A. Pengantar
Ilmu Perundang-undangan untuk sementara dianggap sama dengan
ilmu taqnin ahkam. 1 Ruang lingkup ilmu perundang-undangan 2 seperti
dikemukakan oleh Burkhardt Krems mencakup proses perundang-
undangan (Gesetzgebungsverfahrten), Metode perundang-undangan
(Gesetzgebungsmethode) dan tekhnik perundang-undangan (Geset-
zgebungstechnik). 3 Sedangkan taqnin yang maknanya ilmu perundang-
undangan menurut sejumlah pakar hukum Islam diantaranya Abd al-
rahman Abd al-Aziz al-Qasim adalah kumpulan-kumpulan kaidah yang
memiliki daya paksa yang berkaitan dengan keteraturan hidup
bermasyarakat. 4 Dan Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa taqnin
adalah merumuskan hukum dalam susunan yang terdiri atas pasal-pasal,
ayat-ayat dan nomor-nomor. 5
Oleh karena itulah, paling tidak ada beberapa komponen kajian yang
dicakup oleh ilmu perundang-undangan sebagai bidang kajiannya, yaitu:
Pertama, komponen konstitusi. Sebagai konsekuensi negara hukum
(Rechstaat), maka setiap penyusunan peraturan perundang-undangan,
harus ada landasan konstitusional yang menjadi acuannya.
Kedua, komponen politik hukum. Landasan konstitusional tersebut
dalam tarap implementasinya melahirkan politik hukum yang antara lain
berisi kehendak dan arah kebijakan pembaharuan dan pengembangan
hukum. Stan Ross dalam bukunya, Politics of Law Reform, berpendapat
bahwa politik pembaharuan hukum itu adalah selalu membangun
hubungan antara hukum dan kebutuhan masyarakat, agar membuat
hukum lebih pasti, mudah dicerna, mudah dicari, dan dimengerti oleh
para anggota masyarakat.
Ketiga, komponen program legislasi. Agar kehendak pembaharuan
dan pengembangan hukum dapat terwujud secara konkrit, maka
diperlukan program legislasi. Pada saat ini, arah kebijakan hukum
dituangkan bersama dengan arah kebijakan pembangunan sektor-sektor
lainnya dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dibuat
dalam bentuk undang-undang oleh DPR dan pemerintah (UU No. 25 Tahun
1 Jaih Mubarok, Lmu Taqnin Ahkam. Penelitian Individual Program Pascasarjana UIN SGD Bandung, 2006, hal. 8.
tidak diterbitkan
2 Ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan terjemahan dari Gesetzgebungswissenschaft. Merupakan
suatu cabang ilmu baru yang berkembang di Eropa Barat terutama di negara Jerman. Diantara beberapa pencetus
dan tokoh ilmu perundang-undangan misalnya Peter Noll (1973), Jurgen Rodif (1975), Burkhardt Krems (1979) dan
lain-lain.
3 Burkhardt Krems, Grundfragen der Gesetzgebungslehre sebagaimana dikutif oleh Maria Farida Indrati Soprapto,
Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya. Kanisiu, Jakarta, 1996. hal. 8.
4 Abd al-rahman Abd al-Aziz al-Qasim, al-Islam wa Taqnin al-Ahkam; Da’wat Mukhlasat li Taqnin Ahkam al-Syari’at
al-Islamiyah (Riyad: Jami’ah Riyad, 1977).
5 Yusuf al-Qardhawi, Madklah li Dirasat al-Syari’at al-Islamiyat (kairo: Maktabah Wahbah, 2001. hal. 297.
2
6 Bagir Manan. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind-Hill. Co. 1992, hal. 17
7 A. Hamid. S. Attamimi, Peranan Kepres Dalam Penyelenggarakan Pemerintah Negara, Disertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia. 1990. hal 335.
3
1. Komponen Konstitusi
Pada masa Orde Baru, telah dikeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang penyebarluasan KHI. Kehadiran KHI ini sebagaimana dinyatakan
dalam diktum mempertimbangkan Inpres tersebut sebagai pedoman bagi
pemerintah dan masyarakat di dalam menyelesaikan masalah
perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Dalam diktum mengingat, Inpres ini
merujuk pada pasal 4 UUD 1945. Isi dari Inpres tersebut adalah aturan-
aturan syar’i yang sesungguhnya dapat ditingkatkan posisinya menjadi
undang-undang.
2. Komponen Legal Draft
Walau posisinya sebagai Inpres, namun didalamnnya berisi sejumlah
aturan-aturan syari’ah yang dapat digunakan untuk masyarakat dan
pemerintah sebagai pedoman. Inpres ini dapat dikatakan sebagai Inpres
yang baik jika memiliki empat landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis
dan ketentuan tekhnik legal draft.
Secara filosofis, Inpres ini mengidealkan sebuah aturan yang
konprehensif dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf yang dapat
digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat dan pemerintah.
Secara sosiologis, Inpres ini merupakan ijtihad para ulama Indonesia
yang ada di masyarakat di dalam bidang-bidang tertentu, bahkan dapat
dikatakan sebagai fiqh ala madzhab indonesiy. Walupun semua ulama
tidak terlibat di dalam penyusunannya, namun disusunnya KHI oleh
sebagian para ulama dapat dikatakan mewakili ulama Indonesia. 8
Secara yuridis, Inpres ini dapat menjadi bahan pertimbangan di dalam
memustuskan sebuah sengketa dalam bidang-bidang tertentu. Pro dan
kontra diseputar kedudukan KHI dalam tata hukum Indonesia sudah
8 Salah satu komponen masyarakat yang secara terbuka siap menerima KHI ialah keputusan Muk-tamar
Muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta yang mengharapkan kepada pemerintah untuk secepatnya mengesahkan
KHI. Lihat, PP Muhammadiyah, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-42 (Yog-yakarta: Berita Resmi
Muhammadiyah, 1991), nomor khusus.
6
9 Menurut Attamimi tata urutan peraturan perundang-undangan itu ialah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh
UUD, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Peraturan Daerah
Tingkat I, Keputusan Gubernur KDH Tingkat I, Perda Tingkat II dan Keputusan Bupati/Wali Kota Madya Kepala
Daerah Tingkat II. Lihat Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintah. Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana, UI, Jakarta, 1990, hal, 287-289
7
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah penyelenggaraan haji
yang profesional, amanah dan transparan. Hal ini didasari agar
penyelenggaraan ibadah haji dilakukan dengan tertib, aman dan
meminimalisir masalah penyelenggaraannya, seperti waiting list,
kelaparan dan sebaganya.
Secara sosiologis, UU ini menjadi harapan masyarakat karena mereka
merasa lebih aman dan tenang di dalam melaksanakan ibadah haji. Di
dalam UU ini diatur mengenai pembayaran BPIH, pendaftaran haji,
pembinaan haji, kesehatan, keimigrasian dan barang bawaan serta sangsi
pidana. Dengan jenis dna rung lingkup pengaturan penyelenggaraan
ibadah haji ini, para calon jama’ah haji dapat lebih tenang di dalam
menjalankan ibadah haji karena peraturannya sudah sangat jelas.
Secara yuridis, UU ini mengatur lebih tekhnis tatacara
penyelenggaraan ibadah haji. Tatacara ini sangat amat dibutuhkan untuk
menjamin adanya kepastian hukum bagi para calon jam’ah karena
memberikan rasa aman dan tenang kepada calon jamaah haji.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini menjadi polemik. Polemik itu dipicu karena regulasi yang mengatur
Haji yang ada sekarang ini masih terdapat kelemahan-kelamahan, yaitu
(1) diperlukan lembaga, dewan, badan dan komisi yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan haji agar penyelenggaraan ibadah haji lebih
transparan dan terjamin. (2) tugas menyelenggarakan ibadah haji
dibebankan kepada pemerintah, dalam hal ini Depag sebagai
penyelenggara. Hal ini menjadikan Depag memiliki tugas ganda, yakni
sebagai regulator dan operator haji sekaligus yang sengat memberatkan
sehingga kasus-kasus haji yang muncul menunjukkan beratnya beban
mengurus jamaah yang setiap tahun tidak kurang dari 200 ribu jamaah.
(3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat (DAU) yang juga pengawasnya dari
masyarakat, (4) Undang-undang ini dianggap tidak memiliki dasar yang
kuat sebagai ketentuan hukum. Prinsip good and clean government,
transparansi, otonomi serta pelayanan dan pembinaan, tidak mendapat
porsi yang layak atau bahkan tidak diakomodir.
Pangkal persoalan mengapa UU Haji perlu direvisi adalah UU Haji
tidak mengatur mekanisme transparansi dan pertanggungjawaban dana
jamaah haji. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyadari potensi itu
karena haji walaupun bersifat ibadah ternyata memiliki nilai bisnis yang
sangat besar. Mengutip perhitungan H. Mahfudz Djaelani, mantan
Anggota DPR Komisi VII, ICW mengungkapkan setiap tahunnya total uang
dalam penyelenggaraan haji mencapai Rp9,07 triliun. Dana sebesar itu
tidak dibarengi dengan adanya transparansi dan akuntabilitas. Padahal,
berdasarkan sistem yang berlaku sekarang, Depag diberi kekuasaan
memonopoli penyelenggaraan haji di Indonesia. 10 Dengan pandangan
10 20 kegiatan haji yang dimonopoli Depag, yaitu. Menyelenggarakan ibadah haji, Menetapkan persyaratan dan
8
jenis kegiatan penyelenggaraan haji Membentuk panitia penyelenggara dan menunjuk petugas operasional,
Mengusulkan dan mengurus Biaya Penyelenggaraan Ibadah haji (BPIH), Menerima, mengelola, menunjuk bank
penerima pembayaran BPIH, Menentukan tata cara dan jumlah pengembalian BPIH, Menduduki kursi ketua Badan
Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU), Menetapkan tugas BP DAU, Menunjuk instansi pendaftar calon jamaah,
Menetapkan tata cara dan jangka waktu pendaftaran, Mengatur WNI di luar negeri yang akan menunaikan ibadah
haji, Mengatur kuota nasional, Menetapkan pola dan tata cara pembinaan jamaah, Menerbitkan pedoman manasik
dan panduan perjalanan haji, Mengeluarkan paspor, Menunjuk pelaksana transportasi, Menyediakan akomodasi
jemaah haji, Menetapkan penyelenggara haji khusus, Mengatur penyelenggaraan haji khusus, Mengatur ketentuan
penyelenggaraan perjalanan umrah
9
dirumuskan dengan jelas pengertian anak, anak anngkat, anak sipil, oang
tua tidak kawin sah, pengadilan, peradilan dan istilah lain yang samar-
samar artinya. Dalam butir 3 b pasal 1 anak yatim piatu digolongkan
sebagai anak terlantar. Apakah penggolongan ini telah tepat.
Mengenai Bab II, Dalam bab II disebut tentang hakim dan wewenang
sidang anak. Dengan mengacu pada catatan butir 1 di atas, kenapa RUU
tidak menyebutkan RUU sidang anak atau RUU persidangan anak saja,
supaya konsisten.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini benar-benar dirasakan memberi manfaat di dalam menangani perkara
anak, baik yang timbul karena kekerasan maupun perlakuan anak itu
sendiri.
11 Selama tahun 2005 menurut pantauan LBH APIK Jakatta terdapat kasus 314 KDRT. Dari 314 kasus KDRT, yang
melapor ke kepolisian hanya 19 kasus. Dari 19 kasus tersebut baru ada 8 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
yang telah menerapkan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Dari bentuk kekerasan yang dialami korban ada 6 kasus
kekerasan fisik, 1 kasus kekerasan ekonomi dan 1 kasus kekerasan psikis. Sedangkan, jika dilihat dari hubungan
antara pelaku dengan korban, 6 orang adalah istri pelaku, 1 orang adalah anak pelaku serta 1 orang pekerja rumah
tangga.
13