Anda di halaman 1dari 31

Tugas Kelompok Transfer Probolinggo

EUTANASIA

Oleh :

1.Andi Wijaya

2.Chusnul Hotimah

3.Dwi Anggraini

4.Dyah Eka Riastuti

5.Ermi Wijayanti
STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI

2010 /2011

EUTANASIA
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan


seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar
hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat
selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

• Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan


secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu
contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

• Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis


(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien
yang bersangkutan.

• Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia


negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan
dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya
adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien,
ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang
disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia
pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun


pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat
keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan


menjadi tiga yaitu :

• Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang


bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang


seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu
tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila
seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk
mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali
dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak
untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien


sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)


• Eutanasia hewan
• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada
eutanasia agresif secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos"
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah
dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga
saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak
diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan


pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-
undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang
pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara
bagian.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter


mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris


pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan
dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika
maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss


sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan
daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan


dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak
cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai
bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan


kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di
bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,
ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo /
lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan


eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan
terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang
dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat
genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan


masyarakat[3]:
• Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan
orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
• Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki
tertuanya.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-
undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan
kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai
kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia
dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi
para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya.
Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya.
Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif,
namun mungkin ada praktik-praktik medis yang dapat digolongkan
eutanasia pasif.
EUTHANASIA DITINJAU DARI SEGI MEDIS

Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat


menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran
khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi
yang tak terbayangkan dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi
penyebab terjadinya perubahan perubahan di berbagai bidang dan struktur
masyarakat baik secara cepat atau lambat. Demikian pula semakin banyak
penemuan-penemuan di berbagai bidang khususnya dalam hal ini di bidang
medis.
Dengan perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat.
Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar
kehidupan seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu
dengan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan
harapan agar dokter diberi kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai
upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya
menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri. Seperti penggunaan alat
respirator yang dipasang untuk menolong pasien, di mana jantung pasien
berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik.
Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi
dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin
lagi diharapkan sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya,
sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah
dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik
yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang
kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah
menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya
semata-mata hanya untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan
pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah
jabatan dan kode etik kedokteran.
Jika sekarang kita berbicara tentang euthanasia yang dimaksudkan
adalah bahwa dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan
memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu sendiri.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan medis ini disebut 'euthanasia
aktif', untuk membedakan dari 'euthanasia pasif'. Dengan istilah terakhir ini
dimaksudkan keputusan medis untuk tidak memberikan pengobatan kepada
pasien terminal seperti misalnya memasukkannya dalam Unit Perawatan
Intensif dan memasang alat-alat canggih serupa ventilator atau respirator,
atau menghentikan sama sekali pengobatan semacam itu, jika sudah
dimulai.

Kini istilaha 'euthanasia pasif' tidak dipakai lagi dan memang sebaiknya
begitu, karena kualitas etisnya sangat berbeda dengan tindakan mengakhiri
kehidupan pasien terminal. 'Euthanasia pasif' biasanya diganti dengan
sebutan 'membiarkan pasien meninggal' (letting die). Jika pasien sudah tidak
ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit
Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika
pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi.....

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk


memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat
menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia
medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem
liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia),
bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada
harapan untuk hidup.
Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah
dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju,
seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat
tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik
dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi
teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya,
memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.

Tinjauan Yuridis Fenomena Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana


Indonesia

Contoh kasus bahwa salah seorang tak kuasa penderitaan istrinya


yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar
istrinya yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra
keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan dalam dinamika
masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya
masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka
semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing di luar
kebiasaan/norma-norma komunitasnya.
Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah
sebuah kemajuan berfikir, namun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini
juga dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan
hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan
euthanasia oleh keluarganya. Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English
Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman,
dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan.
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
mercy killing [1]. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland
euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang
mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,
pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia. Pertama, voluntary
euthanasia yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu
sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup
menahan rasa sakit yang diakibatkannya. Kedua, non voluntary euthanasia
yaitu orang lain, bukan pasien, mengandaikan bahwa euthanasia adalah
pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya. Ketiga,
involuntary euthanasia ialah bentuk pengakhiran kehidupan pada pasien
tanpa persetujuannya.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana
hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan
euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi
persoalan tersebut.
Di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang
legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam
hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia,
yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri
(voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus
permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-
akhir ini. Sebagai contoh kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati
untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan
hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha. Kedua kasus ini secara konseptual
dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal
(dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi
yang paling mungkin untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan
Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,“ Barang siapa
dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun”.[2] Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang
dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal
356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP
khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP
dinyatakan,“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah”.[3]
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara
maksimal sembilan tahun”.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,
meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak
pidana.
Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif
yang sering terjadi di Indonesia. Euthanasia di Negara lain Fenomena
euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di
permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
mengagalkan keinginannya untuk meng-euthanasia istrinya tersebut.
Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya
tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai
etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat
manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian
menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat dan tidak
harus seorang spesialis dan membuat laporan.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat
yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum
Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara
yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh
suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya
korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat
dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan
dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh
pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan
di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi sehingga orang akan
berfikir untuk melakukan euthanasia.
Euthanasia, Legal atau Non Legal?
Hipocrates bersabda kepada murid-muridnya untuk tidak melakukan
praktek euthanasia dan melakukan pengguguran kandungan.
(Di sisi lain)
Keinginan untuk mati merupakan hak asasi setiap manusia di atas segala
hukum, baik hukum positif maupun kode etik profesi kedokteran.
Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi
sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari
sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud, antara lain:
transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung,
Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas
maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan
pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi
bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis
belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan
dokter pada posisi yang sulit.
Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata
diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi
manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro
berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dan
tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip
yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak
boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan
penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki.
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering
pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar
perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.
Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan
kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran),
telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai
euthanasia.
Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak
diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam
dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral,
dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran
yang sedemikian maju di pihak lain.
Jadi, pertanyaan-pertanyaan seputar euthanasia itu sebenarnya akar
permasalahan dari kontradiksi tersebut yang antara lain adalah Bagaimana
“posisi” etika, moral, dan hukum bagi dokter yang harus berhadapan dengan
realita euthanasia tersebut di tengah masyarakat.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan
memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama
Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan:
“Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu
sendiri”.
Kemudian oleh komisi negara yang dibentuk oleh pemerintah Belanda tahun
1984 yang bernama “Staats Commissie Euthanasia” dirumuskan dalam
sebuah definisi:
“Euthanasia, tindakan mengakhiri hidup seseorang oleh orang lain dengan
secara sengaja dan atas permintaan yang bersangkutan kepadanya”.
Secara umum euthanasia diartikan sebagai tindakan mengakhiri hidup
seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit, kecideraan, atau
ketidakberdayaan yang tak mempunyai harapan lagi untuk sembuh (the
mercy killing of the hoplessly ill, injured or incapacitated).
Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif
jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan
kematian dan euthanasia pasif jika dokter melakukan negative act tidak
melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan
kematian.
Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi
Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang
sakit dan Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah
orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami
koma medis.
Selain pembagian-pembagian euthanasia seperti tersebut di atas terdapat
pula beberapa istilah lain yang bisa dijadikan pertimbangan, yaitu:
Auto-euthanasia, bila pasien secara tegas menolak dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia
membuat sebuah pernyataan tertulis Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.
Pseudo euthanasia (Prof.Mr.H.J.J.Leenen), yaitu bentuk-bentuk pengakhiran
hidup yang bukan euthanasia, tapi mirip dengan euthanasia, yang termasuk
dalam penggolongan ini adalah pengakhiran perawatan pasien karena gejala
brainstamdeath, keadaan yang bersifat emergency, perawatan medis yang
tidak berguna lagi, dan pasien menolak perawatan medis.
Banyak dokter merasa ragu, apakah tindakan menghentikan atau
melepaskan alat-alat penunjang kehidupan yang sudah terlanjur dipasang
dapat dikategorikan sebagai tindakan euthanasia pasive. Keraguan seperti
itu mestinya tak perlu kalau dokter memahami bahwa keputusan medik itu
menjadi tanggung jawab dokter dan tidak dapat diganggu gugat atau
dipengaruhi oleh siapapun.
Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang
benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan
secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di
bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating
and respiration is death”. Setelah ditemukannya respirator yang dapat
mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria
baru berdasarkan pada kansep “brain death is death”. Terakhir, konsep
diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is death”.
Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor
336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi
spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible),
atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah
dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk
bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan,
kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang
bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968.
Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter
tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri hidup orang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh.
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang
menyatakan sebagai berikut:
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang
pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat
menerima tindakan “euthanasia aktif”
Namun apabila pasien dipastikan mengalami kematian otak maka pasien
dinyatakan telah meninggal. Tindakan penghentian terapeutik diputuskan
oleh oleh dokter yang telah berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup yang
diharapkan. Sesuai dengan surat edaran IDI menyatakan: Sampaikan kepada
pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya
mengenai penyakit yang diderita pasien.
Dalam keadaan di mana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat
lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien
bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus lebih
ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaannya.
Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,
tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun
demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke
fasilitas lainnya.
MUI dalam fatwanya tidak memperbolehkan euthanasia karena tidak
diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan oleh PGI, hanya dengan
catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi
pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam agama
namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika
diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum,
etika kedokteran, dan agama pasien.
Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas
mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah
hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan
napas seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya
(dengan bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau
batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan kedakteran
dikenal sebagai keadaan vegetatif (vegetative state).
Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa pasien tidak dapat
melakukan kegiatan selayaknya manusia, hidup dengan bantuan alat-alat
yang tentunya akan semakin memperpanjang penderitaan. Pada kasus ini
jelas bahwa pasien mengalami kematian batang otak di mana secara etik-
moral dapat menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan untuk
mengakhiri penderitaan. Tindakan ini menurut Prof.J.J.leennen digolongkan
pseudo euthanasia. Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak
dasar pasien untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of
determination), di mana tentunya pasien yang diwakili oleh keluarga
meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu tersebut.
Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu
pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar
yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan. Kedua, dokter
mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya
sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang
digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan
pertimbangan etik-moral.
Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang
pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak
ingin mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara
kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari
penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan
euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan
Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang
euthanasia.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan
megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka
dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu
menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut
pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999
tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340,
Pasal 344, dan Pasal 359.
Kalau anda ingin disuntik mati, jangan lupa bikin surat dulu ya…, Surat
Pernyataan Persetujuan Diri Untuk Mati (SPPDUM), ya…, biar yang nyutik
ngak masuk penjara

Eutanasia menurut hukum diberbagai


negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan
dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman
dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang


mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama
di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami
sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam


majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus
seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan.
Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada
tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di


dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan,
meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory
menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak
pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi
bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus
ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September


2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan
eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk
menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah


Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan
orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya
dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat


ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with
Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,
dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk
bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara
tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki
hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan
diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi
yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun
juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa


depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara
bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory
di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU
Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia [11]

Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan


yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan
359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku
di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa
pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo
Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh
bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss
yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang
pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya
semata untuk kepentingan diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan
untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania


Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari
sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek
kedokteran.Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu
tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain
daripada Belanda).Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran
Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang
eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak
pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.Ada 2 kasus eutanasia yang
pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat
dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( 消 極 的 安 楽 死 , shōkyokuteki
anrakushi)Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif "
(積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi) Keputusan hakim dalam kedua kasus
tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan
pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara
legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang
melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini
Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan
eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan


berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada
rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk
memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu
kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan
Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.[15]

India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India
(Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian
yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah
yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia
secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar
kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia


diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang
bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan
eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si
dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian
Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka
tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit
kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia
meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh
rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam
kesakitan.[17]

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para
pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]

Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit
Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi
catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy
killing dalam arti kata eutanasia aktif.

Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta
penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi


sebuah Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk
melakukan Euthanasia, yaitu:
1. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan
mengajukan permintaan tersebut dengan serius.

2. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir


atau dekat dengan kematiannya.

3. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.

4. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.

5. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya.

6. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi.

Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan


tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan
moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis
melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan
faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela
kehidupan.
Eutanasia menurut ajaran agama

Tindakan euthanasia dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak


mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan
memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan
maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal
dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal.
Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49).
Dengan demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang
diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.

Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan


kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan
secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun
pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup
manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat,
seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat
dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam
hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu
dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus
dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari
Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus
dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud
dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian
orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’
(jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia
karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan
merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah
yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an
surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw,
selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir
yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia
manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan
manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa
ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia
hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai
hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya.
(QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu
apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam?
Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak
Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian
secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah.
Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.
Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya,
bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari
kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah
Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-
lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya
apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat
menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia
untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia
tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada
harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam
hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat
penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif
sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk
dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya
dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini
terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para
ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya
sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang
mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita
epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan
memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta
dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak
tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap
demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun
generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam
satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya
‘Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat
adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif
berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah
Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam
masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul
Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw,
tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas
yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang
mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian
berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan,
infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan
peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana
difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya,
bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib
atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam
ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan
qatl ar-rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas
kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter
maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan
pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib
ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman
menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh
dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari’ah
apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan
beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut
pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati”
karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan
merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata
menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan
pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif
lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk
kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan
tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan
bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan
lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila
dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti
orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak
merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber
semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan
biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban.
Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh
pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak
dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu
dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun
lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada
sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan
oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para
peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima
pendapat tersebut.
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat
merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali.
Namun jika tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.

Dalam ajaran Islam

Sepertidalamagama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen),


Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupunHadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh
dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah
kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh
dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan


memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh
dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberianobat secara overdosis dan ini
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar
yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia


negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya
dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai
dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum
sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya
menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka,
mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal
ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi'idan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan
oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab(sunnah). [28]

Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk


memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap
mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika
dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara
jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang
eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini
lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-
sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana
yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin
dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya
kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat
dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong
untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak
membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung"
(Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam ajaran agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada


ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau
bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus
menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu
suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan
utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor
yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma"
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap
berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia
mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan :
misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah
tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam ajaran agama Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari


kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk
hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan
pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha.
Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas
asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
[24]

Dalam ajaran gereja Ortodoks

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang


beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah,
pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga
kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks
memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan
oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam ajaran agama Yahudi

Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan


menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah
miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan
sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia
sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam
alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala
binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan
tindakan eutanasia.[32]

Dalam ajaran Protestan


Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia
dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
 Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu
keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut".
 Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan
dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu
perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut
menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral
dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan
menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun
bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Euthanasia dari aspek Sosial dan Ekonomi

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :

1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi


aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk
menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan
mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama
sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat
kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali
merupakan yang tidak relevan.

2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang


berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk
mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek
sekunder untuk mempercepat kematiannya.

3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non


maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri
klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang
mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang
berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri
yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien
merupakan tindakan yang tepat (doing good).

8. Menurut Kaplan dan Sadock (1997), factor yang mem-pengaruhi


kecemasan pasien antara lain :
a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain:

1) Usia pasien
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada
semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita.
Sebagian besar
kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.

2) Pengalaman pasien men-jalani pengobatan


Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan pengalaman awal pasien dalam
pengobatan

merupakan pengalaman-penga laman yang sangat berharga yang terjadi


pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman
awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi
mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang
kemo terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan ke
cemasan saat menghadapi tindakan kemote rapi.

3) Konsep diri dan peran


Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui
individu terhadap dirinya dan mem pengaruhi individu berhu bungan dengan
orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran adalah pola sikap
perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya
di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan
perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon
orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara
peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu
terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan
menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan
oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap
waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik didalam keluarga atau di
masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih
disebabkan konsentrasi terganggu.

b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain:

1) Kondisi medis (diagnosis penyakit)


Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis
sering
ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing
kondisi
medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan
diagnosa
pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecema san klien.
Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu
mempengaruhi tingkat kecemasan

2) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada
umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan
pola pengambilan keputusan (Noto atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang
cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri
maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran
dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman,2000).
3) Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk
pendapatnya berdasarkan se suatu yang diketahuinya. Infor masi adalah
segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan
kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan
komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi
(Smeltzer & Bare, 2001).

4) Proses adaptasi
Kozier and Oliveri (1991) menga takan bahwa tingkat adaptasi manusia
dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Dalam… (Umi Lutfa dan Arina
Maliya) 189 individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.
Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan
dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan
sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau
mencapai ke seimbangan diri dalam meng hadapi lingkungan yang baru.

5) Tingkat sosial ekonomi


Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik.
Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas
sosial ekonomi rendah
prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah
atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan ke cemasan pada
klien menghadapi tindakan kemoterapi.
6) Jenis tindakan kemoterapi
Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat men datangkan
kecemasan kare na terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa
seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan kemote rapi,
akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi.

7) Komunikasi terapeutik
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih
bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar
pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kece masan. Pasien sangat
mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik
diantara mereka akan menen tukan tahap kemoterapi selan jutnya. Pasien
yang cemas saat akan menjalani kemoterapi ke mungkinan mengalami efek
yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Dampak
kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi
peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric
acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis),
antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual,
muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun
ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara
lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak,
berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan
mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat - loncat, kehilangan
kemampuan per sepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi.

Tidak etis, karena kondisi ibu pasien dalam keadaan gelisah, sehingga
memicu kecemasaan pasien. Seharusnya, memberikan penjelasan pada
klien harus dalam keadaan tenang.
Menurut kode etik keperawatan Indonesia, perawat dan klien :
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat
dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.

2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa


memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya,
adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.

3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang


membutuhkan asuhan keperawatan.

4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki


sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

Euthanasia adalah sebuah masalah yang muncul berkenaan dengan


ketidaksanggupan seseorang dalam menanggung rasa sakit. Euthanasia
dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai ‘kematian yang lembut
dan nyaman; terutama dilakukan dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan. Euthanasia dibagi menjadi dua jenis
berdasarkan cara pengambilan keputusan yaitu, euthanasia sukarela dan
tidak sukarela. Euthanasia sukarela adalah euthanasia yang diminta secara
sadar oleh seseorang atas dirinya. Sedangkan euthanasia tidak sukarela
adalah euthanasia yang keputusan untuk euthanasia diambil oleh orang lain
atas diri seseorang. Euthanasia tidak sukarela dapat dibagi lagi menjadi dua,
berdasarkan asumsi yang melandasinya yaitu, euthanasia diandaikan dan
dipaksakan. Euthanasia diandaikan adalah euthanasia yang tidak diusulkan
karena pasien entah karena tidak sadar atau terlalu muda untuk berbicara.
Dalam hal ini individu yang sakit diandaikan akan meminta mata jikalau ia
dapat menyatakan keinginannya. Kemudian euthanasia dipaksakan adalah
euthanasia yang dilakukan kepada pasien yang sadar tetapi tidak diminta
persetujuannya.
Euthanasia juga dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan tindakan medis
yang diberikan yaitu, euthanasia aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah
tindakan medis yang mempercepat kematian seseorang, sedangkan
euthanasia pasif adalah tindakan medis yang muncul tatkala orang gagal
melakukan sesuatu yang perlu dilakukan sebagai bagian dari kegiatan di
mana orang terlibat; atau gagal melakaukan sesuatu yang menjadi bagian
dari pelaksanaan suatu rencana atau maksud; atau gagal dalam
menjalankan tugas yang untuk itu orang dibayar; atau gagal melakukan
sesuatu yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Penulis melihat permasalahan euthanasia terbagi dalam dua hal, yaitu
rasionaliasi euthanasia dan dorongan (drive) yang melatarbelakanginya.
Penulis melihat bahwa kecenderungan utama manusia adalah untuk hidup.
Mengapa demikian ? hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang tetap
ingin lancar dalam menjalani kehidupannya. Banyak orang yang sakit
kemudian berusaha “mengobatinya” dengan “obat”, baik sesuai dengan
dosis ataupun melebihi dosis. Kehidupan menjadi sedemikian diperjuangkan
(survival of the fittest). lalu mengapa ada yang meminta agar diberi tindakan
euthanasia? Ada beberapa jawaban. Pertama, karena mengalami rasa sakit
yang amat sangat. Kedua, karena sakit secara psikologis, dan ketiga, karena
masalah ekonomi. Nampaknya jawaban kedua dan ketiga dapat
dikesampingkan dan memfokuskan diri kepada masalah rasa sakit.
Jawaban-jawaban yang dapat dipikirkan tentang sebab pengambilan
tindakan euthanasia sudah diutarakan. Kini mulailah fase rasionalisasi atas
euthanasia. Euthanasia dirasionalisasi berdasarkan :

1. Otonomi pribadi
2. Melepaskan diri dari sakit
3. Masalah kualitas hidup

Dari uraian di atas, penulis yang membedakan antara dorongan utama dan
rasionalisasi euthanasia, melihat bahwa individu menghendaki euthanasia
karena permasalahan yang sedang dihadapi. Penulis yakin bahwa individu
akan terus menjalani kehidupannya seandainya permasalahan yang dihadapi
dapat terselesaikan. Jadi, menurut penulis permasalahannya bukan terletak
pada hidup itu sendiri. Memang karena hidup kita dapat merasakan sakit,
tapi bukan hanya itu, bahagia dan hal yang lainpun kita rasakan. Sehingga
apakah tepat jika kemudian yang diselesaikan adalah hidup, dalam artian
untuk diakhiri. Bukankah permasalahannya terletak pada sesuatu di luar
hidup?
Ketika membahas tentang rasa sakit, telah ada alat dan obat yang dapat
digunakan untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa sakit, sehingga
alasan rasa sakit untuk diberikan tindakan euthanasia tidak lagi kuat. Pasien
yang menunjukkan kemajuan tentu akan terus diusahakan untuk hidup.
Untuk pasien yang menurun kondisinya, tetap saja diberikan bantuan yang
dapat diberikan, sampai kematiannya. Sedangkan, untuk pasien yang stabil
kondisinya (koma) dan berkepanjangan, penulis melihat tidak ada batas
sampai kapan sebuah alat kemudian dilepaskan.
Benturan yang mungkin terjadi kepada hal tersebut di atas, sebenarnya
adalah masalah ekonomi. Namun, ketika masuk wilayah yang disebut
masyarakat ini, penilaian buruk akan meluas juga ke arah masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh kekurangpekaan masyarakat akan orang yang
membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan hidupnya. Jadi, penulis
menilai harus ada upaya yang maksimal untuk menyelamatkan hidup,
walaupun dapat menemui kegagalan. Jika menemui kegagalan, maka dapat
saja disebut bahwa hal itu merupakan euthanasia pasif, karena tidak sesuai
dengan rencana dan maksud awal yaitu, menyelamatkan hidup.
Beralih kepada rasionalisasi euthanasia yang telah disebutkan di atas,
penulis dapat memberikan beberapa sanggahan. Pertama, masalah otonomi
pribadi. Keberadaan otonomi pribadi ini sebenarnya dapat ditarik ke arah
otonomi untuk hidup dan untuk mati. Ketika seseorang meminta euthanasia
karena itu otonominya, maka otonominya itu akan menemui otonomi orang
lain. Dalam hal ini, apakah kemudian otonomi seseorang dapat memaksa
otonomi orang lain? Rasanya tidak. Dengan argumen otonomi pun,
perwakilan macam apapun untuk mengambil keputusan euthanasia atas diri
seseorang adalah tidak benar. Otonomi pribadi berarti juga berkaitan dengan
kepemilikan hidup. Apabila memang hidupnya adalah miliknya, apakah itu
berarti dapat semena-mena memperlakukannya? Apakah sebuah lukisan
Pablo Picasso yang saya miliki, itu berarti bahwa saya dapat merusaknya
tanpa penilaian dari orang lain tentang itu?
Kedua, masalah melepaskan diri dari rasa sakit. Rasa sakit yang amat sangat
hendak dikurangi atau dihilangkan dengan menyudahi hidup atau dengan
kematian. Bukankah kematian itu sesuatu yang menjadi puncak rasa sakit?
Jika demikian, apakah dapat diterima untuk menghilangkan rasa sakit
dengan rasa sakit yang lebih sakit? Apakah hal tersebut sebanding? Masih
dapat diterima jika seseorang meninggalkan kenikmatan yang kecil demi
kenikmatan yang lebih besar. Tetapi bagaimana dengan seseorang yang rela
meninggalkan rasa sakit dengan rasa sakit yang lebih besar? Jika dilihat dari
cara pandang hedonisme, tentu hal ini adalah suatu hal yang ditolak atau
tidak dapat diterima.
Ketiga, masalah kualitas hidup. Ada sebuah pernyataan bahwa hidup
seseorang tidak lagi disebut berkualitas ketika seseorang itu hilang
kesadaran atau memiliki cacat fisik atau mental. Tapi apakah lantas itu
sebuah legitimasi untuk membenarkan euthanasia? Rasanya orang yang
cacat mental atau fisik pun masih ingin hidup, karena memang itu naluri
yang kuat pada diri makhluk hidup. Jadi, kualitas hidup seseorang
sebenarnya dibangun oleh diri sendiri (dari dalam), seperti yang diungkap
oleh eksistensialisme, bahwa manusialah yang menentukan esensi dirinya.
Jadi, masalah euthanasia tidak terletak pada persoalan hidup, akan tetapi
harus diupayakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
oleh si pemohon atau pasien. Kemudian, dengan tetap berusaha, sampai
kematian datang.

Euthanasia dari segi Etik


Persoalan euthanasia,meskipun pelaksaannya tidak harus dan tidak
selalu dengan suntikan,merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik euthanasia tentu saja berbenturan dengan nilai – nilai etika
dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan
manusia.Adanya indikasi –indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara
otomatis melegitimasi praktek euthanasia, mengingat euthanasia
berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban
menghormati dan membela kehidupan

Anda mungkin juga menyukai