Anda di halaman 1dari 6

Pria blasteran Tionghoa-Jawa ini sangat menjiwai dunia tari.

Kecintaannya
pada dunia tari membuat ia rela melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri
sipil. Rasa syukur, keikhlasan dan kemampuan mengosongkan diri menjadi
moto dalam menjalani hidup dan profesinya.

Didik Nini Thowok adalah anak sulung dari lima bersaudara, keempat adiknya perempuan. Ia
dilahirkan di Temanggung, 13 November 1954 dengan nama Kwee Tjoen Lian. Didik kecil
sering sakit-sakitan sehingga orangtuanya memutuskan untuk mengganti namanya menjadi
Kwee Tjoen An. Darah Tionghoa diwarisinya dari sang ayah, Kwee Yoe Tiang. Sementara
ibunya, Suminah, adalah perempuan asli Jawa asal Desa Citayem, Cilacap.

Setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI, pemerintah mewajibkan seluruh keturunan Tionghoa


untuk mengganti nama Tionghoanya dengan nama pribumi. Sejak saat itu nama Kwee Tjoen An
tidak lagi digunakan dan berganti menjadi Didik Hadiprayitno. Ayah Didik, yang kemudian
berganti nama menjadi Hadiprayitno, bekerja sebagai penjual kulit sapi dan kambing, sedangkan
ibunya membuka warung kelontong di Pasar Kayu. Karena suatu hal, usaha ayahnya mengalami
gulung tikar. Agar dapat menafkahi istri serta kelima orang anaknya, Hadiprayitno bekerja
sebagai supir truk. Didik sekeluarga tinggal bersama kakek dan neneknya. Hidup mereka sangat
sederhana dan pas-pasan.

Dimasa kecil, Didik tidak nakal seperti kebanyakan anak laki-laki seusianya. Ia bahkan
cenderung dikucilkan oleh teman-teman lelakinya, karena gerak-geriknya yang lemah gemulai.
Permainan masa kecil Didik bukan perang-perangan layaknya seorang anak laki-laki, ia lebih
suka main masak-masakan. Oleh sang nenek, Didik juga diajari keterampilan perempuan seperti
menjahit, menisik, menyulam, dan merenda.

Tak jarang ia pun harus menerima hinaan serta cemoohan dari teman laki-lakinya. Hal itu
membuat Didik kecil semakin menarik diri dan lebih nyaman bergaul dengan teman-teman
perempuannya. Teman-teman perempuan Didik pun selalu membela dan melindunginya ketika
Didik menjadi bahan olok-olokan. Namun, Didik tidak mau membalas kenakalan teman-teman
lelakinya. Ia justru terdorong untuk dapat menunjukkan kepada mereka bahwa ia bisa
dibanggakan.

Bakat seni Didik sudah terlihat sejak ia masih berseragam sekolah dasar. Hal itu bisa dilihat dari
nilai rapornya untuk mata pelajaran kesenian khususnya menggambar dan menyanyi yang di atas
rata-rata. Atas prestasinya itu, pujian pun berdatangan. Sejak saat itu, Didik mulai memupuk rasa
percaya dirinya. Ia seakan membalas perlakuan buruk teman-temannya dengan membuktikan
bahwa ia bisa berprestasi. Impian untuk menjadi seorang seniman besar mulai dirintisnya.

Menurut Didik, dalam perjalanan menemukan jati dirinya sebagai seorang seniman, peran sang
kakek amatlah berperan. Engkong Lek, begitu Didik biasa menyapa kakeknya, amat mendukung
bakat seni Didik, khususnya di bidang lukis-melukis. Engkong rupanya sangat mendambakan
cucu pertamanya itu menjadi seorang pelukis ternama. Sang kakek bahkan membelikan Didik
peralatan melukis seperti kertas, konte, cat air, dan pensil warna.
Didik bisa dibilang beruntung, karena walaupun terlahir dalam keluarga yang mengalami
keterbatasan ekonomi, ia mendapat dukungan penuh dalam mengembangkan bakat seninya.
Selain sang kakek, ibunya, Suminah, juga memiliki andil dalam memupuk bakat seni Didik,
bahkan ketika anak pertamanya itu masih di dalam kandungan, Didik merasa telah “diajari”
menari. Menurut cerita ibunya, sewaktu mengandung Didik, sambil menggembala kambing ia
selalu menari sambil menyanyikan tembang-tembang Jawa. Hal itu dilakukannya secara diam-
diam, maklum saja pada masa itu, image masyarakat terhadap perempuan menari itu masih
buruk.

Ibunya pun selalu mengajak Didik menyaksikan film India yang diputar di bioskop di
Temanggung. Film-film India yang selalu diselilingi dengan adegan menari dan menyanyi para
bintangnya membuat Didik terkesima. Seringkali setelah menonton film India, ia bermimpi
sedang menari India.

Bahkan saking jatuh cinta pada tarian India, Didik sampai menirukan gaya penari perempuan
India lengkap dengan selendang sebagai atribut pelengkap. Karena terlalu semangat, Didik
bahkan sempat mengalami kecelakaan kecil. Kala itu ia jatuh terjerembab dan menyebabkan
kakinya terluka. Namun rupanya seni tari seakan sudah menjadi nafasnya, kecelakaan kecil itu
tidak membuatnya kapok untuk kembali menari.

Suatu hari ada rombongan penari Bali yang akan menggelar pementasan di kampung
halamannya. Keinginan Didik untuk menyaksikan aksi para penari Bali harus dibuangnya jauh-
jauh karena ia tidak memiliki cukup uang. Ia harus puas dengan mendengarkan suara gamelan
khas Pulau Dewata itu dari luar gedung pertunjukan. Meskipun hanya mendengar dari luar,
Didik merasakan sensasi tersendiri kala suara gamelan itu mengalun.

Dari pengalaman itu, Didik tergerak untuk mempelajari tari Bali. Sampai suatu ketika ia
menanyakan sanggar tari Bali pada Pak Soegiyanto. Tak disangka, pria yang kesehariannya
bekerja sebagai tukang cukur itu ternyata bisa mengajarkan tari Bali. Kesempatan emas itu tak
disia-siakan Didik. Ketika sedang tak ada pelanggan, Didik dengan tekun belajar menari Legong
di kios sempit, tempat Pak Soegiyanto menjual jasanya. Melihat bakat dan kemampuan Didik,
Pak Soegiyanto kemudian mengajaknya ke rumah salah seorang sahabatnya bernama Pak
Kahari. Di samping tempatnya luas, di sana juga terdapat perangkat gamelan.

Bakat seni yang mengalir deras dalam darahnya membuat Didik cepat menangkap setiap
gerakan yang diajarkan Pak Soegiyanto. Dengan diiringi gamelan dari Pak Kahari, Didik
terlihat luwes menari. Dalam hitungan hari, ia diajak Pak Kahari untuk ‘mentas’ keliling
kampung. Sejak itu Didik banyak menerima tawaran untuk mengisi berbagai acara mulai
dari perayaan tujuh belasan, ulang tahun teman hingga perpisahan sekolah. Nama Didik
sebagai seorang penari Bali semakin hari semakin dikenal masyarakat Temanggung.

Koreografi tari ciptaannya yang pertama dibuat pada pertengahan 1971. Tarian itu diberi judul
“Tari Persembahan”, yang merupakan perpaduan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil pertama
kali sebagai penari wanita lengkap dengan kebaya dan sanggulnya saat acara kelulusan SMA
tahun 1972.
Totalitasnya sebagai penari tak tanggung-tanggung. Karena kerap membawakan tarian
perempuan, Didik juga merias wajahnya layaknya seorang perempuan. Keinginan Didik untuk
terus mempertajam kemampuan menarinya kian tak terbendung. Setelah lulus SMA, ia ingin
melanjutkan pendidikan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta. Namun karena
terbentur masalah biaya, ia harus menunda keinginannya. Ia juga menyadari keterbatasan
orangtuanya yang masih harus membiayai keempat adiknya. Oleh karena itu Didik berusaha
mencari biaya kuliah dengan bekerja di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung sebagai
guru tari.

Pada tahun 1974, setelah dua tahun bekerja, berbekal tabungan, Didik berangkat ke Yogyakarta
dan mendaftar ke ASTI. Tari Manipuri yang dengan apik dibawakannya berhasil memikat dewan
juri sekaligus membuatnya diterima sebagai mahasiswa ASTI.
Hidup sebagai perantau yang jauh dari kampung halaman membuat Didik harus mencari
penghasilan untuk menyambung hidup. Keterampilan 'perempuan' yang dulu diajarkan neneknya
dirasa sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat bordir, juga menjual hasil
kerajinannya, seperti syal dan taplak meja.

Nama Nini Thowok yang lekat di belakang namanya berawal ketika Didik membantu seniornya
di ASTI, Bekti Budi Hastuti (Tuti), dalam pementasan sebuah fragmen tari berjudul Nini
Thowok bersama Sunaryo. Kala itu Didik kebagian peran sebagai seorang dukun wanita.
Pementasan berlangsung sangat sukses. Debut tari perdananya itu langsung membuat nama
Didik meroket di lingkungan kampus. Nini Thowok sendiri berkisah tentang drama pemanggilan
arwah semacam permainan jailangkung yang dikenal dalam tradisi masyarakat Jawa namun
dibumbui dengan unsur komedi. Dengan improvisasi, penghayatan dan estetikanya, Didik sukses
meramu elemen-elemen komedi dengan gerakan sehingga mampu mengundang tawa.
Totalitasnya itu mengundang decak kagum dari para dosen dan seniornya di ASTI.
Didik dan kawan-kawan pun mulai kebanjiran tawaran pementasan. Demi kepuasan penonton,
pertunjukan dikemas dengan konsep yang lebih matang. Saat Sunaryo mengundurkan diri,
posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji, teman sekos Didik. Sejak saat itu kelompok
mereka dikenal dengan nama Bengkel Nini Thowok.

Nama Nini Thowok juga melekat di belakang nama setiap personilnya. Sejak saat itulah Didik
Hadiprayitno dikenal dengan nama Didik Nini Thowok. Dan sejak itu pula, unsur komedi dan
peran wanita dalam tariannya menjadi ciri khas pria yang mengaku cengeng ini. Setelah itu,
karier Didik Nini Thowok sebagai penari terus mengalami kemajuan, hingga ia tampil di televisi.

Kesuksesan yang telah diraihnya tak membuat Didik berpuas diri dan merasa paling hebat.
“Kakek saya pernah berpesan, kalau maju harus bisa mbodo; jangan merasa sudah pintar dan tak
mau belajar atau mendengar dari orang lain. Hati dan pikiran harus selalu terbuka menerima
masukan,” kenang Didik. Sepenggal kalimat itu yang membuat Didik tak pernah letih dalam
mengejar ilmu. “Sekali kita merasa sudah cukup berhasil, di situlah kita akan berhenti,”
lanjutnya. Bagi penerima penghargaan Kick Andy Heroes Award tahun 2009 ini, belajar adalah
sebuah proses yang terus menerus dan tak ada akhirnya. Di atas langit masih ada langit.

Didik pun tak segan berguru pada seniman lain. Tercatat sudah puluhan maestro, baik dari dalam
maupun luar negeri yang menjadi gurunya. Ia belajar tari Bali pada maestro I Gusti Gde Raka, di
Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya
Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang,
Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.

Berkat didikan dari para gurunya, kreativitas Didik dalam mengembangkan tari tradisional
semakin tergali. Berkat kemampuannya bereksplorasi, Didik mampu ‘menyegarkan’ tarian
tradisional dengan unsur jenaka tanpa mengurangi keindahan di setiap gerakannya.

Setelah menyandang gelar SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari untuk mengabdi sebagai
dosen. Selain itu ia juga diminta mengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK)
Yogyakarta.

Seorang penari, baginya bukan hanya sekadar berlenggak-lenggok, namun juga harus mampu
menghancurkan egonya dan menyatu dengan karakter yang sedang dibawakannya. Untuk dapat
melakukan hal itu, menurutnya diperlukan kejujuran.

“Seorang penari tak akan bisa menyuguhkan tarian dengan sempurna jika egonya masih ikut
menari. Tari meniscayakan kejujuran. Meski menguasai teknik dengan baik, jika egonya belum
lebur, penari itu berarti masih menari dengan arogansi, dan itu tak akan berhasil,” kata pria
kemayu itu.

“Ketika saya menari, saya mengosongkan diri saya. Apakah saya orang Indonesia, saya
keturunan China campur Jawa, saya orang Kristen, atau saya penari dengan bayaran selangit, itu
semua sudah tidak ada lagi. Saya masuk dan menjadi karakter yang saya tarikan,” lanjut ayah
angkat Aditya Awaras Hadiprayitno itu.

Pepatah “ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk” dirasa tepat untuk menggambarkan
kearifan Didik Nini Thowok. Meski telah puluhan tahun menjalani profesi sebagai penari,
dengan segudang pengalamannya baik di dalam maupun luar negeri, tak lantas membuat Didik
tinggi hati. “Saya ini belum apa-apa. Semakin saya belajar semakin saya sadar bahwa banyak
yang belum saya ketahui. Oleh karena itu, saya heran kalau ada penari baru yang baru punya
prestasi sedikit saja sudah kemiliti (sombong). Kalau mau sombong-sombongan, saya mungkin
bisa saja menyombongkan prestasi saya, dari yang mulai ngamen di pinggir jalan sampai menari
di depan pemimpin-pemimpin mancanegara, saya sudah kenyang. Tapi untuk apa kita sombong.
Bukan itu tujuan saya. Saya hanya ingin menjalankan peran kesenimanan saya dengan baik,
menjadi manusia yang bermanfaat buat diri sendiri maupun orang lain. Jika kemudian upaya
saya dihargai dan diapresiasi sedemikian rupa, itu merupakan karunia yang harus disyukuri tanpa
kita harus menjadi tinggi hati,” kata Didik serius.

Didik memang terlahir sebagai seniman yang hidup dari dan untuk tari. Pada tahun 1980 ia
mendirikan Sanggar Tari Natya Lakshita di Yogyakarta. Karena ingin berkonsentrasi pada
sanggar maka pada tahun 1985, setelah delapan tahun menjadi dosen di almamaternya, ASTI,
Didik memutuskan untuk mengundurkan diri sekaligus melepaskan statusnya sebagai pegawai
negeri sipil. Tekadnya untuk terus berkarya dalam dunia seni tari semakin kuat, bukan hanya
sebagai penari tapi juga pencipta, penata dan pengelola sanggar tari. Selama perjalanannya
bergelut dengan dunia tari banyak nilai positif yang dirasakan Didik. Semua itu diyakininya
dapat ditemukan di mana saja, di agama dan di bidang apa saja.

Pria yang murah senyum ini dikenal sebagai pribadi yang hangat dan ramah. Keramahan dan
kehangatannya tak hanya ditunjukkan pada orang-orang dengan jabatan tertentu, tapi juga
masyarakat biasa. Keramahan, kelemahlembutan, kerendahan hati, kejujuran, dan keikhlasan
didapatkan Didik dari menari. Nilai-nilai tersebut berusaha diterapkan dalam kesehariannya.
Walaupun sudah punya ‘nama’, Didik tidak pernah membedakan saat ia harus menari di pinggir
jalan atau di istana, semua dijalaninya dengan jujur dan ikhlas. Dengan begitu seseorang dapat
terhindar dari sifat sombong. “Saya paling takut dengan kesombongan. Kesombongan itu, selain
bisa menyakiti orang lain, juga bisa menghancurkan diri kita,” kata Didik.

Meski disibukkan dengan berbagai kegiatan dalam mengurus sanggar asuhannya, atau
menghadiri undangan ke luar negeri untuk mengisi berbagai event, Didik selalu meluangkan
waktunya untuk beribadah. “Buat saya agama itu sangat penting. Ketekunan dalam beribadah
berpengaruh besar dalam membimbing seseorang agar tidak terjerumus dalam kecenderungan
destruktif,” katanya.

Sebagai penganut Kristen Protestan yang taat, setiap Minggu Didik hampir tak pernah absen
menghadiri kebaktian di gereja. Agar khusyuk mendengarkan khotbah pendeta, Didik memilih
duduk di bagian paling depan. Tak jarang Didik sampai menitikkan airmata jika mendengar kata-
kata yang menyentuh hati. Kalaupun ia tak sempat pergi ke gereja, Didik memanggil pendeta ke
rumahnya untuk menggelar kebaktian di rumah.

Dalam perjalanan karirnya, Didik benar-benar merasakan campur tangan Tuhan. Di tengah
hambatan dan rintangan yang dihadapinya, Didik yakin segalanya akan baik-baik saja jika Tuhan
sudah turun tangan. Meskipun diakuinya tak mudah untuk bisa konsisten menjalankan kehidupan
berdasarkan nilai-nilai yang ingin selalu kita anut. Ia mencontohkan, agama mengajarkan kita
untuk membalas kejahatan yang dilakukan orang terhadap kita dengan kebaikan. Jika seseorang
mampu melakukannya, itu sangat luar biasa, karena hal itu tidak mudah. Tiap kali merasa
tersakiti, Didik selalu menangis dan mengadu kepada Tuhan. Meskipun ia masih tetap berusaha
menjalankan ajaran mulia itu. Paling tidak ia dapat membalas kebaikan dengan kebaikan.

Karena merasa telah dibesarkan oleh seni tari tradisional, Didik ingin membalas budi dengan
berkontribusi demi kemajuan kesenian yang telah puluhan tahun digelutinya itu. Salah satunya
dengan membuat VCD Tari Legong Bapang. Meski menelan biaya hingga ratusan juta rupiah,
Didik tak mengharapkan keuntungan sedikit pun. Malah banyak pihak yang secara sukarela
mendanai proyek itu. “Maka dari itu saya sangat yakin dengan pentingnya keikhlasan,”kata
Didik.

Keikhlasan juga membuatnya mensyukuri segala pemberian Tuhan padanya. Di masa lalu, saat
sebagian orang melihat sifat feminin yang lekat pada sosok Didik sebagai kekurangan, kini
keadaan pun berbalik dengan kesuksesan yang telah digenggamnya. Berkat ketabahan dan
ketekunannya, kekurangannya itu malah disyukurinya. Di saat orang hanya bisa menghujaninya
dengan cemoohan karena kerap berpenampilan seperti perempuan, Didik terus konsisten hingga
akhirnya ia berhasil memetik sukses buah dari kesabarannya itu.
Sebutan sebagai seniman cross gender (sebuah identifikasi terhadap sebuah kemampuan yang
melintasi batas-batas seksualitas) baru didengarnya kala ia bepergian ke luar negeri tahun 2000
lalu. Pada Maret 2003, ia tergabung dalam pertunjukan yang berjudul Impersonators, The
Female Role Players in Asian Dance and Theater di Tokyo, Jepang. Dalam pertunjukan yang
disponsori Japan Foundation ini, Didik bergabung dengan para penari cross gender dari berbagai
negara di Asia.

Jauh sebelum istilah itu dikenal, Indonesia sesungguhnya telah lama memiliki seniman cross
gender berbakat, dialah Didik Nini Thowok. Mengenai masalah ini, Didik masih prihatin karena
masyarakat Indonesia masih belum bisa membedakan antara cross gender dengan seni
pertunjukkan waria, gay, dan lesbian.

Dalam mengapresiasi karya seniman cross gender, Didik merasa Indonesia tertinggal jauh
dibandingkan negara lain seperti China, Jepang, dan India. Bahkan yang lebih menyedihkan
ketidakpahaman itu bukan hanya dialami masyarakat awam namun juga para anggota dewan.
Sebagai contoh RUU Penyiaran yang mengatur identifikasi gender sebagai buntut dari maraknya
presenter di televisi yang berdandan dan berprilaku ala waria yang kemudian disamaratakan
dengan seni pertunjukkan cross gender. Menurut Didik, para pembuat undang-undang itu tidak
mengerti sejarah.

Meski dilanda keprihatinan karena minimnya apresiasi masyarakat maupun pemerintah


Indonesia, Didik tak berkecil hati. Penggemar film kartun itu tetap mensyukuri semua yang telah
diraihnya. Rasa syukur itu juga ia wujudkan dengan mendirikan sebuah yayasan yang
menyantuni biaya pendidikan lebih dari 60 anak.

“Bagaimanapun, saya bersyukur dengan apa yang telah saya raih selama ini. Saya merasa ini
semua karunia Tuhan. Saya merasa semua doa-doa saya dijawab oleh Tuhan,” kata Didik sambil
menitikkan air mata. Didik memang pria melanlokis, hal itu pun diakuinya. Kehalusan hati dan
rasa kasih yang melimpah dalam jiwanya membuatnya mudah menangis

Anda mungkin juga menyukai