Anda di halaman 1dari 4

c 

      
    

    
      
  !  
Reporter: Gusti Eka Sucahya.
Juru Kamera: Warsam Aji Sukmana.
Tayang : Rabu, 9 November 2005, Pukul 12.00 WIB

Wayang, sebagai sebuah mahakarya kesenian, sudah sangat dikenal di Indonesia. Dunia
internasional bahkan telah mengakui wayang sebagai sebuah pencapaian agung kesenian. Mulai
dari kisah dan peranan para tokohnya, penataan panggung pementasan, hingga musik
pengiringnya. Namun mendengar kata wayang suket, barulah dahi sebagian dari kita berkerut,
sambil berusaha membayangkan apa itu wayang suket.

Nama wayang suket, mungkin belumlah seterkenal wayang kulit, wayang orang, atau wayang
golek. Maklumlah, khalayak ramai juga belum banyak yang bisa menyaksikan secara langsung
pementasannya. Namun diantara para penikmat dan pemerhati seni, wayang suket adalah
fenomena yang menjadi buah bibir.

Adalah seorang pria bernama Slamet Gundono, yang melahirkan ide wayang suket. Pria
bertubuh ekstra besar ini, menemukan ide pementasan wayang suket, justru secara tidak sengaja,
pada tahun 1999 lalu. Wayang suket memang unik. Dinamakan wayang suket, karena wayang,
atau semacam boneka yang dimainkan oleh Slamet Gundono ini, terbuat dari rumput. Rumput
dalam bahasa jawa disebut dengan suket.

Suket atau rumput, memang dengan mudah bisa ditemukan dimana


saja. Namun biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang,
adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendhong, alang±alang yang
biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan
bentuk yang panjang±panjang.

Wayang suket, tidak mempunyai bentuk yang baku, seperti halnya


bentuk tokoh dalam wayang kulit. sekilas memang rumput±rumput
ini dibentuk laksana wayang kulit, yang dapat dimainkan dengan
tangan. Namun sulit membedakan tokoh yang satu dengan lainnya,
karena bentuknya yang hampir serupa.

Anak ± anak kecil yang tinggal disekitar sanggar tempat komunitas


wayang suket berlatih, tak jarang ikut nimbrung dan minta diajari
membuat wayang suket. Pembuatan wayang suket ini, bisa dibilang
gampang±gampang susah.

Tangan±tangan terampil para seniman yang tergabung dalam komunitas wayang suket,
nampaknya dengan mudah bisa merangkai dan menjalin rumput ditangannya, menjadi sebuah
karakter wayang. Pemilihan rumput sebagai media berkesenian sendiri, bukan hanya untuk
sekadar beda dan asal±asalan, tetapi memiliki gagasan filosofis yang dalam.
Semangat hidup. Kalimat inilah yang diteladani Slamet Gundono dan komunitas wayang suket,
selama perjalanan proses kreatif pertunjukan wayang suket. Daya tumbuh dan kemampuan
hidup, diharapkan mampu terus menghangatkan semangat berkarya mereka.

Semangat berkarya dan terus mengeksplorasi ide kreatif, membuat lakon yang disuguhkan
komunitas wayang suket, selalu berbeda disetiap pertunjukkannya. Walaupun ceritanya sama,
namun selalu ada penambahan, pengurangan, atau perbaikan disana±sini.

Seperti yang terjadi saat ini. Slamet Gundono dan komunitas wayang suket, tengah
mempersiapkan sebuah lakon berjudul "Gonseng Drupadi". Seorang penari, nampak lincah
meliuk±liukkan tubuhnya, seiring suara tetabuhan yang mengalun dengan penuh semangat.

Disela±sela latihan, atau sambil mempersiapkan lakon berikutnya, salah seorang anggota
komunitas wayang suket, terlihat menganyam rumput, untuk dijadikan bentuk wayang. Sebuah
proses yang mengalir. Disela±sela latihan mereka, terdapat tawa canda, saat ada bagian yang
lucu dalam latihan, yang akan dipentaskan dalam festival wayang internasional ini.

Malam pagelaran festival wayang internasional±pun menjelang. Dihalaman Pendopo Kraton


Mangkunegaran, Solo, belasan karakter tokoh yang akan dimainkan Slamet Gundono, dan
komunitas wayang suket malam ini, telah ditata dalam sebuah konsep pementasan yang khas
wayang suket.

Setelah melontarkan perkenalan, lakon Gongseng Drupadi-pun dimulai, ditengah suasana hujan
deras. Lakon ini mengisahkan bagaimana Drupadi, istri Prabu Puntadewa Raja Amarta, yang
merasa keberatan saat suaminya akan menghadiri ajakan Duryudana, Raja Astina, untuk bermain
judi.

Sepanjang pementasan, Slamet Gundono mengajak


penontonnya untuk bermain imajinasi, dengan tokoh±tokoh
yang ada ditangannya. Slamet misalnya menggambarkan
tokoh Drupadi yang rupawan, dalam bentuk dua buah
bawang dan sebuah cabe merah. Demikian juga dengan
Puntadewa, kakak tertua para pandawa, yang digambarkan
dalam bentuk serupa.

Dalam perjalanannya, Slamet mengakui, wayang suket


mendapatkan banyak masukan dari banyak seniman, baik itu
seniman tari, musik, bahkan komedian, sehingga seluruh konsep dimensi pementasan, dipakai
dalam wayang suket. Hal ini terlihat dengan adanya penari, yang menerjemahkan kegelisahan
sekaligus ketidakberdayaan Drupadi, dalam liuk tarian.

Percakapan antara para tokohnya±pun ada yang dimainkan secara langsung, tidak melalui
penokohan wayang yang berada dalam genggaman Slamet Gundono. Sehingga keseluruhan
pementasan wayang suket, lebih bernuansa teatrikal ketimbang murni wayang.
Namun demikian Slamet Gundono tidak merasa membangkang, atau keluar dari pakem wayang
yang telah ada, karena baginya, wayang suket adalah semangat pencarian yang telah ada sejak
para nenek moyang dulu.

Sebelum memutuskan untuk total dalam wayang suket, Slamet Gundono adalah dalang wayang
kulit. Menurutnya, dari wayang kulit±lah, pencarian atas wayang suket dilakukannya. Namun
demikian bagi Sri Paduka Mangkunegoro IX, Raja Keraton Mangkunegaran, Solo, wayang suket
justru dinilainya sebagai perkembangan dari wayang itu sendiri, yang masih mencari bentuknya.

Terlepas dari pertanyaan apakah wayang suket membangkang atau tidak, dari pakem wayang
yang selama ini dikenal, sebagai sebuah pertunjukan wayang suket sangat menarik untuk
disaksikan. Penonton merasa selalu terlibat dalam pementasan, karena sang dalang juga
mengajak penonton untuk ambil bagian dalam jalannya cerita.

Jalan cerita yang tidak pernah sama, diyakini Slamet Gundono, akan memberikan pemaknaan
yang berbeda bagi masing±masing penontonnya. Seluruh tokoh wayang suket, bentuknya bisa
dibilang hampir serupa. Disinilah Slamet membiarkan imajinasi para penonton, untuk
menggambarkan figur para tokoh, dalam benak masing±masing.

Akhir dari pementasan ini juga cukup mengejutkan. Slamet


Gundono tiba±tiba membawa rombongan pelaku
pertunjukan, keluar dari arena pertunjukan. Dengan lagu±
lagu jenaka, diiringi oleh penari yang tetap meliukkan
gerakan atraktif, pementasana wayang suket berakhir diiringi
tetabuhan yang semakin melambat iramanya.

Konsep dan filosofi. Begitulah Slamet Gundono dan


komunitas wayang suket memulai pencarian mereka. Sang
dalang meyakini, bentuk akan tercipta ketika suatu tujuan,
berakar pada konsep dan filosofi yang jelas.

Sebuah keyakinan begitu kuat dari sang dalang, serta komunitas wayang suket, untuk terus
melakukan pencarian. Sebuah keyakinan yang baru±baru ini membuahkan penghargaan
kebudayaan dari negeri Belanda, tepatnya dari Prince Claus Award. Sebuah simbol dan semangat
untuk terus hidup, yang mereka petik dari kesederhanaan rumput, makhluk ciptaan Tuhan yang
sering terlupakan keberadaannya. r 

 estival Bercerita ASEAN: Dari Wayang Gantung ke Wayang Rumput


Date: Friday, August 01 @ 12:43:02 CDT
Topic: Pariwisata Kota Singkawang

BANYAK media untuk bercerita (dongeng). Festival Bercerita Asean 2008, yang dibuka
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, Kamis (31/7) di Bentara
Budaya Jakarta, menyajikan hal itu. Dari Singkawang, Kalimantan Barat, Chin Nen Sin (66)
pewaris (generasi ketiga) seni wayang gantung yang satu-satunya di Indonesia itu, walau tampil
sekilas mampu memukau pengunjung yang memadati ruang pameran BBJ.

" Kami pada acara pembukaan hanya diminta tampil singkat, sekilas. Sehingga belum ada cerita
klasik yang dituturkan dalam bahasa Kek dan atau dimasukkan sedikit-sedikit bahasa Indonesia.
Yang ditampilkan saat pembukaan, wayang gantung tengah memainkan tarian Barongsai," kata
Chin Nen Sin dalam bahasa Tionghoa yang dialihbahasakan oleh Thai Siok Jan (59), seusai
pertunjukan.

Wayang Gantung Singkawang, oleh kakek Chin Nen Sin dibawa dari China ke Singkawang
sekitar tahun 1929. Wayang dimainkan secara turun-temurun. Namun, sekarang tak ada seorang
pun putra Chin Nen Sin yang berminat mewarisi keahlian pertunjukan Wayang Gantung
Singkawang ini. Bagaimana keunikan wayang yang tak tercantum dalam buku Peta Wayang di
Indonesia (1993) dan Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999), menarik disaksikan
Chin Nen Sin mementaskan lakon Cerita Jenaka, Sabtu (2/8) di Bentara Budaya Jakarta.

Sampai 4 Agustus mendatang, akan ada 37 buah Pentas Festival digelar, 45 program anak, dan
12 kertas kerja akan dibahas. Pada pembukaan, selain Chin Nen Sin juga tampil sejumlah
pencerita atau pendongeng dari Thailand, Vietnam, Laos, Brunei Darussalam, dan Institut Seni
Rupa Indonesia. Mereka menampilkan cerita dongeng dengan caranya masing-masing.

Kongdeuane Nettavong dari Laos, bercerita sembari memainkan Khaen, alat musik tiup yang
terbuat dari bambu. Merdunya suara Khaen, membuat orang yang lumpuh bisa berjalan, orang
sakit bisa sehat. Begitu, inti cerita dongeng yang dituturkan Nettavong, yang dikenal sebagai
penulis, pendongeng, dan pendidik, yang kini menjabat Direktur Perpustakaan Nasional Laos.

Lain lagi H Kifli bin H Mohd Zain dan H Pawi Tajuddin dari Brunei Darussalam. Ia
menyampaikan cerita dongeng dengan syair-syair yang didendangkan. Ceritanya juga sekilas,
tentang pertemuan orang melarat dengan sang bidadari. Yang agak lama, pertunjukan wayang
rumput, yang dimainkan tiga dosen Institut Seni Rupa Indonesia-Solo. Pertunjukannya dikenal
dengan Wayang Rumput Suket Solo. Pertunjukan yang relatif menarik, karena si pencerita
(dalang) yang bertopeng, sangat atraktif bercerita tentang mengapa tubuh udang bengkok.
Sedang dua pemain lainnya memainkan alat musik.

"Acara ini baru pertama kali diadakan di Asean untuk mempererat kerjasama Asean melalui
kerjasama kebudayaan (cerita rakyat) bagi anak dan bacaan anak di Asean. Bacaan anak Asean
dan cerita rakyat Asean perlu mendapat perhatian sehingga dapat mendunia dan dikenal secara
lebih luas baik di antara negara Asean sendiri atau pun di dunia internasional," kata Ketua
Kelompok Pencinta Bacaan Anak, Murti Bunanta. Menurut Meutia Hatta Swasono, kegiatan
mendongeng atau bercerita sangat baik untuk perkembangan intelektual anak, ketimbang mereka
bermain games.(YURNALDI )

Source :
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/07/31/21001218/festival.bercerita.asean.dari.wa
yang.gantung.ke.wayang.rumput.


Anda mungkin juga menyukai