EUTANASIA
Oleh :
1.Andi Wijaya
2.Chusnul Hotimah
3.Dwi Anggraini
5.Ermi Wijayanti
STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI
2010 /2011
EUTANASIA
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Terminologi
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
Sejarah eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos"
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah
dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga
saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak
diperbolehkan.
Kini istilaha 'euthanasia pasif' tidak dipakai lagi dan memang sebaiknya
begitu, karena kualitas etisnya sangat berbeda dengan tindakan mengakhiri
kehidupan pasien terminal. 'Euthanasia pasif' biasanya diganti dengan
sebutan 'membiarkan pasien meninggal' (letting die). Jika pasien sudah tidak
ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit
Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika
pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi.....
Belanda
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan.
Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada
tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Belgia
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan
orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya
dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]
Amerika
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia [11]
Indonesia
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo
Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh
bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss
yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang
pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya
semata untuk kepentingan diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan
untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
Inggris
Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak
pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.Ada 2 kasus eutanasia yang
pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat
dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( 消 極 的 安 楽 死 , shōkyokuteki
anrakushi)Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif "
(積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi) Keputusan hakim dalam kedua kasus
tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan
pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara
legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang
melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini
Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan
eutanasia.
Republik Ceko
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India
(Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian
yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah
yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia
secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar
kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.[16]
China
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para
pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit
Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi
catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy
killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta
penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]
Eutanasia positif
Eutanasia negatif
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan
menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun
bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
1) Usia pasien
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada
semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita.
Sebagian besar
kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.
2) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada
umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan
pola pengambilan keputusan (Noto atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang
cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri
maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran
dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman,2000).
3) Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk
pendapatnya berdasarkan se suatu yang diketahuinya. Infor masi adalah
segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan
kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan
komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi
(Smeltzer & Bare, 2001).
4) Proses adaptasi
Kozier and Oliveri (1991) menga takan bahwa tingkat adaptasi manusia
dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Dalam… (Umi Lutfa dan Arina
Maliya) 189 individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.
Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan
dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan
sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau
mencapai ke seimbangan diri dalam meng hadapi lingkungan yang baru.
7) Komunikasi terapeutik
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih
bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar
pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kece masan. Pasien sangat
mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik
diantara mereka akan menen tukan tahap kemoterapi selan jutnya. Pasien
yang cemas saat akan menjalani kemoterapi ke mungkinan mengalami efek
yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Dampak
kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi
peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric
acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis),
antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual,
muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun
ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara
lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak,
berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan
mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat - loncat, kehilangan
kemampuan per sepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi.
Tidak etis, karena kondisi ibu pasien dalam keadaan gelisah, sehingga
memicu kecemasaan pasien. Seharusnya, memberikan penjelasan pada
klien harus dalam keadaan tenang.
Menurut kode etik keperawatan Indonesia, perawat dan klien :
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat
dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
1. Otonomi pribadi
2. Melepaskan diri dari sakit
3. Masalah kualitas hidup
Dari uraian di atas, penulis yang membedakan antara dorongan utama dan
rasionalisasi euthanasia, melihat bahwa individu menghendaki euthanasia
karena permasalahan yang sedang dihadapi. Penulis yakin bahwa individu
akan terus menjalani kehidupannya seandainya permasalahan yang dihadapi
dapat terselesaikan. Jadi, menurut penulis permasalahannya bukan terletak
pada hidup itu sendiri. Memang karena hidup kita dapat merasakan sakit,
tapi bukan hanya itu, bahagia dan hal yang lainpun kita rasakan. Sehingga
apakah tepat jika kemudian yang diselesaikan adalah hidup, dalam artian
untuk diakhiri. Bukankah permasalahannya terletak pada sesuatu di luar
hidup?
Ketika membahas tentang rasa sakit, telah ada alat dan obat yang dapat
digunakan untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa sakit, sehingga
alasan rasa sakit untuk diberikan tindakan euthanasia tidak lagi kuat. Pasien
yang menunjukkan kemajuan tentu akan terus diusahakan untuk hidup.
Untuk pasien yang menurun kondisinya, tetap saja diberikan bantuan yang
dapat diberikan, sampai kematiannya. Sedangkan, untuk pasien yang stabil
kondisinya (koma) dan berkepanjangan, penulis melihat tidak ada batas
sampai kapan sebuah alat kemudian dilepaskan.
Benturan yang mungkin terjadi kepada hal tersebut di atas, sebenarnya
adalah masalah ekonomi. Namun, ketika masuk wilayah yang disebut
masyarakat ini, penilaian buruk akan meluas juga ke arah masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh kekurangpekaan masyarakat akan orang yang
membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan hidupnya. Jadi, penulis
menilai harus ada upaya yang maksimal untuk menyelamatkan hidup,
walaupun dapat menemui kegagalan. Jika menemui kegagalan, maka dapat
saja disebut bahwa hal itu merupakan euthanasia pasif, karena tidak sesuai
dengan rencana dan maksud awal yaitu, menyelamatkan hidup.
Beralih kepada rasionalisasi euthanasia yang telah disebutkan di atas,
penulis dapat memberikan beberapa sanggahan. Pertama, masalah otonomi
pribadi. Keberadaan otonomi pribadi ini sebenarnya dapat ditarik ke arah
otonomi untuk hidup dan untuk mati. Ketika seseorang meminta euthanasia
karena itu otonominya, maka otonominya itu akan menemui otonomi orang
lain. Dalam hal ini, apakah kemudian otonomi seseorang dapat memaksa
otonomi orang lain? Rasanya tidak. Dengan argumen otonomi pun,
perwakilan macam apapun untuk mengambil keputusan euthanasia atas diri
seseorang adalah tidak benar. Otonomi pribadi berarti juga berkaitan dengan
kepemilikan hidup. Apabila memang hidupnya adalah miliknya, apakah itu
berarti dapat semena-mena memperlakukannya? Apakah sebuah lukisan
Pablo Picasso yang saya miliki, itu berarti bahwa saya dapat merusaknya
tanpa penilaian dari orang lain tentang itu?
Kedua, masalah melepaskan diri dari rasa sakit. Rasa sakit yang amat sangat
hendak dikurangi atau dihilangkan dengan menyudahi hidup atau dengan
kematian. Bukankah kematian itu sesuatu yang menjadi puncak rasa sakit?
Jika demikian, apakah dapat diterima untuk menghilangkan rasa sakit
dengan rasa sakit yang lebih sakit? Apakah hal tersebut sebanding? Masih
dapat diterima jika seseorang meninggalkan kenikmatan yang kecil demi
kenikmatan yang lebih besar. Tetapi bagaimana dengan seseorang yang rela
meninggalkan rasa sakit dengan rasa sakit yang lebih besar? Jika dilihat dari
cara pandang hedonisme, tentu hal ini adalah suatu hal yang ditolak atau
tidak dapat diterima.
Ketiga, masalah kualitas hidup. Ada sebuah pernyataan bahwa hidup
seseorang tidak lagi disebut berkualitas ketika seseorang itu hilang
kesadaran atau memiliki cacat fisik atau mental. Tapi apakah lantas itu
sebuah legitimasi untuk membenarkan euthanasia? Rasanya orang yang
cacat mental atau fisik pun masih ingin hidup, karena memang itu naluri
yang kuat pada diri makhluk hidup. Jadi, kualitas hidup seseorang
sebenarnya dibangun oleh diri sendiri (dari dalam), seperti yang diungkap
oleh eksistensialisme, bahwa manusialah yang menentukan esensi dirinya.
Jadi, masalah euthanasia tidak terletak pada persoalan hidup, akan tetapi
harus diupayakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
oleh si pemohon atau pasien. Kemudian, dengan tetap berusaha, sampai
kematian datang.