Anda di halaman 1dari 3

Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009 ini diawali dengan kampanye yang sangat menarik dari

masing-masing calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres). Kampanye pemilu
merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan
pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling
efektif untuk merekrut sebanyak-banyaknya massa. Salah satu cara merekrut massa tersebut yaitu
melalui pesan-pesan politik dari para kandidat. Pesan-pesan tersebut pun semakin bervariasi baik
bentuknya maupun media yang digunakannya. Media iklanlah yang banyak dipilih para kandidat. Media
iklan tersebut di antaranya media cetak, media elektronik, dan media luar ruang. Yang penulis tekankan
dalam artikel ini adalah media cetak dan media luar ruang, seperti billboard, baliho, selebaran, spanduk,
poster yang berukuran mini sampai yang berukuran raksasa yang terpampang di pinggir jalan dan
tempat-tempat umum.
Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang berbasis pada
perolehan suara telah membuat para caleg mengubah strategi. Sistem perolehan suara terbanyak, mau
tidak mau membawa atmosfer kompetisi yang semakin ketat. Tidak hanya dengan partai lawan, tetapi
juga dengan rekan
* Mahasiswa program doktor Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bahasa Indonesia Dalam Wacana
Propaganda Politik Kampanye Pemilu 2009 Jurnal Sosioteknologi Edisi 17 Tahun 8, Agustus 2009 638
separtai. Kekuatan figur menjadi sangat penting. Salah satu cara memperkenal-kan figur tersebut
melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap simbol representasi caleg. Meskipun tidak
memberikan pengaruh signifikan, nyatanya baliho dan spanduk masih tetap digunakan. Hal itu berguna
untuk membangun nuansa psikologis. Tujuan iklan-iklan politik melalui baliho dan spanduk itu, tentu
untuk merebut hati dan simpati khalayak para calon pemilih. Melalui iklan politik para politisi yang
berlomba-lomba menampil-kan citra positif dirinya.

Pada posisi ini, baik calon maupun parpol yang beriklan memengaruhi konstituen dengan
model pencitraan (image) dengan menunjukkan atribut parpol sebatas permukaan (preface).
Konstituen yang terpengaruh akan memilih dengan pertimbangan daya tarik rasa (taste
magnitude) ketimbang pilihan reflektif. Fenomena politik ini, oleh Jon Simons disebut “imagologi
politik.”
Politik Imagologi
Politik imagologi adalah sebuah pemasaran politik yang didesain sedemikian rupa melalui iklan
televisi dan media massa untuk memengaruhi konstituen dengan daya tarik artistik dan bujuk
rayu.
1/3
IMAGOLOGI POLITIK IKLAN
Wednesday, 04 March 2009 10:02
Sebagai imagologi, iklan politik menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian
representasi visual dan naratif. Semua yang terlibat dalam panggung politik adalah agensi
periklanan, entah itu skala kecil atau skala besar.
Disadari atau tidak, ia telah menciptakan suatu hyper realitas demokrasi, yaitu penghapusan
realitas sesungguhnya (real reality) dan menciptakan realitas semu (pseudo reality) dalam
kehidupan politik dengan janji dan penonjolan keberhasilan yang pernah diraih sebelumnya.
Denis McQuail dalam Mass Communication Theory menyitir media sebagai pembentuk opini
dan pengetahuan yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat modern. Perkembangan dunia
komunikasi dan teknologi tidak hanya mengaburkan medium dan pesan,tetapi juga mampu
membangun realitas palsu itu di atas realitas yang sebenarnya. Inilah kekuatan media yang
selalu diburu.
Pemiskinan
Dalam teori komunikasi kontemporer, jika dunia media dan visual semakin kuat merambah
domain politik, maka akan terjadi distorsi komunikasi yang sistematis serta “pemiskinan politik”
dengan terbunuhnya nalar kritis publik menuju suatu bentuk manipulasi massa yang
menggantikan publikasi kritis tersebut.
Iklan politik pada gilirannya tampil menjadi otoritas yang mengarahkan publik hanya sebagai
konsumen. Partai-partai politik merayu para pemilih mengambang (floating mass) dengan
menampakkan diri melalui teknik media massa dan televisi, dan menampilkan image semenarik
dan seatraktif mungkin. Untuk konteks Pemilu 2009, terasa jelas bahwa wilayah politik
Indonesia tidak lebih sebagai wilayah yang terjajah oleh uang dan imagologi.Visi dan misi partai
atau figur calon menjadi tidak penting,pencitraanlah yang menjadi hal terpenting dalam
kontestasi politik.
Dalam tulisan ini, penulis hendak menegaskan bahwa tidak adanya aturan tentang pembatasan
iklan politik di media meniscayakan verbalitas politik Indonesia sebatas permainan makna dan
simbol yang didesain oleh para perancang kampanye politik. Pelbagai problem kebangsaan
dieksploitasi sedemikian rupa untuk mempercantik sisi pencitraannya.
Di titik ini, nalar kritis digantikan dengan imajinasi, argumen digantikan slogan,dan diskusi
digantikan oleh iklan. Di pelbagai tulisan, penulis kerap mengeksplorasi bahwa fokus bidik iklan
politik adalah kognisi sosial masyarakat. Artinya, kian sering seseorang tampil di televisi atau
mediamedia publik, akan semakin besar kesempatannya diingat di kepala setiap pemilih.
Efektivitas iklan politik ini telah disadari sebagai alat potensial menaikkan rating parpol dan
calon yang beriklan. Kombinasi antara kesadaran atas kuatnya media dalam memengaruhi (to
influence) dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, telah memosisikan media
sebagai medium pencitraan dan agen kampanye paling potensial.
Namun, pada saat bersamaan, pemiskinan makna dari iklan tersebut telah mendistorsi
semangat pembelajaran politik masyarakat. Tren kampanye politik semacam ini telah membuka
2/3
IMAGOLOGI POLITIK IKLAN
Wednesday, 04 March 2009 10:02
ruang bagi munculnya para agen iklan dan fungsi masif media ke dalam politik.Argumentasi,
kualitas, bobot, dan kapabilitas seorang calon menjadi tidak penting.
Yang penting adalah bagaimana "kemasan" calon tersebut agar publik menyukainya, atau
paling tidak mengingatnya. Inilah senyatanya fakta imagologi politik di Indonesia sebagai
sebuah pemiskinan literasi politik. Pada akhirnya,putusan MK mengabulkan permohonan
menganulir UU Pemilu Legislatif Pasal 98 dan Pasal 99 tak hanya dilihat dari sebatas
standarisasi hak-hak atas kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, melainkan musti
dilihat dari efek destruktif marketisasi politik.
Paling tidak, kita bisa mengantisipasi efek buruknya bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.
Selanjutnya, tergantung para konstituen bagaimana menyikapi menjamurnya iklan politik di
media massa dan media cetak. Kita buktikan apakah liberalisasi media dalam politik efektif
memengaruhi massa dalam menentukan preferensi parpol atau caleg.(*)

Anda mungkin juga menyukai