Anda di halaman 1dari 7

MENUJU KEKUASAAN KEHAKIMAN

YANG MERDEKA

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”.2
Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa
kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan
Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan itu.
Untuk hal tersebut dengan jelas dapat dijumpai dalam penjelasan resmi pasal
24 dan 25 UUD ‘45. Bahkan penjelasan tersebut masih menguraikan sebuah
harapan yakni: “…Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam
Undang-undang tentang kedudukan para hakim. Jaminan tentang kedudukan
para hakim yang dimaksud dalam kaitan ini tidak lain adalah jaminan
kemandirian hakim sebagai aparatur penyelenggaraan peradilan.
Jika demikian tugas pokok dari kekuasaan kehakiman, maka pemberian
kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan
memang sudah selayaknya. Hal itu disebabkan karena perbuatan mengadili
adalah perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu
perkara yang semata-mata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan
keadilan. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman memang mutlak “…harus
dijauhkan dari tekanan atau pengaruh dari pihak mana pun, baik oknum,
golongan dalam masyarakat, apalagi yang namanya kekuasaan pemerintahan
yang biasanya memiliki jaringan yang kuat dan luas, sehingga dikhawatirkan
pihak yang lemah akan dirugikan”.

1
Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum UNPAD Bandung.
2
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI
Tahun 2004 No. 8.

1
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan yang melakukan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945,
didefinisikan sebagai “... Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan
peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”3
Sebuah perkembangan baru di negara ini yakni terhitung mulai tanggal
29 Oktober 1999 urusan-urusan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
dicoba dieliminir dari lingkungan kekuasaan eksekutif. Salah satu upayanya
antara lain dihapus dan berganti nama Departemen Kehakiman menjadi
Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Upaya itu dimaksudkn untuk
mengeluarkan urusan-urusan yang berkenaan dengan organ peradilan sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman dari tubuh eksekutif. Lebih lanjut urusan
organ peradilan dari tingkat yang paling rendah hingga yang tertinggi
seyogianya harus diurus oleh lembaga yudikatif sendiri.
Hampir enam dasawarsa, Departemen Kehakiman tercatat dalam
skenario sejarah penegakan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya
sebagai penguasa atas separoh sosok pribadi hakim. Separoh bagian yang
lainnya dikuasai oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu badan
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Buktinya, golongan, pangkat, serta
penghasilan dan sistem penggajiannya selama itu berada di bawah kendali
Departemen Kehakiman (eksekutif). Sementara itu, urusan yang menyangkut
benar atau tidaknya, baik atau buruknya dalam memberikan pertimbangan
putusan, Mahkamah Agung-lah (yudikatif) yang berkompeten untuk menilai
hakim bawahan pada pengadilan rendahan.
Semoga saja hal itu merupakan salah satu upaya ke arah pemurnian
kembali dari pelaksanan pasal 24 UUD ’45 yang selama kurun yang lampau
seakan kurang dihiraukan pembiasannya. Sebagaimana diketahui, tuntutan

3
Lihat Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh Undangundang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, LNRI 2004 Nomor 9.

2
UUD 1945 sudah amat jelas, yakni kekuasaan kehakiman yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Demikian strategisnya
kekuasaan kehakiman dalam konteks kekuasaan negara dalam arti makro,
sehingga para penyusun penjelasan resmi UUD ’45 menguraikan seperti itu.
Oleh karena itu, tidak memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa
mekanisme penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan UUD ’45 itu
berlandaskan pada asas kekeluargaan. Akibat penafsiran asas kekeluargaan
yang keliru dan bias itulah maka selama ini sendi-sendi utama dalam
berbangsa dan bernegara, khususnya menyangkut kekuasaan kehakiman
menjadi menyimpang dari konstitusi yang telah disepakati para pendiri negara
ini.
Persoalannya kemudian, mengapa para penyelenggara negara ini dalam
perjalanan sejarahnya membuat penafsiran yang lain dari apa yang dicita-
citakan atau diangan-angankan para pendahulunya itu? Jawaban untuk hal itu
tidak mudah untuk dicari. Wacana ini pun tidak bermaksud untuk mencari
jawaban tersebut. Namun sekurang-kurangnya berusaha mengingatkan bahwa
selama ini telah berlangsung sesuatu tindakan yang kurang sesuai dengan
harapan semula para pendiri negara ini. Upaya pemurnian pelaksaan pasal 24
dan 25 UUD ’45 sebenarnya telah dilakukan tatkala UU Nomor 14 Tahun
1970 diundangkan. Di dalam pasal 1 Undang-undang tersebut kembali
ditegaskan cita-cita konstitusi di atas, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan…”.
Penjelasan pasal tersebut kembali menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman
yang merdeka mengandung arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan negara lainnya..”.
Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun
1985, tegas menyebut: “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara

3
Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.
Dalam hal pengangkatan Hakim Agung, Undang-undang Mahkamah Agung
mengatur bahwa “Hakim Agung diangkat oleh Kepala Negara dari daftar
nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat” [Pasal 8 ayat
(1)]. Apakah pasal ini telah mengindikasikan bahwa pengisian lembaga tinggi
negara yang bernama Mahkamah Agung itu telah sesuai dengan cita-cita
konstitusi UUD 1945 atau tidak, yang pasti DPR sebagai wakil rakyat telah
terlibat dalam pencalonannya. Demikian pula jika diperhatikan siapa yang
mengangkat Hakim Agung, adalah Kepala Negara. Meskipun di Indonesia
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipegang oleh satu orang, namun
tugas, kewajiban, hak, dan wewenang kedua jabatan itu secara konstitusional
berlainan.
Apabila selama ini Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dianggap masih mengandung anasir-anasir pencambur-
bauran kekuasaan disebabkan masih memberikan toleransi atas keterlibatan
kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif. Akibatnya Undang-undang tersebut
masih mengesankan kuatnya pengaruh pemerintah terhadap kekuasaan
kehakiman di dalamnya. Buktinya, mari disimak penjelasan resmi atas pasal 8
UU Nomor 14 Tahun 1985 tersebut. Dalam ayat (1) diuraikan: “Daftar nama
calon Hakim Agung yang berasal baik dari kalangan Hakim karier maupun
dari luar kalangan Hakim karier disusun berdasarkan konsultasi antara Dewan
Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah Agung yang pelaksanaannya
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing”.
Dalam ayat (2) diuraikan: “Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah
Menteri yang bersangkutan”.
Dari penjelasan dua ayat di atas diperoleh gambaran betapa pengaruh
pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman belum sama sekali tereliminasi.
Terbukti Undang-undang tentang Mahkamah Agung masih memuat ketentuan

4
semacam itu, lebih-lebih penjelasan ayat (2) secara tegas menyebut
Pemerintah adalah Menteri yang bersangkutan. Menyimak hal itu, betapa
kentalnya nuansa keterlibatan kekuasaan eksekutifnya di sana. Oleh karena
yang dimaksud dengan Menteri dalam ayat itu tidak lain adalah Menteri
Kehakiman, ketika itu. Bukankah persoalan campur tangan kekuasaan
eksekutif itulah yang menjadi isu sentral tidak merdekanya kekuasaan
kehakiman selama ini? Masalah selanjutnya adalah Bagaimana mungkin
Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dapat
sepenuhnya merdeka, sedangkan pengisian organ-organnya saja yakni para
hakim agungnya diangkat dengan keterlibatan pemerintah?
Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam menyongsong “Era
Indonesia Baru” serta mengembalikan ius constituendum (das sollen) dari
para founding fathers Republik Indonesia tentang kekuasaan kehakiman yang
merdeka, maka Undang-undang tentang Kekuasaan kehakiman, Undang-
undang Mahkamah Agung, dan Undang-undang tentang Peradilan Umum
yang menunjang hal itu diubah dan diperbaharui. Hal itu menjadi conditio sine
qua non untuk dilakukan agar para penyelenggara negara di masa-masa yang
akan datang memiliki panduan yang jelas dalam mengembalikan kekuasaan
kehakiman itu kepada porsi yang sesuai dengan das sollen-nya.
Barangkali ada baiknya sedikit menengok apa yang pernah diupayakan
semasa Pemerintahan Orde Lama. Ketika itu tahun 1956 sejumlah hakim,
termasuk di antaranya dua orang Hakim Agung, menyusun seperangkat usulan
untuk pasal-pasal konstitusi yang berkenaan dengan organisasi dan kekuasaan
kehakiman. “Pasal-pasal tersebut memuat ketentuan, antara lain, organisasi
kehakiman yang mandiri, dipimpin dan dikelola oleh Mahkamah Agung,
dengan pengangkatan sebagai hakim untuk seumur hidup”.4 Terhadap hal
tersebut Daniel S. Lev selanjutnya memberikan komentar, “…berarti harus
dilepaskannya pengadilan dari Kementrian Kehakiman dan dikuranginya

5
pengawasan pihak eksekutif terhadapnya. Menurutnya, Wirjono Prodjodikoro
menggambarkan Kabinet dan Mahkamah Agung setaraf, masing-masing
tunduk pada kemauan Parlemen. Kabinet mengangkat pegawainya sendiri dan
Mahkamah Agung mengangkat dan mengelola para hakim.”
Perubahan nama Departemen Kehakiman dan menggantinya menjadi
Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang pernah dilakukan semasa
Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, boleh jadi merupakan reaktualisasi
gagasan lama dalam rangka memurnikan pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD
1945. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Masalah
berat masih menghadang di depan. Mahkamah Agung ketika itu sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya diberi wewenang
untuk mengawasi badan-badan lainnya dalam pemerintahan. Bahkan
wewenang demikian cenderung untuk dipertahankan dan tidak pernah akan
diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik.
Padahal gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang diadopsi
Indonesia dari konsep aslinya5 itu, sesungguhnya terkait erat dengan fungsi
kekuasaan kehakiman itu sendiri. Fungsi kekuasaan kehakiman yang
dimaksud antara lain sebagai lembaga yang mengontrol atau mengawasi
pelaksanaan hukum atau perundang-undangan (produk legislatif) oleh
lembaga eksekutif (pemerintah).
Menutup pengantar dalam penerbitan himpunan perundang-undangan
ini, relevan kiranya jika menyimak apa yang pernah diungkapkan Daniel S.
Lev berikut ini: “Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan
meningginya prestise dan kemampuan forum kelembagaan mereka dan
bahkan akan menyebabkan para hakim lebih tanggap terhadap kepentingan
profesional. Apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai dengan ketentuan
formal, atau dengan kata lain jika badan kehakiman dapat dibedakan secara

4
Daniel S. Lev. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan.
Jakarta: LP3ES, 1990, h. 50.
5
Yang dimaksud dengan konsep aslinya adalah Ajaran Trias Politica dari Montesquieu.

6
tajam dari birokrasi pemerintahan”.6 Lebih-lebih pada masa lalu Peradilan di
Indonesia berada pada konsep dualisme birokrasi. Sebagaimana telah
diketahui, bahwa hakim sebagai organ kekuasaan kehakiman berada pada dua
kubu. Terhadap para hakim rendahan, Mahkamah Agung memiliki tugas yang
terbatas, yaitu hanya melakukan pengawasan atas hal-hal yang berkaitan
dengan masalah teknis yustisial. Sementara yang berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat administratif kepegawaian dan penggajian kewenangannya
berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif).
Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian “pihak-pihak tertentu dari
kalangan eksekutif lalu memanfaatkan kekuasaan melalui sistem birokrasinya
untuk mempengaruhi kebebasan hakim dalam menjalankan fungsinya.
Apalagi jika kekuasaan eksekutif cenderung bersifat arogan.” Beberapa
contoh kasus yang pernah terjadi serta memberi indikasi adanya pengaruh
kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim antara lain (1) Putusan
Mahkamah Agung mengenai Peninjauan Kembali perkara Gugatan Warga
Kedung Ombo yang lahan garapan dan miliknya tergenang atau digenangi
oleh air Waduk Kedung Ombo; (2) Putusan atas gugatan tanah adat terhadap
Pemerintah Propinsi DT I Irian Jaya (Kasus Henock Hebe Ohee); dan (3)
Kasus gugatan Majalah Tempo melawan Departemen Penerangan Republik
Indonesia.

Bandung, 25 Juli 2004

Eman Suparman

6
Daniel S. Lev, Op. Cit., h. 398.

Anda mungkin juga menyukai