Nim : 2009-33-124
PGSD C
ARTIKEL TENTANG SOSIALISASI DALAM PENDIDIKAN
I am proud to be the leader of such a courageous group of students and
educators, ones who have embraced education reform, and are willing to take
risks.
Sebenarnya apakah yang dibutuhkan oleh peserta didik dari sekolah yang ia ikuti kegiatan-
kegiatan pendidikannya? Lebih lanjut lagi, apakah yang mereka butuhkan dari kepemimpinan
kepala sekolah di sekolah mereka? Bukankah mereka perlu untuk dikenali dan dipahami oleh
kepala sekolah dari mulai mereka mendaftar sebagai calon siswa baru hingga mereka akan
lulus dari sekolah. Bukankah mereka berhak untuk mendapatkan pertanyaan-pertanyaan akan
kebutuhannya dari seorang kepala sekolah. Bahkan, seharusnya seorang kepala sekolah yang
sehat dan paham akan arti kepemimpinan kependidikan sampai arti kepemimpinan kepala
sekolah itu, ia sangat membutuhkan data-data tentang kebutuhan peserta didik terhadapnya
sebagai pimpinan sekolah. Bagaimana mungkin sekolah dapat dikatakan bermutu, jika kepala
sekolahnya tidak tahu kebutuhan peserta didiknya. Bagaimana mungkin kurikulum sekolah
dapat berlangsung sesuai standar mutu, jika kebutuhan peserta didiknya saja belum diketahui.
Pada saat kepala sekolah baru terpilih, maka ia melakukan sosialisasi dengan semua siswa,
agar ia dapat mengenal siswa dan kebutuhan mereka. Waktu sosialisasi ini tidak cukup
sehari, namun tidak menjadi alasan untuk tidak melakukannya atau hanya membuat agenda
yang setengah-setengah untuk menemui para siswa. Dan kegagalan para kepala sekolah
dalam memimpin sekolah, salahsatunya adalah karena ia tidak melakukan kegiatan wajib ini
Lipham dan Hoeh (1974) menyebutkan, bahwa kepemimpinan dalam pendidikan, salah
satunya adalah bagaimana kepala sekolah mengurusi siswa. Dan definisi kedua ahli tersebut
atas arti kepemimpinan adalah, that behavior of an individual which initiates a new structure
in interaction with a social system; it initiates change in the goals, objectives, configurations,
procedures, input, processes, and ultimately the outputs of social systems. (Perilaku
seseorang yang memulai tatanan interaksi baru dengan sistem sosial; memulai perubahan
pada visi, tujuan, pola, tata laksana, masukan, proses dan akhirnya ialah luaran sistem sosial).
Artinya, kepala sekolah, jika menginginkan adanya perubahan, maka ia harus mulai merubah
sikap diri terhadap pentingnya data kebutuhan siswa—ia harus segera memulai interaksi baru
—agar ia segera mencari data tersebut untuk mengubah kebekuan kegiatan sekolahnya yang
selama ini perlu diperbaiki guna melayani kebutuhan siswa, mendapatkan layanan pendidikan
yang lebih baik dari pada masa sebelumnya, lebih mencerdaskan, lebih menyenangkan, lebih
efektif dan efisien. Karena, menjadi pemimpin sekolah itu harus memiliki makna bagi
kehidupan pendidikan para siswa.
Sedangkan, jika kepala sekolah tidak memaknai arti kepemimpinannya untuk siswa—
sesama manusia yang wajib diberi layanan pendidikan olehnya—maka akan terdapat
karakteristik fenomena sebagai berikut:
1. Siswa dianggap sebagai penerima-pasif di sekolah, atau sebagai gelas kosong yang
harus selalu diisi oleh pengetahuan para guru.
2. Kontribusi siswa diperkecil atau diambil oleh orang selain mereka, sedangkan para
siswa hanya diminta untuk menyetujui saja gagasan-gagasan yang sudah dibuat, atau
sekedar mengundang para siswa untuk hadir dalam sebuah pertemuan tanpa adanya
kewenangan untuk mengemukakan pendapat.
3. Ketika perspektif, pengalaman atau pengetahuan para siswa disaring dengan
interpretasi orang-orang selain mereka, hingga menjadi terjemahan-terjemahan yang
meleset atau bahkan tidak benar.
4. Siswa diberikan masalah-masalah untuk dipecahkan tanpa adanya dukungan warga
sekolah lainnya atau tanpa diberi bekal pelatihan diklat yang cukup; atau di bisa juga,
para siswa dilatih keterampilan memimpin, namun tidak diberikan kesempatan untuk
berperan sebagai pemimpin yang bisa berkontribusi di sekolah mereka
(dikembangkan dari Meaningfull Student Involvement karya Adam Fletcher,2005)
Kelas non-partisipasi siswa adalah: usaha manipulasi pembuatan keputusan para siswa,
rekayasa pembuatan keputusan siswa oleh kepala sekolah, dan pengambilan peran siswa
dalam hal pembuatan keputusan mereka. Sedangkan kedua, kelas pro-partisipasi siswa
adalah: aktifitas pembuatan keputusan siswa dengan cara pemberian tugas oleh kepala
sekolah kepada siswa, pembuatan keputusan berdasarkan suara aspirasi siswa, pembuatan
keputusan dilakukan dengan pembagian wewenang bersama siswa, pembuatan keputusan
berpusat pada siswa yang mengarahkannya, dan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh
siswa berbagi dengan kewenangan kepala sekolah (kerjasama anak-anak dengan orang
dewasa).
Teori kebutuhan yang dikemukakan Abraham Maslow dapat dijadikan sebuah landasan akan
kebutuhan dasar apa yang perlu diketahui kepala sekolah dari siswanya.
Dalam Motivation and Personality (1954), Maslow mengemukakan secara formal tentang
Hierarki Kebutuhan atau the Hierarchy of Needs, yakni:
1. Aktualisasi individu yang didasari akan terpenuhinya kebutuhan diri oleh faktor
kebenaran (truth), keadilan (justice), kebijaksanaan (wisdom), dan kebermaknaan
(meaning).
2. Harga diri yang didasari oleh terpenuhinya kebutuhan akan pengenalan dari
lingkungan (recognition based external motivator), perhatian dari lingkungan
(attention as external motivator), status sosial (social status as external motivator),
prestasi diri (accomplishment as internal motivator), dan kehormatan diri (self-respect
as internal motivator).
3. Sosialisasi yang didasari oleh tercukupinya kebutuhan akan pertemanan atau
persahabatan (friendship), menjadi bagian dari komunitas (belonging to a group), dan
aktifitas mengasihi dan menerima kasih-sayang (giving and receiving love).
4. Keamanan yang dipenuhi dengan kebutuhan akan hidup di lokasi yang aman (living
in a safe area), mendapat jaminan pengobatan (medical insurance), keamanan kerja
(job security), dan pemasukan dana (financial reserve).
5. Fisiologis yang dicukupi oleh pemenuhan kebutuhan akan udara untuk bernafas (air),
makanan (food), tidur (sleep) dan air untuk kehidupan fisik (water).
Namun, meski demikian teori Maslow tentang Hirarki Kebutuhan, sesungguhnya tidaklah
harus hirarkis, tapi boleh kategoris, karena yang lebih tahu kebutuhan seorang manusia, tentu
adalah sang manusia itu sendiri dan Tuhannya. Lebih lanjut, jika ingin mengetahui kebutuhan
siswa, maka kepala sekolah hanya tinggal bertanya saja pada siswanya dan memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar ditemukan kebutuhan siswa yang terbaik untuk dipenuhi oleh
satuan pendidikan bernama sekolah.Kepala sekolah yang memaknai arti penting
kepemimpinannya bagi siswa, maka ia akan menemukan kebutuhan siswa sebagai berikut
(Gordon,1983):
Kepala sekolah yang lebih jauh lagi memaknai arti kepemimpinannya bagi siswa dapat
memunculkan komponen-komponen indikator kebutuhan siswa, seperti berikut:
1. Makanan—kebutuhan dasar bagi setiap siswa, dimana siswa perlu makanan bergizi,
dan berimbang. Faktanya, penting sekali bagi siswa untuk sarapan pagi dan makan
siang sebagai asupan energi untuk aktifitas sekolah, kebanyakan orangtua siswa perlu
asistensi dalam menentukan kebutuhan makanan dalam keluarganya, para siswa yang
kurang gizi mengalami masalah perilaku dan perhatian belajar yang lemah, perlu
adanya program makanan tambahan bagi anak sekolah yang dikembangkan dengan
pemerintah atau organisasi non-pemerintah yang peduli pada kesehatan belajar siswa.
2. Pakaian dan perlengkapan sekolah—kebutuhan siswa untuk mengenakan pakaian
yang diperkenankan di lingkungan sekolah, tidak perlu menjadi hambatan agar
mereka belajar di sekolah. Kemudian, alat tulis sekolah, buku catatan, buku pelajaran
dan aneka kebutuhan belajar lainnya yang dibutuhkan siswa akan menjadi isu penting
sebagai kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam suksesi kegiatan belajar mereka di
sekolah.
3. Tempat tinggal—sebuah kebutuhan akan adanya rumah tinggal, dimana siswa yang
mengalami masalah tidak punya tempat tinggal untuk beristirahat atau bersosialisasi
dengan keluarganya akan sangat berpengaruh bagi kehidupan belajarnya.
4. Interaksi sosial di sekolah—kebutuhan siswa akan adanya interaksi sosial dengan
sesama siswa, dengan para guru dan staf sekolah, juga dengan kepala sekolah.
Kemudian, ketika warga sekolah berinteraksi satu sama lain, maka siswa pun
membutuhkan contoh sikap dan perilaku dari seluruh warga sekolah, karena siswa
pun tentu punya indera pengamatan untuk menyaksikan ragam aktifitas interaksi
sosial di sekolahnya yang bisa ia pelajari.
5. Pengenalan sosial—kebutuhan akan pengenalan atau publisitas bagi semua siswa
dalam hal prestasi, profil dan keunikan mereka sebagai eksistensi individual atau
organisasional siswa.
6. Perilaku dan keyakinan—kebutuhan spiritual akan adanya komitmen perilaku baik di
sekolah dan kepercayaan akan nilai-nilai yang didukung oleh warga sekolah.
Sehingga, siswa tidak malu atau sungkan mengungkapkan sikap baik dan sikap yang
sesuai dengan keyakinan mereka di sekolah.
7. Motivasi—kebutuan psikologis siswa yang memerlukan adanya dorongan semangat
agar mereka senantiasa berada dalam kesiapan menghadapi hidup dan episode
pengalaman belajar di sekolah. Tentunya yang perlu dibangun pula adalah motivasi
internal, yakni, bagaimana siswa dapat diberikan bimbingan guna menumbuhkan
motivasi-motivasi dari dirinya sendiri (Woolley, 2006).
Gambar 2
Hal ini juga sangat memaknai sebuah arti kepemimpinan => untuk mencapai pendidikan
yang bermutu tinggi: