Bab-04-1974-Cek 20090203165443 1813 4
Bab-04-1974-Cek 20090203165443 1813 4
LUAR NEGERI
BAB IV
A. PENDAHULUAN
199
yaran internasional yang berlangsung hingga saat ini.
Masalahmasalah yang berkaitan dengan hambatan
perdagangan, kelangkaan dalam persediaan pangan, sumber-
sumber tenaga dan bahan baku, ketidak pastian dalam nilai
valuta negara-negara industri serta laju inflasi internasional
merupakan rintanganrintangan yang berat terhadap usaha-
usaha ke arah perluasan perdagangan internasional dan
kestabilan sistem moneter dunia. Khususnya untuk negara-
negara yang sedang berkembang, kegoncangan yang terjadi di
bidang perdagangan dan keuangan internasional membawa
serta berbagai pengaruh yang tidak menentu pada
perdagangan luar negeri dan laju pembangunan di dalam
negeri.
Kegoncangan dalam sistem keuangan internasional pada
azasnya bersumber pada kenyataan bahwa perjanjian
Bretton Woods yang diciptakan pada tahun 1944 tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ekonomi internasional. Dalam
kerangka perjanjian Bretton Woods ini maka sistim moneter
dunia setelah Perang Dunia kedua digantungkan pada dollar
Amerika Serikat yang pada gilirnya dikaitkan dengan emas.
Dengan demikian, dollar Amerika Serikat memegang peranan
yang menentukan dalam sistem pembayaran dan perdagangan
internasional sebagai cadangan devisa utama di samping
emas. Akan tetapi de-ngan perkembangan yang pesat dari
negara-negara industri di Eropa Barat dan Jepang,
ketergantungan negara-negara tersebut pada dollar secara
berangsur-angsur berkurang. Sementara itu neraca
pembayaran Amerika Serikat mulai menunjukkan defisit.
Keadaan ini disertai pula dengan penurunan nilai dollar di
negara tersebut akibat kenaikan dalam tingkat harga. Kedu-
dukan dollar juga diperlemah oleh karena mengalirnya dollar
ke pasaran valuta di Eropa Barat dan Jepang dalam bentuk
penanaman modal antar-bank dan dana jangka pendek yang
bersifat spekulatif.
Salah satu tindakan untuk menanggulangi krisis moneter
yang mulai berkembang sekitar tahun 1969, adalah
diciptakannya Special Drawing Rights (SDR) sejak bulan
Januari 1970
200
guna menghadapi kelangkaan dalam likwiditas internasional.
Dengan penyesuaian dan perkembangan SDR diharapkan
bah-wa peranannya akan dapat diperluas dan peranan dollar
dapat dikurangi. Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1971
Pemerintah Amerika Serikat mengambil serangkaian tindakan-
tindakan yang pada pokoknya terdiri dari pengurangan
bantuan kepada negara-negara yang sedang berkembang
sebesar 10 persen; pembatalan konvertibilitas dollar terhadap
emas serta penetap- an pungutan tambahan sebanyak 10
persen pada barang-barang impor.
Dalam rangka usaha untuk memulihkan stabilitas moneter
internasional maka pada tanggal 18 Desember 1971 telah
dicetuskan Perjanjian Smithsonian yang mengatur perubahan
dalam paritas valuta negara-negara industri yang termasuk
Kelompok Sepuluh. Setelah itu, perkembangan moneter dunia
rnula1 menuju ke arah yang relatif stabil selama beberapa
bulan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1972 mulai terli-
hat lagi kelemahan yang pada hakekatnya terletak dalam sis-
tem Bretton Woods.
Dengan memperhatikan perkembangan tersebut di atas, oleh
Dana Moneter Internasional dianggap perlu untuk menjajagi
suatu sistim moneter internasional baru dengan peraturan-per-
aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh semua negara ang-
gotanya. Untuk tujuan inilah dibentuk "Pantia-20" dalam bulan
Juli 1972 berdasarkan suatu resolusi Dewan Gubernur Dana
Moneter Internasional. Panitia ini ditugaskan untuk meran-
cangkan pembaharuan sistem moneter dunia dan beranggota-
kan Menteri-menteri Keuangan dari 11 negara maju dan 9 ne-
gara yang sedang berkembang yang mewakili seluruh
anggota Dana Moneter Internasional. Adapun ketua "Panitia-
20" tersebut adalah Menteri Keuangan Indonesia.
Setelah mengadakan sidang sebanyak 5 kali untuk memba-
has berbagai aspek yang menyangkut pembaharuan sistem
moneter dunia, maka dalam bulan Januari 1974, Panitia-20
telah mencapai persetujuan prinsip tentang arah dan garis-
garis besar suatu sistim moneter yang baru. D i l a i n p i h a k ,
201
dengan timbulnya masalah yang bertalian dengan krisis energi
dan bahan baku, diputuskan pula bahwa pelaksanaan sistim
moneter yang baru secara menyeluruh diundurkan hingga
saat yang lebih tepat dari pada dewasa ini. Untuk jangka pen-
dek, langkah-langkah yang disetujui antara lain meliputi: pe-
doman untuk pengaturan kurs valuta yang sekarang mengam-
bang; penciptaan suatu fasilitas dalam Dana Moneter Inter-
nasional untuk membantu negara-negara sedang berkembang
menghadapi pengaruh kenaikan biaya impor minyak bumi dan
hasil-hasilnya; penghindaran restriksi pada pembayaran dan
perdagangan internasional karena tekanan neraca pembayaran
serta penyempurnaan sistim SDR sebagai cadangan utama
yang baru; dan peletakan kaitan antara SDR dengan bantuan
keuangan pada negara-negara yang sedang berkembang.
Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indone-
sia, dengan sendirinya tidak dapat menghindarkan diri dari
pengaruh gejolak krisis moneter dunia. Pola perdagangan dan
lalu lintas modal luar negeri negara-negara berkembang ter-
jalin erat dengan perkembangan ekonomi dan moneter di nega-
ra-negara maju.
Negara-negara industri seperti Amerika Serikat , Eropa
Barat dan Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
pesat dalam tahun-tahun 1968 dan 1969. Dalam tahun-tahun
1970 dan 1971, laju pertumbuhan produksi riil di negara-
negara industri turun menjadi sekitar 3 persen, yaitu rata-rata
1 persen, di Amerika Serikat, 8 persen di Jepang, dan 4 persen
di Eropa Barat. Dalam tahun 1972 dan 1973, ekonomi dunia
mengalami masa ekspansi kembali yang disebabkan oleh
karena kenaikan kegiatan produksi di negara-negara industri.
Pertumbuhan produksi di negara-negara industri.
Pertumbuhan produksi riil selama masa tersebut adalah
sekitar rata-rata 6 persen untuk Amerika Serikat, 10 persen di
Jepang, dan 5 persen di Eropa Barat.
Dalam tahun 1971, perkembangan perdagangan dari
negaranegara yang sedang berkembang terganggu, akibat
memuncak-nya krisis moneter internasional. Volume
perdagangan dunia
202
dalam tahun tersebut mengalami kenaikan sebanyak 6 persen
sedangkan nilai perdagangan meningkat dengan 12 persen.
Pada waktu yang bersamaan, volume dan nilai ekspor negara-
negara berkembang masing-masing hanya meningkat dengan 5
persen dan 4 persen, sedangkan volume dan nilai impor negara-
negara tersebut mengalami peningkatan sebesar 7 persen dan
13 persen. Dengan demikian maka dalamm tahun 1971 nilai
tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang telah
merosot dengan 6,6 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
203
dunia pada tahun yang sama berkembang dengan 12 persen
sedangkan nilainya meningkat dengan 37 persen. Kenaikan da-
lam nilai ekspor negara-negara yang sedang berkembang, di
samping kenaikan dalam harga minyak bumi, juga
disebabkan oleh karena kecenderungan meningkatnya harga
hasil-hasil ekspor primer dipasaran dunia yang drsebabkam
oleh ekpansi ekonomi dan kenaikan permintaan dari pihak
negara-negara industri. Kenaikan dalam nilai impor negara-
negara sedang berkembang adalah akibat meningkatnya
harga minyak bumi dan hasil-hasilnya, harga bahan baku
seperti pupuk dan semen serta melonjaknya laju inflasi secara
umum di negara-negara industri. Laju inflasi di negara-negara
tersebut dalam tahun 1973 adalah sebesar 7,1 persen
dibandingkan dengan 4,9 persen dalam tahun sebelumnya.
Perkembangan di atas membuktikan betapa besar
perdagangan negara-negara yang sedang berkembang masih
bergantung kepada tingkat dan fluktuasi kegiatan ekonomi di
negara-negara yang maju.
Kegoncangan politik dan ekonomi internasional beserta ber-
bagai unsur ketidak pastian di masa depan menghendaki pe-
ningkatan kewaspadaan guna mempertahankan
kemantapan neraca pembayaran dan meningkatkan
pembangunan nasional. Untuk mempersiapkan diri
menghadapi perubahan dalam sistim moneter internasional
dan pola perdagangan internasional, negara-negara
berkembang telah mengambil berbagai tindakan baik atas
dasar kerja sama multilateral maupun dalam kerang- ka kerja
sama regional. Dalam hubungan ini, maka kemajuan yang
hingga kini diperoleh dalam rangka kerja sama antar
negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-
bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan gejala yang
menggembirakan yang senantiasa perlu ditingkatkan.
206
ngutan cess dan biaya survey dan menyesuaikan nilai tukar
devisa dalam bulan Agustus 1971.
Akibat terus berlangsungnya krisis moneter ditambah pula
dengan kenaikan harga minyak bumi dan bahan baku interna-
sional, laju inflasi dunia berkembang dengan pesat. Keadaan
ini juga mempengaruhi Indonesia sehingga tahun terakhir
Repelita I ditandai oleh masalah kenaikan harga dalam negeri
terutama harga-harga bahan kebutuhan hidup dan barang-ba-
rang yang diperlukan untuk kegiatan produksi. Pemerintah
kemudian melaksanakan seran;gkaian kebijaksanaan di
bidang ekonomi dan moneter untuk menanggulangi masalah
tersebut.
207
bumi meningkat dengan 77,0 persen dibandingkan dengan
tahun 1972/73.
Seperti halnya dengan ekspor, nilai impor juga menunjukkan
peningkatan yang semakin pesat sejak tahun 1969/70. Nilai
impor telah meningkat dari US $ 1.097 juta dalam tahun 1969/
70 menjadi US $ 3.053 juta dalam tahun 1973/74, atau suatu
peningkatan sebesar rata-rata 29,2 persen per tahun. Laju
peningkatan tersebut adalah sedikit lebih rendah apabila di-
bandingkan dengan tahun 1968. Kenaikan yang paling pesat
dicapai dalam tahun 1973/74 di mana impor telah meningkat
dengan 84,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(lihat Tabel IV - 1).
Nilai impor di luar minyak bumi telah meningkat dari
US $ 1.009 juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 2.592 juta
dalam tahun 1973/74. Hal ini berarti suatu kenaikan sebesar
rata-rata 26,6 persen setahun. Sementara itu nilai impor
minyak telah meningkat dari US $ 88 juta menjadi US $ 461
juta, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 51,3 persen
setahun dalam periode yang sama. Dalam tahun terakhir
Repelita I impor di 1uar minyak bumi naik dengan 73,7 persen
sedangkan impor minyak bumi meningkat dengan 189,9
persen.
Pengeluaran netto untuk jasa-jasa juga menunjukkan pe-
ningkatan berhubung dengan meningkatnya volume perda-
gangan dan investasi luar negeri. Pengeluaran untuk jasa-jasa
tersebut diperkirakan telah mencapai US $ 1.245 juta dalam
tahun 1973/74 atau hampir tiga kali jumlah pengeluaran dalam
tahun 1969/70 yang baru mencapai US $ 435 juta. Hal ini
berarti suatu kenaikan sebesar rata-rata 30,1 persen per
tahun.
Seperti halnya dengan ekspor dan impor peningkatan penge-
luaran netto untuk jasa-jasa minyak bumi adalah lebih cepat
dari pada jasa di luar minyak bumi, yakni masing-masing 31,3
persen dan 29,0 persen untuk periode 1969/70 - 1973/74. Pe-
ngeluaran untuk jasa-jasa di luar minyak bumi dan minyak
bumi masing-masing mencapai US $ 639 juta dan US $ 606
juta dalam tahun 1973/74.
208
TABEL IV - 1
RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN, 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaam US dollar)
1) angka sementara
2) sampai dengan tahun 1970/71 berdasarkan pembukaan L/C, setelah itu berdasar KPP
3) pokok dan bunga pinjaman
209
Meskipun penerimaan devisa dari hasil ekspor telah melebihi
pengeluaran untuk impor, akan tetapi oleh karena pengeluaran
untuk jasa-jasa semakin meningkat maka defisit transaksi ber-
jalan juga meningkat setiap tahunnya. Transaksi berjalan telah
mengalami defisit sebesar US $ 488 juta dalam tahun 1969/70.
Angka tersebut meningkat menjadi US $ 685 juta dalam tahun
1973/74. Defisit yang meningkat dengan US $ 197 juta ter-
sebut disebabkan di satu pihak oleh karena kenaikan defisit
sektor di luar minyak bumi dari US $ 580 juta menjadi
US $ 1.326 juta. Di lain pihak sektor minyak menunjukkan
surplus yang semakin meningkat dari US $ 92 juta menjadi
US $ 641 juta.
Defisit pada transaksi berjalan tersebut dibiayai dari pin-
jaman Pemerintah dan pemasukan modal lainnya. Pinjaman
Pemerintah setiap tahunnya selama Repelita I berturut-turut
adalah US $ 371 juta, US $ 369 juta, US $ 400 juta, US $ 481
juta, dan US $ 634 juta. Di samping itu pemasukan modal
lainnya dalam bentuk investasi modal langsung, DICS, dan
pinjaman lainnya berturut-turut adalah US $ 27 juta dalam
tahun 1969/70, US $ 115 juta dalam tahun 1970/71, US $ 190
juta dalam tahun 1971/72, US $ 480 juta dalam tahun 1972/73,
dan US $ 524 juta dalam tahun 1973/74. Jumlah SDR (Special
Drawing Right) yang telah dialokir dalam tahun 1969/70,
1970/71, dan 1971/72 berturut-turut adalah US $ 35 juta, US
$ 28 juta, dan US $ 30 juta.
Selama Repelita I hutang-hutang Pemerintah yang telah di-
lunasi berjumlah US $ 456 juta. Adapun perinciannya adalah
sebagai berikut: pelunasan hutang-hutang sebelum Juli 1966
sebesar US $ 268 juta, dan hutang-hutang setelah Juli 1966
sebesar US $ 188 juta.
Berdasarkan perkembangan yang tercapai di berbagai sektor
neraca pembayaram seperti tersebut di atas, maka cadangan
devisa menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Cadangan devisa tersebut mula-mula merosot dengan US $ 43
juta dan US $ 18 juta dalam tahun 1969/70 dan 1970/71. Akan
210
tetapi sejak tahun 1971/72 cadangan tersebut mula meningkat
berturut-turut dengan US $ 100 juta dalam tahun 1971/72, US
$ 425 juta dalam tahun 1972/73, dan US $ 360 juta dalam tahun
1973/74.
C. EKSPOR
Kebijaksanaan ekspor selama Repelita I terutama dimak-
sudkan untuk mencapai dua tujuan seperti berikut. Pertama,
memberikan penghasilan yang lebih besar bagi kegiatan di
bidang proses produksi dan perdagangan. Kedua, menjamin
kelangsungan penerimaan devisa dalam jumlah yang memadai
guna pembiayaan impor faktor-faktor produksi yang sangat di-
perlukan dalam proses pembangunan.
Berkat usaha yang tekun dan perkembangan harga di pasar
an internasional yang pada umumnya menguntungkan ter
utama pada dua tahun yang terakhir, maka ekspor dapat di-
tingkatkan dengan laju yang semakin cepat. Adapun perkem-
bangan ekspor yang diperinci menurut semester dan triwulan
dapat dilihat pada Tabel IV - 2, Grafvk IV - 1 dan Tabel
IV-3.
Tampak dari Tabel IV - 2 bahwa ekspor senantiasa mening
kat setiap semesternya, yaitu dari US $ 513 juta dalam semester
I tahun 1969/70 menjadi US $ 2.117 juta dalam semester II ta-
hun 1973/74. Hal ini berarti bahwa ekspor dalam semester II ta-
hun 1973/74 telah menjadi dua ka1i lebih besar daripada ekspor
seluruh tahun 1969/70. Kenaikan nilai ekspor tersebut dimung-
kinkan berkat peningkatan yang mantap dalam ekspor minyak
bumi.
Nilai ekspor minyak bumi per semester telah meningkat dari
US $ 177 juta dalam semester I tahun 1969/70 menjadi US $
1.043 juta dalam semester 11 tahun 1973/74, atau telah
meningkat menjadi hampir enam kali lipat. Kenaikan tersebut
selain disebabkan oleh kenaikan produksi dan volume ekspor
juga oleh karena kenaikan harga terutama dalam tahun
terakhir Repelita I.
211
TABEL IV – 2
EKSPOR (F.O.B), 1968 dan 1969/70-1973/74
(dalam jutaan US dollar)
212
GRAFIK IV – 1
NILAI EKSPOR ( F.O.B ), 1968 dan 1969/73 – 1973/74
213
TABEL IV - 3
NILAI ESPOR DILUAR MINYAK BUMI (F.O.B)
1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
R E P E L I T A I
TRIWULAN
I
1969/70
Nilai
1970/71 1971/72 1972/73
Ni1ai (Persentase Nilai (persentase Nilai (persentase Nilai
1973/74*)
(persentase
kenaikan) kenaikan) kenaikam) kenaikan)
I.(April - Juni) 157 176 (12,1) 203 (15,3) 221 ( 8,9) 383 ( 73,3)
II. (Juli - September) 179 189 ( 5.6) 200 ( 5,8) 227 (13,5) 448 ( 97,4)
III. (Oktober - Desember) 149 199 (33,6) 192 ( 3,5) 243 (26,6) 495 (103,7)
IV. (Januari - Maret) 175 197 (12,6) 189 ( 4,1) 283 (49,7) 579 (104,6)
JUMLAH 660 761 (15,3) 784 ( 3,0) 974 (24,2) 1.905 ( 95,6)
214
Krisis energi telah memungkinkan negara-negara penghasi1
minyak mendapatkan harga yang lebih layak. Khususnya untuk
minyak Indonesia harga yang dicapai sampai dengan tahun
1972/73 baru sebesar US $ 2,96 per barrel. Harga tersebut
mengalami empat ka1i kenaikan dalam tahun 1973/74,
sehingga menjadi US $ 10,80 tiap barrel. Nilai ekspor minyak
bumi diperkirakan masih akan meningkat lagi dalam tahun
1974/75, mengingat kemungkinan kenaikan harga yang terjadi
dan kemungkinan untuk meningkatkan produksi.
Nilai ekspor di luar minyak bumi per triwulan dalam tiga
tahun pertama Repelita I menunjukkan fluktuasi (lihat Tabel
IV - 3). Hal ini antara lain disebabkan oleh perkembangan har-
ga di pasaran internasional yang tidak menguntungkan. Harga
karet merosot terus, harga kopra dan lada mula-mula naik ke-
mudian merosot, harga timah naik-turun. Hanya kopi yang
relatif meningkat terus dalam dua tahun yang pertama. Akan
tetapi dalam tahun 1972/73 dan 1973/74 nilai ekspor per tri-
wulan dari semua barang-barang ekspor tersebut menunjukkan
kenaikan yang semakin mantap. Inflasi dunia dan krisis energi
antara lain telah menimbulkan kenaikan harga barang-barang
ekspor kita.
Walaupun secara keseluruhan nilai ekspor di luar minyak
bumi mengalami kenaikan sebesar rata-rata 30,3 persen se-
tahun, akan tetapi bahan ekspor seperti kopra mengalami ke-
merosotan (lihat Tabel IV - 4 dan Grafik IV - 2). Hal ini an-
tara lain disebabkan oleh harga yang merosot sejak 1970/71
sampai dengan semester pertama tahun 1973, dan permintaan
dalam negeri yang meningkat lebih pesat daripada penawaran.
Walaupun harga kopra meningkat kembali sejak Juli 1973, akan
tetapi guna menjamin kebutuhan minyak kelapa di dalam negeri
ekspor dilarang, sehingga ekspor kopra dalam tahun 1973/74
hanya mencapai nilai US $ 2,7 juta.
Kemerosotan ekspor kopra tersebut untuk sebagian dapat
dikompensir oleh kenaikan pada ekspor bungkil kopra. Nilai
ekspor bungkil kopra telah meningkat dari US $ 3,2 juta dalam
215
TABEL IV - 4
1)
NILAI BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI L U A R M I N Y A K B U M I ,
1968 dan 1969 - 1973/74
(dalam jutaan dallar)
216
GRAFIK IV - 2
NILAI BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI,
1968 dan 1969 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
217
218
( Lanjutan Grafik IV – 2 )
219
tahun 1969/70 menjadi US $ 18,6 juta dalam tahun 1973/74.
Sementara itu ekspor minyak nabati lainnya, seperti minyak
sawit dan biji sawit menunjukkan peningkatan. Nilai ekspor
minyak sawit dan biji kelapa sawit telah meningkat menjadi
lebih dari tiga kali lipat, yaitu dari US $ 28,4 juta dalam tahun
1969/70 menjadi US $ 95,1 juta dalam tahun 1973/74.
Kecuali kopra maka pada umumnya nilai bahan ekspor di
luar minyak bumi mengalami kenaikan. Peningkatam yang pa-
ling pesat terjadi dalam ekspor kayu. Nilai ekspor kayu telah
meningkat dari US $ 67,2 juta dalam tahun 1969/70 menjadi
US $ 719,8 juta dalam tahun 1973/74. Dengan demikian di an-
tara barang ekspor di luar negeri minyak bumi, sejak 1972/73
nilai ekspor kayu menduduki urutan nomor satu menggantikan
karet.
Walaupun selama empat tahun pertama Repelita I
perkembangan harga karet di pasaran internasional tidak
menguntungkan, akan tetapi volume ekspor karet dengan
berbagai kebijaksanaan masih dapat dipertahankan di atas 800
ribu ton setiap tahunnya. Oleh karena harga di pasaran
internasional telah merosot sebesar 19,8 persen dalam tahun
1970/71 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan harga
tersebut tetap demikian rendahnya dalam tahun 1971/72 dan
1972/73, maka nilai ekspor karet telah merosot setiap
tahunnya. Ekspor karet telah merosot dari US $ 325,0 juta
dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 211,8 juta dalam tahun
1972/73, atau suatu penurunan sebesar lebih dari pada
sepertiga dalam waktu empat tahun. Ekspor karet yang dalaun
tahun 1969/70 - 1971/72 menduduki tempat pertama, dalam
tahun 1972/73 tergeser ketempat kedua. Dalam tahun 1973/74
harga karet telah meningkat kembali sebesar 104 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Tabel IV - 5 dan
Grafik IV - 3). Walaupun harga karet cenderung menurun sejak
Pebruari 1974, namun harga rata-rata triwulan IV 1973/74
ternyata masih lebih tinggi daripada harga tertinggi yang
pernah dicapai dalam tiga triwulan sebelumnya. Peningkatan
harga tersebut telah meng-
220
TABEL, IV -- 5
----------------------------------------- ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rata-rata 1973/74 37,11 45,14 492,07 63, 18 2.348,42
Perubahan 1972/73- 1973/74 + 104 %o + 19,9 + 210 % + 38:4 % + 50,1 %
%
Rata-rata Triw. IV 1972/73 24,13 39,03 206,37 49,30 1.668,67
Keterangan :
1) Karet RSS II, New York dalam US $ c/lb 4) Lada, Lada Hitam ex Lampung
2) Kopi Robusta ex Palembang New York dalam US $ ct/lb New York dalam US $ ct/lb
3) Kopra Philipine Cpra, London dalam US $ 5) Timah, London dalam ξ / Longton
per long ton
221
GRAFIK IV - 3
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,
1969/70 - 1973/74
222
gairahkan kembali sektor produksi dan perdagangam karet.
Dalam tahun 1973/74 nilai ekspor karet menjadi US $ 483,7
juta dari US $ 211,8 juta dalam tahun 1972/73 atau suatu
peningkatan sebesar 128,4 persen.
Selain kayu, bahan ekspor lain di luar minyak bumi yang
mengalami kenaikan secara mantap adalah barang-barang hasil
tambang. Selama Repelita I ekspor timah telah meningkat
dari US $ 56,0 juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 97,9 juta,
suatu peningkatan sebesar 74,8 persen. Nilai ekspor yang
meningkat setiap tahunnya tersebut telah memungkinkan
timah untuk tetap menduduki urutan nomor tiga setelah kayu
dan karet. Dalam tahun 1970/71 dan 1972/73 kedudukan timah
digeser oleh kopi ketika nilai ekspor kopi mencapai US $
62,7 juta dan US $ 82,9 juta. Ekspor hasil tambang di luar
minyak bumi dan timah telah meningkat dari US $ 14,5 juta dalam
tahun 1970/71 menjadi US $ 76,8 juta dalam tahun 1973/74.
Peningkatan tersebut selain disebabkan oleh kenaikan harga
hasil tambang di pasaran internasional, juga oleh kenaikan
volume ekspor.
Seperti halnya dengan barang-barang hasil tambang,
ekspor hewan dan hasil hewan lainnya juga menunjukkan
peningkatan yang mengesankan. Dalaun. periode yang sama,
yaitu 1970/71 - 1973/74 nilai ekspor hewan dan hasil-hasilnya
meningkat dari US $ 10,6 juta menjadi US $ 90,0 juta,
sehingga dalam tahun terakhir Repelita I berhasil menduduki
tempat urutan keempat setelah kayu, karet dan timah.
Adapun perkembagan nilai ekspor untuk barang-barang
lainnya beserta pergeseran urutan ekspornya, dan
perkembangan harga beberapa jenis barang ekspor di
pasaran internasional dapat dilihat pada Tabe1 IV-4,
IV-5 dan Grafik V-2, IV-3.
D. IMPOR
Sebagai kelanjutan dari usaha stabilisasi harga dan rehabili-
tasi kapasitas produksi yang telah dirintis sejak tahun 1966,
kebijaksanaan impor selama Repelita I tetap diarahkan
untuk
223
menunjang kegiatan produksi, perluasan kapasitas produksi
dan menjaga kemantapan harga-harga di dalam negeri. Arah
kebijaksanaan tersebut tercemin dalam berbagai tindakan di
bidang penggunaan devisa, tarif bea masuk, perpajakan, dan
perkreditan.
Berbagai tindakan yang telah diambil selama ini
dimaksud-kan untuk mencapai beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, menjamin tersedianya barang-barang penting dalam
jumlah yang cukup, seperti misalnya pupuk, kapas, beras,
terigu, se men, besi beton, mesin dan peralatan lainnya.
Barang-barang tersebut sangat diperlukan dalam proses
produksi dan dalam menjaga kemantapan harga-harga di
dalam negeri. Kedua, menjamin, penerimaan pemerintah
dengan struktur dan tingkatan tarif dan pajak sedemikian rupa
sehingga dijamin penggunaan devisa yang sebaik-baiknya dan
pada waktu yang sama dapat melindungi industri dalam
negeri.-
Kenaikan harga bahan-bahan untuk keperluan pembangunan
seperti pupuk, semen, besi beton, dan sebagainya, terutama
yang terjadi dalam tahun 1973/1974 tidak dapat dihindarkan.
Kelangkaan barang-barang tersebut di pasaran dunia mendo-
rong pemerintah untuk secara aktif ikut serta menjamin penga-
daannya. Misalnya, untuk menjamin pengadaan pupuk, telah
dikirim misi ke beberapa negara guna mendapatkan kepastian
penawarannya.
Dengan berbagai kebijaksanaan seperti tersebut di atas,
maka nilai impor telah meningkat dari US $ 1.097 juta dalam
tahun 1969/70 menjadi US $ 3.053 juta dalam tahun 1973/74.
Impor di luar minyak bumi telah meningkat dari US $1.009 juta
dalam tahun 1969/1970 menjadi US $ 2.592 juta dalam tahun
1973/74, sedangkan impor sektor minyak meningkat dari
US $ 88 juta menjadi US $ 461 juta (Tabel IV - 6 dan Grafik
IV - 4). Hal ini berarti balrwa impor telah meningkat dengan
rata-rata 29,2 persen per tahun selama periode 1969/70 -
1973/74 dengan perincian sektor minyak meningkat dengan
51,3 persen dan sektor di luar minyak bumi sebesar 26,6
persen.
224
TABEL IV - 6
NILAI IMPOR (F.O.B.), 1968 dan 1969/70 - 1973/74
dalam jutaan dollar)
225
GRAFIK I V - 4
NILAI IMPOR (F.O.B.). 1968 dan 1969/76 – 1973/74
226
peningkatan impor yang semakin pesat tersebut mencermin-
kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri yang juga
meningkat. Dengan peningkatan produksi dalam negeri terse-
maka persentase impor barang konsumsi dari seluruh
im- por menurun dari 35,3 persen dalam tahun 1969/70 menjadi
24,6 persen dalam tahun 1971/72 (lihat Tabe1 IV - 7 dan Gra-
fik IV - 5). Dalam tahun 1972/73 bagian impor barang kon-
sumsi meningkat lagi menjadi 30,7 persen, sedang pada tahun
1973/74 persentase barang konsumsi tetap seperti, pada tahun
sebelumnya.
Peningkatan dalam tahun 1972/73 tersebut disebabkan oleh
kenaikan pada impor beras, yaitu dari US $ 96,3 yaitu dalam
tahun 1971/72 menjadi US $ 208,6 juta dalam tahun 1972/73,
seang dalam tahun 1973/74 impor beras mencapai US $ 389,0
juta (lihat Tabel IV - 8). Kenaikan nilai impor tersebut selain
disebabkan oleh kenaikan harga juga disebabkan, oleh pening-
katan volume impor, guna memenuhi cadangan nasional.
Peranan impor barang modal semakim meningkat selama Re-
pelita I. Persentase impor barang modal telah meningkat dari
2 persen dalam tahun 1969/70 menjadi 37,8 persen
dalam
TABEL IV - 7
PERKEMBANGAN IMPOR TANPA MINYAK BUMI,
MENURUT GOLONGAN EKONOMI,
1968 dan 1969/70 – 1973/74
(dalam persentase)
R E P E L I T A I
Golongan Ekonomi 1968
1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 *)
JUML A H 100,0
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
*) Perkiraan
227
GRAFIR IV - 5
2) Perkiraan
229
tahun 1973/74. Kenaikan impor barang modal tersebut teru-
tama terjadi pada mesin-mesin untuk keperluan industri dan
perdagangan dan pipa besi atau baja. Nilai impor mesim untuk
industri dan perdagangan telah meningkat dari US $ 70,9 juta
dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 342,4 juta dalam tahun
1973/74. Nilai impor alat-alat pengangkutan seperti misalnya
bis, truk dan traktor telah meningkat dari US $ 22,8 juta dalam
tahun 1969/70 menjadi US $ 43,8 juta dalam tahun 1973/74.
Nilai impor bahan baku selama Repelita I mula-mula mening-
kat lebih cepat daripada nilai impor sebagai keseluruhan, se-
hingga persentase impor bahan baku meningkat dari 35,5
persen dalam tahun 1969/70 menjadi 38,5 persen dalam tahun
1972/73. Dalam tahun 1972/73 persentase impor bahan baku
mulai menurun hingga mencapai 31,5 persen dalam tahun
1973/74. Hal ini disebabkan oleh peningkatan yang pesat dari
impor barangbarang konsumsi terutama pangan.
Impor pupuk dalam tiga tahun terakhir Repelita I menunjuk-
kan kenaikan yang cukup pesat. Nilai impor pupuk telah me-
ningkat dari US $ 27,4 juta dalam tahun 1970/71, menjadi
US $ 94,7 juta dalam tahun 1973/74. Hal ini selain disebabkan
oleh kemaikan harga pupuk di pasaran internasional, juga di-
sebabkan oleh meningkatnya volume impor pupuk guna
peningkatan produksi pertanian, khususnya beras.
E. BANTUAN LUAR NEGERI
230
negeri senantiasa digunakan untuk tujuan tujuan yang sifatnya
dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan produksi dan kesejah-
teraan sosial dalam rangka pembangunan nasional.
Di samping devisa yang tersedia dari hasil ekspor, bantuan
devisa kredit dan pangan merupakan sumber tambahan
bagi pembiayaan impor barang modal, bahan baku dan pangan
yang dibutuhkan untuk memperkuat laju pembangunan. Lagi
pula nilai lawan dari bantuan program ini dalam bentuk rupiah
merupakan tambahan biaya anggaran pembangunan.
Bantuan proyek berbentuk pembiayaan berbagai macam
proyek pembangunan seperti proyek-proyek listrik,
telekomunikasi, pengairan, pendidikan, keluarga berencana,
dan prasarana lainnya. Proyek-proyek tersebut dipersiapkan
secara hati-hati berdasar penyusunan feasibility study yang
meneliti berbagai aspek teknis, sosial, dan ekonomis.
Pelaksanaan proyek-proyek yang telah disetujui dilakukan
menurut prosedur tertentu sesuai dengan persyaratan-
persyaratan dari negara-negara atau badanbadan internasional
yang memberikan bantuan.
Bantuan teknik umumnya diperoleh dalam bentuk
pengiriman tenaga-tenaga untuk pendidikan akhli, jasa-jasa
tenaga akhli yang dikaitkan dengan sesuatu proyek
pembangunan, dan berbagai macam peralatan untuk
laboratorium, penelitian, dan sebagainya.
Untuk menjaga bahwa pelunasan pokok dan bunga pinjaman
luar negeri tidak menjadi beban yang terlalu berat di kemudian
hari, maka telah diusahakan agar dana luar negeri tersebut
diperoleh dengan syarat-syarat pinjaman yang sangat lunak,
yaitu bunga antara 0 - 3% setahun, grace period antara 7 -
10 tahun, dan jangka waktu pembayaran antara 25 - 50 tahun,
ataupun berbentuk sumbangan (grant).
Dari Tabel IV - 9 dan Grafiik IV - 6 tampak bahwa jumlah
bantuan luar negeri yang telah disetujui untuk tahun anggaran
1973/74 berjumlah US. $. 856,1 juta, yang berarti kenaikan
sebesar 52,6 persen dibandingkan dengan bantuan tahun 1969/
70. Dilihat dari segi komposisi, maka Tabel IV-10 menunjuk-
231
TABEL IV - 9
PERKEMBANGAN BANTUAN LUAR NEGERI
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
232
GRAFIK IV - 6
PERKEMBANGAN BANTUAN LUAR NEGERI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
233
TABEL IV - 10
KOMPOSISI BANTUAN LUAR NECERI
1968 dan 1969/70 - 1973/74
REPELITA I
Bantuan Pangan 103,4 28,5 130,1 23,2 151,1 25,1 150,5 23,4 131,9 16,0 78,9 9,2
Bantuan Proyek 71,0 19,5 236,2 42,1 249,1 41,4 292,7 46,5 406,5 49,4 610,E 71,3
Jum1ah 363,3 100,0 560,9 100,0 601,9 100,0 643,4 100,0 823,1 100,0 856,1 100,0
234
kan bahwa bantuan proyek meningkat dari 42,1 persen dalam
tahun 1969/70 menjadi 71,3 persen dalam tahun 1973/74, se-
dangkan bantuan Devisa Kredit dan Pangan masing-masing
menurun dari 34,7 persen dan 23,2 persen menjada 19,5 persen
dan 9,2 persen dalam periode yang sama.
Sejak tahun 1969/70 komponen bantuan luar negeri yang pa-
ling besar adalah bantuan proyek dengan kenaukan-kenaikan
yang besar dalam tahun 1972/73 dan 1973/74. Kenaikan yang
pesat dalam dua tahun terakhir itu mencerminkan kemampuan
Indonesia untuk menyerap bantuan tersebut dan di samping
itu menunjukkan pula meningkatnya kemampuan kita untuk
menyediakan dana rupiah bagi pembiayaan proyek-proyek
tersebut.
Bantuan Pangan sejak tahun 1971/72 terus menunjukkan
penurunan yaitu sebesar 0,4 persen dalam tahun 1971/72,
12,4 persen dalam tahun 1972/73, dan 40,2 persen dalam
tahun 1973/74. Perkembangan ini sekaligus mencerminkan
kemajuan yang diperoleh dalam produksi pangan di dalam
negeri pada satu pihak dan kesukaran dalam memperoleh
bantuan pangan dari luar negeri oleh karena adanya krisis
pangan di dunia pada lain pihak.
Pinjaman dalam bentuk Devisa Kredit mengalami penurunan
dalam tahun 1971/72 dan 1973/74 sehingga Devisa Kredit
yang diperoleh dalam tahun 1973/74 adalah 14,4 persen lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah tahun 1969/70. Keadaan
ini disebabkan karena dengan meningkatnya ekspor maka
semakin banyak impor barang modal dan bahan baku telah
dapat dibiayai dengan sumber-sumber sendiri.
Tabel IV - 11 menggambarkan perincian persetujuan ban-
tuan luar negeri menurut berbagai negara dan badan-badan
internasional. Dari seluruh bantuan luar negeri yang telah di
setujui selama Repelita I, rata-rata 32,1 persen berasal dari
Amerika Serikat, 24,3 persen dari Jepang, 13,5 persen dari IDA,
dan sisanya dari negara-negara lainnya.
235
TABEL IV - 11
P E R S E T U J U A N B A N T U A N L U A R N E G E R I 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
236
F. MASALAH HUTANG-HUTANG LUAR NEGERI
Pada tahun 1966 Pemerintah menghadapi tugas untuk me-
nyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan baik dengan
peninggalan hutang-hutang lama maupun dengan kebutuhan
akan bantuan keuangan dari luar negeri untuk menyelenggara-
kan program-program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi In-
donesia. Dalam bulan April 1970 telah tercapai kata sepakat
dengan berbagai negara mengenai penundaan pembayaran
kembali hutang-hutang yang dibuat sebelum 1 Juli 1966. Kata
sepakat tersebut semula tercapai dengan negara-negara yang
tergabung dalam "Paris C1ub", yakni Perancis, Belanda,
Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Jerman Barat dan Italia. Pada
prinsipnya persetujuan tersebut memungkinkan bahwa: (1)
pokok hutang sebesar US $. 1,7 milyar dibayar kembali
dalam jangka waktu 30 tahun terhitung mulai tahun 1970; (2)
bunga yang lama sejumlah US. $. 400 juta dibayar dalam 15
tahun mulai 1985; dan (3) selama 8 tahun pertama sebagian
dari jumlah yang seharusnya dibayar dapat ditangguhkan
sampai 8 tahun terakhir dari periode 30 tahun tersebut di
atas.
Atas dasar kata sepakat ini kemudian telah diselesaikan per-
setujuan bilateral dengan berbagai negara dengan berpegang
pada prinsip non-diskriminasi terhadap negara-negara yang
memberikan pinjaman dimasa yang lampau. Dengan menempuh
jalan ini maka sampai dengan tahun anggaran 1973/74 telah di-
selesaikan persetujuan bilateral mengenai penundaan pemba-
yaran hutang-hutang lama dengan Amerika Serikat, Belanda,
Jerman Barat, Jepang, Perancis, Italia, Uni Sovyet, Republik
Demokrasi Jerman, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Bulgaria
dan Yugoslavia.
237
tan, Tanzania dan Republik Rakyat Cina. Berbagai usaha
telah dan masih akan dilaksanakan untuk mencapai persetujuan
de- ngan negara-negara tersebut dengan tetap
berpedoman pada prinsip persetujuan Paris tahun 1970.
Dengan adanya penyelesaian masalah hutang-hutang lama,
maka beban pembayaran kembali hutang-hutang tersebut
dapat diperhitungkan dengann lebih tepat sedang beban
pelunasan se- tiap tahunnya menjadi lebih ringan.
Keringanan beban pelunasan hutang-hutang lama tersebut
sangat besar artinya bagi kemungkinan pertumbuhan
ekonomi Indanesia dimasa yang akan datang.
Usaha-usaha untuk menyelesaikan masalah pelunasan pin-
jaman luar negeri secara menyeluruh dibarengi dengan
pertumbuhan penghasilan devisa dari ekspor yang terjadi
selama masa Repelita I mengakibatkan bahwa angka
perbandingan antara jumlah pengembalman pinjaman
beserta bunga dengan peneri-maan devisa dari ekspor mulai
menurun sejak tahun 1972/73 (lihat Tabel IV - 1 2) .
TABEL IV - 12
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
(Persentase dari
Tahun Pelunasan Pinjaman 1) Nilai Ekspor 2) Nilai Ekspor)
1968 52 624 (8,3)
1969/70 44 752 (5,9)
1070/71 68 896 (7,6)
1971/72 107 988 (10,8)
1972/73 106 1.373 (7,7)
1973/74 131 2.546 (5,1)
1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah.
2) Termasuk ekspor minyak bumi atas dasar netto .
238