Dasar Pembangunan
Tentang Kegagalan Bangunan dan Sanksinya
Rudy Salim
070404062
Kontrak konstruksi dalam pembangunan nasional saat ini, mempunyai peranan yang
sangat penting dan strategis dalam menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau fisik
lainnya. Meskipun suatu kontrak konstruksi telah memenuhi syarat-syarat sah dan memenuhi
asas-asas suatu kontrak, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu akibat yang
dapat merugikan pihak lain, antara lain yakni kegagalan bangunan.
Tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawaban para pihak serta sanksi yang dikenakan kepada para pihak dalam hal
terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi, serta menjadi gambaran bagi
penengak hukum dan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kontrak konstruksi.
Suatu bangunan dikatakan telah mengalami kegagalan bangunan apabila sudah dinilai
oleh satu atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompoten dalam bidangnya, bersifat
independen, dan mampu memberikan penilaian secara objektif. Apabila, salah seorang pihak
tersebut dinyatakan bersalah oleh pihak penilai ahli, maka ia wajib bertanggungjawab atas
terjadinya kegagalan bangunan tersebut. Tanggung jawab yang dikenakan kepada pihak yang
dinyatakan bersalah dapat berupa tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata maupun
tanggung jawab administratif.
Page 2
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
Pengantar
Oleh karena itu penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk
mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi,
dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus
diselenggarakan secara tertib.
Perwujudan bangunan juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana,
pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannnya
termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh karena itu pengaturan
bangunan gedung harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Persyaratan administratif meliputi, pertama status hak atas tanah, dan atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, kedua, status kepemilikan bangunan gedung, dan
yang ketiga, izin mendirikan bangunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Persyaratan teknis bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas
bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak
lingkungan.
Maraknya Musibah
Page 3
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
Akhir-akhir ini kita merasa terusik atas banyaknya kasus kegagalan bangunan yang
berakibat fatal. Dalam waktu beberapa bulan, empat bangunan parkir di gedung-gedung
megah di Jakarta telah mencelakai dan menewaskan para pengguna bangunan. Ironisnya,
salah satu gedung megah dimaksud adalah Kantor Walikota. Di Banda Aceh, sebuah
bangunan rumah sakit roboh sebelum diserahterimakan. Di Surabaya, seorang anak kecil
tewas karena jatuh dari lantai atas ke lantai dasar sebuah shopping mall. Gedung sekolah
dasar roboh sudah tak terhitung banyaknya. Kasus terakhir di Bandung bahkan mencelakai
anak-anak SD yang sedang belajar di kelas.
Dalam kasus-kasus di atas, di mana posisi kita sebagai civil engineer? Meski dalam
kasus-kasus yang menewaskan pengguna bangunan kita dengar pihak kepolisian menyelidiki,
sampai saat ini belum ada pihak yang diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Barangkali
bahkan belum ada pihak yang dijadikan tersangka. Apakah UU No. 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (yang masing-masing
telah dilengkapi dengan beberapa PP) tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat
penanggung jawab kegagalan bangunan-bangunan tersebut?
Bila ditilik dari hulu ke hilir, kemungkinan kesalahan dalam kasus-kasus tersebut bisa
terjadi pada arsitek, perencana struktur, perencana ME, pemberi ijin membangun, pelaksana
konstruksi, pengawas konstruksi, pemilik/pengelola bangunan, atau pengguna bangunan. Bila
diusut dengan seksama, salah satu atau beberapa pihak tersebut harus bisa dinyatakan sebagai
penanggung jawab terjadinya kasus kegagalan sebuah bangunan.
(2) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG), yang dijabarkan dalam:
• PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung
• Pasal 4 ayat (2): Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen
kontrak kerja konstruksi.
• Pasal 9 ayat (1): Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan
harus memiliki sertifikat keahlian.
Page 4
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
Page 5
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
jasa”). Masalah kegagalan bangunan yang terbukti sangat rawan dan akhir-akhir ini banyak
terjadi, hanya dipandang sebagai “kerugian” yang harus ditebus dengan “ganti rugi” atau
“denda”. Bahkan terjadi kemunduran dalam penjabaran di PP, karena sanksi pidana bagi
pelaku kesalahan pada kasus kegagalan bangunan telah dimuat di UUJK namun tidak ada
penjabarannya di PP 29/2000. PP ini hanya mengatur tentang ganti rugi dan denda.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa UUJK dan ketiga PP yang menjabarkannya tidak
cukup untuk mencari pertanggungjawaban atas terjadinya kasus-kasus kegagalan bangunan
yang mencelakai dan menewaskan pengguna bangunan. UUJK dan ketiga PP tersebut tidak
memberi perhatian pada aspek keselamatan jiwa manusia, melainkan hanya terfokus pada
aspek bisnis di bidang konstruksi.
• Pasal 7 ayat (1): Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
• Pasal 7 ayat (3): Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan
gedung.
• Pasal 9 ayat (1): Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur
bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
• Pasal 16 ayat (1): Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam
• Pasal 7 ayat (3) meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan.
• Pasal 17 ayat (1): Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk
mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
• Pasal 17 ayat (2): Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur
bangunan gedung yang stabil dan kokoh dalam mendukung beban muatan.
Page 6
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
• Pasal 63 ayat (1): Perencanaan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
• Pasal 62 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang
memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 63 ayat (2): Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknis bangunan gedung
meliputi: a) penyusunan konsep perencanaan; b) prarencana; c) pengembangan
rencana; d) rencana detail; e) pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi; f)
pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan; g) pengawasan
berkala pelaksanaan konstruksi bangunan gedung; dan h) penyusunan petunjuk
pemanfaatan bangunan gedung.
Pada saat ini persyaratan IMB telah diterapkan di semua kota, namun keterbatasan
SDM yang dimiliki pemerintah kota (terutama di daerah) mengakibatkan lemahnya
pengawasan atas penyimpangan pelaksanaan pembangunan. Sertifikat laik fungsi masih
belum banyak dikenal. Kondisi yang menyedihkan adalah masih cukup banyak instansi dan
aparat pemerintah kota yang memandang IMB sekedar sebagai sumber “pendapatan asli
daerah” (PAD). Fungsi IMB sebagai perangkat pengendali keandalan bangunan
dinomorduakan, sehingga sering terjadi kompromi atau toleransi terhadap penyimpangan
persyaratan bangunan dengan imbalan pembayaran retribusi. Hal ini juga berimbas pada
pandangan umum di masyarakat bahwa IMB mudah diperoleh asal membayar sejumlah uang
yang ditentukan.
Adalah menjadi tugas kita untuk ikut mewujudkan tata cara dan prosedur
penyelenggaraan bangunan gedung yang baik dan benar, agar segala persyaratan yang
ditujukan untuk melindungi kepentingan pengguna bangunan dapat dipenuhi, sehingga
keselamatan pengguna bangunan dapat dijamin.
Page 7
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa
setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (Pasal 34 PP No.29 Tahun 2000), lebih lanjut
Pasal 40 ayat (2) PP No.29 Tahun 2000 tersebut menegaskan apabila terjadi kegagalan
bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka perencana konstruksi
hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum/tidak
diubah.
Kasus-kasus kegagalan bangunan yang telah disebutkan di awal tulisan ini, yang
terjadi di Jakarta, Surabaya dan Banda Aceh (juga kasus kebakaran hotel di Bandung dan
gedung karaoke di Palembang di tahun-tahun sebelumnya yang menewaskan sejumlah
pengguna bangunan) menunjukkan adanya kelalaian dalam penyelenggaraan bangunan atau
proses konstruksi bangunan.
Pada kasus jebolnya dinding pembatas gedung parkir, jelas bahwa dinding pembatas
lantai parkir atau pembatas ramp parkir tidak cukup kuat sehingga tidak mampu menahan
beban dinamis mobil yang bergerak dengan kecepatan rendah. Sesuai dengan persyaratan
keandalan bangunan, dalam kasus mobil menabrak dinding pembatas parkir, mobil boleh
ringsek tapi dinding tidak boleh jebol. Pada kasus anak jatuh dari lantai atas shopping mall,
dinding pembatas lantai atas tidak cukup tinggi sehingga bisa dipanjat anak usia 6 tahun.
Semua kasus di atas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal UUBG.
Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi, menegaskan pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas
kegagalan bangunan, dan dalam ayat (2) menegaskan kegagalan bangunan yang menjadi
tanggung jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan
konstruksi dan paling lama 10 Tahun serta ayat (3) menegaskan lagi, kegagalan bangunan ini
ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.
Page 8
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan
diluruskan. Kata “musibah” hanya tepat diterapkan untuk bencana yang datang dari alam, di
luar kekuasaan manusia. Kecelakaan karena bangunan tidak memiliki keandalan
(sebagaimana disyaratkan) bukan musibah, melainkan bencana akibat kelalaian manusia.
Karenanya, pihak yang lalai dan mengakibatkan jatuhnya korban harus dihukum sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Masyarakat juga sering dibodohi oleh pemilik atau pengelola gedung. Pada kasus
mobil jatuh dari gedung parkir, pengelola gedung dengan lantang membuat pernyataan di
televisi bahwa konstruksi bangunan telah memenuhi persyaratan. Pernyataan pengelola
gedung itu tentu saja menyesatkan masyarakat, karena semua pelaku bidang konstruksi
bangunan tahu bahwa gedung parkir itu tidak memenuhi syarat keandalan bangunan. Sekali
lagi, para arsitek memiliki tugas menjamin keselamatan jiwa manusia yang menggunakan
bangunan hasil karya mereka.
Page 9