Anda di halaman 1dari 14

KOMENTAR TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BERDIMENSI HUKUM ISLAM


Oleh: Ramdani Wahyu

A. Pengantar
Ilmu Perundang-undangan untuk sementara dianggap sama dengan
ilmu taqnin ahkam. 1 Ruang lingkup ilmu perundang-undangan 2 seperti
dikemukakan oleh Burkhardt Krems mencakup proses perundang-
undangan (Gesetzgebungsverfahrten), Metode perundang-undangan
(Gesetzgebungsmethode) dan tekhnik perundang-undangan (Geset-
zgebungstechnik). 3 Sedangkan taqnin yang maknanya ilmu perundang-
undangan menurut sejumlah pakar hukum Islam diantaranya Abd al-
rahman Abd al-Aziz al-Qasim adalah kumpulan-kumpulan kaidah yang
memiliki daya paksa yang berkaitan dengan keteraturan hidup
bermasyarakat. 4 Dan Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa taqnin
adalah merumuskan hukum dalam susunan yang terdiri atas pasal-pasal,
ayat-ayat dan nomor-nomor. 5
Oleh karena itulah, paling tidak ada beberapa komponen kajian yang
dicakup oleh ilmu perundang-undangan sebagai bidang kajiannya, yaitu:
Pertama, komponen konstitusi. Sebagai konsekuensi negara hukum
(Rechstaat), maka setiap penyusunan peraturan perundang-undangan,
harus ada landasan konstitusional yang menjadi acuannya.
Kedua, komponen politik hukum. Landasan konstitusional tersebut
dalam tarap implementasinya melahirkan politik hukum yang antara lain
berisi kehendak dan arah kebijakan pembaharuan dan pengembangan
hukum. Stan Ross dalam bukunya, Politics of Law Reform, berpendapat
bahwa politik pembaharuan hukum itu adalah selalu membangun
hubungan antara hukum dan kebutuhan masyarakat, agar membuat
hukum lebih pasti, mudah dicerna, mudah dicari, dan dimengerti oleh
para anggota masyarakat.
Ketiga, komponen program legislasi. Agar kehendak pembaharuan
dan pengembangan hukum dapat terwujud secara konkrit, maka
diperlukan program legislasi. Pada saat ini, arah kebijakan hukum
dituangkan bersama dengan arah kebijakan pembangunan sektor-sektor
lainnya dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dibuat
dalam bentuk undang-undang oleh DPR dan pemerintah (UU No. 25 Tahun

1 Jaih Mubarok, Lmu Taqnin Ahkam. Penelitian Individual Program Pascasarjana UIN SGD Bandung, 2006, hal. 8.
tidak diterbitkan
2 Ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan terjemahan dari Gesetzgebungswissenschaft. Merupakan
suatu cabang ilmu baru yang berkembang di Eropa Barat terutama di negara Jerman. Diantara beberapa pencetus
dan tokoh ilmu perundang-undangan misalnya Peter Noll (1973), Jurgen Rodif (1975), Burkhardt Krems (1979) dan
lain-lain.
3 Burkhardt Krems, Grundfragen der Gesetzgebungslehre sebagaimana dikutif oleh Maria Farida Indrati Soprapto,
Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya. Kanisiu, Jakarta, 1996. hal. 8.
4 Abd al-rahman Abd al-Aziz al-Qasim, al-Islam wa Taqnin al-Ahkam; Da’wat Mukhlasat li Taqnin Ahkam al-Syari’at
al-Islamiyah (Riyad: Jami’ah Riyad, 1977).
5 Yusuf al-Qardhawi, Madklah li Dirasat al-Syari’at al-Islamiyat (kairo: Maktabah Wahbah, 2001. hal. 297.
2

2000). Di dalam Propenas, yang menggantikan Rencana Pembangunan


Lima Tahun (Repelita) itu, disusun arah kebijakan pembangunan di bidang
hukum. Propenas tidak hanya memuat arah perbaikan institusi, namun
juga serangkaian pembentukan undang-undang, yang kemudian
diturunkan dalam bentuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Prolegnas memuat semua legislasi yang akan dihasilkan dalam jangka
waktu lima tahun. Pembagian yang ada dalam Prolegnas dilakukan secara
sektoral, yaitu bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, agama,
pendidikan, pembangunan daerah, sumber daya alam dan pertahanan
keamanan.
Keempat, komponen tekhnik membuat peraturan perundang-
undangan (legal draf). Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan,
paling tidak ada empat syarat bagi peraturan perundang-undangan yang
baik, yaitu: yuridis, sosiologis, filosofis, dan teknik perancangan peraturan
perundang-undangan yang baik. Adapun teknik perancangannya
peraturan perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan
struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan
bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda
baca. 6
Selain keempat syarat tersebut di atas, pembuatan peraturan
perundang-undangan yang baik juga harus memperhatikan asas-asas
formal dan asas material yang dikemukakan Van der Vlies seperti yang
dikutip Attamimi sebagai berikut 7:
1. Asas-asas formal meliputi: (a) asas tujuan yang jelas, (b) asas
organ/lembaga yang tepat, (c) asas perlunya peraturan, (d) asas
dapat dilaksanakan, dan (e) asas konsensus.
2. Asas-asas material meliputi: (a) asas tentang terminologi dan
sistematika yang benar, (b) asas tentang dapat dikenali, (c) asas
perlakuan yang sama dalam hukum, (d) asas kepastian hukum, dan
(e) asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Makalah ini berusaha menjelaskan sebuah tanggapan, kritik dan
komentar terhadap peraturan perundang-undangan yang berdimensi
hukum Islam berlandaskan pada bagian satu tentang komponen konstitusi
dan bagian dua tentang komponen legal draft (tekhnik menyusun undang-
undang) sebagaimana dijelaskan di atas serta ketepatannya dengan
keadilan dan hak asasi manusia.

B. Komentar terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan
1. Komponen Konstitusi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan pada diktuk
menimbang menunjukkan adanya konsistensi dengan undang-undang

6 Bagir Manan. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind-Hill. Co. 1992, hal. 17
7 A. Hamid. S. Attamimi, Peranan Kepres Dalam Penyelenggarakan Pemerintah Negara, Disertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia. 1990. hal 335.
3

sebelumnya, dalam hal ini UUD 1945 sehingga keterkaitan antara


keduanya semakin jelas. Hal ini penting dikemukakan, sebab sebuah
undang-undang dibuat diperlukan landasan konstitusi sebagai acuannya
dengan undang-undang yang lain.

2. Komponen Legal Draft


UU Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikatakan sebagai undang-undang
yang baik jika memiliki empat landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis
dan ketentuan tekhnik legal draft.
Secara filosofis, undang-undang ini mengidealkan sebuah tatatan
kehidupan keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Cita-cita ini
tidak berlebihan jika dikaitkan dengan program pembangunan negara
saat itu yang membutuhkan keluarga yang kokoh sebagai penopang
pembangunan bangsa. Dinegara-negara yang baru merdeka seperti
Indonesia, pengaturan perundang-undangan yang mengatur keluarga
sangat penting dan dibutuhkan. Sebagaimana negara-negara lain yang
baru merdeka, aturan pertama yang dibuat adalah masalah keluarga
sebelum mengatur peraturan perundang-undangan yang lainnya,
demikian pula di Indonesia.
Secara sosiologis, undang-undang ini juga mengadopsi beberapa
norma yang hidup di masyarakat tentang perkawinan, seperti tentang
harta bersama. Hukum Islam menjadi salah satu bahan baku di dalam
penyusunan undang-undang ini. Al-hasil, undang-undang perkawinan ini
mencerminkan sebagian kehendak norma hukum yang ada di dalam
masyarakat.
Secara yuridis, undang-undang ini juga menjamin adanya kepastian
hukum bahwa perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan. Sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatat berarti tidak pernah
terjadi perkawinan dan dianggap sebagai perkawinan liar. Demikian pula
tentang pengaturan poligami, dijamin dan diatur ketentuannya menurut
undang-undang agar terjadi kepastian hukum antara suami dan isteri.
Perceraian juga demikian, diatur tatacaranya sehingga menjamin adanya
perlindungan hukum diantara suami dan isteri yang bercerai.
Sedangkan undang-undang ini jila dilihat dari sisi legal draft, dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan undang-
undang perkawinan saat ini dapat menjadi polemik, terutama sekali jika
dilihat dari perspektif gender. Menurut perspektif gender perlu dilakukan
revisi terhadap UU ini. Sebab UU ini membedakan tugas hak dan
kewajiban suami isteri dalam keluarga yang dapat memberikan legitimasi
kepada suami untuk berlaku sewenang-wenang atas nama kepala
keluarga. Konsep suami sebagai kepala keluarga sebaimana dinyatakan
dalam pasal 15 merupakan indikasi adanya ketimpangan gender di dalam
struktur perkawinan. Sementara isteri diposisikan sebagai ibu rumah
tangga yang mendapat fungsi mengurus keluarga. Hal ini telah
memenjarakan potensi dan peran wanita di dalam rumah. Sehingga
4

dengan demikian, ketentuan yang memposisikan wanita memiliki hak dan


kewajiban yang berbeda dengan suami telah memenjarakan wanita untuk
tidak dapat berkiprah di dunia publik.

C. Komentar terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun


1983 jo. PP No. 45
Tahun 1990 tentang Iizin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
1. Komponen Konstitusi
PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 merupakan
penjelasan dan pengaturan lebih rinci dan tekhnis bagi PNS mengenai izin
perkawinan dan perceraian sebagai kelanjutan dari UU Nomor 1 Tahun
1974. Dengan pernyataan semacam ini PP tersebut merujuk pada
undang-undang sebelumnya agar mengenai perkawinan dan perceraian
khusus bagi PNS diatur dalam sebuah PP.

2. Komponen Legal Draft


PP Nomor 10 Tahun 1983 Jo PP Nomor 45 Tahun 1990 dapat dikatakan
sebagai Peraturan Pemerintah yang baik jika memiliki empat landasan,
yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal draft.
Secara filosofis, PP ini mengidealkan sebuah tatatan kehidupan
keluarga PNS sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat pada
umumnya. Cita-cita ini tidak berlebihan jika dikaitkan dengan program
pembangunan negara saat itu yang membutuhkan keluarga PNS yang
kokoh sebagai penopang pembangunan bangsa. Jika PNS sebagai abdi
negara saat itu, menghadapi problem dan polemik di dalam keluarga,
maka tugas-tugas kedinasan dan kewajiban sebagai abdi negara tidak
dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Secara sosiologis, PP ini mencerminkan hambatan kehendak manusia
sebagai mahluk biologis yang memiliki potensi menyalurkan syahwatnya
lebih kepada satu orang perempuan. Meskipun ketentuan pasal demi
pasal dalam PP ini membolehkan seorang PNS memiliki lebih dari satu
orang isteri, tetapi dengan syarat yang amat ketat dan sangsi yang amat
berat. Dengan demikian, seolah-olah PP ini akhirnya “melarang” PNS
berpoligami. Bahkan karena ketatnya, pada masa itu ada pula beberapa
PNS yang mencoba melakukan poligami dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dan sekarang jumlahnya mungkin sangat banyak. Tetapi sejujurnya, PP ini
sebenarnya bermaksud melindungi hak-hak wanita sebagai isteri agar
kebolehan poligami bagi suami tidak dijadikan alasan yang tidak
menghargai hak-hak perempuan sebagai isteri, sehingga poligami suami
berujung pada kekusutan dalam rumah tangga. Poligami yang
dikehendaki oleh PP ini bagi suami adalah poligami yang aman, santun
dan beradab.
Secara yuridis, PP ini mengatur lebih tekhnis tatacara berpoligami
yang beradab bagi PNS. Tatacara ini sangat amat dibutuhkan untuk
menjamin adanya kepastian hukum bagi suami isteri dan secara eksternal
memproteksi keluarga PNS dari kehancuran rumah tangga agar tugas-
5

tugas kedinasan dapat dilakukan oleh para PNS.


Sedangkan PP ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan PP saat ini
dapat menjadi polemik. Kelompok pertama menghendaki agar ketentuan
poligami tidak diatur dalam undang-undang baik secara umum maupun
teknis dan menyerahkan sepenuhnya kepada keluarga pasangan suami
isteri. Kelompok kedua menghendaki agar masalah poligami diatur dalam
peraturan perundang-undangan dengan sangsi yang berat jika prosedur
tidak ditempuh. Sejauh ini penerapan dan pemberian sangsi bagi suami
berpoligami tidak dapat diterapkan karena tidak jelas bentuk sangsinya.
Kelompok ketiga meminta agar dibuat peraturan yang melarang suami
berpoligami.

D. Komentar terhadap Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang


Penyebarluasan KHI

1. Komponen Konstitusi
Pada masa Orde Baru, telah dikeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang penyebarluasan KHI. Kehadiran KHI ini sebagaimana dinyatakan
dalam diktum mempertimbangkan Inpres tersebut sebagai pedoman bagi
pemerintah dan masyarakat di dalam menyelesaikan masalah
perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Dalam diktum mengingat, Inpres ini
merujuk pada pasal 4 UUD 1945. Isi dari Inpres tersebut adalah aturan-
aturan syar’i yang sesungguhnya dapat ditingkatkan posisinya menjadi
undang-undang.
2. Komponen Legal Draft
Walau posisinya sebagai Inpres, namun didalamnnya berisi sejumlah
aturan-aturan syari’ah yang dapat digunakan untuk masyarakat dan
pemerintah sebagai pedoman. Inpres ini dapat dikatakan sebagai Inpres
yang baik jika memiliki empat landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis
dan ketentuan tekhnik legal draft.
Secara filosofis, Inpres ini mengidealkan sebuah aturan yang
konprehensif dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf yang dapat
digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat dan pemerintah.
Secara sosiologis, Inpres ini merupakan ijtihad para ulama Indonesia
yang ada di masyarakat di dalam bidang-bidang tertentu, bahkan dapat
dikatakan sebagai fiqh ala madzhab indonesiy. Walupun semua ulama
tidak terlibat di dalam penyusunannya, namun disusunnya KHI oleh
sebagian para ulama dapat dikatakan mewakili ulama Indonesia. 8
Secara yuridis, Inpres ini dapat menjadi bahan pertimbangan di dalam
memustuskan sebuah sengketa dalam bidang-bidang tertentu. Pro dan
kontra diseputar kedudukan KHI dalam tata hukum Indonesia sudah
8 Salah satu komponen masyarakat yang secara terbuka siap menerima KHI ialah keputusan Muk-tamar
Muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta yang mengharapkan kepada pemerintah untuk secepatnya mengesahkan
KHI. Lihat, PP Muhammadiyah, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-42 (Yog-yakarta: Berita Resmi
Muhammadiyah, 1991), nomor khusus.
6

cukup lama berlangsung. Tokoh dibidang hukum dengan argumennya


masing-masing ada yang mengajukan keberatan Instruksi Presiden
masuk dalam tata hukum Indonesia, tetapi tokoh-tokoh yang lainnya
menganggap bahwa Inpres bisa masuk dalam jalur tata hukum Indonesia.
Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/1966 bahwa urutan tata
perundang-undangan di Indonesia ialah UUD 1945, Tap MPR, UU/Perpu,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan lainnya.
Dipilihnya Inpres sebagai “baju” KHI menunjukkan fenomena tata
hukum yang dilematis, pada satu segi pengalaman legislasi nasional
Indonesia menempatkan Inpres sebagai bagian hukum yang mampu
mandiri dan berlaku efektif disamping instrumen hukum lainnya. Oleh
karena itu, ia memiliki daya atur dan daya ikat dalam hukum positif.
Tetapi di sisi lain, Inpres sebagai alat legitimasi hukum tidak dikenal
dalam tata urutan hukum Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh
Attamimi dalam disertasinya. 9
Sedangkan Inpres ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan Inpres ini
sebagian sudah tidak berlaku lagi terutama buku III tentang perwakafan,
karena UU wakaf telah disyahkan. Selain itu, di bidang perkawinan sudah
mulai digugat mengenai syarat dan rukun perkawinan terutama yang
berkaitan dengan wali dan perkawinan beda agama. Dari hukum
kewarisan, digugat pula mengenai pembagian harta waris yang setara
dan adil dengan konsep sama rata antara laki-laki dan perempuan. Semua
ini disampaikan oleh Musdah Mulya dalam Couter Legal Draft KHI yang
diajukan oleh LSM Arus Pengutamaan Gender.

E. Komentar terhadap UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang


Penyelenggaraan Haji
1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 17 Tahun 1997 merupakan regulasi yang mengatur
penyelenggaraan ibadah haji. Dalam diktum menimbang dikemukakan
mengenai landasan konstitusi yang mengacu ke pasal 29 UUD 1945,
keinginan agar pelayanan ibadah haji bagi kaum muslimin berjalan lancar.
Dalam diktum mengingat disebut-sebut dasar-dasar perudang-undangan
yang menjadi dasar, yakni UUD 1945,Tap MPR dan undang-undang
lainnya.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal

9 Menurut Attamimi tata urutan peraturan perundang-undangan itu ialah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh
UUD, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Peraturan Daerah
Tingkat I, Keputusan Gubernur KDH Tingkat I, Perda Tingkat II dan Keputusan Bupati/Wali Kota Madya Kepala
Daerah Tingkat II. Lihat Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintah. Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana, UI, Jakarta, 1990, hal, 287-289
7

draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah penyelenggaraan haji
yang profesional, amanah dan transparan. Hal ini didasari agar
penyelenggaraan ibadah haji dilakukan dengan tertib, aman dan
meminimalisir masalah penyelenggaraannya, seperti waiting list,
kelaparan dan sebaganya.
Secara sosiologis, UU ini menjadi harapan masyarakat karena mereka
merasa lebih aman dan tenang di dalam melaksanakan ibadah haji. Di
dalam UU ini diatur mengenai pembayaran BPIH, pendaftaran haji,
pembinaan haji, kesehatan, keimigrasian dan barang bawaan serta sangsi
pidana. Dengan jenis dna rung lingkup pengaturan penyelenggaraan
ibadah haji ini, para calon jama’ah haji dapat lebih tenang di dalam
menjalankan ibadah haji karena peraturannya sudah sangat jelas.
Secara yuridis, UU ini mengatur lebih tekhnis tatacara
penyelenggaraan ibadah haji. Tatacara ini sangat amat dibutuhkan untuk
menjamin adanya kepastian hukum bagi para calon jam’ah karena
memberikan rasa aman dan tenang kepada calon jamaah haji.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini menjadi polemik. Polemik itu dipicu karena regulasi yang mengatur
Haji yang ada sekarang ini masih terdapat kelemahan-kelamahan, yaitu
(1) diperlukan lembaga, dewan, badan dan komisi yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan haji agar penyelenggaraan ibadah haji lebih
transparan dan terjamin. (2) tugas menyelenggarakan ibadah haji
dibebankan kepada pemerintah, dalam hal ini Depag sebagai
penyelenggara. Hal ini menjadikan Depag memiliki tugas ganda, yakni
sebagai regulator dan operator haji sekaligus yang sengat memberatkan
sehingga kasus-kasus haji yang muncul menunjukkan beratnya beban
mengurus jamaah yang setiap tahun tidak kurang dari 200 ribu jamaah.
(3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat (DAU) yang juga pengawasnya dari
masyarakat, (4) Undang-undang ini dianggap tidak memiliki dasar yang
kuat sebagai ketentuan hukum. Prinsip good and clean government,
transparansi, otonomi serta pelayanan dan pembinaan, tidak mendapat
porsi yang layak atau bahkan tidak diakomodir.
Pangkal persoalan mengapa UU Haji perlu direvisi adalah UU Haji
tidak mengatur mekanisme transparansi dan pertanggungjawaban dana
jamaah haji. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyadari potensi itu
karena haji walaupun bersifat ibadah ternyata memiliki nilai bisnis yang
sangat besar. Mengutip perhitungan H. Mahfudz Djaelani, mantan
Anggota DPR Komisi VII, ICW mengungkapkan setiap tahunnya total uang
dalam penyelenggaraan haji mencapai Rp9,07 triliun. Dana sebesar itu
tidak dibarengi dengan adanya transparansi dan akuntabilitas. Padahal,
berdasarkan sistem yang berlaku sekarang, Depag diberi kekuasaan
memonopoli penyelenggaraan haji di Indonesia. 10 Dengan pandangan
10 20 kegiatan haji yang dimonopoli Depag, yaitu. Menyelenggarakan ibadah haji, Menetapkan persyaratan dan
8

seperti ini, maka perubahan UU No. 17 Tahun 1999 sudah sangat


mendesak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

F. Komentar terhadap UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan


Anak
1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 3 Tahun 1997 merupakan regulasi yang mengatur
pengadilan anak. Pengelolaan Zakat. Dalam diktum konsideran belum
diperhatikan kemajemukan hukum dalam peraturan perundang-undangan
I(ndonesia seperti dianatkan oleh GBHN di atas, maka mengingat RUU ini,
selain UU Kesejahteraan Anak, wajib juga disebutkan UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahuh 1989 (saat itu) tentang
peradilan agama.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah tatanan di dalam
masyarakat agar anak diperlakukan secara adil sebagai generasi yang
akan menggantikan orang tuanya.
Secara sosiologis, UU ini merupakan aspirasi dari sebagian
masyarakat mengenai pentingnya RUU Pengadilan anak. Jika ditelusuri
dari sejarahnya, UU Pengadilan Anak ini sudah sejak lama disiapkan
sekitar tahun 1967. Ketika itu Badan Koordinasi Nasional untuk
Kesejahteraab Keluarga dan Anak (BKN-KKA) mengadakan Konfrensi
Nasional tentang anak dan pemuda. Hasil dari konfrensi itu
mengamanatkan perlunya usaha-usaha yang perlu dijalakan untuk
kepentingan pembvinaan anak dan pemuda.
Secara yuridis, pembentukan undang-undang ini sebetulnya sudah
cukup lama disiapkan dan dikaitkan dengan upaya perlindungan anak dari
tindakan kekerasan dan cara menyelesaikan kekerasan yang dilakukan
anak itu di pengadilan.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat terdapat beberapa catatan. Mengnai judul, judul
RUU tentang Peradilan Anak tidak sesuai dengan dasar pertimbangan (b)
yang dipergunakan, yakni perjelasan pasal 10 UU Noor 14 Tahun 1970
soal pengadilan khusus anak-anak dalam lingkungan peradilan umum.
Mengenai ketentuan umum, dalam pasal 1 ketentuan umum harus

jenis kegiatan penyelenggaraan haji Membentuk panitia penyelenggara dan menunjuk petugas operasional,
Mengusulkan dan mengurus Biaya Penyelenggaraan Ibadah haji (BPIH), Menerima, mengelola, menunjuk bank
penerima pembayaran BPIH, Menentukan tata cara dan jumlah pengembalian BPIH, Menduduki kursi ketua Badan
Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU), Menetapkan tugas BP DAU, Menunjuk instansi pendaftar calon jamaah,
Menetapkan tata cara dan jangka waktu pendaftaran, Mengatur WNI di luar negeri yang akan menunaikan ibadah
haji, Mengatur kuota nasional, Menetapkan pola dan tata cara pembinaan jamaah, Menerbitkan pedoman manasik
dan panduan perjalanan haji, Mengeluarkan paspor, Menunjuk pelaksana transportasi, Menyediakan akomodasi
jemaah haji, Menetapkan penyelenggara haji khusus, Mengatur penyelenggaraan haji khusus, Mengatur ketentuan
penyelenggaraan perjalanan umrah
9

dirumuskan dengan jelas pengertian anak, anak anngkat, anak sipil, oang
tua tidak kawin sah, pengadilan, peradilan dan istilah lain yang samar-
samar artinya. Dalam butir 3 b pasal 1 anak yatim piatu digolongkan
sebagai anak terlantar. Apakah penggolongan ini telah tepat.
Mengenai Bab II, Dalam bab II disebut tentang hakim dan wewenang
sidang anak. Dengan mengacu pada catatan butir 1 di atas, kenapa RUU
tidak menyebutkan RUU sidang anak atau RUU persidangan anak saja,
supaya konsisten.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini benar-benar dirasakan memberi manfaat di dalam menangani perkara
anak, baik yang timbul karena kekerasan maupun perlakuan anak itu
sendiri.

G. Komentar terhadap UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang


Perubahan UU Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 10 Tahun 1998 merupakan regulasi yang mengatur
perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbangkan. Yang menjadi
dasar pertimbangan perubahan ini antara lain disebabkan karena tuntuan
masyarakar muslilm agar bank-bank umum membuka outlet perbankan
yang menggunakan sistem syari’ah yang dikenal dengan dual bangking
system. Sedangkan landasan konstutusi perubahan itu adalah UUD 1945.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah tatanan di masyarakat,
khususnya masyarakat muslim agar mereka dapat dengan leluasa
menggunakan sistem perbankan syari’ah secara aman di dalam transaksi
bisnis mereka.
Secara sosiologis, UU ini merupakan aspirasi dari semakin maraknya
animo masyarakat muslim bertransaksi dengan perbankan syari’ah. Minat
mereka itu menunjukkan akan pentingnya kehadiran perbankan syari’ah.
Secara yuridis, pembentukan undang-undang ini merupakan jaminan
pemerintah saat itu untuk memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat muslim di dalam transaksi mereka dengan perbankan
syari’ah. .
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini benar-benar dirasakan memberi manfaat besar bagi masyarakat
muslim di dalam bertransaksi menggunakan sistem syari’ah.
10

H. Komentar terhadap UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Zakat
1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 38 Tahun 1999 merupakan regulasi yang mengatur
Pengelolaan Zakat. Dalam diktum menimbang dikemukakan mengenai
landasan empiris mengani perlunya zakat dibuat undang-undang. Dalam
diktummenimbang dicantumkan landasan konsitusi, yakni pasal 5, 29 dan
34 UUD 1945 dan Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai
Haluan Negara.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah tatanan di dalam
masyarakat agar zakat dijadikan sumber kesejahteraan rakyat dari kaum
agniya kepada dhu’afa atau mustahiq zakat.
Secara sosiologis, UU ini berhasil mengakomodir aspirasi masyarakat
muslim pada era Habibie yang menghendaki zakat dijadikan undang-
undang.
Secara yuridis, pembentukan undang-undang ini sebetulnya sudah
cukup lama disiapkan. Pertama sekali diusulkan oleh Menteri Agama
Mukti Ali tahun 1967. Ia mengajukan RUU Zakat kepada DPRGR, Mensos,
dan Menkeu. Tujuan diberikannya RUU ini kepada Mensos, agar
memberikan saran dan tanggapan khususnya mengenai kegunaan,
kepentingan, dan tujuan sosialnya. Sedangkan usul diberikan kepada
Depkeu agar memberi saran mengenai pengalamannya mengenai keu-
angan dan wewenangnya dalam penentuan fiskal.
Tetapi Departemen Sosial tidak memberikan masukan terhadap RUU
tersebut. Hanya Depkeu yang memberikan saran, bahwa zakat tidak perlu
diatur dengan undang-undang, tetapi cukup diatur oleh Menteri Agama,
sampai akhirnya Menag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA)
Nomor 4/1968 tangal 15 Juli 1968 tentang pembentukan Badan Amil
Zakat (BAZ) pada tingkat desa dan kecamatan di Indonesia. Kemudian
disusul dengan SKB Menag dan Mendagri Nomor 29 tahun 1991/47 tahun
1991 tentang Pembinan Bazis.
Dalam pasal 1 SKB tersebut dinyatakan bahwa yang di maksud
dengan Bazis ialah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengelola
penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan peman-faatan zakat, infaq
dan shadaqah secara berdayaguna dan berhasil guna. Pengaturan
mengenai pengelolaan zakat baru dapat diwujudkan pada tahun 1999.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
11

ini benar-benar dirasakan memberi manfaat dan pekstian di dalam


pengelolaan zakat.

I. Komentar terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT


1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 23 Tahun 2004 merupakan regulasi yang mengatur
penyelenggaraan ibadah haji. Dalam diktum menimbang dikemukakan
mengenai landasan konstitusi yang mengacu kepada makna filosofis
Pancasila dan UUD 1945. Diamping itu, mempertimbangkan kenyataan-
kenyataan di masyarakat mengenai tingginya prilaku kekerasan yang
menjadi pertimbangan dalam UU ini adalah perempuan harus segera
diakhir karena tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Sedangkan dalam
diktum mengingat, dinyatakan beberapa pasal dalam UUD 1945 pasal 20,
21 dan 28. Dengan pernyataan ini, kehadiran UU Nomor 23 Tahn 2004
telah mengakomodir ketentuan konstitusi.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah tatanan dalam keluarga
agar isteri dapat hidup secara layak dan mausiawi di dalam rumah tanpa
terjadi kekerasan baik oleh suami maupun pihak lain. Hal ini menjadi
semacam cita-cita kaum wanita agar mereka mendapat jaminan
kepastian hukum dan pembelaan hukum jika mereka diperlakukan secara
kasar. Ketentuan yang diatur dalam UU ini berhasil mewadahi sebagian
aspirasi aktifis perempuan agar para wanita di keluarga mendapat
perlindungan hukum.
Secara sosiologis, UU ini berhasil mengakomodir aspirasi aktifis
perempuan dan fakta-fakta di lapangan bahwa jenis-jenis kekerasan yang
melanda wanita sudah berada pada tingkat yang tidak wajar. Kasus
kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari hari ke hari, baik kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik
atau psikologis maupun kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Bahkan, sudah menjurus dalam bentuk tindak pidana penganiayaan dan
ancaman kepada korban, yang dapat menimbulkan rasa ketakutan atau
penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang. Para korban
kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai hambatan untuk
dapat mengakses hukum seperti sulit untuk melaporkan kasusnya
ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum.
Ketentuan Hukum Acara Pidana atau perundang-undangan lainnya sejauh
ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Secara yuridis, UU ini akan berusaha menutup terjadinya kekerasan
terjadap perempuan dan menjamin kepastian hukum bahwa perempuan
akan dibela hukum jika diperlakukan secara kasar. Ketentuan dalam UU
ini secara yuridis memberikan legitimasi agar perempuan diperlakukan
sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang memilki watak
12

imperior, penurut, patut, pemerhati dan sebagainya. Memperlakukan


wanita sebagai manusia akan menempatkan mereka berada dalam
kemitraan sejajar dengan laki-laki.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Tetapi dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan UU saat
ini menjadi polemik. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi antara
suami, isteri dan anak atau orang-orang yang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan suami, isteri dan anak disebabkan karena hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap
dalam rumah tangga atau orang yang bekerja membantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga.11
Undang-undang PKDRT ini dapat dipandang secara positif dalam arti
undang-undang ini memberikan jaminan yang pasti kepada anggota
keluarga dan orang-orang yang tinggal di dalam rumah untuk tidak
sewenang-wenang dalam berbuat dan bertindak. Pandangan demikian
akan menempatkan posisi UU PKDRT sebagai aturan yang mengarahkan
cara bertindak yang dapat saling menghargai antara orang-orang dalam
lingkup rumah tangga. Tetapi kehadiran undang-undang PKDRT dapat
juga melahirkan polemik dan kontroversi diskusi yang panjang jika
disandingkan dengan ketentuan-ketentuan agama, terutama menyangkut
relasi antara suami isteri dimana secara normatif dan tekstual agama
memberikan ruang bagi para suami dalam batas-batas tertentu untuk
“memukul” sang isteri jika sang isteri dianggap nusyuz. Adanya ruang
bagi suami kepada isteri untuk mengambil langkah-langkah “refresif” itu
secara tegas dimuat di dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 34.
Walau demikian, sebuah cara pandang tertentu terhadap UU PKDRT ini
pada akhirnya akan dapat dengan mudah meletakan posisi undang-
undang ini untuk disandingkan atau untuk dikatakan undang-undang ini
relevan dengan ketentuan syari’ah. Atau bahkan sebaliknya sebuah cara
pandang tertentu akan menempatkan undang-undang ini bias syari’ah
bahkan dengan bahasa yang agak berlebihan bertentangan dengan
ketentuan syari’ah. Teks atau nash syari’ahlah yang menjadi poros di
dalam melahirkan perbedaan cara pandang itu. Pemahaman tekstual dan
normatif terhadap teks akan berkesimpulan bahwa prilaku manusia harus
mengikuti tuntutan teks syari’ah. Sementara pandangan kontekstual
terhadap teks akan melahirkan pandangan yang memposisikan syari’ah
compatible dengan situasi sosial masa kini.
Tentu saja kajian pasal-pasal dalam UU KDRT apakah memiliki
relevansi dengan syari’ah dan memperkuat pelaksanaan syari’ah atau
bahkan bias syari’ah tidak lepas dari cara pandang di atas.

11 Selama tahun 2005 menurut pantauan LBH APIK Jakatta terdapat kasus 314 KDRT. Dari 314 kasus KDRT, yang
melapor ke kepolisian hanya 19 kasus. Dari 19 kasus tersebut baru ada 8 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
yang telah menerapkan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Dari bentuk kekerasan yang dialami korban ada 6 kasus
kekerasan fisik, 1 kasus kekerasan ekonomi dan 1 kasus kekerasan psikis. Sedangkan, jika dilihat dari hubungan
antara pelaku dengan korban, 6 orang adalah istri pelaku, 1 orang adalah anak pelaku serta 1 orang pekerja rumah
tangga.
13

J. Komentar terhadap UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf


1. Komponen Konstitusi
UU Nomor 41 Tahun 2004 merupakan regulasi yang mengatur
penyelenggaraan wakaf. Dalam diktum menimbang dikemukakan
mengenai pertimbangan lahirnya UU wakaf, yang umumnya berisi
tentang kenyataan bahwa wakaf merupakan pranata keagamaan yang
memiliki potensi ekonomis, sementara dalam diktum mengingat
disebutkan pasal 29 dan 33 UUD 1945.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah tatanan dalam
masyarakat muslim khususnya dan masyarakat pada umumnya agar
wakaf dapat menjadi kekuatan ekonomi yang mampu mendorong
masyarakat mengalami perubahan. Sebab beberapa negara yang
menjadikan wakaf sebagai penopang ekonomi, banyak kegiatan sosial
keagamaan dan kemasyarakatan dibiayai dari wakaf.
Secara sosiologis, UU ini berhasil mengakomodir aspirasi umat Islam
tentang impelemtasi syari’ah menjadi undang-undang. Berbagai
ketentuan perwakafan yang diatur dalam undang-undang ini jelas-jelas
sebagai sebuah abstarksi bahasa fiqh menjadi qanun. Selain itu,
perubahan substantif dari tata kelola wakaf konvensional yang selama ini
diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 menjadi wakaf produktif dalam UU
ini terasa sebagai perubahan besar yang diharapkan dapat memberi
manfaat bagi tumbuhnya ekonomi masyarakat. Perubahan besar juga
terlihat dari badan pengelolaan wakaf yang disebut BWI sebagai badan
independent di dalam mengawasi perwakafan.
Secara yuridis, UU ini akan berusaha menciptakan sebuah kepastian
wakaf bagi para wakif di dalam mewakafkan harta bendanya, sehingga
para wakif dan calon wakif yang memiliki harta berupa tanah dapat
mewakafkan harta bendanya di luar tanah secara absah karena dijamin
keabsahan dan kepastiannya oleh undang-undang.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Demikian pula dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan
UU saat ini benar-benar banyak memberi manfaat bagi penyelenggaraan
wakaf di dalam masyarakat.

K. Komentar terhadap UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang


Pengadilan Agama
1. Komponen Konstitusi
Sejak UU Nomor 3 Tahun 2006 diundangkan, maka telah terjadi
perubahan didalam strutur peradilan dan kompetensi peradilan agama.
14

Dalam diktum menimbang dinyatakan sebuah kenyataan-kenyataan


perkembangan dunia hukum dan peradilan yang telah terjadi dikarenakan
adanya reformasi di dalam struktur ketatatanegaraan Indonesia. Oleh
karena itu, perlu disesuaikan struktur peradilan agama. Di dalam diktum
mengingat, dinyatakan beberapa peraturan perundang-undangan yang
menjadi landasan konstitusi lahirnya UU ini, yaitu UUD 1945 dan UU
Nomor 7 Tahn 1989.

2. Komponen Legal Draft


UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang baik jika memiliki empat
landasan, yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan ketentuan tekhnik legal
draft.
Secara filosofis, UU ini mengidealkan sebuah badan peradilan yang
bebas dan mandiri dari campur tangan kekuasaan. Perubahan yang
dilakukan terhadap kedudukan dan kekuasaan mengadili peradilan agama
diharapkan menjadi kenyataan di dalam menangani berbagai sengketa
perdata Islam diantara orang-orang Islam. Perubahan kedudukan dan
kekukasaan peradilan agama ini diidealkan menjadi kenyataan dan
harapan semua pihak karena terjadi perubahan sistem ketatanageraan.
Secara sosiologis, UU ini berhasil mengakomodir aspirasi masyarakat
sehubungan telah terjadi reformasi di dalam struktur ketatanegaraan.
Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah perubahan baru
dalam kedudukan dan kekuasaan peradilan agama oleh DPR.
Secara yuridis, UU ini akan berusaha menciptakan sebuah kepastian
hukum di dalam menyelesaikan sengketa keperdataan diantara orang-
orang Islam. Kepastian hukum ini diperlukan agar penyelesaian sengketa
diantara orang Islam itu dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dan
ternyata, pasal-pasal yang tercantum dalam UU ini penyelesaian sengketa
perdata diantara orang-orang Islam itu telah diatur sedemikikan rupa agar
para pihak yang berperkara dijamin hak-haknya.
Sedangkan UU ini jika dilihat dari sisi legal draft, yakni dari segi
ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan) dan ketepatan dalam pemakaian huruf
dan tanda baca dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Demikian pula dari sisi keadilan dan hak asasi manusia, keberadaan
UU saat ini benar-benar banyak memberi manfaat bagi penegakan hukum
dan keadilan diantara orang-orang Islam yang sedang bersengketa.

Anda mungkin juga menyukai