Anda di halaman 1dari 4

PERLU MANAGEMENT HANDAL

UNTUK TINGKATKAN DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA

oleh

Wuryastuti Sunario

Jakarta, 30 November 2007

Harus diakui bahwa Indonesia semakin tertinggal dalam persaingan pariwisata di


kawasan ASEAN dibanding Thailand, Malaysia dan Singapura, padahal Indonesia
demikian kaya dengan aneka ragam budaya dan alam yang indah dan memukau.

Pada tahun 1999, Indonesia menerima sekitar 5 juta wisatawan atau 14% dari seluruh
pengunjung wisatawan asing ke ASEAN, sedang Singapura meraih 21%, Malaysia
24% dan Thailand 26%. Tujuh tahun kemudian pada tahun 2006, kontribusi
Indonesia ternyata jauh berkurang menjadi 8,6% saja, sedangkan Singapura
menyumbang 17,1%, Thailand 24,4% dan Malaysia melejit ke 31% menjadi
penyumbang terbesar wisatawan ke ASEAN. Jumlah wisatawan asing ke Indonesia
tahun 2006 masih saja tercatat sekitar 4,8 juta dibanding 9,7 juta wisatawan yang ke
Singapura, 13,8 juta ke Thailand dan 17,5 juta yang ke Malaysia.

Sebab itu pada tahun 2008 dengan “Visit Indonesia Year” Indonesia berharap bisa
meraih 7 juta wisatawan internasional dan 6 juta tahun 2007.

Sementara itu Presiden telah menerbitkan Inpres 16 tahun 2005 yang


menginstruksikan Menteri dan Badan-badan Pemerintah terkait serta semua
Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mendukung dan berkoordinasi erat bagi
mempercepat pembangunan Pariwisata Indonesia. Tetapi apabila keberhasilan diukur
dari jumlah wisatawan yang diterima, maka sampai saat ini, keberhasilan masih juga
belum nyata.

Sebenarnya mengapa Indonesia begitu tertinggal bahkan seakan ditinggalkan oleh


wisatawan dunia dalam dekade belakangan ini?

Memang banyak yang telah dialami oleh sektor pariwisata, sekalipun para pelakunya
terus berusaha keras untuk bertahan menghadapi berbagai terpaan, dari krisis multi-
dimensional, sampai terorisme, gempa bumi , tsunami, flu burung sampai terakhir
larangan terbang EU dan perpanjangan larangan ke EU terhadap maskapai
penerbangan Indonesia.

1
Larangan ini telah melumpuhkan daerah yang terpencil yang ekonominya sangat
bergantung kepada kunjungan wisatawan, semisal Nias, Toraja, Maluku dan Papua.

Pada akhir bulan Oktober lalu, the World Economic Forum (WEF) menerbitkan
Index Daya Saing Pariwisata Dunia tahun 2007. Index ini menempatkan Indonesia
pada peringkat 60. Sedangkan Singapura berada pada no. 8, Malaysia no. 31 dan
Thailand no. 43.

Lagi-lagi ini merupakan kenyataan yang harus dihadapi Indonesia. Ternyata bahwa
penilaian WEF terhadap “daya saing” tidak saja diukur dari keindahan alam dan
keaneka ragaman budaya dari suatu destinasi. Bukan juga semata masalah harga yang
kurang menarik, ataupun sektor swasta yang kalah berbisnis.

”Rapor” daya saing versi WEF ini didasarkan kepada 13 kriteria, yaitu: perundangan,
peraturan dan kebijakan yang menata dan mengembangkan pariwisata dan perjalanan
(Tourism and Travel); Kebijakan lingkungan hidup; Keamanan destinasi; Kebersihan;
Kesehatan; penempatan Travel and Tourism sebagai prioritas pembangunan;
Infrastruktur Perhubungan Udara; Infrastruktur Pariwisata; Infrastruktur Teknologi
Informasi; Daya Saing Harga; mutu dan kinerja Sumber Daya Manusia; Persepsi
nasional terhadap Pariwisata; dan baru terakhir: Sumber Daya Alam dan Budaya. Jelas
bahwa sebagian terbesar merupakan kewenangan instansi lain di luar Pariwisata.

Penilaian Index Pariwisata Indonesia pada tingkat 60, selain didasarkan pada statistik
dan data, mau tidak mau juga didasarkan kepada persepsi dunia yang oleh media
televisi global termasuk media di Indonesia sendiri, memberi kesan bahwa negara ini
tetap kurang aman, kotor, tidak sehat, dll. yang semuanya menghambat keinginan dan
nyali wisatawan untuk berlibur di Indonesia.

Tetapi jujur saja, selain faktor eksternal, ada juga masalah internal kepariwisataan
yang bermuara kepada lemahnya Indonesia bersaing di kancah pariwisata global.

Bila kita teliti kriteria yang menjadi dasar penilaian WEF diatas, maka sebenarnya
kelemahan Pariwisata Indonesia terletak pada lemahnya Management dan
Kepemimpinan Destinasi di setiap tingkat, lemahnya profesionalisme SDM di semua
tingkatan, tidak jelasnya Political Will (dari Eksekutif maupun Legislatif) yang secara
konsisten memprioritaskan pengembangan kepariwisataan, yang terasa pada
minimnya anggaran yang dialokasikan kepada sektor ini, sehingga dengan sendirinya
Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki biaya jauh lebih
besar bagi pembangunan dan pemasaran sektor pariwisata.

2
Dan tidak kalah penting adalah kenyataan bahwa Komunikasi internasional Indonesia
di pihak Pemerintah maupun pada berita media domestik ke luar negeri masih sangat
lemah. Indonesia jarang meng-counter tuduhan dan berita negatif yang dilontarkan
dunia internasional, sehingga berita dan citra yang usang perihal terjadinya teror,
penyakit menular, bencana alam, kecelakaan pesawat di Indonesia masih melekat
pada persepsi masyarakat dunia, yang berakibat kepada hilangnya kepercayaan (trust)
wisatawan bahwa Indonesia adalah destinasi yang menarik untuk dikunjungi.

Sementara itu dalam hal pengelolaan Kepariwisataan Indonesia, Departemen


Kebudayaan dan Pariwisata telah banyak kehilangan gregetnya dengan diserahkan
semua urusan Kepariwisataan kepada daerah otonomi, yang sekarang sudah
berjumlah sekitar 450 daerah. Daerah-daerah ternyata belum dipersiapkan untuk
menerima wewenang dan tanggung jawab tersebut. Destinasi Danau Toba, misalnya,
menjadi kewenangan tidak kurang 8 kabupaten. Candi Prambanan di satu sisi
termasuk provinsi Jawa Tengah, sedang bagian lain berada di DI Yogyakarta.
Demikian juga Gunung Bromo, Dataran Tinggi Dieng, dll. menjadi ”sengketa” antara
sejumlah daerah otonomi. Saat ini Daerah pada umumnya lebih mementingkan
Pariwisata sebagai sumber PAD dan penerimaan retribusi, ketimbang menghiraukan
bagaimana suatu destinasi patut dikelola secara profesional agar mampu memuaskan
wisatawan dan berdaya saing global.

Dengan demikian, ditinjau dari aspek manajemen nasional, pada hakekatnya


pengelolaan pariwisata negara ini sekarang telah terfragmentasi menjadi ratusan unit
otonom, yang menghasilkan pelayanan yang tidak konsisten, dengan mutu yang
semakin merosot, dan kurang terjaminnya kenyamanan dan keselamatan wisatawan
internasional maupun wisatawan Indonesia sendiri.

Dalam hal ini, merupakan tugas Pemerintah bersama DPR merekatkan kembali
ratusan unit-unit pengelola pariwisata ini menjadi SATU daerah tujuan wisata
nasional yang utuh bernama ”Indonesia”, yang mampu bersaing di kancah
internasional.

Masalah lain yang dikeluhkan sektor Swasta, karena swasta diharapkan menghasilkan
(”menjual”) produk dan pelayanan pariwisata Indonesia, ialah semakin renggangnya
hubungan Pemerintah dengan Sektor Swasta. Pada hakekatnya kerjasama Swasta-
Pemerintah di sektor pariwisata haruslah berupa suatu partnership dan hubungan
sinergis yang dikenal sebagai hubungan ”Reciprocal Interdependence” – yaitu saling
ketergantungan yang timbal balik, - dimana fungsi Pemerintah ialah ”mempromosi”
dan Swasta mempunyai fungsi ”menjual”. Promosi tidak akan efektif tanpa penjualan.
Sebaliknya penjualan sulit terlaksana tanpa promosi.

3
Di negara yang terbukti maju kepariwisataannya, seperti di Singapura, Malaysia,
Australia dan Korea, Reciprocal Interdependence ini dituangkan dalam bentuk satu
organisasi nasional yang berdasarkan Undang-undang yang disahkan Parlemen. Badan
ini bersifat Semi-Pemerintah, sebagai Statutory Board, yang dikelola oleh unsur
Pemerintah bersama unsur Swasta. Badan Pariwisata ini menyatukan keahlian, fungsi
dan terutama dana yang berasal dari Pemerintah dalam satu pool dengan dana non-
pemerintah dibawah pimpinan dan management bersama yang bersih dan
profesional.

Di Indonesia, bentuk organisasi semi-swasta demikian oleh ahli hukum dinilai


menyalahi Undang-undang Keuangan negara. Maka mau tidak mau, anggaran bagi
sektor pariwisata di Indonesia tergantung kepada kemampuan yang sangat terbatas
dari negara untuk menyisihkan biaya bagi kegiatan promosi dan perikalanan di luar
negeri yang memang sangat mahal.

Akhirnya, tidak kalah penting ialah peran masyarakat dalam pengembangan


Pariwisata. Sebagaimana baru-baru ini digiatkan kembali dalam program Sadar
Wisata, maka Keamanan, ketertiban dan kebersihan daerah tujuan wisata tidak saja
menjadi beban Pemerintah Pusat atau Daerah. Masyarakat luas harus mengambil
peran penting dalam menertibkan dan menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan,
tidak saja demi pariwisata, tetapi terutama demi kesehatan dan keselamatan
masyarakat itu sendiri. Masyarakat luas harus juga mampu menarik manfaat positif
dari upaya berkembangnya kepariwisataan dengan bertambahnya kesempatan kerja
dan peningkatan pendapatan.

Jadi, apabila Indonesia serius berkeinginan menarik wisatawan internasional maupun


melayani wisatawan domestik dalam jumlah yang signifikan, dengan menjanjikan
liburan di Indonesia yang khas, aman, dan menarik, - maka masih banyak pekerjaan
rumah (p.r.) dan Public Relations (PR) serta sosialisasi yang harus dilaksanakan oleh
semua pemangku kepentingan, baik di Pemerintahan Pusat dan Daerah, di sektor
swasta dan para investor, maupun oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian daya
saing Pariwisata Indonesia bisa semakin meningkat, sejalan dengan semakin
membaiknya citra negara dan bangsa Indonesia. Semoga.

(Penulis adalah mantan Direktur Eksekutif Badan Promosi Pariwisata Indonesia dan
pengamat pariwisata).

Anda mungkin juga menyukai