Anda di halaman 1dari 19

Refleksi Ringan Tentang

PROBLEMATIKA KEetnikan DAN kebahasaan DALAM


PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK 1

Prof. Dr. Aron Meko Mbete 2

1. Pendahuluan

Terminologi keetnikan (ethnicity, etnisitas) sebagai


konstruksi budaya (Barker, 2004), yang juga terkait dengan bahasa
sebagai penanda dan pengikat, memang selalu menarik untuk
dibahas. Konsep keetnikan itu pun diartikulasikan dalam diskursus
sosial bahkan menjadi komoditas politik. Dalam renungan singkat
ini, keetnikan atau etnisitas berkaitan dengan kesadaran akan
kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu
kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih
luas. Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan
kelompok etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal
nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki
pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya
yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan
persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan
gabungan unsur-unsur itu. Dalam konteks perenungan ini,
dinamika dan kompleksitas fenomena keetnikan dan kebahasaan
khususnya, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif linguistik
ekologi dan ekolinguistik kritis (lihat Fill, 2004). Kendati di dalam
keetnikan itu termasuk pula sejumlah komponen terkait seperti
asal-muasal, ras, tradisi, dan budaya, namun bahasan ini dibatasi
hanya pada relasi keduanya, etnik dan bahasa, dalam dimensi
ruang hidup dan gerak waktu (momen) yang terbatas pula.

Kajian dan renungan kritis tentang kedua aspek itu


diupayakan untuk mencoba memetakan kenyataan hidup
keetnikan dan keindonesiaan dalam keutuhan bangsa Indonesia
yang majemuk. Dengan kekuatan budaya ilmu yang jujur, rasional,
dan objektif diharapkan akar permasalahan ketidakseimbangan,
ketetidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, dan hegemoni
intraetnis dan antaretnis yang mengganggu hak hidup keetnikan
sebagai pilar penyangga keutuhan bangsa, (termasuk hibriditas
lintas etnik dengan diasporanya di pelbagai wilayah Nusantara
yang menghadirkan pijinisasi dan kreolisasi), dapat diatasi dengan
penuh respek, toleransi, dan arif. Mobilitas sosial lintas etnik, lintas
daerah, pun gejala asimilasi yang membaurkan etnik-etnik
Nusantara di lingkungan kota khususnya, kian memperkuat
karakter kemajemukan bangsa. Dengan demikian, persoalan jati
diri keetnikan yang ditandai dan diramu secara khusus oleh bahasa
etnik, atau bahasa lokal, menjadi fokus pembahasan ini.

Mensyukuri dan merayakan kemajemukan, keberagaman


etnik, agama, tradisi, dan bahasa sebagai realitas sosial-budaya
Nusantara, menjadi suatu keniscayaan (lihat Azra, 2007: 5). Realitas
itu penting diterima dan disyukuri, karena memang itulah
sesungguhnya makna dan nilai aksiologis ilmu pengetahuan
budaya dalam memberikan pencerahan makna di tengah
kehidupan bangsa yang sedang berkembang. Dimensi
pragmatisme keilmuan memperlihatkan fungsi linguistik terapan
(applied linguistics), khususnya linguistik ekologi, ekolinguistik
kritis, dan perspektif kajian budaya (cultural studies). Kendatipun
demikian, persoalan kritis keetnikan dan kebahasaan di Indonesia
yang memang memiliki karakteristik dan kompleksitasnya
tersendiri (band. Geertz, 1996; lihat Hardiman, 2003: ix-xii), tentu
saja membutuhkan paradigma kejernihan berpikir tersendiri, meski
tetap dalam koridor ilmu budaya. Sehubungan dengan itu,
pendekatan interpretatif-kualitatifnya dimanfaatkan agar aspek-
aspek ideografis dapat ditemukan.

Perlu disadari dan direnungkan secara terus-menerus,


bahwa “ekologi asli” keetnikan juga tidaklah sangat demarkatif
batas-pisah dengan etnik-etnik lain di sekitarnya sebagaimana juga
ekologi bahasa etnik itu sendiri. Meskipun demikian tetap disadari
adanya faktor-faktor sejarah, tradisi, budaya, dan ciri-ciri tertentu
yang membangun kesadaran, imajinasi atau bayangan
kebersamaan (lihat Anderson, 2002), merajut “kesepakatan” ikhwal
adanya keberbedaan jati diri yang khas-etnis dan pada nasional,
khas sebagai bangsa Indonesia yang sedang berproses. Dalam
kenyataannya, ekologi keetnikan itu diperluas karena daya sebar
(migrasi) warga dengan diasporanya, berhimpitan dengan ekologi
etnik dan bahasa etnik lainnya. Ruang hidup yang “asli” setiap
etnik dengan kisah-kisah sejarah (ras, darah, keturunan, bahkan
juga tanah taklukan misalnya), dongeng, mitos, dan
keterpencarannya, perlu dikaji dan perlu dipelihara. Ekologi
bahasa etnik, misalnya bahasa-bahasa: Melayu, Batak, Minang,
Aceh, Nias, Mentawai, Lampung, Jawa, Sunda, Madura, Bali,
Sasak, Sumbawa, Bima, Manggarai, Ngadha, Lio, Sikka, Lamaholot,
Roti, Bugis, Muna, dan Biak, masing-masing dengan dialek
geografi dan dialek sosialnya, dengan ruang hidup keberagaman
bahasa, “membungkus” dan mencerminkan lingkungan geografi
dan sosio-budaya keetnikannya. Dengan demikian, aneka teks
verbal (tuturan ataupun tulisan) bahasa-bahasa etnik yang
mereprentasikan realitas manusia, masyarakat, kebudayaan dan
alam sekitarnya, sangat penting dikaji. Dalam perspektif
ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang
sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu
kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Dengan
demikian, dibutuhkan kajian empiric untuk memahami kondisi
hidupnya. Secara metaforis-biologis, daya hidup (vitality) bahasa-
bahasa etnik, juga bahasa Indonesia, atau juga sejumlah bahasa
asing yang hidup di Indonesia, didiagnosiskan sebagai: sehat, kuat,
bertumbuh subur, ataukah sebaliknya dalam kondisi sakit, lemah,
kerdil, bahkan menjelang punah. Kondisi gawat darurat, secara
khusus dicoba dipahami secara sekilas lintas dalam konteks ini.

2. Refleksi Ringan atas Perubahan Lingkungan Hidup Keetnikan


dan Kebahasaan

Ekologi etnik atau ekologi manusia adalah lingkungan


hidup buatan yang juga menjadi ekologi bahasa dan ragam-
ragamnya. Sebagai lingkungan hidup buatan hasil budaya dan
proses sosial, hubungan manusia dengan alam sekitarnya tercermin
pula dalam struktur bahasa sebagaimana tampak paling mencolok
dalam dunia arsitektur antaretnik yang memanfaatkan bahan-
bahan bangunan di lingkungan itu. Kategori nomina nyata yang
melambangkan bahan bangunan dan pemukiman misalnya, atau
juga verba proses pemanfaatan sumber daya hutan untuk
pembangunan rumah dan ruang pemukiman misalnya, seperti juga
budaya makanan-kuliner, terekam secara verbal (band. Preziosi,
1984:47-49) dalam bahasa etnik. Secara kreatif, bahasa memang
merekam pengalaman dan merefleksikan kenyataan yang ada di
lingkungan (lihat Halliday, 2001).

Bagi bangsa Indonesia, lingkungan hidup keetnikan dan


kebahasaan itu sedang berkembang pesat menjadi lingkungan
hidup yang dwibahasa, dalam arti lebih dari dua bahasa (Romaine,
1995) dan dwibudaya (lihat Bell, 1976) yang hidup secara bersama,
berfungsi dan tentunya saling bersaing. Kondisinya juga sangat
dinamis dan kompleks. Kedudukan dan fungsi yang lebih kuat di
ranah politik, kebudayaan, ekonomi, dan IPTEK yang dimiliki oleh
bahasa Indonesia, yang memang kurang bahkan tidak dimiliki oleh
sebagian besar bahasa etnik Nusantara, jelas mendasari dominasi
bahasa Indonesia atas bahasa daerah. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa secara sosio-psikologis telah terjadi
ketidakseimbangan kedwibahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia,
bahkan juga bahasa asing, sangat kuat pengaruh dan lebih tinggi
prestisenya, mendominasi kehidupan kebahasaan sehingga bahasa-
bahasa etnik yang menjadi simbol dan perekat jiwa keetnikan, kian
kerdil tumbuhnya, kian lemah daya tahannya karena kian jarang
penggunaannya secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan
dinamika kebudayaan Indonesia dan derasnya arus budaya global.

Dalam konteks perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi.


Selain pemetaan sekilas dan pemahaman awal tentang makna di
balik situasi hidup keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif
ekolinguistik kritis, pembedahan kondisi hidupnya sangat
diperlukan. Kondisi hidup etnik dan bahasanya itu memang
menyatu dalam diri komunitas penuturnya. Betapa sesungguhnya
kekuatan dan nafas hidup keetnikan direpresentasikan oleh fungsi-
fungsi sosio-ekologis bahasa etnik. Inilah sesungguhnya simpul
kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan. Tanpa
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terutama demi
kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang multietnik,
multimental (lihat Hardiman, 2003: viii), dan multibahasa ini, kuat-
lemahnya nafas hidup keetnikan dan bahasanya, baik bahasa besar
maupun bahasa kecil (lihat Ferguson, 1971), menarik, bahkan
mendesak untuk dibedah dan didalami makna di baliknya.
Pembedahan dimaksudkan untuk menjelaskan dan mencegah
faktor-faktor dominan yang mengancam keberadaan bahasa-
bahasa etnik, baik dari dalam maupun dari luar komunitas etnik
dan komunitas bahasa. Setiap tahun banyak bahasa minor di
benyak belahan bumi yang punah dan terancam punah. Diduga,
punahnya bahasa etnik berarti punah pula etnik atau subetnik
tertentu pemilik bahasa itu.

Linguistik klinis (lihat Halliday, 2001) yang dimanfaatkan


dalam kerangka perencanaan dan pemberdayaan kembali daya
hidup bahasa etnik dengan sumber daya sosial dan budayanya,
merupakan obsesi akademis dan solusi pragmatis yang perlu
dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran akhir telaahan ringan ini.
Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan di bidang
penelitian kebahasaan dalam konteks keetnikan atau sebaliknya
keetnikan berbasiskan kebahasaannya, dapat dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang lemahnya
daya hidup bahasa dan etnik pemiliknya, rekomendasi
pemberdayaan bahasa (language empowering) menjadi keniscayaan
dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan
linguistik Indonesia.

Dalam perspektif ekosistem, termasuk ekologi manusia dan


kebudayaannya, hak hadir dan hak hidup setiap etnik dengan
bahasa etniknya (dalam suasana keseimbangan dan keharmonisan),
harus dijamin oleh negara dan masyarakat dunia. Sejak tahun 1951
UNESCO telah mencanangkan (lihat Alwasilah, 1985:238-245)
kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular,
bahasa-bahasa etnik yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue).
Bahkan dalam kaitan dengan bahasa ibu, tanggal 21 Februari
ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Eratnya kaitan antara bahasa ibu dengan komunitas etnik, memang
sangat disadari oleh negara dan banyak pihak. UUD 1945
Perubahan, secara tersurat menjamin keberadaannya. Pasal 32 butir
(2) UUD 1945 Perubahan tertera: Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sejalan dengan
rumusan itu, Pasal 28-I butir (3) tertera pula: Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Dalam UU Nomor 22 Otonomi Daerah juga
Menimbang (dalam butir b): bahwa dasar penyelenggaraan Otonomi
Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta
memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Potensi dan
keanekaragaman di sini mencakupi sumber daya alam dan sumber
daya kebudayaan dan modal sosial masyarakatnya.

Jaminan konstitusi memang jelas. Akan tetapi


implementasinya di banyak daerah masih harus dipertanyakan
secara terus-menerus. “Bhineka Tunggal Ika”, semboyan bangsa
yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam sastra
Sutasomanya, diakui sebagai adicita (ideology) perekat bangsa
Indonesia yang multietnik. Disadari pula bahwa memang di dalam
konteks keetnikan itulah, nilai-nilai budaya keetnikan yang
direkam dalam bahasa etnik, perlu dipelihara, dimuliakan, dan
diwariskan kepada generasi baru. Dalam ekosistem kebahasaan
pula, dialek-dialek, sosiolek, dan register-registernya dijamin hak
hidup demi keberadaan dan jati diri etnik pemiliknya.

Hak hadir dan hak hidup dialek, sosiolek, dan registernya,


jelas bertautan secara fungsional dengan hak hadir dan hak hidup
komunitas penuturnya, kelompok dan lapisan penuturnya, dan
dengan fungsi sosio-kulturalnya (Bastardas-Boada, 2000:1). Dalam
konteks ini, kebijakan kebahasaan yang tepat secara nasional
memang sangat penting. Kendatipun demikian, adanya jaminan
konstitusi atas hak hadir dan hak hidup saja tidaklah cukup.
Seperti yang dicanangkan oleh Saussure, sebagai fakta sosial dan
suatu sistem nilai (dalam Culler, 1996:38), bahasa yang benar-benar
“hidup” itu selain harus kokoh berada dalam kompetensi dan
kognisi para penuturnya, dimensi produksi dan kreasi
penggunaannya secara berkelanjutan dan mantap (stabil) dalam
ranah-ranah kehidupan sosial-budaya etniknya, merupakan
keniscayaan. Dalam perspektif ekolinguistik, komunitas penutur
bahasa tidaklah sebatas pengguna semata, melainkan pemroduksi
bahasa secara kreatif dan adaptif sesuai dengan perubahan sosio-
ekologinya.

Dinamika dan perubahan socio-kultural, terjadi sangat cepat


menusuk relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah Tanah
Air. Masyarakat tradisional berbasis etnik di Indonesia, setakat ini
jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan oleh umum,
sebagaimana juga di negara-negara yang sedang berkembang
lainnya (Dove, 1985). Struktur permilikan, pola penggunaan lahan,
dan kondisi lingkungan hidup telah berubah mengiringi dinamika
ekonomi-agraris yang ditopang infrastruktur transportasi,
komunikasi, dan teknologi informasi. Pengembaraan dan
pemerkayaan mental dengan fasilitas teknologi informasi (IT),
mengubah ruang orientasi hidup terutama setelah adicita (ideology)
pembangunan (developmentism), semangat perubahan yang
“reformatif” sejak 1998, dan pertumbuhan (growing) ekonomi
merebak, mengubah tatanan sosial-budaya, termasuk konstelasi
kebahasaan. Wacana sosioekonomi-ekologis berkembang pula
(band. Bastardas-Boadas, 2000: 2-4). Relasi sosial kekerabatan
melonggar, tata nilai berubah, dan fungsi komunikasi verbal,
khususnya komunikasi verbal keetnikan menyempit, digeser oleh
media televisi berbahasa Indonesia yang membius kuat generasi
muda. Hingga batas-batas tertentu, media telah menggantikan
fungsi edukasi orangtua. Kerenggangan relasi yang seharusnya lebih
bermakna edukatif-pedagogis Orangtua-Anak-anak, menggejala
pula pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Fungsi koordinasi
bahasa diganti pula oleh media-media seperti uang dan kekuasaan
yang menjadi pengendali tindakan komunikatif (Habermas,
2007:505). Selain kurang lebat dan kurang bermakna lagi interaksi
verbal berbahasa etnik, di sisi lain perubahan wacana, penyusutan
fungsi dan perubahan makna, serta dinamika aspek
leksikogramatika dalam berbahasa etnik, menengarai betapa
perubahan bahasa dan perilakuberbahasa menggambarkan
perubahan sosioekologis (Beard, 2004: 6-8).

Perubahan bermakna yang menunjukkan kerusakan


ekosistem secara ragawi (phisically), antara lain rusaknya kawasan
atau daerah aliran sungai, DAS, tercemarnya air sungai, danau dan
laut, atau mungkin juga gersangnya lereng gunung dan tepian
Danau Toba, Danau Singkarak, Danau Beratan, Danau Segara
Anakan, Danau Tempe dan Sidenreng, Danau Ranamese, ataupun
Danau Sentani, di Papua misalnya, jika itu terjadi karena tingkah
manusia, dapat dibedah secara ekolinguistik kritis. Penyalahgunaan
“energi wacana” pembangunan, dan disfungsi bahasa-bahasa etnik
yang kaya makna konserfasi ekologi dan sosial, memang telah
terjadi. Bukankah, leluhur kita telah menanamkan dan mewariskan
narasi agung yang menjadi adicita (ideology) kolektif etnik? Adicita
tentang kelestarian dan pemuliaan lingkungan hidup dengan
segala biodiversitasnya, tentang sumber daya hutan dan sumber air
yang harus dijaga, adalah amanat luhur yang hadir dalam bentuk-
bentuk ungkapan-ungkapan adat. Sumber daya dan modal sosial-
kultural inilah yang mulai sirna karena memang ditelantarkan.

Bahasa sangat sentra posisinya bagi guyub tutur karena


hanya dengan bahasalah adicita (ideology) itu hadir. Adicita itu pun
akan sangat berenergi hanyalah jika dituturkan dan atau ditulis
sebagai kode lingual yang kaya makna (Volosinov, 1971: 9-10),
termasuk amanat pelestarian lingkungan. Dalam konteks ini
pranata dan institusi tradisional menjadi sangat penting.
Ketidakserasian relasi manusia dengan lingkungan hidup memang
sedang menggejala kuat. Adicita pembangunan ekonomi yang
“tamak” dengan energi green grammar-nya yang salah kprah dalam
diskursus sosial, telah menguras, menggeser, dan memusnahkan
aneka biota yang ada di lingkungan tertentu. Aneka biota itu
umumnya terekam dalam memori lingual warga etnik. Secara
bathiniah, sesungguhnya terjadi “konflik” serius antara manusia
dengan lingkungan alam tempat hidupnya, seperti juga aneka
konflik antarwarga etnik dan antaretnik di suatu kawasan karena
nafsu kuasa.

Ketidakserasian hubungan juga terjadi dalam lingkungan


hidup sosial-budaya. Banyak warga etnik dan relasi kekerabatan
yang retak. Keretakan dan kerengganan relasi insani berdimensi
kekerabatan antarwarga etnik, sedang merebak kuat pula. Dalam
lingkup komunitas basis terkecil keluarga, relasi ketetanggaan di
perkotaan, bagaimanapun juga berkaitan dengan gejala disfungsi
sosio-kultural bahasa etnik khususnya sebagai gejala yang tidak
sulit dapat disimak. Disfungsi socioekologis bahasa etnik sebagai
sarana primordial (Masinambow, 1999:11) itu merupakan gejala
lingkungan hidup kemanusiaan dan kemasyarakatan yang perlu
diprihatinkan. Bahasa, dalam hal ini bahasa etnik yang seyogyanya
berfungsi mengonstruksi makna sosio-kultural (lihat Barker,
2004:74) dalam jaringan infrastruktur komunikasi verbal para
pendukungnya, dalam perkembangannya dapat saja tidak
menjalankan fungsinya karena memang tidak digunakan secara
lebih sering dan lebih “mendalam”. Kesenjangan nilai
antargenerasi penutur bahasa dan pendukung etnik, antara lain
dikarenakan juga oleh faktor penyusutan fungsi interpersonal
bahasa etnik. Padahal, fungsi tersebutlah yang antara lain
membangun relasi kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat.
Situasi multilingual dan multicultural telah menggeser bahasa etnik
dan nilai-nilai ketnikan.

3. Beberapa Persoalan Khusus Keetnikan dan Kebahasaan Kita


yang Perlu Dikaji

Arus global memang terasa menggoyang jati diri sebagai


bangsa Indonesia. Goyangan kultural global yang menggelisahkan
generasi tua terhadap keberlanjutan tata nilai lokal itu
menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan
memperkokoh jati diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri
keetnikan di jenjang lokal maupun jati diri sebagai bangsa
Indonesia sedang berada dalam tantangan. Jika gejala pasangnya
semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang
majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme
menipiskan rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang
multietnik. Keadaan itu menggelitik warga etnik untuk
mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi
kekuatan jati diri keindonesiaan.

Dalam konteks perbincangan ini, komponen pengikat dan


penanda (marker) keetnikan dalam praktik budaya dan diskursus
sosial, yang tiada lain adalah bahasa-bahasa etnik, semisal bahasa
Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa
Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura,
bahasa Sasak, bahasa Bima, bahasa Sawu, bahasa Roti, bahasa Sika,
bahasa Lamaholot, bahasa Bugis, bahasa Bajo, bahasa Biak Numfor,
dan sebagainya, masing-masing dengan sejumlah dialeknya,
menjadi fokus kajian akademis yang sangat penting. Kekayaan
bahasa dalam pelbagai tatarannya, adalah gambaran tentang
kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya. Sebelum
bahasa-bahasa etnik yang kecil mati, dan sebelum punah pula
sumber daya alam yang disimbolisasikan secara verbal itu,
perekaman khazanah budaya keetnikan dan kekayaan sumber
daya lingkungan secara ekoleksikografis, menjadi sangat mendesak
dan strategis.

Terlalu derasnya arus budaya dan arus bahasa global dalam


arti luas, dan terlalu dalamnya pengaruh budaya modern yang
melumuri “wajah” masyasrakat Indonesia, seperti juga terlalu
mendominasinya subetnik tertentu atas subetnik-subetnik lainnya
pada tingkat lokal dan nasional, atau juga dominasi etnik mayoritas
atas etnik-etnik minoritas atas nama pembangunan dan kekuasaan
dalam makna tertentu, dapat saja “memudarkan bahkan
menghancurkan” tatanan sosial-budaya etnik di Indonesia,
khususnya etnik-etnik yang memang kecil dan tanpa peran
politiknya. Keadilan dan kesetaraan, dengan demikian menjadi
persoalan serius. Sehubungan dengan itu, diskusi mengenai
keetnitkan (ethnicity) dalam ekolinguistik kritis, akan menjadi lebih
bermakna jika topik hangat itu kembali dikaitkan dengan kondisi
setakat ini: keterdesakan dan ketererabutan akar local keetnikan. Gejala
itu dapat dibedah melalui fenomena kebahasaan dalam perspektif
ekolinguistik kritis. Terdesak dan tercerabutnya pijakan lokal dan
akar keetnikan jelas menggoyahkan jati diri (identity) dan tentunya
berdampak negatif pula terhadap semakin melemahnya kekuatan
pilar-pilar kebangsaan dan rasa nasionalisme.

Membedah gejala keterdesakan dan ketercerabutan akar


keetnikan anak bangsa, dapat dibahas dalam beberapa pilahan
persoalan. Pertama, sedalam dan sekuat manakah sesungguhnya
nilai-nilai kelokalan dan keetnikan dipahami oleh komunitas etnik
yang juga menjadi warga komunitas bahasa etnik. Kedalaman dan
kekuatan permilikan dan penghayatan nilai-nilai lokal keetnikan
ini tidak hanya di kalangan generasi muda melainkan juga generasi
tua. Kedua, bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai sosial-budaya
kekerabatan, adicita (ideology), fungsi dan makna mitos misalnya,
hadir secara bermakna dalam kehidupan nyata kelokalan, terlebih
dalam proses pendidikan formal dan informal bagi generasi muda
sebagai pewaris nilai? Persoalan ini juga sangat penting untuk
dibedah. Modal sosial-kultural itu masih layak digali dan
diberdayakan, tanpa harus mengerdilkan keindonesiaan mereka.
Ketiga, bagaimanakah derajat kegandrungan dan apresiasi
komunitas etnik, tua atau muda, terhadap tradisi lisannya,
terhadap karya-karya sastra, juga mutu daya cipta sastra etnik
mereka? Jawaban atas ketiga persoalan itu menjadi tanda penting
kehidupan dan atau sebaliknya menengarai ancaman kepunahan
bahasa dan komunitas etnik.

Dalam perspektif fungsi sosioekologis bahasa etnik, tradisi,


adicita, dan jabaran nilai-nilai keetnikan diwadahi, dikemas dalam
dan dipresentasikan dengan bahasa etnik. Kemasan verbal, di sisi
nonverbal, dan isinya itulah yang merajut jati diri, membangun ciri
pembeda, menjadi modal sosial dan sumber daya kultural-lingual
masyarakatnya. Bagaimana keunikan dan cara “Orang Batak,
Orang Aceh, Orang Minang, Orang Nias, Orang Mentawai, Orang
Jawa, Orang Bali, Orang Madura, Orang Sunda, Orang Betawi,
Orang Kupang, Orang Ambon, Orang Manado, Orang Bugis, dan
Orang Papua, bertutur dengan bahasa etnik mereka, atau juga
dengan bahasa Indonesia, itulah sesungguhnya isi, kekuatan, dan
warna jati diri keetnikan, karena di balik bahasalah terekam isi jiwa
dan kekayaan mental mereka. Masalahnya, bagaimanakah
sesungguhnya tingkat dan mutu kompetensi dan performansi
kebahasaan bahasa local kalangan generasi muda baik di
perdesaaan maupun di perkotaan khususnya, dalam praksis hidup
keetnikan mereka?

Mempersoalkan daya hidup bahasa, dalam hal ini bahasa-


bahasa etnik, tiada lain mempermasalahkan dan menggugat sikap,
perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan lingual-kultural
keetnikan generasi muda sesuai dengan ruang dan lahan
fungsionalnya dalam kehidupan sosioekologis keetnikan. Bahasa
yang hidup, tidak hanya di dalam memori atau kognisi semata
(sebagai buah penghafalan demi lulus ujian lokal-nasional), tidak
hanya sebagai “kompetensi” melainkan harus berwujud
“performansi” yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan
maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis. Jika
individu disimak keberadaannya sebagai salah satu organisme, ia
hanya dapat berbicara dan memahami tuturan hanya karena ada
individu sebagai organisme yang hadir di sekitarnya sebagai mitra
tutur, yang memperlihatkan fenomena relasi antarorganisme pula
(Halliday, 1978:10). Bahasa hidup secara faktual melalui “mulut-
telinga” , penutur dan pendengar, dalam perwujudan tuturan yang
sarat makna kultural kelokalan, dan melalui kelincahan tangan
dalam membangun tulisan. Tuturan selalu berdimensi sosial
langsung dan lebih mendekatkan relasi antarindividu
dibandingkan tulisan. Dengan demikian kelisanan tetap diperlukan
di samping keberaksaraan.

4. Politik Identitas Keetnikan, Potensi Kebahasaan, dan


Kesenjangan Sosioekologis

Politik identitas keetnikan di Indonesia, dengan demikian


perlu ditata kembali tanpa harus mengganggu sendi-sendi Negara
Kesatuan RI sebagai negara-bangsa. Untuk itu, bahasa-bahasa
Nusantara dalam perspektif ekolinguistik kritis layak dikaji dan
diberdayakan sebagai ciri fungsional penanda dan pengungkap jati
diri keetnikan. Dalam kaitan dengan otonomi daerah yang memang
menuntut peran serta komunitas etnik, sesungguhnya komunitas
etniklah yang paling bertanggung jawab untuk memelihara dan
merevitalisasinya. Bukankah sejarah leluhur, mitos, tradisi
keetnikan, terutama lingkungan hidup bahasa etnik, yang setakat
ini juga harus memberi ruang dan peluang hidup bagi bahasa
Indonesia, bahasa-bahasa etnik lainnya, dan bahasa-bahasa asing,
merupakan Tanah Asal Leluhur. Tanah leluhur dengan kehidupan
bahasa, budaya, etnik, dan aneka sumber daya alam itu, yang di
antaranya juga hasil “taklukan” dan buah perjuangan jiwa-raga,
tumpahan darah dan keringat para leluhur mereka, harus tetap
dijaga, dimuliakan, dan diwariskan antargenerasi. Kesadaran
sosioekologis ini penting dalam melabeli dan mengidentifikasi diri
sebagai warga etnik, sekaligus juga warga Indonesia.

Tanah atau wilayah itulah lingkungan hidup etnik-etnik


dengan bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa Batak, bahasa
Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Jawa, Bali, Madura,
Sasak, dan sebagainya, masing-masing dengan dialek-dialek,
subetnik dan subkulturnya. Bahasa-bahasa itu adalah wadah
kebersamaan, sarana interaksi dan komunikasi verbal, sekaligus
simbol dan sarana pemahaman mereka tentang diri mereka,
kekerabatan mereka, tata nilai dan tata norma hidup mereka,
gagasan dan adicita (ideology) yang harus tetap hadir, tumbuh, dan
berkembang. Bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang adalah
bahasa yang digunakan secara intens dalam sejumlah ranah pakai.
Metafora inilah sesungguhnya ekspresi kebahasaan penunjang jati
diri keetnikan yang menjadi bagian dari pemahaman bahasa secara
ekolinguistik.

Berkaitan dengan fungsi kode-kode lingual bahasa etnik


itulah, lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan segala
sumberdayanya, layak dikaji secara kritis. Pengkajian ditujukan
untuk memahami daya hidup, nafas budaya lokal warisan
leluhurnya, secara khusus di kalangan generasi muda dari etnik-
etnik Nusantara. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa yang
diberi ruang hidup adalah bahasa yang digunakan. Lebih khas lagi,
secara biologis, sosiologis, dan ideologis (lihat Bastardas-Boada,
2005:1), bahasa yang tumbuh dan berkembang secara berimbang
dengan bahasa-bahasa lainnya dalam masyarakat yang
multilingual, demikian juga dialek dan register yang hidup dan
berfungsi secara seimbang dengan dialek-dialek dan register-
register lainnya, menjamin keberlanjutan bahasa itu.

Keberlanjutan dan keberdayaan bahasa secara fungsional


dalam dinamika kebudayaan, Ilmu pengetahuan, dan teknologi,
disangga oleh daya adaptasi dan kreasi komunitas tuturnya.
Adaptasi dan kreasi secara leksikogramatika sangat menentukan
daya hidup bahasa. Dalam konteks ini, daya cipta leksikon yang
digali dari khazanah asli dengan pemerkayaan makna, diciptakan
secara baru, atau juga dari sumber luar dengan penyesuaian
gramatikal bahasa etnik, pengembangan metafora, pemanfaatan
daya morfosintaksis, ungkapan-ungkapan lokal, mewarnai jati diri
kebahasaan seraya memperkaya khazanah kata dengan leksikon
baru bernuansa IPTEK. Semuanya itu berpangkal pada kompetensi
kebahasaan dan kebudayaan etnik generasi penerusnya.

Salah satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya


adalah “rendahnya” mutu penguasaan (kompetensi) dan
rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal, sementara bahasa
Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak
warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf latin?
Secara biolinguistik keetnikan, bahkan juga keindonesiaan,
sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondidi
“sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan
sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia.
Sistem pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme
politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang
sangat merugikan. Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional,
bukannya keterampilan dan kelincahan verbal (tuturan dan tulisan)
sebagai ciri kecerdasan intelektual dan emosional, sangat
mengganggu perkembangan sumber daya insani dan
perkembangan jati diri sebagian (nesar) generasi muda bangsa.

Kemampuan mengungkapkan hasil penalaran dan perasaan


terdalam para peserta didik khususnya atas realitas kehidupan
sosioekologis kelokalan berbasis etnik dan keindonesiaan dalam
proses pembelajaran dan pendidikan, justru sangat penting dalam
membangun kesadaran akan hakikat dan fungsi lingkungan hidup,
sekaligus mencegah keterasingan. Di beberapa daerah di Indonesia,
ditemukan fakta yang sangat memrihatinkan. Sejumlah anak
bangsa yang setiap hari menikmati pangan-kuliner Indonesia asli
(nasi, jagung, singkong, kacang-kacangan, sagu, daging sapi,
kerbau, aneka unggas, ikan dan udang, serta beragam sayur), justru
tidak lagi mengenal biota, apalagi varietas-varietas padi, jagung,
dan kacang yang hidup di sawah atau ladang, tidak pula mengenal
sapi atau kerbau, tidak mengenal lagi jenis-jenis burung, dan tidak
lagi mengenal jenis-jenis sayuran dalam bahasa etnik mereka.
Sebaliknya, anak-anak kota sangat akrab dengan makanan instan
produk asing. Kesenjangan lingual-kultural ini merupakan masalah
pendidikan lingkungan (lihat Kompas, 13-14 April 2009) yang
sangat penting untuk dikritisi dan ditata ulang. Termasuk di
dalamnya adalah pendidikan multikultural untuk tulus
menghormati, menerima, menghargai, dan membangun
kebersamaan dalam perbedaan (band. Blum, 2001). Pendidikan dan
pembelajaran bahasa lokal atau bahasa daerah, demikian juga
pembelajaran bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa asing di
Indonesia, secara kontekstual sudah seharusnyalah bersumber,
berbasiskan, dan menyatu dengan lingkungan hidup, masyarakat,
dan kebudayaan di sekitar mereka.
5. Catatan Akhir

Renungan sekilas tentang dunia keetnikan dan kebahasaan


dalam perspektif ekolinguistik ini mengajak warga etnik sekaligus
guyub tutur bahasa etnik untuk menyadari eratnya hubungan
antara bahasa dengan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial-
budaya maupun lingkungan alam. Di satu sisi bahasa merekam
secara simbolis kekayaan alam dan modal sosial-kultural
komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan berkaitan dengan
bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal,
tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial, simbol-simbol, dan juga
kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnik lain.
Kemudian, keberbedaan itu diperkuat pula oleh bahasa etnik. Ini
berarti bahasa etnik sangat penting dipelihara dan digunakan
antaranggota warga etnik sebagai perwujudan jati diri.

Ketidakserasian hubungan dalam komunitas etnik yang juga


komunitas tutur dengan lingkungan alam, berakar pula dari
“penyalahgunaan” energi bahasa dan juga bertautan dengan
disfungsi bahasa secara sosioekologis karena di balik sistem kode
kebahasaan tersimpan makna dan nilai kultural dan natural. Fungsi
simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur
oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global.
Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada
kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan
maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural.

Bahasa tidak mesti hanya dipahami sebagai alat semata.


Bahasa hidup dalam kompetensi dan performansi antaranggota
guyub tutur itu, harus dipandang dan diposisikan sebagai
organisme yang hidup dalam suatu ekosistem, dimanfaatkan
sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural. Sebagai
masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional
bahasa itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan
merata antarguyub tutur dan guyub kultur. Dominasi perlu
dicegah. Berkaitan dengan kerusakan ekosistem, termasuk
lingkungan hidup manusia, energi bahasa dalam penggunaannya,
jikalau tanpa kendali moral, dapat saja merusak tatanan alam dan
tatanan sosial yang menjaga keseimbangan. Misi ekolinguistik
kritis, dengan demikian perlu diemban demi pemulihan kembali
hak hidup alam dan sesama dalam relasi yang harmonis, melalui
pemberdayaan bahasa-bahasa etnik.

Dalam perspektif ekolinguistik, keetnikan dan kebahasaan


dapat dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai dua sisi mata uang,
hadir bersebelahan dalam keutuhan. Jikalau bahasa boleh
ditempatkan di sisi luar, ia berfungsi untuk merepresentasi dan
mengemas isi jati diri keetnikan. Dalam perspektif ini pula,
keredupan penggunaan atau daya hidup bahasa etnik,
mencerminkan keredupan jati diri kolektif keetnikan pula.
Sebaliknya, kelebatan penggunaan dan daya hidup kebahasaan
yang bergairah, menengarai daya hidup keetnikan, seperti juga
kebangsaan Indonesia, yang energik dan lestari. Fakta tentang daya
hidup kebahasaan dalam konteks keetnikan, jelas sangat
membutuhkan penelitian yang teratur, terfokus, dan
berkesinambungan. Secara khusus, kaji tindak (action research)
dengan memanfaatkan konsep, kerangka teori, dan metodologi
ekolinguistik dapat digunakan, sehingga pemuliaan bahasa, etnik,
dan lingkungan hidupnya dalam jalinan keterkaitan satu dengan
yang lainnya, dapat diupayakan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Khaidir 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas


Terbayang.Penerjemah: Omi Intan Naomi. Jakarta: Pustaka
Pelajar & Insist.

Azra, Azyumardi, 2007. Merawat Kemajemukan. Merawat Indonesia. Seri


orasi budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Barker, Chris, 2004 Cultural Studies. Teori & Praktik. Penerjemah: Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana

Bastardas-Boada, Albert, 2000. Language Planning and Language Ecology:


Towards a theoretical integration. Barcelona: CUSC, Centre
Universitari de Sociolinguistika I Communicacio, and General
Linguistics Department, Universitat de Barcelona.

Beard, Adrian 2004. Language Change. London and New York: Routledge.

Bell, Roger T 1976. Sociolinguitics: Goals, Approaches, and Problems. New


York: Martins Press.

Blum, Lawrence A 2001. “Antirasisme, Mulitikulturalisme, dan


Komunitas Antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi
Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam May Larry (Editor)
2001 Etika Terapan I. Sebuah Pendekatan Multikultural.
Penerjemah: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bundsgaard, Jeppe & Anna Vibeke Lindo (Eds), 2000. Dialctical


Ecolinguistics. Three Essays for The Symposium 30 Years of
Language and Ecology in Graz December 2000. Odense:
University of Odense.

Culler, Jonathan 1996. Saussure. Penerjemah: Rochayah dan Siti Suhayati.


Jakarta: Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa.
Dove, Michael R 1985. Peranan Kebudayaan Tradsional Indonesia dalam
Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ferguson, Charles A. 1971 “National Sociolinguistics Profile Formulas”


dalam Bright, William (Ed) 1971 Sociolinguistics. Proceedings of
the UCLA Sociolinguistics Conference, 1964.The Hague, Paris:
Mouton & Co.

Fill, Alwin and Peter Muhlhausler (eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader.
Language Ecology, and Environment. London and New York:
Comtinum.

Habermas, Jurgen 2007. Teori Tindakan Komunikatif. Kritik atas Rasio


Fungsionalis. Penerjemah: Nurhadi. Judul asli: Theorie des
Kommunikativen Handelns, Band II: Zur Kritik der
funktionalistischen Vernunft. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Halliday, M.A.K. 2001. “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied


Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.)
The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment.
London and New York: Continuum.

Halliday, M.A.K 1978. Language as Sosial Semiotic. The sosial interpretation of


language and meaning. London: Edward Arnold.

Kymlicka, Will 2003. Kewargaan Multikultural. Penerjemah: Edlina Hafmini


Eddin. Jakarta: LP3ES.

Makkai, Adam, et.al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language,
Volume 2. Language and other Semiotic Systems of Culture.
London: Frances Pinter Publisher.

Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2003. The Ecolinguistics Reader.
Language, Ecology and Environment. London and New York:
Continuum.

Preziosi, Donald, 1984. “Relation between environmental and linguistic


structure” dalam Fawcett, Robin P 1984 et. Al (Eds.) The
Semiotics of Culture and Language Volume 2 Language and Other
Semiotic Systems of Culture. London; Frances Pinter Publisher.
Purwanto, Hari 2007. “Suku Bangsa dan Epspresi Kesukubangsaan”.
Makalah Seminar Sehari Memperingati Satu Tahun Wafatnya
Prof. Dr. I Gusti Nguarh Bagus”, Oktober 2006.

Romaine, Suzanne 1995. Bilingualism. Second edition. Oxford UK &


Cambridge: Blackwell.

Rosidi, Ajip 1999. Bahasa Nusantara. Suatu Pemetaan Awal. Gambaran


tentang Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.

Tilaar, H.A. R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa


Indonesia.Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.

Volosinov, N. V. 1973. Marxism and the Philosophy of Language. Judul asli


Markasizm I Filosofija Jazyka, Leningrad 1930. Penerjemah ke
dalam bahasa Inggris: Ladislav Matejka & I. R Titunik. New
York and London: Seminar Perss.

Wolf, Eric R. 1985. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Yayasan


Ilmu-ilmu Sosial.

Woollams, Geoff, 2004. Tata Bahasa Karo. Edan: Bina Media Perintis.

Anda mungkin juga menyukai