Anda di halaman 1dari 9

Tugas Aspek Hukum

Dasar Pembangunan
Tentang Kegagalan Bangunan dan Sanksinya

Rudy Salim
070404062

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
USU
2009
Pendahuluan
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

Kontrak konstruksi dalam pembangunan nasional saat ini, mempunyai peranan yang
sangat penting dan strategis dalam menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau fisik
lainnya. Meskipun suatu kontrak konstruksi telah memenuhi syarat-syarat sah dan memenuhi
asas-asas suatu kontrak, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu akibat yang
dapat merugikan pihak lain, antara lain yakni kegagalan bangunan.

Tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawaban para pihak serta sanksi yang dikenakan kepada para pihak dalam hal
terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak konstruksi, serta menjadi gambaran bagi
penengak hukum dan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kontrak konstruksi.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Penelitian Kepustakaan (Library


Research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder serta dengan menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan
sebagai dasar pemecahan dan penyelesaian permasalahan dalam penulisan ini, yakni
tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya kegagalan bangunan di dalam kontrak
konstruksi.

Suatu bangunan dikatakan telah mengalami kegagalan bangunan apabila sudah dinilai
oleh satu atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompoten dalam bidangnya, bersifat
independen, dan mampu memberikan penilaian secara objektif. Apabila, salah seorang pihak
tersebut dinyatakan bersalah oleh pihak penilai ahli, maka ia wajib bertanggungjawab atas
terjadinya kegagalan bangunan tersebut. Tanggung jawab yang dikenakan kepada pihak yang
dinyatakan bersalah dapat berupa tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata maupun
tanggung jawab administratif.

Page 2
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

Pengantar

Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya mempunyai


peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati
diri manusia.

Oleh karena itu penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk
mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi,
dan selaras dengan lingkungannya.

Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus
diselenggarakan secara tertib.

Perwujudan bangunan juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana,
pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannnya
termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh karena itu pengaturan
bangunan gedung harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan,


keseimbangan serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Asas keselamatan
dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan bangunan
gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan
pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, disamping
persyaratan yang bersifat administratif.

Persyaratan administratif meliputi, pertama status hak atas tanah, dan atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, kedua, status kepemilikan bangunan gedung, dan
yang ketiga, izin mendirikan bangunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Persyaratan teknis bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas
bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak
lingkungan.

Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung meliputi persyaratan


peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian dan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan
untuk lokasi yang bersangkutan. Persyaratan dan intensitas bangunan gedung harus diketahui
oleh masyarakat yang akan membangun bangunan gedung. Oleh karena itu pemerintah
daerah wajib menyediakan dan memberikan informasi secara terbuka tentang persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan gedung bagi masyarakat yang memerlukannya.

Maraknya Musibah

Page 3
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

Akhir-akhir ini kita merasa terusik atas banyaknya kasus kegagalan bangunan yang
berakibat fatal. Dalam waktu beberapa bulan, empat bangunan parkir di gedung-gedung
megah di Jakarta telah mencelakai dan menewaskan para pengguna bangunan. Ironisnya,
salah satu gedung megah dimaksud adalah Kantor Walikota. Di Banda Aceh, sebuah
bangunan rumah sakit roboh sebelum diserahterimakan. Di Surabaya, seorang anak kecil
tewas karena jatuh dari lantai atas ke lantai dasar sebuah shopping mall. Gedung sekolah
dasar roboh sudah tak terhitung banyaknya. Kasus terakhir di Bandung bahkan mencelakai
anak-anak SD yang sedang belajar di kelas.

Dalam kasus-kasus di atas, di mana posisi kita sebagai civil engineer? Meski dalam
kasus-kasus yang menewaskan pengguna bangunan kita dengar pihak kepolisian menyelidiki,
sampai saat ini belum ada pihak yang diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Barangkali
bahkan belum ada pihak yang dijadikan tersangka. Apakah UU No. 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (yang masing-masing
telah dilengkapi dengan beberapa PP) tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat
penanggung jawab kegagalan bangunan-bangunan tersebut?

Bila ditilik dari hulu ke hilir, kemungkinan kesalahan dalam kasus-kasus tersebut bisa
terjadi pada arsitek, perencana struktur, perencana ME, pemberi ijin membangun, pelaksana
konstruksi, pengawas konstruksi, pemilik/pengelola bangunan, atau pengguna bangunan. Bila
diusut dengan seksama, salah satu atau beberapa pihak tersebut harus bisa dinyatakan sebagai
penanggung jawab terjadinya kasus kegagalan sebuah bangunan.

Undang – Undang yang berkaitan dengan praktek profesi pembangunan konstruksi


beserta penjabarannya dalam PP, yaitu:
(1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK), yang dijabarkan dalam:
• PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
• PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
• PP No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi

(2) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG), yang dijabarkan dalam:
• PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung

UUJK yang berhubungan dengan “perencana konstruksi” yang sebagaimana


tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:

• Pasal 4 ayat (2): Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen
kontrak kerja konstruksi.
• Pasal 9 ayat (1): Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan
harus memiliki sertifikat keahlian.

Page 4
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

Selanjutnya, dalam penjabaran di PP 28/2000 disebutkan wilayah kerja profesi arsitek


(yang disebut sebagai “bidang pekerjaan arsitektural”) serta lingkup layanan jasa
perencanaan, sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
• Pasal 4 ayat (2): Usaha jasa perencanaan pekerjaan konstruksi memberikan layanan
jasa konsultansi perencanaan yang meliputi bidan pekerjaan arsitektural, sipil,
mekaikal, elektrikal, dan atau tata lingkungan.
• Pasal 5 ayat (1): Lingkup layanan jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dapat terdiri dari:
a. survei;
b. perencanaan umum, studi makro dan studi mikro;
c. sudi kelayakan proyek, industi dan poduksi
d. perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan;
e. penelitian

Dalam UUJK juga dicantumkan ketentuan tentang tanggung jawab perencana


konstruksi bila terjadi kegagalan bangunan serta sanksi pidana maupun denda yang harus
ditanggung, sebagaimana dimuat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
• Pasal 26 ayat (1): Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan
perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab
sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
• Pasal 43 ayat (1): Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi
yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegaglan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
kontrak.

Penjabaran mengenai kegagalan bangunan dan tanggung-jawab perencana konstruksi


diatur dalam PP 29/2000 sebagaimana dimuat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
• Pasal 34: Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi,
baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa
dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.
• Pasal 40 ayat (2): Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh
kesalahan perencana konstruksi, maka perencana konstruksi hanya bertanggung-
jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum/tidak diubah.

Berdasarkan cuplikan butir-butir pengaturan dalam UUJK serta PP yang merupakan


penjabarannya, dapat disimpulkan bahwa UU ini lebih banyak mengatur aspek “bisnis” jasa
konstruksi. Secara keseluruhan payung hukum ini lebih menekankan pada administrasi
penyelenggaraan pekerjaan di sektor konstruksi, khususnya menyangkut hubungan antara
pemberi tugas (yang disebut “pengguna jasa”) dan penerima tugas (yang disebut “penyedia

Page 5
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

jasa”). Masalah kegagalan bangunan yang terbukti sangat rawan dan akhir-akhir ini banyak
terjadi, hanya dipandang sebagai “kerugian” yang harus ditebus dengan “ganti rugi” atau
“denda”. Bahkan terjadi kemunduran dalam penjabaran di PP, karena sanksi pidana bagi
pelaku kesalahan pada kasus kegagalan bangunan telah dimuat di UUJK namun tidak ada
penjabarannya di PP 29/2000. PP ini hanya mengatur tentang ganti rugi dan denda.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa UUJK dan ketiga PP yang menjabarkannya tidak
cukup untuk mencari pertanggungjawaban atas terjadinya kasus-kasus kegagalan bangunan
yang mencelakai dan menewaskan pengguna bangunan. UUJK dan ketiga PP tersebut tidak
memberi perhatian pada aspek keselamatan jiwa manusia, melainkan hanya terfokus pada
aspek bisnis di bidang konstruksi.

Dalam kaitan perhatian pada keselamatan pengguna bangunan, tampaknya payung


hukum yang lebih memadai adalah UUBG dan PP penjabarannya, yang mengatur tentang
tatacara serta persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung (mulai dari perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pelestarian, sampai dengan pembongkaran). Oleh
karenanya, para arsitek seyogyanya mencermati butir-butir pengaturan UUBG dan PP-nya
agar dalam berpraktek profesi dapat melahirkan karya yang mampu menjamin keselamatan
jiwa manusia.

Butir-butir pengaturan UUBG yang mengatur tentang “persyaratan bangunan


gedung”, khususnya menyangkut “persyaratan keandalan bangunan gedung” yang termuat
dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:

• Pasal 7 ayat (1): Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
• Pasal 7 ayat (3): Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan
gedung.
• Pasal 9 ayat (1): Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur
bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
• Pasal 16 ayat (1): Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam
• Pasal 7 ayat (3) meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan.
• Pasal 17 ayat (1): Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk
mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
• Pasal 17 ayat (2): Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur
bangunan gedung yang stabil dan kokoh dalam mendukung beban muatan.

Penjabaran dalam PP 36/2005 memuat uraian tentang “perencanaan teknis” di


dalamnya. Butir-butir dalam PP ini yang mengatur tentang hal tersebut antara lain adalah:
• Pasal 62 ayat (1): Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan
perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.

Page 6
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

• Pasal 63 ayat (1): Perencanaan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
• Pasal 62 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang
memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 63 ayat (2): Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknis bangunan gedung
meliputi: a) penyusunan konsep perencanaan; b) prarencana; c) pengembangan
rencana; d) rencana detail; e) pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi; f)
pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan; g) pengawasan
berkala pelaksanaan konstruksi bangunan gedung; dan h) penyusunan petunjuk
pemanfaatan bangunan gedung.

Selanjutnya, PP tentang Bangunan Gedung ini mengatur perangkat penjaminan


keandalan teknis bangunan melalui mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (Pasal 14 dan Pasal 71). IMB dipersyaratkan untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung.
Sertifikat laik fungsi harus diperbarui setiap 20 tahun untuk rumah tinggal dan setiap 5 tahun
untuk bangunan lainnya.

Pada saat ini persyaratan IMB telah diterapkan di semua kota, namun keterbatasan
SDM yang dimiliki pemerintah kota (terutama di daerah) mengakibatkan lemahnya
pengawasan atas penyimpangan pelaksanaan pembangunan. Sertifikat laik fungsi masih
belum banyak dikenal. Kondisi yang menyedihkan adalah masih cukup banyak instansi dan
aparat pemerintah kota yang memandang IMB sekedar sebagai sumber “pendapatan asli
daerah” (PAD). Fungsi IMB sebagai perangkat pengendali keandalan bangunan
dinomorduakan, sehingga sering terjadi kompromi atau toleransi terhadap penyimpangan
persyaratan bangunan dengan imbalan pembayaran retribusi. Hal ini juga berimbas pada
pandangan umum di masyarakat bahwa IMB mudah diperoleh asal membayar sejumlah uang
yang ditentukan.

Guna meluruskan dan mengembalikan fungsi IMB sebagai perangkat pengendali


keandalan bangunan, perlu diusulkan agar proses perolehan IMB digratiskan. Gagasan ini
tidak mengada-ada, mengingat bahwa PP tentang Bangunan Gedung juga menyatakan bahwa
masyarakat dapat memperoleh Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung tanpa dipungut
biaya. Pemerintah kota hendaknya lebih kreatif mencari sumber pendapatan lain, bukan
mengharap pemasukan dari retribusi IMB. Bila hal ini dapat dilaksanakan, niscaya IMB akan
lebih berwibawa sebagai sarana penjamin keselamatan jiwa manusia.

Adalah menjadi tugas kita untuk ikut mewujudkan tata cara dan prosedur
penyelenggaraan bangunan gedung yang baik dan benar, agar segala persyaratan yang
ditujukan untuk melindungi kepentingan pengguna bangunan dapat dipenuhi, sehingga
keselamatan pengguna bangunan dapat dijamin.

Kegagalan Bangunan dan Bencana Akibat Kelalaian


Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi baik secara
keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat keselamatan dan kesehatan kerja, dan

Page 7
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa
setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (Pasal 34 PP No.29 Tahun 2000), lebih lanjut
Pasal 40 ayat (2) PP No.29 Tahun 2000 tersebut menegaskan apabila terjadi kegagalan
bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka perencana konstruksi
hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum/tidak
diubah.

Kasus-kasus kegagalan bangunan yang telah disebutkan di awal tulisan ini, yang
terjadi di Jakarta, Surabaya dan Banda Aceh (juga kasus kebakaran hotel di Bandung dan
gedung karaoke di Palembang di tahun-tahun sebelumnya yang menewaskan sejumlah
pengguna bangunan) menunjukkan adanya kelalaian dalam penyelenggaraan bangunan atau
proses konstruksi bangunan.

Pada kasus jebolnya dinding pembatas gedung parkir, jelas bahwa dinding pembatas
lantai parkir atau pembatas ramp parkir tidak cukup kuat sehingga tidak mampu menahan
beban dinamis mobil yang bergerak dengan kecepatan rendah. Sesuai dengan persyaratan
keandalan bangunan, dalam kasus mobil menabrak dinding pembatas parkir, mobil boleh
ringsek tapi dinding tidak boleh jebol. Pada kasus anak jatuh dari lantai atas shopping mall,
dinding pembatas lantai atas tidak cukup tinggi sehingga bisa dipanjat anak usia 6 tahun.
Semua kasus di atas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal UUBG.

Sebenarnya kecelakaan karena bangunan tidak memiliki keandalan sebagaimana


disyaratkan dalam Undang-Undang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002 bukanlah
musibah, melainkan bencana akibat kelalaian manusia. Karenanya seharusnya pihak yang
lalai dan mengakibatkan jatuhnya korban harus dihukum sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Kesalahan bisa terletak pada perencana arsitektur, struktur atau
mekanikal-elektrikal; pelaksana pembangunan (kontraktor) dan pengawas; pemberi ijin
membangun (pemerintah kota setempat); pengguna atau pengelola bangunan.

Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi, menegaskan pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas
kegagalan bangunan, dan dalam ayat (2) menegaskan kegagalan bangunan yang menjadi
tanggung jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan
konstruksi dan paling lama 10 Tahun serta ayat (3) menegaskan lagi, kegagalan bangunan ini
ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

Sedangkan sanksi bagi barangsiapa yang melakukan perencaan pekerjaan konstruksi


yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama lima tahun penjara atau
dikenai denda paling banyak 10 persen dari nilai kontrak (Pasal 43 UU No.25 Tahun 1999).

Kepada masyarakat perlu diberikan pembelajaran bahwa kelalaian dalam


penyelenggaraan bangunan berpotensi mengancam keselamatan jiwa manusia, dan perangkat
hukum telah tersedia untuk menjerat pelakunya. Masalah pertama yang dihadapi dalam
penegakan aturan hukum di sektor konstruksi adalah sikap masyarakat kita yang masih
permisif menghadapi kasus kecelakaan dalam bangunan. Banyak orang menganggap hal
semacam itu adalah musibah. Bentuk tanggung jawab pemilik bangunan berupa pemberian
santunan kepada keluarga korban dianggap sudah mencukupi. Kiranya hal ini perlu

Page 8
Tugas Aspek Hukum Dasar Pembangunan

diluruskan. Kata “musibah” hanya tepat diterapkan untuk bencana yang datang dari alam, di
luar kekuasaan manusia. Kecelakaan karena bangunan tidak memiliki keandalan
(sebagaimana disyaratkan) bukan musibah, melainkan bencana akibat kelalaian manusia.
Karenanya, pihak yang lalai dan mengakibatkan jatuhnya korban harus dihukum sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Masyarakat juga sering dibodohi oleh pemilik atau pengelola gedung. Pada kasus
mobil jatuh dari gedung parkir, pengelola gedung dengan lantang membuat pernyataan di
televisi bahwa konstruksi bangunan telah memenuhi persyaratan. Pernyataan pengelola
gedung itu tentu saja menyesatkan masyarakat, karena semua pelaku bidang konstruksi
bangunan tahu bahwa gedung parkir itu tidak memenuhi syarat keandalan bangunan. Sekali
lagi, para arsitek memiliki tugas menjamin keselamatan jiwa manusia yang menggunakan
bangunan hasil karya mereka.

Page 9

Anda mungkin juga menyukai