seperti
yang diketahui, bentuk rumah dome yang “tak biasa” itu adalah bentuk proyek
rumah anti gempa pertama di Indonesia. Dengan bentuk yang unik itu, menarik
perhatian banyak pihak, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM,
Instansi-instansi, maupan masyarakat yang berasal dari luar Yogyakarta. Dengan
kata lain rumah dome mendapat perhatian yang lebih daripada rumah-rumah
warga biasa. Menurut saya, hal itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial antar
warga rumah dome dengan warga rumah biasa.
7
Hukum dan HAM

Analisis Mengenai Status Tanah Warga

Setelah mengadakan kunjungan dan tinjauan langsung ke rumah dome,


saya dapat mengambil kesimpulan bahwa masalah yang paling mendasar dari
rumah dome adalah masalah status tanah warga. Dahulu sebelum dibangun rumah
dome para warga Sengir, diberi penawaran bantuan, mau uang sebesar 15 juta
atau dibangunkan sebuah rumah anti gempa. Warga memilih dibangunkan rumah
anti gempa karena mereka beranggapan mereka tidak perlu susah-susah
membangun rumah. Maka secara otomatis, penempatan rumah dome adalah
sebagai hak milik warga sesuai sosialisasi pada waktu itu. Sedangkan menurut
UUD 1945 pasal 28 E Ayat (1) “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikkan dan pengajaran, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”. Akan tetapi masalah muncul kemudian,
bahwa menurut Surat Keputusan Gubernur tanah kas tidak boleh menjadi hak
milik perorangan, sehingga hanya boleh menempati secara cuma-cuma (sewa
tanpa perlu bayar) dengan jangka waktu tidak kurang dari tiga tahun. Tahun ini,
tepatnya pada tanggal 1 November 2009, tanah rumah dome telah habis masa
sewanya. Oleh karena itu, setelah melalui suatu rapat bersama warga sepakat
untuk menyewa tanah kembali, dan menginginkan untuk menjadi hak milik.
Dalam pelepasan tanah menjadi hak milik akan melibatkan banyak pihak, mulai
dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD serta Lembaga
Hukum. Sedangkan menurut saya, proses untuk itu sangatlah sulit, mengingat
terbatasnya pengetahuan warga terutama mengenai masalah hukum. Untuk itu
menurut saya, harus ada banyak bantuan dari berbagai pihak untuk dapat
mewujudkannya. Kita, khususnya saya sebagai seorang mahasiswa hanya dapat
mendoakan dan memberi pengabdian walaupun hanya sedikit semampu saya
untuk dapat mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera para warga rumah
dome. Kita tunggu kelanjutan mengenai rumah dome.

Anda mungkin juga menyukai